Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label laut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label laut. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Desember 2020

Tebing Karang Fautusi

"Hati-hati pak," Nelis berteriak dari atas, bersamaan dengan itu beberapa batu jatuh dari atas. Jatuh tak seberapa jauh dariku, untuk aku sempat memiringkan tubuh. Huft, adegan batu yang jatuh diantara dinding tebing yang sempit ini nyaris menimpaku. Jantungku berdetak kencang. Aku melepaskan sulur-sulur akar pepohonan dan terdiam beberapa saat untuk menenangkan diri. Setelah merasa lebih tenang, aku mulai memanjat lagi pelahan dengan memilih menggunakan tanganku untuk bergantung pada sulur batang pohon daripada menggunakan pijakan kaki. Untung banyak batang pohon menjalar semacam sulur di sepanjang dinding tebing. Aku juga terbantu karena Nelis telah mengambil dulu tas kameraku sehingga tidak mengganggu aku memanjat di dinding yang cukup sempit.

Fautusi, Dinding Batu di Selatan Timor
Lega setelah berhasil naik ke atas. Sebenarnya saat kita 'agak' kesasar lebih mudah kalau mengambil jalan kembali daripada memaksa menaiki tebing. Tapi rupanya jiwa Momon sebagai orang yang pernah masuk kelompok pecinta alam di kampus masih ada, jadi lebih melanjutkan jalan dengan menaiki tebing daripada kembali.

Saat berada di salah satu tebing tertinggi, barulah aku bisa melihat pemandangan keseluruhan di Fautusi. Ada tiga tebing yang menjorok ke laut di Fautusi. Dua tebing bagian atasnya datar dan tidak terlalu tinggi, tapi cukup dibandingnya dengan posisi laut. Kedua tebing itu cocok kalau untuk dijadikan tempat camping. Sedangkan tebing bagian tengah tempat yang aku jangkau ini berbentuk runcing di kiri dan kanan, hanya menyisakan jalan setapak yang sedikit miring. Harus hati-hati, melihat dinding tebing di kiri dan kanan berwarna putih menandakan dinding ini belum berumur lama. Kemungkinan tebing ini pernah longsor.

Untuk informasi, tebing kapur itu walaupun awalnya berwarna putih tapi jika terkena panas lama-lama akan menghitam. Jadi dia melihat tebing kapur berwarna putih sebaiknya berhati-hati karena itu menunjukkan tebing itu baru terbuka, sangat mungkin karena batuan sebelumnya mengalami longsor.

Tebing karang yang tinggi di pinggir pantai mengingatku pada pantai-pantai di Pacitan. Tidak banyak pemandangan tebing seperti ini di pulau Timor. Justru pemandangan tebing seperti ini aku lebih sering aku dapatkan saat mengunjungi pulau Sumba sisi selatan.  Dengan ketinggian tebing lebih dari 30 meter, jelas tanjung ini lebih menonjol daripada pantai berpasir putih di bawahnya. Ada pantai dengan pasir putih? Ada dan sebenarnya juga indah pemandangannya. Mungkin lain kali aku kalau kembali kesini akan menyempatkan diri menikmatinya pantainya.

Perjalanan 3 jam Plus-plus
Aku sudah mengirimkan rencanaku ke 'Tanjung Fautusi' kepada teman-temanku di grup WA "Mlaku-mlaku" beberapa hari sebelumnya namun tidak banyak yang menjawab. Giliran ada yang menjawab pun semua mengatakan tidak bisa karena bla..bla..bla... yang artinya satu: tidak yang ada berminat. Justru sebuah mention WA datang dari seorang teman cewek yang berminat ikut, cuma di WA itu ada tambahan kata-kata "kalau diijinkan ortu". Wah kalau ada kata-kata sakti begini mendingan 'dicoret' dulu dari daftar. Bukan diskrimatif atau apa, masalahnya aku sendiri tidak tahu persis lokasi dan kondisi jalannya. Aku gak berani mengambil risiko bikin nyasar anak perempuan orang, apalagi kalau ada suatu kondisi yang kita tidak tahu yang bisa jadi membuat kita menghabiskan malam di jalan.

Akhirnya, pada hari-H hanya 3 orang yang akan jalan yaitu aku, Momon, dan Nelis. Menggunakan dua motor, aku sendiri dengan motor ADV dan Momon yang membonceng Nelis mengunakan motor Vixion (kalau gak salah). Karena tidak ada rencana menginap, jadi tidak mempersiapkan banyak bekal, untuk makan siang rencana akan membeli nasi kuning yang banyak di seputaran kota Kupang. Walaupun akhirnya beli nasi campur biasa di tengah perjalanan di daerah Oesao.

Sesuai dengan petunjuk Maps, untuk menuju ke Fautusi harus berbelok ke kanan di pertigaan Oesao. Ada dua pilihan jalan yang bisa dipilih, tidak masalah mau yang mana karena keduanya akan mengarah ke desa Tesbatan.

Tiga jam duduk di atas motor tanpa berhenti dari Kota Kupang sampai ke Tanjung Fautusi dengan jalan yang 'sebagian besar' berupa aspal tak mulus jelas sebuah rekor tersendiri buatku. Yang pasti perjalanan itu telah berhasil membuat pantatku terasa kebas dan panas, bahkan aku merasakan sedikit rasa nyeri di tulang ekor. Padahal aku cuma duduk sendiri di atas motor yang tentu lebih leluasa dibanding Momon yang duduk diboncengan bareng Nelis.

Sisa akhir perjalanan ke Fautusi adalah melewati jalan kebun sampai turun ke sungai dan menyusuri jalur sungai sejauh tiga kilometer. Perjalanan dengan menyusuri jalur sungai inilah yang aku kuatirkan dari awal perjalanan. Selain kondisi sungai yang berupa pasir dan bebatuan, sungai ini juga rawan karena sewaktu-waktu bisa diluapkan oleh air. Apalagi jika sampai ada turun hujan di daerah hulu sungai.

Kendaraan berhenti di sebuah perkampungan kecil yang berisi beberapa rumah di pinggir pantai. Disitulah akhir jalan. Setelah kami minta ijin memarkirkan kendaraan, kami meneruskan perjalanan dengan menaiki bukit yang di belakang rumah warga. Kata salah seorang warga, ikuti saja jalan di sana karena tebing itu sudah pernah didatangi orang termasuk pernah digunakan untuk kegiatan off-road. Karena berpikir jalur jalannya sudah jelas, kami memutuskan untuk berjalan sendiri tanpa minta bantuan warga untuk mengantar.

Kejutan Tak Disangka
Ternyata perjalanan masuk tidak seperti yang kami duga, awalnya memang mudah mengikuti jalan hingga akhirnya semakin ke dalam jalan semakin tidak jelas. Bahkan kami benar-benar bingung saat jalan terhalang dengan sulur batang. Jika memang itu jalur jalannya seharusnya tidak ada batang sulur melintang di jalan. Jenis hutan terbuka seperti yang ada di pulau Timor memang kadang agak menyulitkan karena antara jalan dan bukan jalan kadang berbeda tipis.

Ini belum termasuk percabangan jalan yang tidak jelas. Kadang kami tinggal mengikuti jalur yang lebih terbuka jika antara dua cabang jelas terlihat perbedaannya. Tapi lebih sering kami harus menebak arah yang benar. Sampai akhirnya jalan makin tidak jelas sehingga aku dan teman-teman memutuskan naik ke salah satu bukit untuk memastikan keberadaan kami. Dan ternyata benar, kami salah jalan!

Pengalaman naik ke atas dengan memanjat tebing batu yang aku ceritakan di awal sebenarnya bukan salah satu kejadian tak terduga yang harus aku alami.

Saat pertama kali aku sampai di salah satu tebing, dikejutkan dengan badai yang tiba-tiba datang. Saat itu disisi utara langit langit masih cerah, namun sebaliknya di sisi selatan justru gulungan awan tampak menghitam. Dan benar saja, dari laut menderu angin yang sangat kencang. Bukan cuma menerbangkan pasir, ternyata angin juga menerbangkan batu-batu kecil. Kita bertiga bahkan berlari terhuyung-huyung saat lari kembali ke dalam hutan berharap pepohonan akan mengurangi kekuatan angin dibanding di tebing yang kering hanya ada pohon Lontar dan rumput kering.

Akhirnya kami berteduh disebuah bangunan kecil dari pohon lontar yang sudah lapuk dan ditinggalkan pemiliknya. Setelah memasang flysheet untuk menutup bagian atap yang bocor besar, hujan ternyata datang. Hujan di bulan begini? Ya, pada saat yang bahkan Kupang pun tak pernah terkena gerimis. Siapa yang menyangka bahwa di Fautusi akan turun hujan disertai angin kencang seperti ini. Sungguh aneh, dan sungguh suasana yang ada pada saat di tebing waktu itu terasa menyeramkan. Menunggu hujan reda, sambil beristirahat kami membuka bekal makan siang kami. Nasi kucing yang ternyata berisi nasi lebih banyak daripada lauknya terasa nikmat mengisi lambung. Dalam kondisi begini, makanan apapun akan terasa nikmat bukan?

Bahkan saat kembali hujan yang turun lebih kencang, walhasil kami berjalan beriringan dengan menggunakan flysheet untuk pengganti payung. Kami harus berjibaku dengan tanah liat yang memenuhi sepatu yang membuat langkah kaki menjadi lebih berat. Aku harus beberapa kali berhenti untuk membersihkan sol sepatu dari lumpur saking tebalnya lumpur yang menempel.

Informasi Lokasi
Tanjung Fautusi terletak di sisi Selatan pulau Timor yang letaknya berdekatan dengan Pulau Menipo (Kabupaten Kupang) yang berbatasan dengan Oetune (Kabupaten Timor Tengah Selatan) dengan jarak tempuh tiga jam. Waktu tempuh ini bukan karena faktor jauh, tapi lebih karena kondisi jalan yang membuat kecepatan kendaraan lebih rendah. Termasuk juga karena harus menyusuri alur sungai sejauh 3 km untuk ke lokasi.

Untuk menuju ke lokasi, dari perkampungan hanya bisa ditempuh jalan kaki melewati hujan terbuka dengan pepohonan yang tidak tertutup. Tidak ada papan petunjuk, setidaknya hingga saat ini. Untungnya aku mendengar dari teman yang sudah kesana baru-baru ini kalau jalan sudah dibangun sampai di pinggir hutan, jadi kita tidak perlu harus turun ke sungai untuk sampai Fautusi.

Meskipun begitu jika semua rombongan masih awam dengan lokasi ini, aku menyarankan menggunakan jasa pemandu dari warga sekitar yang sudah terbiasa kesini. Jangan hanya mengandalkan GPS, karena menurutku GPS tidak dapat diandalkan di tempat ini.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 10 November 2020

Bira Bergembira


Elemen air selalu memberi kesegaran dan mood booster yang sempurna. Mandi, berenang, ataupun hanya mendengarkan gemericik air dan deburan ombak sungguh menyenangkan. Pilihanku berakhir pekan adalah pergi ke Pulau Bira. Kebetulan perjalananku ke Pulau Bira ini diorganisir sebuah grup trip.  

Titik kumpul kami di Pelabuhan Muara Karang, Jakarta Utara. Kapal kayu milik nelayan setempat yang disewa sebagai sarana transportasi kami. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan ke Pulau Bira kami kadang memotret obyek foto yang menurut kami menarik. Namun jarak tempuh yang hampir 4 jam membuat aku mengantuk dan terlelap.

Aku terbangun saat sampai dermaga pulau. Tibalah aku di Pulau Bira besar dengan pasir putih yang cantik dan pepohonan teduh disepanjang pantai. Panitia segera membagi cottage/penginapan para peserta trip. Kebetulan saat pembagian cottage, aku mendapat cottage lumayan bagus. Rumah panggung kayu dengan kamar tidur yang dilengkapi AC, tempat tidur plus tirai kelambu pengusir nyamuk dan Kamar mandi yang ada bathtub shower-nya. Setelah pembagian cottage kami ke dermaga untuk snorkeling di sekitar Pulau Air sampai menjelang matahari terbenam.

Kecipak-kecipik suara hentakan kaki di air laut oleh mereka yang sedang berenang, snoorkling. Berenang-renang sambil bermain dan memberi makan remahan roti tawar pada ikan-ikan yang bersliweran kesana kemari. Ikan-ikan tipikal seperti dalam film animasi "Finding Nemo". Saat ikan-ikan berkumpul itulah momen yang tepat untuk memotret. Berfoto sambil berenang diantara ikan-ikan.

Kami telah sampai di dermaga Pulau Bira ketika matahari perlahan-lahan tenggelam. Pendaran warna merah jingga begitu menawan. Sunset selalu membuat sebuah hati mendadak romantis atau bisa juga menjadi mellow. Langkah kakiku pun menjauhi dermaga saat hari mulai gelap. Kegiatan malam diisi dengan makan malam bersama sambil memperkenalkan diri ke tiap peserta trip agar semakin akrab. Selepas makan malam lanjut tidur persiapan trip besok.

Rencana pagi-pagi aku ingin melihat matahari terbit. Lewat subuh aku bersama tiga orang teman, para perempuan berjalan menuju dermaga belakang. Aku pikir karena kemarin sore telah menikmati sunset jadi hari ini ingin menikmati sunrise. Kami Melewati rimbun semak belukar. Suasana masih gelap dan aku merasa ada yang memperhatikan dari arah semak-semak yang gelap itu. 

Jantungku berdegub kencang. Well, Something isn't right. Tetapi aku tidak bilang pada teman-temanku, khawatir nanti mereka panik dan histeris. Tiba di persimpangan kami bingung mau pilih jalan yang mana. "Balik ke cottage yuk!" Ajakku. Mereka pun langsung setuju.  Mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku. Akhirnya kami kembali ke cottage. Di cottage aku masih memikirkan siapa kira-kira yang memperhatikan kami tadi. 

Aku kembali lagi ke dermaga belakang menjelang pukul 5.30 pagi bersama teman-teman ketika suasana mulai terang untuk menyaksikan matahari terbit. Perlahan-lahan cahaya keemasan menyembul dari balik cakrawala. Memecah langit dengan kilaunya. 

Setelah sarapan kami ke Pulau Atol yang tidak jauh dari Pulau Bira. Pulau Atol bekas karang yang terkenal abrasi dan menjadi dataran Pulau dengan pasir putih yang cantik. Pantulan sinar matahari membuat pasir terlihat berkilauan seperti mutiara. Serasa berada di kepulauan Maldives. Tidak ketinggalan kami berfoto dan snorkeling disekitar Pulau ini. Wah ada yang dapat bintang laut hasil snoorkling. Jangan lupa untuk mengembalikan ke biotanya lagi. Sayang menjelang siang kami harus kembali ke Pulau Bira untuk makan siang dan persiapan kembali ke Pelabuhan Muara Karang.

Mau tahu dimana Pulau Bira? Pulau Bira masuk dalam kawasan konservasi Kepulauan Seribu dan masih wilayah Provinsi DKI Jakarta. Pulau Bira terbagi menjadi dua, Bira Besar dan Bira Kecil. Kebetulan aku bermalam dalam cottage atau rumah kayu di Pulau Bira Besar. Ada dua dermaga di pulau ini, dermaga depan ketika kapal/perahu pertama singgah dan dermaga belakang tempat perahu bersandar untuk kegiatan snoorkling. Dahulu Pulau Bira termasuk private island, pulau pribadi milik seorang pengusaha/konglomerat ternama negeri ini. Di masa jayanya dulu ada kolam renang, lapangan golf 9 hole, 20 cottage, dan helipad. Sekarang yang tersisa hanya 8 cottage dan Pulau Bira telah menjadi milik Pemerintah DKI lagi. 

Ada sebuah tulisan di artikel salah satu blog wisata yang mungkin menjawab pertanyaanku selama ini. Pulau Bira pada tahun 1869 pernah punya mercusuar yang dihuni keluarga Belanda. Namun tidak diketahui keberadaan mereka selanjutnya. Dari cerita para penduduk sekitar Pulau keluarga Belanda itu menjadi hantu. Mereka sering melihat penampakan pria berjenggot, anak kecil dan perempuan. Apakah mereka yang memperhatikan aku kemarin di pagi buta itu? Kalau benar itu mereka, jadi mirip cerita film liburan di Pulau berhantu, Spooky. Well, buat para adrenaline junkies yang ingin uji nyali, this is your turn guys!

Foto & tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 22 September 2020

Sunset di Tanjung Toda


Aku tak sanggup beranjak dalam takjub, malam bergerak dengan ditutup pertunjukan senja yang memukau. Awan jingga menyaput biru kelam langit. Sebuah pelepasan yang begitu manis meski segelas kopi panas tak ada dalam genggaman tanganku, sudah tandas beberapa menit yang lalu. Ah senja dan kopi tidak selalu bersama ternyata.

Dua Jam 'Tanpa Arah'

Tak ada niatan sama sekali ke tempat ini, waktu itu cuma terpikirkan mau jalan saja. Terus mikir mau ngajak siapa yang bisa diajak jalan 'dadakan' tanpa perlu direncanakan dulu. Jalan seperti ini memang biasa bagiku karena beberapa kali perjalanan yang direncanakan malah berakhir batal atau tertunda lama. Apalagi kalau merencanakan perjalanan dengan teman yang tidak biasa jalan, duh dari awal emang harus siap untuk batal. 

Berdua sama temanku, Sani - orang Yogya yang hobinya juga jalan gak jelas- kami berdua berboncengan ke arah Timur. Kemana? Masih belum jelas. Ada beberapa rencana tempat seperti ke Fatuleu, atau ke Lelogama, atau sekedar ke Bendungan Raknamo. Entah, semua ide bersliweran tapi seperti gak 'nyantol' sampai selepas Oelamasi baru kepikiran untuk coba menjelajahi wilayah Sulamu.

Aku sendiri lupa-lupa ingat apakah pernah pergi ke Sulamu atau tidak, karena kalaupun pernah mungkin itu tahun 2000-an dimana kondisi jalannya masih ampun-ampunan. Sekarang sih sudah jauh lumayan bagus. Jadi aku bisa sampai ke sebuah kawasan yang penduduknya sangat padat yang berada di ujung utara teluk Kupang. Sebuah dermaga rakyat dengan mercusuar menjadi penanda kawasan itu. Tempat ini mengingatkanku pada kampung orang Bajo atau Buton cenderung rumahnya berdiri rapat.

Di depan dermaga tampak sebuah pulau kecil yang diberi nama pulau Tikus. Kalian mungkin sudah tahu kenapa pulau itu diberi nama pulau Tikus, ya karena jika dilihat dari atas tampak seperti tikus dengan ekor putih. Ekor putih itu sebenarnya adalah pasir putih, cuma itu adalah gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah daratan berpasir yang hanya muncul saat laut surut. Pulau Tikus itu sebenarnya menarik perhatianku, bahkan seorang nelayan tua menawarkan untuk mengantarkanku ke pulau itu. Tapi dari kejauhan aku melihat pasir putih yang merupakan ekor pulau Tikus sedang tidak ada, yang artinya air sedang tidak surut. Dan satu lagi yang mengganggu, sepanjang pantai sampai ke pulau itu banyak botol mengambang yang artinya ada tanaman rumput laut. Artinya untuk pulau itu harus memutar perahu dulu tidak bisa tembak lurus langsung dari dermaga.

Karena tidak ada tempat yang tepat untuk melihat matahari terbenam, aku dan Sani meneruskan perjalanan ke arah barat melewati jalan kecil diapit rumah-rumah yang bersesakan. Membingungkan, aku bahkan harus bertanya beberapa kali untuk keluar dari kampung kecil ini. Jalan terakhir melewati jalan tanah di pinggir pantai, itu pun harus melewati lorong antar rumah yang sebenarnya bukan untuk motor.

Tanjung di Kecamatan Sulamu

Tanjung Toda, itu nama yang disebutkan oleh John. Pria berbadan kecil yang lebih sering menghabiskan hari-harinya di tempat ini mengurus rumput lautnya. Sebuah rumah beratap alang-alang pendek adalah tempatnya bermalam selama tinggal di sini. Kebetulan hari ini cukup banyak masyarakat yang berprofesi sebagai petani pembudidaya rumput laut yang memilih bermalam disini, bekerja sekaligus bersantai di hari libur.

Tanjung Toda ini namanya belum ada dalam pencairan google maps mungkin karena tak dianggap sebagai tempat wisata. Memang mungkin kurang cocok untuk menjadi tempat wisata karena sepanjang pinggir pantainya berupa batu karang. Ada pasir putih, hanya tidak lebar dan sebagian besar hanya muncul saat laut sedang surut saja seperti sekarang. Saat itu, pantai dapat digunakan untuk untuk mandi dan bersantai.

Di sepanjang jalur pantai Tanjung Toda banyak bangunan kecil beratap alang-alang yang digunakan oleh petani pembudidaya rumput laut, salah satunya John. Benar, sepanjang pinggir laut Tanjung Toda memang dipenuhi benda plastik minuman botol yang digunakan masyarakat untuk mengikat tali-tali yang dipasang rumput laut agar tetap mengambang di permukaan.

Sepanjang sore itu, beberapa pria dewasa tampak berjalan hilir mudik di laut yang airnya setinggi dada mereka. Mereka tampak menarik-narik sesuatu dari tali yang digunakan untuk mengikat rumput laut. Mungkin mereka sedang membersihkan rumput laut dari gulma/tanaman pengganggu. Sementara anak-anak yang kecil lebih banyak bermain di pinggir laut.

Rumput laut memang tampaknya telah menjadi mata pencaharian masyarakat Sulamu. Tanaman ini dibudidayakan di sepanjang pantai mulai dari dermaga perikanan Sulamu sampai ke Tanjung Toda ini. Alhasil, pemandangan botol-botol plastik mengambang menjadi pemandangan setiap hari di sini.

Sebuah Tempat Dimana Matahari Mengucapkan Selamat Malam

Ada daerah yang memiliki pantai dengan pasir putih yang tidak berada jauh dari tanjung Toda, tapi aku memilih tidak melihat sunset dari sana karena matahari tidak tenggelam di horison laut. Beda dengan tanjung Toda, karena matahari benar-benar tenggelam di horison laut. Di tanjung Toda ini, matahari selalu jatuh di horison laut apapun bulannya.

Siapa yang menyangka, tempat ini adalah tempat dimana matahari terbenam di laut yang akan selalu menyapamu. Tak banyak hiruk pikuk, karena hanya mereka petani rumput laut dan keluarganya yang menyapamu. Tak ada wisatawan yang suka memenuhi laut untuk menikmati senja yang kadang berisik dengan musik berdentam-dentam, dengan suara bass yang nyaris bikin copot jantungmu. Tidak, semua keriuhan semacam itu tidak ada saat ini. Hanya pekik teriakan anak-anak yang disahut oleh lengkingan balik burung-burung laut.


Kadang tempat yang tidak memiliki pasir pantai bisa begitu menyenangkan apalagi dengan begitu aku tak akan dipusingkan bahwa tempat ini akan didatangi banyak orang. Kupikir tidak, tempat ini tidak terlalu menarik untuk didatangi apalagi untuk wisata. Tapi bagi kalian yang ingin menikmati sunset, tempat ini bolehlah kalian kunjungi. Jangan lupa membawa kopi.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 06 Januari 2019

Kolam Air Asin Liang Rangko

Hawa pengap sebentar membuat tubuhku bersimbah keringat, kecuali tiga lelaki yang berendam di dalam kolam yang airnya sebening kristal. Air bening berwarna hijau kebiruan ini airnya asin karena berasal dari air laut. Bergantian mereka menaiki stalagmit yang tingginya sekitar satu setengah meter di pinggir kolam. Lalu diiringi teriakan dan sorakan teman-temannya mereka meloncat ke dalam kolam. Salah satu meloncat terlalu tinggi, nyaris saja kepalanya menghantam stalaktit. Untung dia keburu memiringkan kepalanya. Adegan nyaris celaka ini tentu saja mengundang reaksi lebih heboh dari teman-temannya.

Untung saat ini lokasi masih sepi pengunjung sehingga mereka bisa bersantai berenang, seperti juga aku dan Pepe yang juga mudah mencari sudut foto. Bedanya aku mencari sudut foto mengabadikan saat mereka melakukan loncatan-loncatan tadi, sedangkan Pepe khas anak muda mileneal yang ngerekam wajahnya sambil cuap-cuap. Aku dapat membayangkan seperti apa suasananya jika saja ada pengunjung lebih dari 20 orang masuk ke dalam gua, pasti pengap sekali.

Dia menunjukkan lengannya yang penuh goresan, saat kutanya kenapa tidak berenang. Katanya itu goresan saat dia naik motor ke Liang Cara. Tidak mengherankan, aku melihat dari cara Pepe naik motor yang mirip pembalap liar: kenceng sambil seneng slip-slipin ban. Bule ini emang kayaknya langganan celaka.

Aku saja akhirnya menyerah, seperempat jam kemudian aku keluar dari gua dengan kaos yang basah kuyup. Meninggalkan Pepe yang katanya mau berenang di sana tapi dari tadi mondar-mandir gak jadi berenang. Tumben si Pepe tahan di dalam gua tanpa berenang, batinku. Eh tak lama kemudian dia nongol keluar.

Liang Rangko atau Gua Rangko orang biasa menyebutnya. Gua ini tidak terlalu luas, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Gua Batu Cermin. Seperempat dari gua ini adalah kolam air asin itu. Untuk masuk ke dalam gua, ada sebuah tangga kayu untuk turun. Suasananya pagi sampai menjelang siang cenderung gelap. Tidak terlalu gelap, setelah kita masuk ke dalam gua tak lama kemudian juga mata kita bisa menyesuaikan. Yang sulit justru saat menggunakan kamera. Walaupun menggunakan ISO 3200 sekalipun, speed yang diperoleh untuk mendapatkan suasana gua tetap tidak lebih dari 1/25 detik. Kebayang kalau menggunakan kamera hape yang sensornya imut untuk memotret di gua ini. 

Pintu gua Liang Rangko menghadap ke arah Barat, jadi sebenarnya kalau mau mendapatkan view yang lebih nyaman sebaiknya datang setelah jam dua siang. Malahan kalau mau sore hari nanti pemandangan matahari menjelang terbenam bisa dinikmati di pinggir pantai. Di pinggir pantai? Jadi gua ini di pinggir pantai? Gak usah heboh begitu. Bukan cuma di pinggir pantai, pantai di Liang Rangko ini juga pemandangannya indah. Berpasir putih dengan air yang tenang dan tentu saja pemandangan matahari terbenam.

Perjalanan ke Liang Rangko
Berbekal motor hasil pinjam dari seorang teman, Minggu pagi aku berencana ke Gua Rangko setelah rencana mau nginep di pulau Padar gagal total. Pilihan Liang Rangko karena masih berada di satu daratan pulau Flores dan jarak tempuh yang 'katanya' tidak terlalu jauh. Petunjuknya sederhana saja, ikuti saja jalan baru yang menuju ke Tanjung Boleng. Tanjung Boleng itu adalah kecamatan yang letaknya di sisi Utara pulau Flores.

Awalnya aku gak tahu kalau untuk ke Liang Rangko harus menggunakan perahu. Waktu itu hanya diberitahu kalau jalan ke Liang Rangko sudah bagus. Dan memang, dari kota Labuan Bajo sampai ke desa Rangko bisa dibilang jalan mulus karena memang masih jalan baru. Satu-satunya jalan yang jelek adalah sepotong jalan sekitar 100 meteran di depan PLTMG. Ini bangunan pembangkit listrik PLN baru, katanya kapasitas listrik di tempat ini sekitar 20 MW, wah bakalan terang benderang tuh Labuan Bajo.

Sampai ke sebuah desa di wilayah Kecamatan Tanjung Boleng, ada sebuah papan petunjuk lokasi Liang Rangko di pinggir jalan mengarah ke sebuah gang kecil arah ke pantai. Aku pikir awalnya di pinggir pantai itulah ada gua Liang Rangko, eh ternyata salah. Rupanya papan petunjuk itu cuma tempat untuk sewa perahu sekaligus membayar tiket masuk. Selepas parkir di pinggir sebuah pohon beringin besar, aku diarahkan ke sebuah warung kelontong. Warung ini rupanya juga berfungsi sebagai tempat untuk membayar tiket masuk sekaligus sewa perahu.

Di dalam sudah ada seorang bule muda yang tadi aku menyebut namanya: Pepe. Pepe ini katanya berasal dari Spanyol, dia menyebutkan Barcelona kalau gak salah. Dia yang awalnya protes gak mau bayar apalagi waktu dia diminta bayar 50ribu sementara aku cuma 20ribu. Dia pikir mereka curang mau menipunya. Setelah ditunjukkan kalau memang tiket masuk antara wisatawan lokal dan mancanegara memang berbeda. Bule muda ini jadi satu-satunya temen sharing perahu yang sewanya 300ribu pulang-balik dibagi dua. Lumayan mahal karena jarak tempuhnya hanya 20 menit saja. Sebenarnya kalau berangkatnya ada 5-6 orang lumayan sih, jadi hanya kena biaya sewa antara 50-60ribuan.

Liang Rangko: Pantai dan Gua yang Ciamik
Ternyata perahu digunakan bukan untuk menyeberang ke pulau lain, melainkan menyisir pinggir pantai menuju ke arah tanjung. Kalau begitu kenapa harus pakai perahu?  Karena jalan menuju lokasi langsung belum ada. Jadi tanjung tempat Liang Rangko itu bisa dibilang masih kosong tanpa penghuni, dan akses jalan tentu saja.

Perjalanan menyusuri perairan dangkal membuat aku bisa mengamati kondisi sekitar tanjung yang lebih didominasi bukit-bukit karang tanpa pantai.  Perairan dangkal dengan pasir yang berwarna putih membuat air laut berwarna biru muda, cukup menyenangkan untuk dipakai berenang.

Pak Kahar, pemilik perahu yang aku tumpangi bareng Pepe menunjuk sebuah bangunan dermaga yang sedang dibangun. Dermaga itu sepertinya sudah hampir rampung itu menggunakan material kayu, cukup bagus untuk menjadi dermaga bagi wisatawan. Rupanya memang Liang Rangko sedang dibenahi supaya lebih menjual.

Perahu merapat ke pantai bukan ke dermaga karena belum selesai dibangun. Ternyata sudah ada beberapa petugas di sana. Aku baru paham, ternyata desa Rangko yang aku datangi bukan satu-satunya lokasi untuk membayar tiket masuk. Bagi wisatawan yang melakukan hoping island misalnya, mereka membayar langsung biaya tiket masuk di tempat ini.

Masuk akal mengapa Liang Rangko dikembangkan menjadi lokasi wisata. Karena selain keberadaan kolam di dalam gua, ternyata pantai di sekitar Liang Rangko juga indah. Mungkin di tanjung ini, itulah satu-satunya pantai yang memiliki pasir putih cukup luas. Pemandangannya cukup nyaman karena di halangi beberapa pulau karang kecil, membuat perairan di sana cukup tenang. Ditambah dengan posisinya yang menghadap barat, bagi yang bersabar bisa menikmati keindahan matahari terbenam di pantai ini.


Catatan:
  1. Jangan memaksakan masuk ke dalam gua jika sedang ramai. Daya tampung gua yang tidak terlalu luas sangat terbatas. Masuk lebih dari 20 orang saja akan terasa tidak nyaman. Tunggu saja di pantai yang pemandangannya juga tidak kalah indah. Kalau tidak berenang di kolam daya tahan seseorang di dalam gua tidak akan lebih dari setengah jam. Pengap dan panas coy.
  2. Biaya sewa perahu sekitar 300ribuan dengan daya muat sekitar 5-6 orang. Bagi pelancong sendiri seperti saya, alternatif untuk mendapatkan harga lebih terjangkau adalah jangan buru-buru, cari sampai ada rombongan lain sehingga bisa patungan biaya. Atau ikut nebeng bayar ke rombongan yang bisa diikuti. Cara ini efektif kalau sedang musim liburan, kalau bukan lagi musim liburan bisa-bisa kering nungguin perahu yang mau angkut rombongan hehehe.
  3. Alternatif lain, jangan berhenti di tempat yang ada papan petunjuk tapi lanjut terus sampai ke dermaga desa. Nah coba tanya-tanya untuk sewa perahu ke sana. Biasanya ada yang mau mengantar dengan perahu kecil. Jika beruntung kalian bisa mendapatkan sewa perahu sekitar 100ribuan.
  4. Di Liang Rangko ini informasi dari masyarakat diperbolehkan untuk menginap/memasang tenda. Namun perhatian semua perbekalan karena di sini jelas satu-satunya alat transportasi adalah perahu.
  5. Jika menginap di sana dan mau membuat api unggun gunakan kayu-kayu kering di sekitar jangan potong pohon. Kayu-kayu kering cukup banyak kok. Jangan merusak alam karena jumlah pohon di sana juga terbatas. Kalau mau lebih enak, prepare aja bawa kayu bakar dari desa terdekat.
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 14 Desember 2018

Lengkung Pasir Putih Tarimbang

pantai Tarimbang, Sumba Timur
Pasir putih memanjang, melengkung mengikuti lekuk teluk dan diapit dua bukit kapur tinggi di kiri dan kanan. Tempat ini mungkin salah satu yang boleh disebut sebagian traveller sesat sebagai "surga tersembunyi" yang mulai menunjukkan diri. Letaknya yang berada di sisi Selatan pulau Sumba membuat pantai cantik ini memiliki kelebihan yang membuat para pecinta pantai tak bisa berpaling. Dan salah satunya adalah ombaknya yang besar untuk para pecinta surfing.

Pantai yang Baru Terbuka Aksesnya
Setelah sekian lama hanya terjamah oleh para pecinta surfing yang mendatangi lokasi ini melalui jalur laut, akhirnya sekarang traveller yang ingin mendatangi lokasi ini lebih mudah menjangkau lokasi ini melalui darat. Sebuah jalan baru yang dibuat menembus hutan yang masih masuk kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah tiket murah menuju kesana dengan kendaraan, bahkan motor matik sekalipun.

Sebelumnya, duh lupakan deh kalau ke sana hanya pakai motor dan mobil biasa. Jalurnya bener-bener parah, minimal sekelas mobil dobel gardan atau motor trail yang bisa menjangkau daerah itu. Itu pun waktu tempuh dari Waingapu sampai ke pantai Tarimbang tak kurang dari 4 jam perjalanan. Namun sekarang, dengan menggunakan motor bebek saja bisa ditempuh sekitar 2 jam. Jalur jalannya sendiri tetap saja berkelok-kelok. Karena sebagian besar menyusuri punggungan bukit.

Perjalananku ke pantai ini yang kemudian membawaku mampir ke air terjun Laiwi yang aku tulis di sini: Sejuknya Air Terjun Laiwi. Jadi jika kalian mau ke pantai Tarimbang, jalur jalan dari kota Waingapu sampai ke pantai Tarimbang yang dapat kalian singgahi antara lain: bukit Wairinding dan air terjun Laiwi.

Praing Ngalung Spot, pantai Tarimbang
Apakah bisa mampir ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, kan dekat jaraknya ke Tarimbang? Aku pun sempat berfikir demikian. Jadi rencana awal, sebelum ke pantai Tarimbang aku mau mampir dulu ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti karena di sana juga ada air terjun 2 buah, Laindamuki dan Laiwangi. Kalau mau sedikit lebih jauh ada air terjun Laputi yang bagian atasnya terdapat sebuah danau yang dikenal keramat. Duh tapi lupakan taman nasional itu kalau hanya menggunakan kendaraan biasa. Walaupun secara jarak di peta itu tampak dekat namun kondisi jalan ke daerah itu masih bisa rusak. Aku sendiri belum pernah ke sana tapi informasinya sekitar 7 jam untuk sampai ke air terjun itu. Jadi bisa dibilang pantai Tarimbang ini yang sudah diperbaiki akses jalannya sementara lokasi lain masih belum.

Di titik yang dulu disebut jalur paling sulit karena kemiringan jalan yang tajam terdapat sebuah bangunan gubuk ilalang terbuka yang tertulis 'Praing Ngalung Spot". Pemandangan di depan bangunan itulah pantai Tarimbang yang berada di teluk. Kata seorang penduduk yang lewat, gubuk itu milik pak Marthen yang punya homestay di dekat sini.

Jalur setelah ini memang harus ekstra hati-hati, rem harus bener-bener pakem karena di jalur belokan pun kemiringannya tetap terasa. Untungnya jalannya sudah mulus beraspal. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana sulitnya medan ini saat masih berupa jalan batu.

Pantai Pasir Putih yang Memanjang
Sekitar jam setengah tiga aku baru sampai ke pantai Tarimbang. Walaupun di perbukitan banyak yang sudah gersang namun di pantai ini masih banyak tanaman yang hijau. Justru karena banyak pepohonan dan angin yang cukup kuat membuat suasana di pantai ini terasa sejuk.

View pantai Tarimbang
Untungnya pantai sedang tidak ramai, mungkin karena jaraknya jauh atau mungkin juga karena bukan hari libur. di sepanjang area, aku melihat hanya ada satu mobil Avansa yang berisi serombongan anak-anak muda. Sambil mencoba mencari tempat untuk beristirahat, mataku mencoba menjelajahi suasana di sekeliling tempat ini. 

Dari deretan pasir putih memanjang dan air laut yang berwarna biru kristal, pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah pohon berbatang putih satu-satunya yang 'nongol' di pasir pantai. Itulah pohon instagramable yang menjadi selalu masuk foto orang-orang yang berkunjung ke pantai Tarimbang. Dan sekarang, di atas pohon nangkring sesosok tubuh langsing dengan kulit putih bersih sedang berpose sementara temannya sibuk menjepretkan kamera ke arahnya. Angin laut kadang ikutan nakal menerbangkan kain yang melilit pinggangnya dan pemandangan selanjutnya bisa ditebak. Astaghfirullah... Alhamdulillah...

Setelah terlepas dari jerat pemandangan itu barulah aku kembali bisa menikmati keindahan pantai Tarimbang tanpa 'gangguan'. Aku dapat melihat gelombang besar di kejauhan yang memanjang. Sayangnya karena luas pantai dan waktu yang terlalu mepet, aku dan Imam tidak menjelajah dari ujung ke ujung. Padahal pemandangan tebing-tebing batu yang tampak tinggi menjulang di kejauhan sangat sayang dilewatkan.

Seorang bule yang berjalan dengan papan selancar datang menghampiriku. Ngobrol sebentar menanyakan apakah aku akan bermalam di sini. Mungkin karena dia melihat aku memasang hammock dan alat masak. Dia sendiri rupanya menginap di sini namun tidak tinggal di homestay atau rumah penduduk melainkan di atas kapal. Dia menunjuk ke sisi timur di mana tampak sebuah perahu di kejauhan. Duh enaknya yang punya perahu buat melancong.



Ternyata perkiraanku salah, karena pantai ini terletak di antara dua bukit tinggi jadi matahari tenggelam di balik bukit sebelah kanan. Mungkin lain kali aku harus naik ke salah satu bukit dan menginap di sini untuk mendapatkan pemandangan matahari terbit dan terbenam di pantai Tarimbang.

Catatan untuk yang ingin ke pantai Tarimbang:
  1. Bawa bekal makanan dan minuman yang cukup karena di lokasi belum ada penjual makanan/minuman. Namun jika membawa bekal makanan yang harus dimasak terlebih dahulu menggunakan kayu pilih-pilih lokasi yang aman karena angin yang lumayan kencang. Jangan tebang pohon, banyak kok kayu kering di sekitar yang bisa dipakai. Tapi setelah acara bakar-bakar jangan lupa untuk dibersihkan.
  2. Sebaiknya membawa plastik supaya bisa membawa kembali sampah yang kalian bawa karena disini belum ada bak/tempat pembuangan sampah. Lagian membawa sampah kembali jauh lebih bagus untuk membuat tempat ini tetap bersih. Apalagi sampah plastik, kalau tidak bisa menghindari ya bagusnya dibawa kembali.
  3. Jika mau menginap ada homestay milik pak Marthen tapi aku sendiri tidak tahu rate-nya. Silahkan googling aja. Alternatif lain ya nenda di pantai Tarimbang. Aman? Aman saja kok, setahuku masyarakat Sumba Timur sangat welcome. Bagaimana dengan air? Jarak dari pantai ke pemukiman terdekat tidak terlalu jauh kok jadi bisa mengisi air di pemukiman sekalian minta ijin.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 31 Oktober 2018

Mekko: Asa Dari Laut

Jump!! Meloncat dari perahu ke dalam Kolam raksasa | WWF Indonesia
Sudah dua malam aku menginap di rumah pak Jabar, dan selama itu pula aku merasakan sedikit menjadi orang Mekko. Setidaknya aku sudah tidak mandi dua hari ini hahaha... tidak usah terlalu melankolis, Nisa yang menjadi satu-satunya cewek dalam rombongan kami saja juga sukses tidak mandi. Yang para lelakinya gak usah ditanya lah. Kami kebetulan menjadi volunteer dari WWF untuk membantu masyarakat Mekko mengabadikan keindahan Taman Laut Mekko. 

Pak Bakri yang menjadi leader di Bangkit Muda-Mudi Mekko
Ada banyak cerita yang akan kami dengar hari ini: utamanya dari mereka yang sekarang tergabung dalam kelompok Bangkit Muda-Muda Mekko. Kelompok yang digawangi pak Bakri ini awalnya berangkat dari kelompok sepak bola di kampung Mekko. Tiap tahun mereka akan bertanding, kesulitan pertama adalah mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan mereka. 

Dari kelompok yang semula hanya berurusan bagaimana mencari dana untuk kegiatan sepak bola mereka, menjadi upaya mereka untuk dapat membuat pendanaan mandiri. Dan mata mereka melihat lebih jauh dari balik kampung ini. Mereka tinggal di tempat yang dikaruniai banyak potensi yang bisa mereka garap. Dan mereka yang menjadi pemilik dari semua keindahan itu hanya menjadi penonton selama ini. 

Ya, terbatasnya akses ke kampung mereka membuat masyarakat Mekko tidak bisa mengharapkan wisatawan yang berkunjung ke Mekko mendatangi kampung mereka. Itu baru masalah akses jalan dan alat transportasi, masalah utama yang mereka lawan justru dari kampung mereka sendiri. Menyadarkan nelayan untuk menghentikan penangkapan hiu adalah salah satu upaya tak mudah yang mereka lakukan. Upaya mereka untuk terlibat dari manfaat ekowisata laut Mekko bukannya jalan cepat, tapi jalan panjang yang harus mereka lalui beberapa tahun ini. 

Salam hiu dari Bangkit Muda-Mudi Mekko
Jauh sebelum upaya ini, dulu mereka juga bermasalah dengan penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan. Memang sekarang sudah tidak ada yang melakukannya lagi karena mereka sudah tahu kalau hal itu masuk kejahatan yang dapat dipidana. Namun sebagian terumbu karang di Mekko telah terlanjur hancur.

Dan saat ini adalah gong pertama yang mereka tabuh untuk memperkenalkan bahwa dari kampung ini telah siap orang-orang untuk memandu para wisatawan yang ingin menikmati keindahan Mekko. Leaflet tentang Muda-Mudi Mekko bisa klik disini.

Sebenarnya di Mekko tidak hanya bicara tentang gosong pasir yang putih menawan ataupun terumbu karangnya, atau tempat-tempat yang akan menghasilkan foto-foto yang 'instagramable'. Tidak seluruh yang indah dan menarik difoto kawasan Mekko bisa didatangi begitu saja oleh wisatawan. Ada beberapa tempat yang membutuhkan perlakuan khusus seperti kawasan anakan hiu, misalnya.  Ini beberapa destinasi yang ada di Mekko:


Pulau Pasir Putih 
Gosong pasir di Mekko yang ada hanya air, pasir putih dan langit
Ini adalah destinasi pertama yang paling dikenal masyarakat luar tentang Mekko. Ada yang menyebutnya gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah untuk pulau pasir yang muncul saat laut surut. Namun memang gosong pasir di Mekko ini tidak benar-benar hilang walau saat puncak pasang, hanya saat pasang tinggi sekali saja seluruh pulau akan hilang. Jika pasang biasa, umumnya tidak seluruh gosong pasir ini hilang. Jadi gosong apa pulau? Ah, entahlah. 


Karena berupa gosong pasir, tentu saja seluruh kawasan ini berupa pasir putih saja di tengah laut dikelilingi warna air tosca dan kawasan terumbu karang di sekitarnya. Jika berkesempatan, para wisatawan bisa melihat kawanan burung yang memenuhi gosong pasir ini. 

Keindahan kawasan ini jempolan, terbukti daerah ini sering didatangi kapal wisata dan wisatawan asing. Wisatawan lokal lebih jarang karena faktor transportasi menuju ke tempat ini. Tentu keberadaan pemandu wisata lokal dari Mekko bisa membantu wisatawan menjadi lebih mudah menjangkau tempat ini. 

Di sebelah pulau pasir ini terdapat pulau Keroko yang katanya jika puncak surut dapat dilewati dari pulau Pasir Putih ke pulau Keroko. Sebenarnya di sekitar pantai ini pernah menjadi kawasan terumbu karang yang indah, namun sepertinya harus menunggu lebih lama sebelum kalian bisa menikmati terumbu karang di sekitar gosong pasir.

Kolam Renang Raksasa 
Kalau sudah masuk ke dalam jadinya lupa diri
Jangan bayangin ada yang bangun kolam renang di Mekko ya.. istilah kolam renang raksasa ini karena di tengah laut di depan pulau Keroko terdapat sebuah perairan luas yang dangkal dengan pasir putih rata. Jadi jika berada di sana serasa masuk di kolam renang yang besar. Kolam renang raksasa ini paling enak dinikmati bersama keluarga karena umumnya berombak tenang dan tentu saja tidak dalam. Bahkan pada saat puncak pasang sebagian besar perairan ini kedalamannya tidak lebih dari dua meter. 

Betah berendam di sini karena tidak kuatir tenggelam atau kaki terinjak karang. Hampir seluruh kawasan itu hanya berupa pasir putih saja, jadi tidak perlu kuatir kaki terluka karena menginjak karang yang tajam atau terkena bulu babi. Cerita tentang binatang ini, dulu aku pernah merasakan tertusuk durinya. Duh rasanya pegel gak ilang-ilang, jauh lebih pegel daripada nungguin bini belanja muter-muter di toko hahahha.

Hanya saja kadang-kadang dari batas kolam suka ada hiu yang lewat. Tapi tak usah kuatir, umumnya hiu di kawasan itu bukan tipe agresif yang menyerang manusia. Kadang kala beberapa hiu yang masih kecil yang lewat, tapi kemarin sempat lihat juga hiu yang sudah cukup besar lewat di pinggir kawasan ini.


Terumbu Karang Mekko 
Dengan kondisi perairan seperti Mekko ini, tentu saja keberadaan terumbu karang yang indah bukan hal yang mustahil. Dan di Mekko ini ada beberapa spot yang menawarkan keindahan terumbu karang. Ada spot terumbu karang yang cocok dengan snorkeling terutama yang kedalamannya di bawah tiga meter, dan ada spot terumbu karang yang lebih cocok untuk diving yang kedalamannya lebih dari tiga meter. 

Dulu kalau berniat ke Mekko untuk menikmati pemandangan terumbu karangnya, mau gak mau harus membawa peralatan sendiri. Inilah salah satu yang ditawarkan dari pemandu wisata dari Bangkit Muda-Mudi Mekko, mereka juga menyiapkan peralatan snorkeling lengkap sehingga wisatawan tidak perlu membawa peralatan sendiri. Oh iya ada pelampung juga terutama buat yang tidak bisa berenang, jadi walau tidak mahir berenang tetap bisa menikmati keindahan terumbu karang. Rugi lho kalau ke Mekko gak bisa menikmati keindahan terumbu karangnya. 

Kalau untuk yang berencana diving, memang tetap harus menyiapkan peralatan sendiri karena dari kelompok saat ini belum memiliki peralatan untuk diving. Mungkin saja mereka suatu saat nanti siapa tahu mereka dapat berkembang lebih jauh untuk menyediakan peralatan diving. 

Kawasan Anakan Hiu 
Ada kawasan yang menjadi habitat tempat tumbuhnya anakan hiu. Sebenarnya kawasan ini bukannya tempat wisata, jadi memang yang berniat untuk ke tempat ini harus dengan pemandu yang memahami karakter kawasan ini. Jika wisatawan dibiarkan ke tempat ini tanpa arahan, maka justru wisata akan berubah menjadi ancaman bagi keberlangsungan ekosistem di kawasan ini. 

Jadi untuk lokasi ini, wajib hukumnya menggunakan jasa pemandu, agar wisatawan tidak melakukan sesuatu yang kontraproduktif dengan tujuan wisata itu sendiri. Tentu saja, pemandu yang diperbolehkan seharusnya juga yang telah memahami benar bagaimana memperlakukan kawasan ini. Untungnya para pemandu wisata di Mekko telah dibekali kemampuan memandu di kawasan itu. 

Namun begitu, tetap diperlukan campur tangan pemerintah untuk bisa menetapkan area habitat anakan hiu ini sebagai kawasan konservasi sehingga wisata di tempat ini dibatasi sehingga mengganggu perkembangan habitat anakan hiu tersebut. 

Aku jadi teringat bagaimana susahnya perjalananku pertama ke tempat ini. Waktu itu aku hanya sampai di Waiwuring saja karena akses ke desa Pledo yang tidak dapat dilewati pada musim hujan. Dengan perahu laut dari Waiwuring kami menempuh perjalanan ke pulau Mekko selama satu jam-an. Aku hanya mengunjungi tempat-tempat wisatanya dan tidak berkunjung ke kampung Mekko. 

Dan kini, aku di atas mobil pickup yang mengantarkan kembali ke Larantuka. Kembali melewati jalanan yang langsung tertutup debu begitu roda mobil menggilasnya. Namun sekarang jauh lebih lebih baik, ruas jalan telah diperlebar. Akses jalan ke tempat ini sebentar lagi semoga akan bagus. Ada informasi katanya setelah pelebaran akan dilanjutkan dengan pengaspalan. Semoga...

Duh, aku akan merindukan tempat ini. Mungkin saat kembali ke sini aku tidak akan menemukan nikmatnya tidak mandi selama tiga hari. Juga nikmatnya hidup tanpa melihat smartphone yang sinyalnya susah dicari karena terlalu sering berlari. Juga menikmati perjalanan melibas debu tanah dengan mobil pickup di bawah terik matahari. Tak apalah, saat semua akses itu ada, kesempat mereka untuk menikmati air untuk mandi, sinyal untuk menelepon... dan aku kembali mencari tempat susah sinyal untuk didatangi. 

Om Ayom yang kalau sudah petik gitar suka lupa diri
Mekko telah jauh meninggalkan kami, tersamar pandang oleh debu tanah yang tergilas roda. Namun keindahannya dan keramahannya tak pernah hilang. Bait-bait syair yang didendangkan om Ayub di pinggir pantai tentang Mekko kembali terdengar: 

Ayo ke Mekko.. 

Mekko di Pledo 
Pulau Pasir di Mekko .. 
Habitat Hiu di Mekko 
Terumbu karang terjaga 
Hamparan bakau terjaga 
Begitu indah alamnya, menenangkan jiwa 

Ayo ke Mekko 

Pulau kalong di Mekko 
Jingga senja menawan 
Menikmati alamnya bersama-sama penghuninya 

Alam Mekko yang indah 
Kami selalu menjaga 
Demi generasi kita 

Ayo bersama jaga Ayo ke Mekko..  Mekko di Flotim 

nb. Terima kasih untuk temen-temen yang bersama-sama berbagi cerita yang tidak pernah terlupakan tentang rasanya tidak mandi, tidak pake hape dan makan nasi pake kopi: kang Tardi Sarwan dan blognya Bentang Alam Semesta, Nisa Syahidah, pungga telusuri.id yang always selalu berkaos merah om Syukron, dua videografer yang bersedia foto 'nude' Yanuar dan Chafiz 
Sebagian foto yang bukan milik sendiri telah mendapatkan persetujuan WWF Indonesia untuk digunakan di tulisan ini.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya