|
Pemandangan pagi dari Bukit Marmer Tunua |
Segelas kopi panas dari air yang baru selesai dimasak menemani kami di atas Bukit Tunua. Duduk di ujung salah satu bukit dan menunggu matahari yang berbentuk sempurna bulat terbit dari ufuk timur. Oh, iya.. hawa pagi ini tentu saja masih dingin seperti biasa. Lagian mana ada tempat yang tidak dingin dengan ketinggian di atas 1.400 mdpl. Ditambah lagi yang kami injak adalah lantai marmer. Lantai marmer? Kalian tidak salah mendengar. Bukit Tunua sudah habis dipangkas bagian atasnya menciptakan sebuah bidang landai dari batu marmer. Menginjak lantai marmer siang hari saja tetep terasa dingin apalagi pagi seperti saat ini.
Andai saja kalian mengalami sendiri hujan yang mengguyur semalaman, kalian
akan tahu betapa sempurnanya pagi ini untuk mentertawakan apa yang terjadi tadi malam. Kebahagiaan kadang sederhana, hadapi kesusahan dan setelah itu ijinkan kami merayakannya setelah berhasil melewatinya.
Perubahan Rencana Bermalam
Pasca batalnya rencana kemping di dalam hutan Mutis yang aku tulis sebelumnya disini, kami harus memikirkan kembali kemana kami harus bermalam hari ini. Terlalu sayang melewatkan tambahan libur paskah ini untuk langsung pulang.
Aku sendiri mengusulkan memasang tenda di bukit marmer Fatunausus. Pemandangan paginya menurutku keren di sana tapi tidak aku sendiri tidak yakin dijinkan atau tidak kalau memasang tenda di sana karena setauku bukit di Fatunausus masih ada yang mengelola. Lupakan rumah pak Anis untuk bermalam, kami sudah merencanakan naik kembali ke atas Mutis lain waktu supaya cita-cita memasang tenda di dalam kawasan hutan Mutis bisa terlaksana.
Akhirnya kami sepakat mau mencoba menginap di bukit marmer Tunua yang tampak bagai dataran berwarna putih dari atas bukit Usapikolen. Kebetulan pula Tardi punya teman sekantor yang rumahnya berasal dari daerah Tunua. Klop dah, jadi malam ini kita fix nenda di bukit marmer Tunua.
Habis makan siang di rumah pak Anis, sekitar jam 2 kami mulai turun dari Fatumnasi. Oh, iya kami tambah perbekalan dengan minta nasi putih ke pak Anis. Sebagaimana gantinya kami tukar dengan beras yang tidak jadi kami masak. Sebelumnya ada insiden kompor gasku patah sehingga tidak bisa digunakan. Cuma tersisa kompor Tardi dan Imam yang keduanya menggunakan bahan bakar spiritus. Masalahnya entah kenapa spiritus Imam bocor jadi menguap habis. Jadilah kami berbagi spiritus, jadi masak nasi bukan pilihan bijak.
Di kampung Tunua kebetulan baru ada petunjukan paskah di depan halaman salah satu rumah penduduk. Mereka sebenarnya tidak keberatan dengan rencana kami memasang tenda di atas bukit hanya mereka sebenarnya sudah mempersilahkan jika kami mau tidur di kampung mereka. Karena mereka khawatir hujan akan turun deras seperti beberapa hari ini. Tapi tentu saja kami lebih memilih memasang tenda. Godaan tidur di atas bukit marmer Tunua lebih menggoda.
Hujan Kembali
|
Memasang tenda di lantai marmer bingung cara mengikat tenda |
Baru saja motor kami berhenti, langit yang sedari tadi mendung gelap berubah menjadi hujan. Kami bergegas naik ke atas mencari tempat yang bisa untuk berteduh. Kondisi bukit yang sudah nyaris rata nyaris susah mencari tempat berteduh. Wal hasil kami cuma bisa berteduh di salah satu ceruk dari batuan marmer. Lumayan bisa mengurangi basah jaket yang aku gunakan walau dinginnya tambah parah.
Setelah agak reda kami mencari tempat yang pas untuk memasang tenda. Lagi-lagi kami mengalami kesulitan. Tak ada tanah disini karena semuanya hanyalah batu marmer. Pasak yang coba kami tancapkan ke sela-sela retakan batu tak bertahan, lepas tiap kali dipasang. Akhirnya kita memilih menggunakan tali tenda saling terhubung, mengikatnya satu sisi ke pohon kecil di samping dan mengikat ke batu sebagai pemberat ke sisi lainnya.
Tapi di pertengahan, hujam kembali turun.. bah, kami kembali harus memasang tenda dalam kondisi basah. Dua hari kami nenda, dan setiap kali membuat tenda kami selalu kehujanan. Bahkan kali ini hujan terjadi semalaman. Dan lagi, aku malam ini harus tidur tanpa baju dan celana karena semuanya basah. Terus terang hujan malam itu lebih menguatirkan kami. Berbeda jika kita memasang tenda di tanah air segera meresap di tanah. Di lantai marmer seperti ini, kami merasakan air mengalir deras di terpal bawah walau tak sampai membuat kami basah. Semalaman kami mendengar guruh seperti suara aliran air deras di bawah, sungai kecil pasti sedang dipenuhi air malam ini.
|
Pemandangan pagi di perkampungan Tunua |
Tengah malam kami sebenarnya mendengar bunyi siulan beberapa kali dari arah hutan di bawah kami. Karena sudah mendengar cerita tentang teku, kami memutuskan mematikan seluruh lampu. Aku baru tahun keesokan harinya tentang suara siulan ini. Rupanya semalam beberapa pemuda kampung mencurigai keberadaan kami adalah gerombolan teku. Untungnya kami wakmtu masuk ke kampung tepat saat ada keramaian perayaan paskah, jadi selain bertemu tetua kampung juga sempat meminta ijin terlebih dahulu. Rupanya isu teku juga sudah memasuki kampung Tunua.
Pagi itu akhirnya kami membuktikan tidak sia-sia kami nenda di puncak bukit marmer Tunua. Selepas tengah malam hujan akhirnya berhenti sehingga pagi ini langit sudah kembali cerah. Seperti biasa aku tidak akan melewatkan suasana pagi seperti ini, walaupun harus bergelung dengan sleeping bag sebagai selimut pembungkus badan untuk mengurangi rasa dingin.
Acara pagi itu bertambah ramai saat anak-anak muda kampung Tunua ikut naik ke bukit dan berkumpul bersama kami. Dari merekalah akhirnya kami tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Dari mereka kami juga kami tahu bahwa apa yang dilakukan Al malam sebelumnya sebenarnya sebuah kecerobohan yang bisa membahayakan keselamatan kami. Malam sebelumnya sewaktu kami nenda di bukit Usapikolen, Al bermain cahaya senter dan anehnya waktu itu juga ada cahaya balasan dari seberang. Ternyata para Teku berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan cahaya senter. Ah, untung tidak tidak terjadi apa-apa pada kami.
Dan seperti biasa karena suasana yang masih dingin kami agak malas segera membereskan peralatan. Setelah matahari mulai meninggi selepas jam sembilan barulah kamu berkemas. Sebelum pergi kami sempatkan mampir ke rumah kepala dusun yang kebetulan anaknya bekerja satu kantor dengan Tardi.
Thanks buat perjalanannya guyz: Tardi Sarwan; Imam 'Boncel', Al Buchori
Baca keseluruhan artikel...
|
Taburan bintang di langit Pantai Kura Kura |
Bangun.. bangun... bangun... dalam kondisi baru saja tertidur aku dibangunkan Imam dan Trysu. "Air naik tinggi mas" kata Imam tampak mengangkat beberapa barang. Aku mengucek-ucek mata untuk melawan kantuk. Begitu mataku mulai terang, aku melihat tempias ombak sudah mencapai dua meter menuju tenda. Aku buru-buru ikut bangun.
Tengah malam, kami semua harus bergegas membereskan sleeping bag dan memindahkan barang-barang di bawah ke dekat tenda. Api unggun yang letaknya beberapa meter ke arah pantai sudah padam diterjang gelombang. Air pasang telah mengurung tenda kami, untungnya tenda dipasang di gundukan pasir yang paling tinggi sehingga belum terjamah air laut.
|
Menikmati milkyway |
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas, tengah malam. Kami semua hanya dapat duduk di sekeliling tenda dengan harap-harap cemas. Air sudah naik tak lebih dari satu meter dari tenda. Tak ada yang dapat tidur, kami hanya menunggu bahwa itu batas tertinggi air. Jika air naik lebih tinggi lagi alamat tenda kami akan terendam air. Mata kami tertuju ke salah satu celah bukit batu di sebelah tenda, satu-satunya jalan jika air laut terus naik. Celah itu kecil tapi cukup untuk kami melarikan diri. Kekuatiran kami kedua jika tiba-tiba muncul gelombang tinggi. Memang sekarang bukan musimnya gelombang saat ini, tapi kalian tahu kan jika pantai selatan tidak pernah bisa diprediksi gelombangnya. Untungnya letak pantai ini dikeliling bebatuan karang sehingga gelombang dari laut pasti sudah terpecah sebelum menuju pantai.
Jam setegah satu air mulai turun kembali, pertanda pasang tertinggi sudah lewat. Duh leganya perasaanku. Walaupun begitu kami tidak berani berpindah sampai air bener-bener turun agak jauh. Jam satu barulah kami mulai tenang, satu demi satu kami kembali ke dalam sleeping bag dan melanjutkan tidur.
Badanku seperti terayun-ayun pelan, tapi aku malas sekali membuka mata. Ayunan itu sepertinya bertambah kuat. Aku memaksakan membuka mata dan.. ternyata sleeping bag-ku telah terendam air laut sebagian. Aku merasakan dingin menerjang bagian bawah. Aku panik sementara suasana yang gelap membuatku kesulitan melihat ke arah tenda. Apakah semua senter dimatikan?
Sambil mencoba keluar dari sleeping bag aku berteriak memanggil Imam.. tidak ada jawaban.
Trysu!.. trysu!.. teriakku.. tidak ada jawaban... Al!.. Al!.. tidak ada jawaban juga. Ah sial kemana mereka semua? Tanyaku dalam kepanikan karena sleeping seperti terkunci sementara aku semakin terseret ke tengah.
Tiba-tiba mataku menatap ke atas bukit batu tampak mereka bertiga. Mereka mencoba berteriak kepadaku. Ah bagaimana mereka bisa naik ke atas dan meninggalkanku. Suara Imam terdengar lantang "Mas, cepat naik ke atas! Ombak besar!"
Aku semakin panik dan mendorong lebih kuat sehingga akhir sleeping bag terobek. Aku buru-buru keluar dan pada saat itu dari pantai sebuah bayangan hitam datang cepat dan saat aku tersadar tiba-tiba telah mendorongku ke bawah. Aku terpelanting masuk ke dalam pasir.
Gelap... gelap... aku coba menggapai ke atas... Tak ada suara tapi kepalaku rasanya tertekan dan semakin panas.. Aku semakin panik, tanganku semakin meronta kuat..
Dan..
|
Pemandangan matahari terbenam di Pantai Kura Kura |
Aku terbangun.. sial, rupanya aku hanya bermimpi. Langit memang masih gelap tapi lumayan terbantu dengan penerangan bulan yang masih tampak di antara pepohonan. Air laut sendiri sudah jauh surut dibanding semalam. Wajah-wajah Imam dan Trysu yang begadang menunggu ombak tampak pulas tak terganggu. Al yang tidur sendiri di dalam tenda. Aku melihat jam, sudah jam lima rupanya. Sebenarnya aku masih enggan beranjak dari sleeping bag, tapi sepertinya sayang jika tidak mencoba menjelajah sekitar tempat ini pagi ini. Aku mulai membereskan peralatan sleeping bag dan menyiapkan kameraku.
Pantai yang Tidak Bernama
Aku memberi nama pantai ini Pantai Kura-kura karena memang di google maps pantai ini tidak memiliki nama. Dan karenanya pula dengan terpaksa untuk tulisan kali ini aku tidak dapat akan memberikan posisinya dengan gambar peta seperti biasanya. Maaf sekali ya.
Pertama kali aku ke pantai ini sebelumnya hanya berdua dengan Imam, dan hal yang pertama aku temui sepertinya adalah jejak penyu saja. Dan satu lagi yang miris adalah adanya sebuah tempurung penyu yang sudah tinggal rangka diletakkan tergeletak di atas batu. Sepertinya pernah ada yang mendatangi tempat ini untuk berburu penyu. Sayang sekali, padahal penyu sekali bertelur di suatu tempat cenderung akan kembali ke tempat yang sama sejauh apapun mereka berkelana.
|
Pasir putih di Pantai Kura Kura |
Pantai berpasir putih ini dikelilingi karang-karang tinggi dan terjal dan di bagian depan juga ada beberapa bukit karang sehingga nyaris seluruh pantai terlindungi oleh karang. Jalan masuk ke tempat ini juga tidak mudah karena untuk turun ke pantainya harus melewati tempat yang tidak ada jejak jalannya. Beberapa jejak jalan yang pernah dibuat sepertinya mulai menghilang, mungkin karena sudah lama tidak pernah didatangi orang.
Aku beruntung bisa melihat pantai ini, makanya perjalan ke dua aku bersama empat teman lainnya Imam, Trysu, Daud, dan Al kembali ke tempat ini untuk berkemah. Walaupun malamnya kami harus menjalani kondisi horor seperti yang aku ceritakan di awal tulisan.
Setidaknya peristiwa malam itu membuat kami belajar. Artinya jika bermalam di pantai ini sebaiknya pahami pasang surutnya. Yang pasti, jika sedang purnama atau bulan mari sebaginya tidak memasang tenda di sini. Karena pada saat puncak pasang sepertinya tidak ada pantai yang tersisa kecuali sebagian kecil pasir di sudut bukit karang kami memasang tenda. Itu pun kemungkinan saat purnama darah sangat mungkin seluruh pantai ini akan tergenang air dan ombak yang besar akan mencapai ke arah bukit karang.
Baca keseluruhan artikel...
|
Seorang nelayan melintas di pagi hari |
Pelahan kabut di pantai mulai naik menutupi pemandangan perbukitan di kaki gunung Lewotobi. Bukan, kabut itu bukan dari atas tapi dari air laut dingin yang menguap terkena sinar matahari. Tidak terlalu tebal karena matahari masih sangat leluasa menerobos. Pemandangan pagi hari yang aku liat saat itu sungguh membuatku terdiam. Sering kutemui laut biru tosca dengan pasir putih tapi suasana seperti ini tidak setiap hari aku akan melihatnya.
|
Pemandangan Pantai Oa berlatar kabut dan gunung Lewotobi |
Beruntung aku dapat menginjakkan kaki di putihnya pasir pantai ini. Pantai Oa seperti punya daya magis tersendiri, bagi kalian yang bersedia membuang kantuk dan menghampirinya. Walau memang ini bulan bukan waktu terbaik untuk melihat matahari terbit. Bulan Juni matahari terbit posisi sedang diantara celah pulau Solor dan Adonara sehingga aku tidak mendapatkan momen matahari terbit dari ufuk timur. Menurut pak Yan, sekitar bulan September ke atas barulah matahari bisa nampak jelas karena terbit dari horison laut.
Selamat Pagi dari Pantai yang Sunyi
|
Pagi yang dingin di Pantai Oa |
Pagi ini pantai Oa memang masih sepi, sebagian besar perahu masih tersimpan di masing-masing gubuk. Sedari aku bangun pagi tadi, hanya ada dua nelayan yang datang untuk melaut. Aku dan Tardi ikut juga membantu mengangkat perahu untuk memindahkannya ke pantai.
Apakah mereka malas melaut? Bukan, tapi hari ini adalah Minggu yang artinya masyarakat desa tentu masih harus pergi ke gereja sebelum menjalani aktivitas nelayannya. Menurut cerita pak Yan, dulunya jam gereja itu jam delapan sehingga masyarakat biasanya pagi-pagi bisa melaut dulu sebelum ke gereja. Namun rupanya ini menyebabkan jemaat gereka berkurang. Makanya dari kesepakatan desa Pantaioa, akhirnya jadwal ibadah ke gereja digeser ke jam enam supaya tidak ada warga yang tidak sempat pergi ke gereja. Pastilah saat ini mereka sedang ibadah di gereja.
Bahkan sampai matahari naik melewati celah antara pulau Adonara dan pulau Solor tetap tidak ada aktivitas nelayan. Selepas matahari meninggi pun hanya ada satu nelayan yang turun melaut dengan menggunakan jala di pinggir pantai.
Perjalanan Tak Direncanakan
|
Bekerja tak harus di kantor kan |
Perjalanan ke pantai Oa sesungguhnya tak direncanakan, atau rencana dadakan. Sehari sebelumnya sekitar jam satu siang saat itu kami masih berdiri di atas perahu yang akan menghantarkan kami ke Larantuka. Lupakan gunung Batu Tara yang sudah kami rencanakan, ombak laut saat ini sedang tidak bersahabat. Teman kami, pak Said, seorang nelayan yang biasa mengantar tamu dengan perahunya sanksi kami bisa menjangkau Batu Tara saat ini. "Gelombang baru besar sekarang pak, taruhan nyawa kalau kesana," katanya.
Di kepalaku beredar beberapa tempat yang mungkin belum kukunjungi. Tak ada ide, beberapa tahun ini aku jarang menginjakkan tanah di pulau Flores membuatku sedikit pikun tentang lokasi-lokasi baru yang belum aku kunjungi. Tardi lah yang memberikan ide untuk menginap di pantai Oa. Pak Ayom yang pernah bertugas disana untuk pendataan. Katanya tempatnya bagus dan masih tenang, dan terutama masih belum banyak dieksplore. Apa yang paling menarik disana? Pasir putih, matahari terbit... bukan.. tapi disana masih belum ada sinyal.. asyik banget kan, karena seasyik-asyiknya tempat itu belum asyik banget kalau masih ada sinyal hihihi...
|
Gubuk untuk menyimpan perahu nelayan |
Aku mulai jalan jam setengah empat, dengan jarak yang aku perkirakan sekitar dua jam-an mungkin sebelum gelap kami sudah sampai. Emang lagi sial, belum setengah jalan motor yang aku pinjam bannya kempes. Apesnya, posisi kami saat itu di tengah-tengah jalan yang jauh dari perkampungan. Aku lupa nama tempatnya. Akhirnya nelpon om Umbu buat dapet motor pengganti. Hampir satu jam menunggu barulah om Umbu datang sendirian.
|
Suasana pagi yang tenang di Pantai Oa |
Selepas Maghrib barulah kami merasakan hawa dingin yang menyusup ke dalam jaket. Rupanya kami baru sampai Boru. Boru yang berada di kaki gunung Lewotobi memang hawanya sejuk sehingga tampak menghijau sepanjang tahun. Kami mampir makan di satu-satunya warung Padang yang menunya seperti warung Jawa di Boru.
Saat jalan malam itulah aku baru menyadari kalau lampu depan tidak ada covernya sehingga tidak ada reflektor pengumpul cahaya. Karuan saja aku gak bisa melarikan motor kencang. Bayangkan saja motor jalan malam dengan lampu yang jangkauannya pendek dengan kondisi jalan nyaris tanpa penerangan. Tambahan lagi jalannya tidak memiliki marka jalan yang berupa garis putih di sepanjang jalan untuk penanda.
Memasang Tenda Malam Hari
Kami memasang tenda sekitar jam sepuluh malam ditemui pak Yan. Untunglah bulan masih cukup besar sehingga menerangi pantai ini sehingga tidak terlalu gelap. Barulah setengah jam kemudian setelah ngobrol beberapa saat pak Yan pamit meninggalkan kami dengan janji besok pagi dia atau anaknya Elthon akan menemui kami.
|
Memasang tenda untuk bermalam di Pantai Oa |
Saat kami tiba bulan sudah muncul. Kurang beruntung, padahal di jalan kami sempat melihat milkyway yang sangat jelas terlihat karena langit yang tidak berawan. Mungkin aku harus kesini lagi dan berharap keberuntungan berikutnya membuatku bisa memotret milkyway di Pantai Oa.
|
View pantai Oa diterangi bulan |
Agak malam datang seorang pria tua dengan wanita muda yang sepertinya anak perempuannya. Dugaannya kami tidak keliru, saat ngobrol bapak tua itu mengatakan kalau mengantar anaknya ke pantai untuk menelepon. Pantas saja, sementara kami mengobrol, wanita muda muda itu tampak berkutat memencet-mencet hape di dekat salah satu pohon. Kata pak tua, di desa nyaris tidak ada sinyal. Untuk bisa mendapatkan sinyal harus ke pantai ini. Itu pun hanya beberapa titik dekat pohon yang bisa mendapatkan sinyal dan selebihnya hanya spot kosong. Mungkin kalian sangsi hal ini. Tapi percayalah saat kamu berkerumun di salah satu pohon untuk mendapatkan sinyal, saat itu kalian percaya bahwa sinyal juga pilih-pilih tempat nongkrong.
Setelah itu pantai kembali sepi dan menyisakan kami berdua ditemani bulan yang juga belum naik terlalu tinggi dari batas horison. Karena kami sudah kenyang tentu saja tinggal acara terakhir: Tidur.
Bagaimana Menuju Kesana
Entah kenapa, Google Maps tidak dapat menunjukkan petunjuk arah dari Larantuka menuju PantaiOa. Jadi untuk dapat memperkirakan jalur jalannya aku mencoba mencari arah jalan Larantuka - Pantai Waiokang baru aku perkiraan jika belok di titik tertentu.
Jadi jika berangkat dari Larantuka arahkan ke Selatan jalur Larantuka-Maumere, ikuti jalan sampai ke pertigaan Kantor BRI daerah Boru. Dari sana belok masuk ke kiri menuju ke pasar Boru.
|
Bulan mengintip di sela pepohonan |
Dari pasar ikuti jalan ke kanan terus sampai nanti bertemu dengan pertigaan Desa Lewa. Ambil jalan yang sebelah kanan, kondisinya agak jelek beberapa puluh meter lalu jalan akan kembali bagus. Nanti selepas sekolah dan menara telekomunikasi akan bertemu cabang jalan didaerah persawahan/kebun berupa jalan rabat di sebelah kiri. Masuk ke jalan rabat tersebut beberapa kilometer nanti akan sampai ke desa Pantioa.
Desa pantai Oa sendiri terletak di daerah tanjung selatan Flores. Ada dua pantai di sana: (1) Pantai Oa yang berada di teluk menghadap ke Timur, cocok untuk melihat matahari terbit, (2) Pantai Roka, yang menghadap di sisi lain desa Pantaioa, cocok untuk melihat matahari terbenam. Tapi aku sendiri batal mengunjungi pantai Rako.
Jika kalian membutuhkan orang di desa Pantaioa yang dapat dikontak silahkan hubungi pak Yan (hape: 0822-4780-7816) atau anaknya pak Elton (hape: 0822-3697-2273 | email: nikolaus_tapun@gmail.com | ig: @nikolaus_tapun). Tapi sebaliknya kirim pesan dulu karena desa Pantaioa belum ada sinyal karena sinyal disana sangat pemilih.. nunggu yang cocok baru dia kasih sinyal. Dan satu lagi, jangan marah kalau balasannya lama, maklum harus nunggu dapat sinyal dulu kaka.
Baca keseluruhan artikel...
|
Hutan bonsai alam di hutan Mutis |
"Beberapa waktu ini kampung kami sedang ramai dengan keberadaan Teku. Ini kami sekarang tiap malam harus bergiliran ronda malam untuk menjaga kampung." Pak Anis menceritakan tentang kondisi keamanan di daerah Fatumnasi belakangan ini sambil menunjukkan sebuah ketapel dan beberapa paku yang telah dibuat sedemikian rupa dengan helaian rafia membentuk bulu sebagai peluru. Begidik kami waktu mendengar kalau peluru paku ini telah direndam dengan racun ular hijau. "Pake tai ayam pak?" tanyaku. Pak Anis mengiyakan walau sedikit keheranan aku bisa tahu cara pembuatan racun ular itu.
Ingatanku kembali pada pertemuanku dengan orang tua dari Pacitan yang ingin memberikanku sebuah senjata ekor pari yang telah direndam ramuan racun ular hijau. Dia memberitahukanku cara membuat racun ular hijau itu bisa bertahan lama di ekor pari, yaitu dengan menggunakan tahi ayam. Bayangkan, ekor pari saja bisa menyebabkan kesakitan luar biasa bila melukai badan orang apalagi jika ditambahkan racun ular hijau. Untungnya aku lebih memilih menolak pemberiannya. Aku tak ingin segala senjata yang justru membuatku tidak tenang jika melakukan perjalanan. Kadang alat yang kita sebut untuk menjaga diri justru memancing orang untuk mencoba kita.
Rencana Kemping di Telaga yang Batal
Aku menengok ke arah Tardi memberi isyarat tentang kelanjutan rencana kami yang akan memasang tenda di telaga dalam hutan Mutis. Tardi yang banyak tahu tentang Mutislah yang mengusulkan kepada kami untuk bermalam di tepi telaga hutan Mutis. Katanya pada saat pagi hari banyak binatang seperti kuda dan sapi yang minum air di telaga. Tentu itu akan menjadi kesempatan menarik untuk mendapatkan foto-foto satwa itu.
Sekarang masalahnya adanya isu keberadaan teku yang seperti dinyatakan pak Anis. Pak Anis dan beberapa warga di Fatumnasi tentu tidak berani menjamin keselamatan kami jika bermalam di luar kampung, apalagi sampai di dalam hutan. Menurutnya, teku-teku ini biasa bersembunyi di dalam hutan dan keluar pada waktu malam hari. Pak Anis menyarankan menginap di rumahnya saja, nanti pagi-pagi buta baru berjalan menuju puncak gunung Mutis. Itu jalan paling aman katanya.
Cukup dilematis juga. Mempertimbangkan beberapa pilihan, akhirnya kami memutuskan sekedar berjalan-jalan saja di sekitar hutan Mutis dulu dan tidak jadi menginap. Walau menginap, keberadaan kami sepertinya akan tetap merepotkan karena mereka sendiri harus menjaga kampung. Padahal waktu itu istri pak Anis sudah sempat membereskan kamar untuk dapat kami gunakan menginap.
Perjalanan yang Tertunda
|
Jalan menuju ke arah Fatumnasi |
Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, kami berkemah malam sebelumnya di perbukitan Upasikolen. Masalahnya banyak barang kami yang kebasahan. Wal hasil, begitu pagi itu matahari pagi keluar menyinari perbukitan tempat kami memasang tenda hal yang kami lakukan pertama adalah menjemur beberapa barang yang basah semalam. Untungnya memang cuaca pagi ini cerah, sangat cerah bahkan awan tebal yang menghiasi langit kemarin nyaris tidak bersisa.
Bahkan saat aku sudah selesai memotret matahari terbit dan turun ke arah kemah, aku melihat mereka masih asyik terbenam dalam hangat selimut. Tardi yang sudah bangun lebih pagi cuma karena tidak melihat seorangpun yang keluar akhirnya hanya duduk-duduk sambil masak air panas. Dia sedikit protes saat tahu aku kembali dari memotret, katanya kalau tahu aku sudah naik ke atas bukit tentu dia bakalan nyusul.
Kami sendiri untungnya tidak terlalu terburu-buru ke Mutis, karena rencanaya kami mau bermalam di telaga dalam hutan Mutis untuk dapat menikmati suasana hutan saat fajar menyapa. Sayangnya seperti ceritaku di awal, kami tidak diijinkan berkemah di dalam kawasan hutan Mutis kali ini oleh pak Anis. Sekitar jam sepuluh kami baru berkemas jalan kembali ke arah Fatumnasi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami memasang tenda.
Kami sampai di rumah pak Anis sekitar jam setengah sebelas. Pak Anis ini kebetulan rumahnya dekat dari gerbang masuk kawasan gunung Mutis sekitar setengah kilometer saja, tidak jauh dari homestay pak Matheos Anin yang sudah dikenal dikalangan para traveller yang berwisata ke gunung Mutis.
Cagar Alam Mutis: Bukan Tempat Wisata
Menjelang siang, kami baru memasuki gunung Mutis menggunakan motor. Sebenarnya di depan gerbang masuk gunung Mutis ada rumah penjaga yang digunakan untuk meminta ijin jika ingin masuk ke kawasan gunung Mutis. Sekedar infor saja, kawasan gunung Mutis ini masuk dalam kategori cagar alam. Makanya di gerbang masuk tertera tulisan besar "Cagar Alam Mutis". Artinya tempat ini adalah kawasan yang dilindungi dimana segala bentuk eksploitasi tidak diperbolehkan termasuk untuk pengembangan wisata. Satu-satunya kegiatan yang diperbolehkan di kawasan cagar alam adalah penelitian.
Tardi yang telah lama kerja di WWF dan ikut membidani perkembangan Mutis sampai kemudian menjadi cagar alam ikut memberikan informasi penting kepadaku. Aku baru tahu ternyata lumayan banyak juga spesies yang ada di gunung Mutis seperti Rusa Timor (Cervus Timorensis), Kuskus, Biawak Timor (Varanus Timorensis), Ular Sanca Timor (Phyton Timorensis), Punai Timor (Treon psittacea), Betet Timor (Apromictus Jonguilaceus), Pergam Timor (Ducula Cineracea). Kuskus? Kuskus warna putih? Iya, kamu gak salah dengar. Di hutan Mutis ini masih ada binatang bernama Kuskus. Sayangnya tidak mudah dilihat karena dia mahluk malam hari.
Memasuki hutan Mutis seperti memasuki taman yang tidak diatur oleh manusia tapi oleh alam itu sendiri. Rerumputan yang menghampar disepanjang jalan memasuki hutan Mutis tampak begitu rapi diantara jajaran pohon Ampupu. Keberadaan pohon Ampupu yang terjaga ini juga rupanya menjadikan keuntungan tersendiri yaitu adanya lebah madu. Nah selain kalian bisa berburu kain-kain tenun ikat khas Mollo disini kalian juga bisa mencari lebah madu untuk oleh-oleh.
Motor kami berhenti sampai di batas sungai yang agak curam karena Tardi menggunakan motor matic jadi agak sulit melewatinya. Untungnya diperjalanan kami bertemu dengan mobil dobel gardan yang masuk ke dalam. Ya udah, numpang naik lah. Lumayan bisa menghemat tenaga.
Sayangnya hujan turun kembali siang itu memaksa kami mencari tempat berteduh. Sebuah pohon Ampupu besar yang berlubang bagian tengahnya menjadi tempat kami berteduh menunggu hujan berhenti. Ada bekas terbakar di dalamnya. Pada bulan-bulan panas masyarakat atau petugas jagawana akan membakar lumut yang menempel di pohon Ampupu. Tujuan pembakaran ini untuk menghambat pertumbuhan lumut sehingga tidak akan memakan batang pohon. Lumut-lumut ini jika dibiarkan akan membuat batang bagian bawah pohon Ampupu melapuk, yang pada gilirannya akan menumbangkan pohon. Cuma kadang ada saja pohon Ampupu yang ikut terbakar dan justru tumbang karena terbakar batangnya.
Hutan Bonsai Alam di Gunung Mutis
|
Salah satu pohon Santigi di hutan bonsai alam hutan Mutis |
Satu yang paling menarik dari gunung Mutis adalah keberadaan hutan bonsai alamnya. Ada hawa mistis yang menyelimuti kawasan hutan bonsai alam yang tanahnya dipenuhi oleh lumut-lumut. Jika kalian yang pernah ke tempat ini tentu mengerti, pohon-pohon yang membentuk lainya bonsai alam ini adalah pohon Santigi. Beberapa orang mungkin menyebut pohon ini dengan nama Stigi atau Drini, yang konon batangnya dipercaya bertuah. Kenapa menarik, karena jenis pohon Santigi yang tumbuh di hutan ini adalah jenis pohon Santigi yang biasa tumbuh di kawasan pesisir berkarang, berpasir atau disekitar kawasan Mangrove. Bayangkan bagaimana pohon-pohon Santigi ini bisa terjebak di antara tanaman Ampupu dan bertahan sampai dengan saat ini di ketinggian alam gunung Mutis yang memiliki tinggi di atas 2.000 mdpl.
Apakah jenis Santigi di hutan ini bukan jenis Santigi yang tumbuh di gunung? Memang ada jenis Santigi yang tumbuh di gunung namun biasanya berukuran lebih kecil dengan daun muda berwarna ungu kemerahan atau merah. Lagian Santigi gunung biasanya tidak dapat tumbuh terlalu besar. Itu informasi yang aku peroleh kalau tidak salah.
Rata-rata pohon Santigi di hutan bonsai ini sudah tua, disekeliling tanahnya sampai di pokok batangnya dipenuhi lumut hijau. Uniknya lagi, hanya di hutan bonsai ini pohon Santigi bisa hidup dan berbentuk seperti ini. Itu pun di sekitar tidak ada lagi bakalan pohon baru yang hidup disekitar pepohonan ini, padahal umumnya Santigi berbuah dan biji buahnya bisa menghasilkan tanaman baru. Jika pohon-pohon Santigi itu mati tidak akan tergantikan oleh pohon baru.
Kalian yang pernah mengunjungi hutan ini beruntung sekali. Karena bila pohon-pohon Santigi pada gilirannya mati sepertinya hutan ini hanya akan cerita saja.
Baca keseluruhan artikel...
Beberapa waktu lalu temen WWF si Tardi yang kasih pesen "Yuk, ikut bantu nulis tentang Meko, kita mau launching perdana pusat informasi dan paket wisata Taman Laut Pulau Meko".. Well, it's really excited me. Ajakannya sungguh menggodaku. Bayangkan dulu kami untuk bisa menjangkau Meko harus melakukan perjalanan yang cukup sulit. Kami waktu itu hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong tentang Meko. Tidak ada informasi jelas bagaimana cara kami kesana. Bahkan setelah menyeberang ke Adonara pun masih harus tanya-tanya ke penumpang lain yang punya informasi tentang Meko.
|
Beningnya pantai di Kepulauan Meko |
Susahnya
menuju ke Meko pada waktu itu, kondisi jalan yang belum bagus dan
informasi yang minim. Makanya waktu itu kami memilih hanya sampai ke kampung
Waiwuring, baru menyewa perahu untuk sampai ke Kepulauan Meko. Ya untungnya kami masih punya jiwa kluyuran yang tidak masalah
dengan kesulitan. Tapi tentu berbeda dengan traveler umum yang tidak selalu mau menempuh kesulitan seperti kami.
Buat kalian yang ingin membaca ceritaku waktu ke tempat ini bisa menbaca tulisanku disini: Mengejar Pasir di Kepulauan Meko.
Tempat yang punya gosong pasir putih ini emang keren banget, dan pastinya waktu itu belum banyak tereksplore. Pada waktu itu kami ya lebih banyak menikmati pantai dan gosong pasirnya. Taman lautnya yang keren cuma bisa kita lirik dari atas perahu. Apa daya waktu itu kami tidak punya peralatan snorkling untuk bisa menjelajahi cantiknya taman laut di Meko.
Kondisi infrastruktur dan kesiapan masyarakat di sekitar Taman Laut Pulau Meko membuat kekayaan alam Meko tidak banyak memberi manfaat untuk masyarakat Meko sendiri, yaitu masyarakat desa Pledo.
Ajakannya tentu tak perlu ditanyakan dua kali, kecuali tentu saja masalah cuti yang harus aku bereskan hehehe. Tak sabar aku menunggu tanggal 28 Juni ini untuk kembali ke Meko.
Baca keseluruhan artikel...
|
Matahari terbit di bukit Usapikolen |
Usapikolen pagi ini langitnya cerah walau dinginnya serasa menggigiti tulang. Sleeping bag yang aku kenakan sebagai selimut lumayan mengurangi rasa dingin. Tak ada kain hangat, bahkan saat ini pun aku cuma memakai sarung dan kaos oblong. Sambil mulai memasang kamera ke atas tripod sambil berjalan pelan dengan santai mencoba menjelajah pemandangan di sekeliling bukit ini. Masih cukup waktu untuk menunggu matahari terbit. Benar kata Tardi, bukit Upasikolen ternyata bukan cuma tempat yang paling pas untuk menikmati matahari terbenam tetapi juga matahari terbit.
|
Selalu ada pelangi setelah hujan |
Beberapa kuda di bawah bukit makin bergerak menjauh menuruni perbukitan di sebelahnya. Suara ringkikannya mengingatkanku suara yang kudengar tadi malam di samping tenda. Dengusan yang begitu terasa dekat sekali yang membuatku bertanya-tanya apa yang membuat mereka tertarik mendatangi tenda kami. Tak cuma kuda, bahkan aku bisa mendengar bunyi lonceng sapi juga. Padahal kemarin sore mereka justru menjauh saat kami datangi. Aku sempat berpikir lain waktu terdengar dengusan dari luar tenda. Bahkan tanganku sempat meraih salah pisau lipat yang ada di samping tenda untuk berjaga-jaga. Hanya setelah aku yakin mereka cuma kuda dan sapi aku bisa melanjutkan tidurku. Mungkin mereka tertarik dengan bau masakan dari sisa piring-piring yang aku sengaja taruh diluar biar terkena hujan.
|
Menikmati matahari terbenam di Usapikolen |
Dari tempatku berdiri aku bisa melihat jelas dua tenda yang terpasang kemarin sore di salah satu bukit. Satu tenda besar yang kami bertiga tempati: aku, Imam dan Al-Buchori. Dan satu lagi yang ukurannya lebih kecil ditempati sendiri oleh Tardi. Seorang teman yang baru kami kenal siang kemarin saat sedang mengisi BBM di Pom Bensin. Aku tersenyum sendiri membayangkan yang terjadi kemarin sore. Yah, tenda-tenda itu didirikan susah payah dalam kondisi hujan yang kencang.
|
Matahari tenggelam di antara air hujan di rerumputan |
Belok kanan.. belok kanan.. suara Tardi terdengar samar diantara deru hujan yang makin kencang. Tardi yang dari awal berada di depan kami membelokkan motor matic-nya ke arah perbukitan. Aku dan Imam yang membonceng Al mencoba mengikuti masuk ke arah perbukitan. Tardi sedari pertengahan jalan sudah mengenakan mantel hujan berbeda dengan kita bertiga yang justru tidak membawa peralatan terpenting itu di saat seperti ini. Setelah menghentikan kendaraan di salah satu tanjakan kami mulai berjalan ke arah bukit paling ujung untuk memasang tenda. Sayangnya di bukit kedua yang kita tuju telah dipenuhi dengan kuda dan sapi. Akhirnya kami mengalah memasang tenda di bukit pertama.
|
Jalan menanjak menuju Fatumnasi |
Di tengah guyuran hujan yang tidak juga mereda, kami harus segera memasang tenda. Tardi dan Al merentangkan salah satu hammock-ku yang tahan air untuk menjadi pelindung saat aku dan Imam memasang tenda. Air hujan dan kabut yang datang cukup membuat acara memasang tenda jadi lama. Selesai kedua tenda terpasang, kami semua kecuali sudah basah kuyup termasuk tas-tas yang kami bawa. Sialnya baju dan celana ganti yang aku punya ada dibagian bawah yang ikut terkena rembesan air. Rupanya aku salah meletakkan posisi tas yang justru membuat rain cover tas bagian bawah menjadi tampungan air hujan. Yang paling terselamatkan tentu saja si Tardi yang dari awal menaruh semua barangnya ke dalam kantung dry bag.
Dan semalaman aku meringkuk tidur ke dalam tenda dalam kondisi tanpa baju alias bugil.. Widih, beruntunglah perjalanan kali ini isinya cuma mahluk berbatang semua. Coba kalau ada cewek yang ikut, bisa berabe nih urusannya tidur macam begini. Emang asyik kalau jalan gini pake kena acara kehujanan.
|
Pemandangan bukit Tunua dari Usapikolen |
Lupakan acara api unggun yang selalu menyertai kami setiap kali nenda. Bukit Upasikolen ini adalah bukit yang hanya ada rumput tanpa pepohonan jadi tidak ada yang dapat kami jadikan api unggun. Kalau ingin mencari kayu bakar harus turun ke bawah bukit. Lagian dalam kondisi hujan seperti ini siapa juga orang gila yang mau bikin api unggun.
Dan sekarang lihat, pagi ini mereka belum ada yang bangun dari tidurnya. Kurasa mereka terlalu sayang meninggalkan kehangatan sleeping bag demi melihat sinar matahari pagi. Apalagi satu mahluk bernama Imam yang lebih mirip kelelawar, betah melek sampai pagi tapi justru tidur lelap saat pagi..
Kenapa kok kami di Usapikolen? Tardi lah yang membuat ide ini. Menurutnya, dari pekerjaannya yang lama berada di Fatumnasi. Usapikolen adalah satu satu tempat keren buat menikmati matahari tenggelam dan matahari terbit. Dari dulu dia ingin sekali nenda di sana tapi belum kesampean, jasi sekaranglah kesempatannya. Karena aku sendiri tidak paham dengan Fatumnasi (baru pertama nih) ya akhirnya pilih ngikut saja dengan pilihannya.
Buat yang belum tahu, Usapikolen ini adalah kawasan perbukitan yang letaknya sebelum masuk ke Fatumnasi. Usapikolen ini karena konturnya yang berada di perbukitan yang cukup tinggi dari sekitarnya jadi memang pemandangannya cukup lega. Jika naik ke salah satu bukit yang berada di bukit yang berada di sebelah kanan jalan, kalian bisa melihat sebuah bekas bukit yang warnanya putih rata di bagian atas. Itu adalah bukit Marmer Tunua yang dulu pernah menjadi lokasi pertambangan marmer. Itulah tempatku bermalam besok.
Jadi kalau nanti kalian ke Fatumnasi, bolehlah mampir sebentar ke Usapikolen sebelum masuk Fatumnasi. Syukur-syukur kalau mau nenda disini.
Teman jalan ke Fatumnasi kali ini: Imam 'Boncel'; Al-Buchori; dan Tardi Sarwan
Baca keseluruhan artikel...