Om Robby duduk di sebuah pokok pohon mati berselimut sarung menunggu kami yang duduk mengatur napas. Perjalanan selama 1 jam 20 menit di pagi buta dengan kondisi angin yang cukup kencang gagal membuat kami berkeringat. Aku yang tidak pernak merokok sampai meminta sebatang rokok ke Imam untuk membantuku mengurangi rasa dingin. Kami masih terselamatkan karena tidak ada hujan semalam. Jalanan tanah yang berlubang-lubang besar bekas ban mobil off-road akan menjadi kubangan air jika sampai hujan turun.
"Nature's beauty is a gift that cultivates appreciation and gratitude" ---Louie Schwartzberg
Pagi di Padang Sabana
Kami tepat keluar dari hutan dan menginjak padang sabana pertama Gunung Mutis saat matahari mulai keluar dari ufuk timur. Sayang pemandangan padang menghijau itu sebentar muncul sebentar hilang terhalang oleh awan-awan rendah yang bergerak begitu cepat.
Kami duduk beristirahat di sebuah bukit terbuka yang dipenuhi rerumputan hijau pendek rapi layaknya perbukitan-perbukitan di padang golf. Matahari yang sudah naik sepenggalan masih belum mampu mengusir rasa dingin di padang sabana ini. Tapi setidaknya berjalan selama satu jam-an lumayan membuat badan lebih hangat. Jelas perjalanan untuk mengejar matahari di puncak Mutis sudah gagal sehingga kami memutuskan untuk bersantai di padang sabana.
Sebelum kembali kami sempatkan turun ke sebuah aliran sungai kecil yang airnya super duper bening. Botol-botol air dengan segera terisi, termasuk tenggorokan kami dengan air yang segarnya mengalahkan air minum dalam kemasan.
Kami beruntung, bulan April ini beberapa pohon sedang bersemi. Pohon santigi sedang bersemi, pucuk-pucuk daun berwarna merah memenuhi ujung dahannya. Pohon santigi jenis ini mengingatku pada walpaper pepohonan di Jepang yang daunnya berwarna merah, hanya Santigi ini berwarna merah di bagian pucuknya saja. Tapi Santigi ini tak kalah indah, pohonnya yang meliuk-liuk adalah bonsai alam terbaik. Apalagi disini, pohon Santigi dipenuhi dengan lumut dan tanaman-tanaman yang tertempel di sekujur batangnya.
Tidak beruntungnya, kami tidak menemukan banyak ternak yang mampir ke padang sabana. Hanya serombongan sapi dan kuda yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh ekor masing-masing. Entah karena sedang banyak angin, entah karena sedang dikandangkan pemiliknya. Padahal kalau melihat setiap meter pasti kami menemukan kotoran sapi atau kuda yang sudah mengering.
Ada dua padang sabana di gunung Mutis, padang sabana pertama berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari benteng dua putri. Titik akhir yang dapat dijangkau motor kami. Padang sabana kedua yang ukurannya lebih kecil hanya berjarak 20 menit perjalanan dari padang sabana pertama.
Di padang sabana kedua yang berada di ketinggian hampir 2000 mdl itulah, tempat yang tepat untuk melihat puncak gunung Mutis. Di sebelah barat daya, tampak puncak mengerucut yang ternyata gunung Timau. Ah baru kutahu, kalau puncak gunung Mutis dan gunung Timau itu sebenarnya berdekatan.
Berjibaku dengan Dingin di Fatumnasi
Angin berkesiur tak karuan, suaranya bergemuruh tak henti-henti. Pukulan angin di tenda meninggalkan suara berderak-derak selaksa ingin menerbangkan tenda beserta isinya. Pasak-pasak yang kutancapkan di bawah Benteng Dua Putri untungnya cukup kokoh menahan tenda tetap tertahan di tempatnya. Padahal kami sudah memilih memasang tenda di tempat yang cukup terlindungi dari angin. Di sisi barat dan timur ada batu karang tinggi yang oleh masyarakat sekitar disebut dengan Benteng Dua Putri.
Tak heran jika tidak ada yang berminat berlama-lama di depan api unggun seperti biasa jika kami kemping. Angin terlalu dingin untuk kami lawan. Tak lama setelah selesai makan, satu demi satu dari kami masuk ke dalam tenda hingga menyisakan pak Robby sendirian di depan api unggun.
Aku berusaha membungkus kakiku yang terasa dingin dengan sleeping bag, tak mempan! Suhu hari ini pasti di bawah 15 derajat celsius dan sialnya aku tak mengenakan kaos kaki. Keputusan yang salah besar, yang membuatku tidak bisa memejamkan mata semalaman. Aku bahkan kuatir akan mengalami hipotermia jika terus menerus seperti ini. Aku jadi menyesal tidak membawa kaos kaki dan kaos tangan.
Om Robby yang biasanya bisa tidur di luar dengan hanya berselimut sarung tenung di depan api unggun pun kali ini menyerah. Angin yang terus bertiup memang membantu api terus membara memakan pokok kayu yang sudah tumbang lama. Namun rasa dinginnya jadi menyusup ke seluruh tubuh. Om Robby akhirnya masuk ke dalam tenda bergabung denganku. Itupun dia tetap meringkuk kedinginan dalam bungkusan sarung.
Jam dua om Robby kembali bangun dan keluar tenda. Dari suara keributan di luar tenda aku perkirakan kalau om Robby sedang mencari kayu-kayu kecil untuk membuat besar kembali api unggun. Mungkin dia sudah tidak tahan harus bergelung dalam dingin di tenda. Kesempatan itu aku pakai untuk menarik sebagian sleeping bag untuk menutupi kakiku. Yah walau tidak membuat aku jadi merasa hangat dan bisa tidur setidaknya rasa dingin di kaki terkurangi.
Perjalanan ke Gunung Mutis
Bisa kemping di Mutis seperti sebuah pencapaian baru bagiku setelah kegagalanku rencana kempingku pertama kali kemari. (baca tulisanku sebelumnya di sini). Bukan obsesif sih cuma godaan kemping itu terus terngiang-ngiang di kepala tidak mau hilang.
Aku, Imam, Daud dan Rama berkendara sendiri-sendiri. Kami merasa aman untuk naik motor masing-masing karena kondisi medan yang kurang mendukung untuk berboncengan plus masing-masing membawa tas ransel besar. Lagi pula, jika ada masalah di salah satu motor kami, kami masih punya alternatif motor lain yang tidak bermasalah.
Ada insiden saat masuk ke Fatumnasi karena Daud sempat terjatuh dan tertimpa sepeda motornya saat berada di jalan tanjakan menuju ke Bukit Usapikolen. Tanjakan itu memang agak parah kondisinya baik yang dari dan ke Bukit Usapikolen. Untungnya tidak sampai luka, cuma mungkin setelah balik ke rumah baru rasain ngilu-ngilu. Biasanya begitu kalau sampai jatuh motor walau secara kasat mata tidak terluka.
Dari Kupang jam 8 pagi, kami baru sampai ke Fatumnasi sekitar jam 3 sore. Yang kami tuju seperti biasa adalah rumah pak Anis. Sayangnya pak Anis sendiri sendiri sedang sakit, katanya sudah beberapa hari ini demam jadi besok mau cek ke Puskesmas. Awalnya pak Robby sendiri tidak bisa ikut karena mau ke kantor desa untuk urusan pencoblosan. Namun karena tidak ada yang menemani kami, jadilah pak Robby memutuskan ikut dengan kami.
Setelah menandaskan segelas kopi yang disajikan di rumah pak Anis, kami langsung berangkat lagi dengan motor ke dalam kawasan hutan Mutis. Targetnya malam ini kami harus mendapatkan tempat untuk kemping.
For your information:
- Jalan dari Kapan sampai ke Fatumnasi banyak yang sudah diperbaiki, belum beraspal tapi sudah ditambah tanah putih sehingga jauh lebih mendingan. Motor matic sekarang bisa sampai ke Fatumnasi. Yah sedikit perjuangan ada di tanjakan sebelum dan sesudah Bukit Usapikolen yang batunya masih tinggi.
- Jika berencana ke puncak atau minimal sampai ke padang sabana sebaiknya gunakan guide karena tidak ada petunjuk jalan di dalam hutan Mutis. Jika mau ke puncak gunung Mutis jangan lupa bawa sirih pinang, karena serahkan ke guide-nya masalah penggunaannya. Ini bukan masalah kepercayaanmu, tapi menghormati adat dan kebiasaan setempat.
- Ada satu homestay disana yang dikelola pak Matheos Anin, biasanya bule-bule suka menginap disana. Aku sendiri lebih sering kontak ke pak Anis kalau ke Mutis. Ya dua-duanya oke saja, nanti mereka bisa menemani atau meminta orang untuk menemani kita.
- Perhatikan cuaca dan waktu kedatangan. Imam dulu pernak ke Mutis bulan Juni-Juli dan untuk sampai ke puncak sepanjang jalan cuma disuguhi pemandangan kabut, hujan dan kabut, dan endingnya ya berkubang dengan tanah.
- Persiapkan kendaraan sebaik-baiknya, tidak banyak yang bisa diharapkan kalau sampai ada masalah dengan kendaraan kita. Mungkin beberapa suku cadang yang kita tahu suka bermasalah dengan kendaraan kita sudah disiapkan.
Tim MLAKU kali ini, aku ditemani oleh:
- Si Imam anak boncel, suka mencuri ketimun. Ayo lekas di kurung, jangan diberi sarung. ig: @mimamarifw
- Ramadana, satria baja hitam yang baru saja ditugaskan di Kupang. ig: @nashrulummam
- Daud yang jika naik motor serasa jadi "Dilan 1990", namun saat jatuh dari motor jadi "Dilanda Masalah" ig: @daudgb
Baca keseluruhan artikel...
"Anak dari mana?" Pertanyaan pertama itu yang diajukan ibu pemilik warung saat kami mampir di warungnya. Dari Fatubraun bu, jawab kami.
"Oh, mancing di laut?" Ibu itu coba memperjelas, sambil memberikan minuman yang kami pesan. "Bukan, menginap di Fatubraun"
"Rumah yang di bawah," Ada keraguan dalam pertanyaannya, iya sepertinya merasa aneh dengan jawaban kami.
"Bukan, kami menginap di atasnya" Tanganku menunjuk ke arah bukit Fatubraun.
"Wii, betul di sana?"
"Mama saja lewat di jalan pas sore saja masih merasa merinding. Kalau masih bisa lewat jalan lain lebih pilih jalan lain. Jadi anak bertiga benar-benar menginap di sana?" Nadanya masih terkesan ragu bahwa kami tadi malam benar-benar menginap di atas bukit Fatubraun.
|
Rumah di bawah bukit Fatubraun |
Aku pernah ke Fatubraun beberapa minggu sebelum yang aku tulis disini: Fatubraun, Melihat Pantai Selatan dari Atas. Tapi waktu itu bisa dibilang hanya sebatas mampir saja setelah menginap di Pantai Tebi. Jadi waktu ke Fatubraun hanya beberapa jam saja. Berbeda dengan perjalananku bareng Adis dan Imam kali ini yang memang diniatkan buat nenda di atas sana.
Lama gak keluar buat jalan-jalan memang bikin badan pegel semua. Pas waktunya mereka berdua gak lagi keluar tugas, ya udah aku ajak mereka naik ke Fatubraun buat nenda. Karena waktu pertama kali ke tempat itu, menuruku lokasinya bagus untuk mengambil pemandangan matahari terbit. Tapi kita juga bisa mengambil foto pemandangan matahari terbenam, hanya kita harus naik ke arah puncak tertinggi di sisi barat. Tapi itu pun matahari terbenamnya di balik perbukitan lain, bukan jatuh di laut.
Persiapan Ala Kadar
|
Menjelang malam di Fatubraun |
Persiapan buat nenda udah disepakati cuma apa yang dibawa belum disepakati. Kita memang seperti itu, gak pernah mau ribet mikir apa yang mau dibawa atau disiapin. Pokoknya ya nanti deket-deket jalan baru atur. Kata Imam sih kalau terlalu banyak perencanaan lebih sering gagal. Sayangnya, Al sama Trysu yang aku ajak naik ke Fatubraun pertama kali justru lagi tugas keluar.
Untuk tenda, aku sama Imam memilih membawa tenda single layer yang cuma muat buat dua orang. Pertimbangannya sih karena bukan musim hujan jadi kecil kemungkinan kita menginap di dalam tenda. Aku sama Imam nyaris gak pernah menginap di dalam tenda kecuali waktu ada hujan. Jadi tenda biasanya lebih banyak dipake untuk mengamankan tas saja. Hanya untuk jaga-jaga aku tetap membawa flysheet kalau tiba-tiba cuaca tak terduga seperti yang aku alami saat nenda di Pantai Tebi.
Karena tujuannya cuma satu tempat dan dilanjutkan nenda, jadi kita bertiga memilih berangkat siang selepas jam tiga. Cukup dengan dua motor, dan karena aku yang naik motor sendirian jadi seperti biasa kebagian yang angkut semuanya.
Nenda di Puncak
Aku sendiri awalnya menawarkan buat memasang tenda di bawah di area parkiran saja yang lebih teduh suasananya, ini juga udah aku tulis di postingan sebelumnya. Pertimbanganku karena di bagian atas tempatnya langsung berhadapan dengan dinding jurang yang tentu lebih berbahaya. Cuma Imam dan Adis maunya sekalian nenda di atas saja. Ya udah, aku ngikut saja keinginan mereka. Enaknya sih kalau nenda di atas tentu lebih gampang untuk menikmati matahari terbit dibandingkan di bawah yang tertutup dengan pepohonan.
Awalnya Adis gak percaya kalau ke Fatubraun itu nanjaknya cuma sedikit, dia pikir dengan pemandangan tebing batu yang tampak jauh lebih terjal dibanding Fatuleu. Padahal beneran ke bukit Fatubrau gak sesusah dan semenantang naik ke Fatuleu. Baru setelah 10 menit udah sampai dia percaya kalau memang gak terlalu susah naik ke atas Fatubraun. Tapi tetap saja ada adegan keringetannya lha naik ke atas pake jaket.
Dari semua pilihan tempat akhirnya Imam memilih memasang tenda di pinggir jalan masuk dalam hutan, tidak masuk ke dalam hutan seperti saranku. Imam sengaja memilih tanah datar yang banyak rumput supaya agak empuk buat tidur. Hanya memang jadi terbuka, yang akan terasa sekali jika ada angin kencang.
Tenda baru aku pasang sekitar jam enam setengah enam sore setelah rombongan wisatawan terakhir pulang. Seingatku rombongan terakhir turun sebelum jam lima sore. Untuk informasi, bukit-bukit batu di sini rata-rata masih digunakan untuk pemujaan. Ada keyakinan kuat dari masyarakat Timor tentang kekuatan yang tidak kasat mata yang tinggal di bukit batu seperti ini. Jadi wisatawan yang berkunjung rata-rata sudah turun dari bukit sebelum malam. Itu salah satu sebab jarang yang memotret waktu terbaiknya di bukit seperti ini.
****
Bicara tentang kekuatan tak kasat mata di bukit Fatubraun ini, aku teringat cerita tentang kasus lama yang diceritakan masyarakat. Seorang mama tua pernah bercerita bahwa di atas bukit itu dulunya ada batu besar yang membentuk kepala orang. Masyarakat di Amarasi walau sudah memiliki agama namun masih kental dengan kebudayaan leluhur, salah satunya pemujaan kepada gunung/bukit-bukit besar. Sehingga pada saat-saat tertentu, masyarakat tetap membuat upacara dan memberikan persembahan di sana. Ada tim doa yang tidak suka dengan kondisi ini dan menyalahkan keberadaan bukit batu itu sebagai penyebab perilaku syirik di masyarakat.
Hingga suatu ketika diputuskan untuk menghancurkan batu-batu besar yang ada di sana. Rombongan naik ke atas dan menghancurkan beberapa batu terutama yang berbentuk kepala manusia supaya tidak digunakan lagi untuk pemujaan. Mereka memang berhasil menghancurkan bukit batu itu. Namun hal buruk terjadi setelah itu. Konon katanya satu demi satu orang yang menghancurkan bukit itu meninggal dengan berbagai macam cara.
****
Malam itu aku batal memotret milkyway seperti yang aku rencanakan karena langit yang ada awan walau tidak terlalu tebal. Dan terutama juga adanya bulan yang mendekati purnama. Entah aku yang makin bodoh, aku tidak menggunakan aplikasi seperti biasanya untuk mengecek posisi dan penampakan bulan. Biasanya aku selalu menggunakan aplikasi untuk mengecek posisi dan penampakan bulan dengan aplikasi yang selalu ada di hape android-ku.
Justru malam itu kita membuat foto-foto yang super duper gak jelas. Ya tapi lumayan buat asyik-asyik saja sih. Lumayan lah, setidaknya ada satu properti lampu flip-flop semeter yang cukup asyik buat bikin eksperimen foto bareng mereka berdua.
Matahari Terbit Tidak dari Horison Laut
Pagi-pagi aku terbangun, udah agak telat sebenarnya. Setengah enam pagi, langit udah agak terang. Cuma mereka berdua masih asyik meringkuk dalam selimut masing-masing. Adis ngorok di dalam tenda, sedangkan Imam bergulung dengan sleeping bag-nya di dekat nyala api unggun yang tinggal onggokan bara kecil.
Setelah memotret disekitar tenda, aku berencana memotret dari atas bukit sisi barat yang lebih tinggi. Ya udah, aku ke tenda untuk membangunkan Adis yang katanya tadi malam minta dibangunkan untuk ikut motret matahari terbit. Tapi membangunkan Adis kali ini lebih susah, rupanya dia terlalu lama melek tadi malam. Aku memang selalu tertidur terlebih dahulu daripada mereka berdua. Karena mereka berdua memang seringkali insomnia, baru mulai ngantuk menjelang pagi.
Karena gagal membangunkan Adis, akhirnya aku masuk ke dalam hutan sendiri untuk mendapatkan view yang lebih bagus untuk memotret matahari terbit. Aku tepat waktu, saat sudah berada di titik tertinggi sisi barat rupanya matahari belum terbit. Matahari pagi terbit beberapa saat kemudian dari balik perbukitan tampak cemerlang tanpa terhalang awan. Karena masih bulan April sehingga posisi matahari terbit masih di sisi selatan sehingga masih terhalang oleh perbukitan.
Tenang saja, walau tidak sempurna terbit dari balik horison laut, pemandangan pagi-nya tetep kece kok. Seperti aku tulis sebelumnya, dengan ketinggian hanya sekitar 400 mdpl, dapat dikatakan matahari pagi akan mudah tampak tanpa terhalang oleh kabut. Hal ini tentu berbeda dengan melihat pagi dari pegunungan yang tinggi, kadang bisa terhalang oleh kabut pagi. Dan cukup banyak spot di atas Fatubraun ini untuk menikmati matahari terbit.
Saat balik ke tenda, aku melihat Imam dan Adis tetep saya khusyuk sama mimpi indahnya. Busyet dah, tuh kedua anak emang mirip anaknya vampir yang melek malam hari tapi justru tidur pagi. Padahal bunyi burung ramai bercuitan terbang kesana kemari. Ya udah, aku akhirnya masak air untuk membuat kopi. Sayang rasanya kalau tidak menikmati pagi begini tanpa segelas kopi panas.
Baca keseluruhan artikel...
|
Pemandangan pagi dari Bukit Marmer Tunua |
Segelas kopi panas dari air yang baru selesai dimasak menemani kami di atas Bukit Tunua. Duduk di ujung salah satu bukit dan menunggu matahari yang berbentuk sempurna bulat terbit dari ufuk timur. Oh, iya.. hawa pagi ini tentu saja masih dingin seperti biasa. Lagian mana ada tempat yang tidak dingin dengan ketinggian di atas 1.400 mdpl. Ditambah lagi yang kami injak adalah lantai marmer. Lantai marmer? Kalian tidak salah mendengar. Bukit Tunua sudah habis dipangkas bagian atasnya menciptakan sebuah bidang landai dari batu marmer. Menginjak lantai marmer siang hari saja tetep terasa dingin apalagi pagi seperti saat ini.
Andai saja kalian mengalami sendiri hujan yang mengguyur semalaman, kalian
akan tahu betapa sempurnanya pagi ini untuk mentertawakan apa yang terjadi tadi malam. Kebahagiaan kadang sederhana, hadapi kesusahan dan setelah itu ijinkan kami merayakannya setelah berhasil melewatinya.
Perubahan Rencana Bermalam
Pasca batalnya rencana kemping di dalam hutan Mutis yang aku tulis sebelumnya disini, kami harus memikirkan kembali kemana kami harus bermalam hari ini. Terlalu sayang melewatkan tambahan libur paskah ini untuk langsung pulang.
Aku sendiri mengusulkan memasang tenda di bukit marmer Fatunausus. Pemandangan paginya menurutku keren di sana tapi tidak aku sendiri tidak yakin dijinkan atau tidak kalau memasang tenda di sana karena setauku bukit di Fatunausus masih ada yang mengelola. Lupakan rumah pak Anis untuk bermalam, kami sudah merencanakan naik kembali ke atas Mutis lain waktu supaya cita-cita memasang tenda di dalam kawasan hutan Mutis bisa terlaksana.
Akhirnya kami sepakat mau mencoba menginap di bukit marmer Tunua yang tampak bagai dataran berwarna putih dari atas bukit Usapikolen. Kebetulan pula Tardi punya teman sekantor yang rumahnya berasal dari daerah Tunua. Klop dah, jadi malam ini kita fix nenda di bukit marmer Tunua.
Habis makan siang di rumah pak Anis, sekitar jam 2 kami mulai turun dari Fatumnasi. Oh, iya kami tambah perbekalan dengan minta nasi putih ke pak Anis. Sebagaimana gantinya kami tukar dengan beras yang tidak jadi kami masak. Sebelumnya ada insiden kompor gasku patah sehingga tidak bisa digunakan. Cuma tersisa kompor Tardi dan Imam yang keduanya menggunakan bahan bakar spiritus. Masalahnya entah kenapa spiritus Imam bocor jadi menguap habis. Jadilah kami berbagi spiritus, jadi masak nasi bukan pilihan bijak.
Di kampung Tunua kebetulan baru ada petunjukan paskah di depan halaman salah satu rumah penduduk. Mereka sebenarnya tidak keberatan dengan rencana kami memasang tenda di atas bukit hanya mereka sebenarnya sudah mempersilahkan jika kami mau tidur di kampung mereka. Karena mereka khawatir hujan akan turun deras seperti beberapa hari ini. Tapi tentu saja kami lebih memilih memasang tenda. Godaan tidur di atas bukit marmer Tunua lebih menggoda.
Hujan Kembali
|
Memasang tenda di lantai marmer bingung cara mengikat tenda |
Baru saja motor kami berhenti, langit yang sedari tadi mendung gelap berubah menjadi hujan. Kami bergegas naik ke atas mencari tempat yang bisa untuk berteduh. Kondisi bukit yang sudah nyaris rata nyaris susah mencari tempat berteduh. Wal hasil kami cuma bisa berteduh di salah satu ceruk dari batuan marmer. Lumayan bisa mengurangi basah jaket yang aku gunakan walau dinginnya tambah parah.
Setelah agak reda kami mencari tempat yang pas untuk memasang tenda. Lagi-lagi kami mengalami kesulitan. Tak ada tanah disini karena semuanya hanyalah batu marmer. Pasak yang coba kami tancapkan ke sela-sela retakan batu tak bertahan, lepas tiap kali dipasang. Akhirnya kita memilih menggunakan tali tenda saling terhubung, mengikatnya satu sisi ke pohon kecil di samping dan mengikat ke batu sebagai pemberat ke sisi lainnya.
Tapi di pertengahan, hujam kembali turun.. bah, kami kembali harus memasang tenda dalam kondisi basah. Dua hari kami nenda, dan setiap kali membuat tenda kami selalu kehujanan. Bahkan kali ini hujan terjadi semalaman. Dan lagi, aku malam ini harus tidur tanpa baju dan celana karena semuanya basah. Terus terang hujan malam itu lebih menguatirkan kami. Berbeda jika kita memasang tenda di tanah air segera meresap di tanah. Di lantai marmer seperti ini, kami merasakan air mengalir deras di terpal bawah walau tak sampai membuat kami basah. Semalaman kami mendengar guruh seperti suara aliran air deras di bawah, sungai kecil pasti sedang dipenuhi air malam ini.
|
Pemandangan pagi di perkampungan Tunua |
Tengah malam kami sebenarnya mendengar bunyi siulan beberapa kali dari arah hutan di bawah kami. Karena sudah mendengar cerita tentang teku, kami memutuskan mematikan seluruh lampu. Aku baru tahun keesokan harinya tentang suara siulan ini. Rupanya semalam beberapa pemuda kampung mencurigai keberadaan kami adalah gerombolan teku. Untungnya kami wakmtu masuk ke kampung tepat saat ada keramaian perayaan paskah, jadi selain bertemu tetua kampung juga sempat meminta ijin terlebih dahulu. Rupanya isu teku juga sudah memasuki kampung Tunua.
Pagi itu akhirnya kami membuktikan tidak sia-sia kami nenda di puncak bukit marmer Tunua. Selepas tengah malam hujan akhirnya berhenti sehingga pagi ini langit sudah kembali cerah. Seperti biasa aku tidak akan melewatkan suasana pagi seperti ini, walaupun harus bergelung dengan sleeping bag sebagai selimut pembungkus badan untuk mengurangi rasa dingin.
Acara pagi itu bertambah ramai saat anak-anak muda kampung Tunua ikut naik ke bukit dan berkumpul bersama kami. Dari merekalah akhirnya kami tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Dari mereka kami juga kami tahu bahwa apa yang dilakukan Al malam sebelumnya sebenarnya sebuah kecerobohan yang bisa membahayakan keselamatan kami. Malam sebelumnya sewaktu kami nenda di bukit Usapikolen, Al bermain cahaya senter dan anehnya waktu itu juga ada cahaya balasan dari seberang. Ternyata para Teku berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan cahaya senter. Ah, untung tidak tidak terjadi apa-apa pada kami.
Dan seperti biasa karena suasana yang masih dingin kami agak malas segera membereskan peralatan. Setelah matahari mulai meninggi selepas jam sembilan barulah kamu berkemas. Sebelum pergi kami sempatkan mampir ke rumah kepala dusun yang kebetulan anaknya bekerja satu kantor dengan Tardi.
Thanks buat perjalanannya guyz: Tardi Sarwan; Imam 'Boncel', Al Buchori
Baca keseluruhan artikel...
|
Seorang nelayan melintas di pagi hari |
Pelahan kabut di pantai mulai naik menutupi pemandangan perbukitan di kaki gunung Lewotobi. Bukan, kabut itu bukan dari atas tapi dari air laut dingin yang menguap terkena sinar matahari. Tidak terlalu tebal karena matahari masih sangat leluasa menerobos. Pemandangan pagi hari yang aku liat saat itu sungguh membuatku terdiam. Sering kutemui laut biru tosca dengan pasir putih tapi suasana seperti ini tidak setiap hari aku akan melihatnya.
|
Pemandangan Pantai Oa berlatar kabut dan gunung Lewotobi |
Beruntung aku dapat menginjakkan kaki di putihnya pasir pantai ini. Pantai Oa seperti punya daya magis tersendiri, bagi kalian yang bersedia membuang kantuk dan menghampirinya. Walau memang ini bulan bukan waktu terbaik untuk melihat matahari terbit. Bulan Juni matahari terbit posisi sedang diantara celah pulau Solor dan Adonara sehingga aku tidak mendapatkan momen matahari terbit dari ufuk timur. Menurut pak Yan, sekitar bulan September ke atas barulah matahari bisa nampak jelas karena terbit dari horison laut.
Selamat Pagi dari Pantai yang Sunyi
|
Pagi yang dingin di Pantai Oa |
Pagi ini pantai Oa memang masih sepi, sebagian besar perahu masih tersimpan di masing-masing gubuk. Sedari aku bangun pagi tadi, hanya ada dua nelayan yang datang untuk melaut. Aku dan Tardi ikut juga membantu mengangkat perahu untuk memindahkannya ke pantai.
Apakah mereka malas melaut? Bukan, tapi hari ini adalah Minggu yang artinya masyarakat desa tentu masih harus pergi ke gereja sebelum menjalani aktivitas nelayannya. Menurut cerita pak Yan, dulunya jam gereja itu jam delapan sehingga masyarakat biasanya pagi-pagi bisa melaut dulu sebelum ke gereja. Namun rupanya ini menyebabkan jemaat gereka berkurang. Makanya dari kesepakatan desa Pantaioa, akhirnya jadwal ibadah ke gereja digeser ke jam enam supaya tidak ada warga yang tidak sempat pergi ke gereja. Pastilah saat ini mereka sedang ibadah di gereja.
Bahkan sampai matahari naik melewati celah antara pulau Adonara dan pulau Solor tetap tidak ada aktivitas nelayan. Selepas matahari meninggi pun hanya ada satu nelayan yang turun melaut dengan menggunakan jala di pinggir pantai.
Perjalanan Tak Direncanakan
|
Bekerja tak harus di kantor kan |
Perjalanan ke pantai Oa sesungguhnya tak direncanakan, atau rencana dadakan. Sehari sebelumnya sekitar jam satu siang saat itu kami masih berdiri di atas perahu yang akan menghantarkan kami ke Larantuka. Lupakan gunung Batu Tara yang sudah kami rencanakan, ombak laut saat ini sedang tidak bersahabat. Teman kami, pak Said, seorang nelayan yang biasa mengantar tamu dengan perahunya sanksi kami bisa menjangkau Batu Tara saat ini. "Gelombang baru besar sekarang pak, taruhan nyawa kalau kesana," katanya.
Di kepalaku beredar beberapa tempat yang mungkin belum kukunjungi. Tak ada ide, beberapa tahun ini aku jarang menginjakkan tanah di pulau Flores membuatku sedikit pikun tentang lokasi-lokasi baru yang belum aku kunjungi. Tardi lah yang memberikan ide untuk menginap di pantai Oa. Pak Ayom yang pernah bertugas disana untuk pendataan. Katanya tempatnya bagus dan masih tenang, dan terutama masih belum banyak dieksplore. Apa yang paling menarik disana? Pasir putih, matahari terbit... bukan.. tapi disana masih belum ada sinyal.. asyik banget kan, karena seasyik-asyiknya tempat itu belum asyik banget kalau masih ada sinyal hihihi...
|
Gubuk untuk menyimpan perahu nelayan |
Aku mulai jalan jam setengah empat, dengan jarak yang aku perkirakan sekitar dua jam-an mungkin sebelum gelap kami sudah sampai. Emang lagi sial, belum setengah jalan motor yang aku pinjam bannya kempes. Apesnya, posisi kami saat itu di tengah-tengah jalan yang jauh dari perkampungan. Aku lupa nama tempatnya. Akhirnya nelpon om Umbu buat dapet motor pengganti. Hampir satu jam menunggu barulah om Umbu datang sendirian.
|
Suasana pagi yang tenang di Pantai Oa |
Selepas Maghrib barulah kami merasakan hawa dingin yang menyusup ke dalam jaket. Rupanya kami baru sampai Boru. Boru yang berada di kaki gunung Lewotobi memang hawanya sejuk sehingga tampak menghijau sepanjang tahun. Kami mampir makan di satu-satunya warung Padang yang menunya seperti warung Jawa di Boru.
Saat jalan malam itulah aku baru menyadari kalau lampu depan tidak ada covernya sehingga tidak ada reflektor pengumpul cahaya. Karuan saja aku gak bisa melarikan motor kencang. Bayangkan saja motor jalan malam dengan lampu yang jangkauannya pendek dengan kondisi jalan nyaris tanpa penerangan. Tambahan lagi jalannya tidak memiliki marka jalan yang berupa garis putih di sepanjang jalan untuk penanda.
Memasang Tenda Malam Hari
Kami memasang tenda sekitar jam sepuluh malam ditemui pak Yan. Untunglah bulan masih cukup besar sehingga menerangi pantai ini sehingga tidak terlalu gelap. Barulah setengah jam kemudian setelah ngobrol beberapa saat pak Yan pamit meninggalkan kami dengan janji besok pagi dia atau anaknya Elthon akan menemui kami.
|
Memasang tenda untuk bermalam di Pantai Oa |
Saat kami tiba bulan sudah muncul. Kurang beruntung, padahal di jalan kami sempat melihat milkyway yang sangat jelas terlihat karena langit yang tidak berawan. Mungkin aku harus kesini lagi dan berharap keberuntungan berikutnya membuatku bisa memotret milkyway di Pantai Oa.
|
View pantai Oa diterangi bulan |
Agak malam datang seorang pria tua dengan wanita muda yang sepertinya anak perempuannya. Dugaannya kami tidak keliru, saat ngobrol bapak tua itu mengatakan kalau mengantar anaknya ke pantai untuk menelepon. Pantas saja, sementara kami mengobrol, wanita muda muda itu tampak berkutat memencet-mencet hape di dekat salah satu pohon. Kata pak tua, di desa nyaris tidak ada sinyal. Untuk bisa mendapatkan sinyal harus ke pantai ini. Itu pun hanya beberapa titik dekat pohon yang bisa mendapatkan sinyal dan selebihnya hanya spot kosong. Mungkin kalian sangsi hal ini. Tapi percayalah saat kamu berkerumun di salah satu pohon untuk mendapatkan sinyal, saat itu kalian percaya bahwa sinyal juga pilih-pilih tempat nongkrong.
Setelah itu pantai kembali sepi dan menyisakan kami berdua ditemani bulan yang juga belum naik terlalu tinggi dari batas horison. Karena kami sudah kenyang tentu saja tinggal acara terakhir: Tidur.
Bagaimana Menuju Kesana
Entah kenapa, Google Maps tidak dapat menunjukkan petunjuk arah dari Larantuka menuju PantaiOa. Jadi untuk dapat memperkirakan jalur jalannya aku mencoba mencari arah jalan Larantuka - Pantai Waiokang baru aku perkiraan jika belok di titik tertentu.
Jadi jika berangkat dari Larantuka arahkan ke Selatan jalur Larantuka-Maumere, ikuti jalan sampai ke pertigaan Kantor BRI daerah Boru. Dari sana belok masuk ke kiri menuju ke pasar Boru.
|
Bulan mengintip di sela pepohonan |
Dari pasar ikuti jalan ke kanan terus sampai nanti bertemu dengan pertigaan Desa Lewa. Ambil jalan yang sebelah kanan, kondisinya agak jelek beberapa puluh meter lalu jalan akan kembali bagus. Nanti selepas sekolah dan menara telekomunikasi akan bertemu cabang jalan didaerah persawahan/kebun berupa jalan rabat di sebelah kiri. Masuk ke jalan rabat tersebut beberapa kilometer nanti akan sampai ke desa Pantioa.
Desa pantai Oa sendiri terletak di daerah tanjung selatan Flores. Ada dua pantai di sana: (1) Pantai Oa yang berada di teluk menghadap ke Timur, cocok untuk melihat matahari terbit, (2) Pantai Roka, yang menghadap di sisi lain desa Pantaioa, cocok untuk melihat matahari terbenam. Tapi aku sendiri batal mengunjungi pantai Rako.
Jika kalian membutuhkan orang di desa Pantaioa yang dapat dikontak silahkan hubungi pak Yan (hape: 0822-4780-7816) atau anaknya pak Elton (hape: 0822-3697-2273 | email: nikolaus_tapun@gmail.com | ig: @nikolaus_tapun). Tapi sebaliknya kirim pesan dulu karena desa Pantaioa belum ada sinyal karena sinyal disana sangat pemilih.. nunggu yang cocok baru dia kasih sinyal. Dan satu lagi, jangan marah kalau balasannya lama, maklum harus nunggu dapat sinyal dulu kaka.
Baca keseluruhan artikel...
|
Suasana pagi di tanjung Klayar, ombak tak pernah berhenti |
Di bawah kakiku, ombak dari pantai selatan menerobos masuk ke dalam lubang yang terbentuk dibawah bukit yang berdiri tanjung. Suara kemerosok air yang menerobos masuk terdengar samar, dan beberapa detik disusul bunyi air yang keras menghantam karang. Bagian ombak yang tidak masuk ke dalam lubang menghantam dinding dan menyemburkan air ke atas. Pantai selatan seperti tak pernah berhenti mendatangkan gelombang demi gelombang ke arah pantai.
Matahari masih belum beranjak menampakkan sinarnya, sementara aku harap-harap cemas melihat awan yang bergerak dari ujung selatan. Tak ada minuman sekedar air dingin apalagi kopi panas, pun juga camilan. Aku hanya duduk saja menunggu siapa yang lebih dulu, matahari atau awan selatan itu. Tak ada pula teman ngobrol karena aku memang hanya pergi sendiri.
Perjalanan Pagi
Lupakan kopi pagi, sepagian aku berjalan menyusuri sepanjang jalan pantai Klayar ini warung-warung belum ada yang buka satu pun. Sebenarnya minum kopi pagi di teras homestay pak Isni nikmat sekali apalagi saat belum ramai begini. Sayang mungkin karena obrolan semalam yang sampai hampir jam 12 malam membuat mereka terkapar semua.
Aku bahkan harus mengurungkan niatku membeli sekedar air kemasan untuk perjalanan menuju tanjung Klayar karena tak tega membangunkan pak Isni. Sebenarnya pak Isni sudah memberitahu kalau mau butuh apa-apa di warungnya ketok pintu saja. Tapi siapa yang tega membangunkan, lha sepagian aku mondar-mandir ke belakang saja tidak ada yang bangun satu pun.
|
Matahari terbit dari Tanjung Klayar |
Homestay pak Isni sebenarnya masih belum selesai, itu pun hanya 2 kamar saja yang dibangun, persis di samping warung kelontong miliknya. Letaknya persis di pinggir pantai di seberang bukit di pantai Klayar. Nanti di tulisan lain aku ceritakan bagaimana aku sampai terdampar di homestay ini.
Rencana mendatangi tanjung Klayar ini muncul setelah aku mempertimbangkan tidak akan mendapatkan gambar yang bagus di pantai Klayar saat pagi-pagi. Mungkin aku masih bisa mendapatkan matahari terbit walaupun tidak muncul dari balik horison laut.
Aku menelusuri jalan di pinggir pantai Klayar sampai di pintu masuk berharap ada satu dua warung yang buka. Tapi semua nihil. Di depan tempat parkir kendaraan aku melihat beberapa orang pengunjung yang baru datang. Aku coba bertanya jika mereka tahu jalan menuju ke tanjung Klayar. Eh mereka justru bertanya balik, Taanjung Klayar dimana? Hahaha rupanya aku salah bertanya.
Sudah nekad saja, aku coba menelusuri jalan di pinggir tebing. Untung di warung terakhir ada seorang ibu yang tampaknya baru selesai solat subuh. Dari beliau aku disuruh ikut jalan kecil di samping pematang sawah yang mengering.
Setelah mencoba masuk mengikuti petunjuk ibu tadi ternyata mentok juga semua jalan justru hilang tanpa jejak begitu sampai di daerah kebun kelapa. Akhirnya aku nekad saja masuk ke arah pinggir tebing walaupun kemungkinan memakan waktu lebih lama. Untung sebagian sawah sedang kering jadi lebih mudah dilewati. Tidak terlalu mudah juga karena kondisi tanah yang tidak rata membuat kaki sangat mudah terperosok apalagi sebagian besar pematang sawah yang ada hanya segaris tempat kaki menginjak.
Karang Bolong di Tanjung Klayar
Perjalanan lebih dari setengah jam ternyata tidak sia-sia. Tanjung Klayar ini menjadi lokasi terbaik untuk mendapatkan view matahari terbit walau saat ini posisi matahari masih terbit dari balik daratan. Bahkan menurutku tempat ini jauh lebih keren daripada pantai Klayar.
Lokasi tanjung klayar ini berubah bukit karang yang menjorok ke lautan yang dibawahnya terdapat lubang, ada dua lubang besar yang sepertinya tembus. Aku tidak tau persis karena dari sisi manapun aku tidak mendapatkan bukti apakah dua lubang yang tampak dari sisi kiri atau kanan itu terhubung atau sebatas cerukan saja. Tinggi tanjung Klayar mungkin lebih dari sepuluh meter.
Entah sudah lama cerukan itu terbuat dan sampai kapan tanjung Klayar ini mampu bertahan. Pak Esdi, ayah dari pak Isni bilang kalau tanjung itu lubangnya tidak pernah berubah dari dulu. Tapi siapa yang tahu? di sisi barat setelah tanjung klayar aku melihat sebuah bukit yang telah hancur menyisakan satu lubang. dari sisa hancuran itu aku bisa melihat kalau sebelumnya ada setidaknya satu lubang lagi. Mungkin itu dulu yang disebut karang bolong, entahlah.
Tidak ada pepohonan besar di tanjung ini, hanya ada beberapa pohon kecil dan pandan laut. Sebagian besar tanjung dipenuhi rerumputan dan tanaman perdu yang sebagian telah berubah mengering. Sepertinya tahun ini memang musim panas datang lebih cepat. Tanaman perdu menjalar yang biasa tumbuh di tepi pantai lebih kuat bertahan. Aku melihat tanaman-tanaman perdu ini basah oleh embun semalam. Walau ada di tepi pantai, rupanya di tanjung ini masih ada embun makanya banyak pepohonan yang masih menghijau.
Menemukan Air Terjun Kecil
Dari tanjung aku mencoba menyusuri lebih jauh ke arah utara. Sayang jejak jalan terputus oleh pepohonan yang tumbang. Setelah mencoba mencari jalan baru aku menemukan jalan becek di samping tebing. Harus hati-hati karena tebing di tanjung ini tegak 90 derajat. Dari bawah, gelombang yang bergulung-gulung seperti bergantian menghajar dinding bukit memuncratkan buih putih ke udara.
|
Air terjun kecil yang langsung jatuh ke laut |
Di bagian turunan, aku tidak sengaja menemukan sebuah aliran air seperti sungai kecil yang airnya jatuh langsung ke laut sehingga membentuk air terjun kecil. Tidak terlalu besar sih, sepertinya sungai ini hanya sungai untuk air hujan lewat. Mungkin paling pas kalau datang saat musim hujan, mungkin akan menjadi air terjun yang langsung jatuh ke laut. Air terjun ini mengingatkanku pada cerita Cader tentang air terjun Toroan di Madura yang langsung jatuh ke laut. Ah, tapi air terjun ini sangat-sangat kecil dibanding Toroan.
Karena tidak bawa minuman sama sekali, air di sungai kecil ini menjadi alternatif untuk menutup rasa hausku. Airnya bersih walau aku tidak tahu dari mana asal aliran air itu. Aku coba minum sedikit airnya dan beristirahat sekalian untuk melihat reaksi air di perutku. Setelah beberapa saat tidak ada reaksi, aku baru mulai minum lebih banyak. Aku nekat? Gak lah, aku sudah terbiasa minum air di lokasi seperti ini. Aku memegang beberapa parameter air dan sedikit pengujian kecil untuk memastikan air yang aku konsumsi aman. Rasanya lebih nikmat lho minum langsung seperti ini.
Hanya beberapa meter saat aku mencoba masuk lebih dalam, akhirnya aku memutuskan berhenti dan kembali. AKu melihat jalur ke depan makin rapat dengan tumbuhan pandan laut yang menyisakan jalan setapak yang makin rapat dengan tebing.
Saat kembali aku bertemu dengan dua orang yang naik ke arah tanjung dengan motor trail. Berarti ada jalan lain menuju tempat ini selain jalan yang tadi kutempuh. Saat kembali, pak Esdi memberitahu kalau ada jalan dengan kendaraan tapi harus memutar lebih jauh. Untung aku kembali lewat jalan yang sebelumnya bukan jalan yang digunakan kedua motor itu menuju tanjung.
Catatan
Cerita ini merupakan penggalan-penggalan dari perjalananku seminggu menelusuri Jawa dengan kendaraan umum yang aku ceritakan per lokasi. Nanti setelah seluruh bagian cerita aku ceritakan barulah aku tutup dengan cerita keseluruhan project seminggu perjalanan ke Jawa lewat jalur selatan.
Baca keseluruhan artikel...
|
Puluhan orang berjubel menunggu matahari terbit |
Seperti pertaruhan menunggu matahari apakah akan terbit atau tertutup awan di puncak Sikunir hari ini. Sementara jam sudah menunjukkan jam enam lewat sepuluh menit, namun matahari tak kunjung muncul dari balik kabut yang justru makin tebal.Kemarin memang hampir seharian lebih sering gerimis dan hujan, hanya beberapa jam saja matahari muncul itu pun saat telah siang hari. Wajar saja jika aku masih diselumuti keraguan akan cuaca hari ini. Tapi keraguan itu langsung terpatahkan saat cahaya kuning memerah yang muncul diantara kabut benar-benar berubah menjadi bulatan kuning terang di balik selimut kabut.
Seakan berlomba, serangkaian bunyi tombol kamera saling bersahutan berlomba mengabadikan matahari pertama pagi ini. Beberapa cahaya blitz dari belakang tampak menyala. Itu masih ditingkahi dengan suara-suara 'centil' yang berteriak minta segera difoto.
Dengan bertonggak batang bambu sebagai pengganti tripod, pengambilan foto dari puncak Sikunir pagi ini jadi agak merepotkan. Aku harus berjongkok setengah memiringkan kepala untuk menjangkau lubang bidik. Tak ada cara untuk mengatur ketinggian bambu sebagaimana jika aku menggunakan tripod.Untung posisiku dari awal sudah berada di pinggir tebing sehingga tidak mungkin diganggu mahluk-mahluk centil yang begitu 'heboh' berpose dan lalu lalang penuh semangat. Aku harus mengalah pada semangat muda mereka, merekalah produk 'kekinian' itu.
Saat Lokasi Wisata Menjadi 'Kekinian'
"Hei aku Wanda, dan mereka temen-temenku," sambil memutar tongkat selfie ke arah teman-temannya. Beberapa anak muda yang baru sampai di atas langsung mengerumuni 'Wanda' ini. Ada yang mengangkat tangan mengacungkan jari membentuk V sambil memajukan bibir, ada yang menyipitkan mata dengan mulut yang sama. Setelah itu aku mendengar celoteh 'Wanda' dengan segala cerita serunya perjuangan mereka menuju kesini layaknya host acara petualangan yang berhasil menaklukkan salah satu tantangan. Keriuhan itu berlanjut dengan rombongan lain yang dipenuhi suara teriakan-teriakan untuk foto selfie. Wabah tahun ini sejak hape yang menjadi 'smart' lengkap dengan kamera yang diklaim hasilnya jago. Tak berapa lama lampu kilat dari semua jenis kamera menyala untuk menerangi 'obyek centil' dalam foto.
Hilang sudah kesyahduan menikmati matahari terbit. Sikunir tetap menawarkan warna pagi yang luar biasa. Namun keheningan, ketertegunan karena rasa takjub, dan rasa kecil menjadi bagian dari semesta seakan hilang ditelan keriuhan suara-suara nan 'centil'. Entah mereka sedang membanggakan pencapaian mereka naik ke puncak Sikunir, atau sekedar kebanggaan karena bakalan bisa memajang foto diri entah di mana saja dengan wajah yang sama hanya berganti latar belakangnya.
Aku mungkin terlalu tua untuk pesta-pesta penuh teriakan seperti ini, aku juga mungkin datang di waktu yang tidak tepat karena Sikunir sekarang telah berubah menjadi tempat 'kekinian' yang didatangi untuk ajang pembuktian seperti kalimat sakti para host MTMA. Aku sendiri bukan mau mengkritik acara yang sudah kadung digandrungi banyak anak muda di negeri ini. Itulah 'kekinian' saat ini yang tidak dapat dipungkiri. Mungkin aku yang harus sedikit mengalah memberi ruang kegembiraan mereka yang 'kekinian' itu.
Perjuangan di Pagi Yang Beku
Menembus pagi menggunakan motor sungguh membuat jari-jari tanganku serasa membeku, apalagi aku hanya bersarung tangan kain. Sebenarnya Gita sudah menawarkan tumpangan aku dengan mobilnya hanya saja SMS yang dia kirim jam empat pagi tidak terbaca. Tidak mudah untuk bangun sepagi ini apalagi semalaman suhu udara di Dieng benar-benar dingin sekali. Aku bahkan selepas Maghrib sudah masuk ke dalam sleeping bag sebelum berlapis selimut di atas tempat tidur. Hawa bulan Juli memang membuat malas, untuk sekedar cuci muka saja.
Mengendarai motor pagi buta menembus kabut membuat gigiku bergemeretak. Stang motor serasa baru keluar dari freezer membuat sendi jari tanganku terasa ngilu saat memegangnya terlalu lama. Walhasil dalam perjalananku menuju desa Sembungan, aku harus berhenti tak kurang dari lima kali untuk melepaskan rasa dingin ngilu di tangan.
Untung jalan yang aku lewati mulus walau tidak lebar. Jarak dari Dieng Plateau Homestay (tempat aku menginap) sampai ke desa Sembungan memakan waktu hampir setengah jam dengan jarak tak lebih dari 9 km (kalau menurut peta sih cuma 8,1 km).
Untungnya kondisi jalan masih sepi, ada beberapa kendaraan yang searah. Aku pikir yang sedang berkendara saat ini satu tujuan denganku untuk ke desa Sembungan.
Desa Sembungan adalah desa terakhir dan start point untuk naik ke puncak Sikunir. Menurut informasi, desa Sembungan adalah desa tertinggi di pulau Jawa. Suhunya? Jangan ditanya deh. Kedatanganku di bulan Juli memang tergolong salah waktu karena saat ini memang lagi puncak dinginnya kawasan Dieng.
Di pelataran parkir Telaga Cebongan, aku melihat mobil Gita. Mungkin mereka telah naik terlebih dahulu. Di pintu masuk, aku tertarik dengan kentang kecil-kecil yang mengepul di atas meja. Ternyata kentang rebus itu dijual 5 ribu saja per bungkus. Cukuplah untuk mengisi tenaga sebelum naik ke atas. Ternyata baru beberapa meter aku berjalan selepas gerbang masuk, aku berpapasan dengan Gita CS yang lagi asyik makan di dalam warung.
Just info, rombongan Gita ini ada 3 orang termasuk dia. Gita ini teman yang baru temui karena kebetulan menginap di tempat yang sama. Gita barengan 2 orang cewek, satu istrinya yang baru dinikahinya (ceritanya mereka penganti baru) dan satunya temen dia waktu kerja di Batam.
Akhirnya aku bareng mereka berjalan menuju puncak Sikunir. Sayang si Tiara (istri Gita) ini ternyata punya riwayat asma sehingga baru di pertengahan jalan dia kepayahan. Hawa pagi yang sangat dingin dan medan menanjak membuat dia kesulitan bernafas. Sayangnya dia justru menggunakan celana jeans yang membuat hawa dingin tembus ke badan. Dia mencoba tetep bertahan untuk terus naik walaupun aku sendiri kasihan melihatnya. Jalanan dari tanah dengan sekat-sekat kayu memang tidak mudah dilewati apalagi kalau sedang basah. Apalagi saat itu kabut tebal basah seperti gerimis membuat kita harus lebih hati-hati melangkah.
Akhirnya Gita dan istrinya memilih berhenti di titik pandang pertama. Aku sendiri memilih naik terus sampai di titik pandang kedua. Temannya Gita sendiri memilih ikut aku naik sampai ke puncak kedua.
Golden Sunrise
Berbeda dengan titik pandang pertama yang sempit sehingga tidak dapat menampung orang banyak, di puncak pandang kedua kondisinya lebih lapang. Banyak orang yang telah berdiri di atas puncak bukit menunggu pagelaran matahari terbit.
Sikunir ini memang salah satu tempat terkenal untuk melihat matahari terbit yang terkenal dengan warnanya keemasannya. Cerita tentang warna dramatis matahari terbit itulah yang mungkin menarik mereka untuk mendatanginya. Deretan pegunungan dari Sindoro, Merbabu, Merapi, Ungaran, Telomoyo, Pakuwaja dan deretan pegunungan Nganjir berjajar menunggu panggilan sang matahari.
Seandainya aku tidak mendengar celoteh para 'centil' ini, mungkin keindahan puncak Sikunir makin lengkap. Suara burung-burung yang berciut nyaring pun harus berkelahi dengan teriakan-teriakan mereka.
Untung ada beberapa perbukitan lain yang tidak segaduh di puncak yang ada bangunan pandang itu. Di titik itulah aku lebih nyaman karena tidak lagi mendengar suara-suara 'centil. Walaupun di sana ada beberapa tenda yang dipasang, namun mereka cenderung tidak ramai. Penjelajah sungguhan memang lebih bisa menyatu dengan alam.
Aku sempat berkenalan dengan dua orang bule kakak dan adik dari Selandia Baru saat minta bantuan aku memotretnya. Yang besar punya nama Satria dan satunya Nanggala. Nah lho, ternyata mereka berdua itu bule namun bapaknya masih asli Indonesia.
Waktu kembali aku sudah tidak bertemu lagi dengan Gita cs, mungkin mereka telah turun terlebih dahulu. Aku menyempatkan mampir di sebuah kedai terbuka yang menjual kopi dan mie rebus. Bapak tua penjual makanan itu memang setiap pagi berjualan ke sini. Hari ini dia datang tidak terlalu pagi. Hanya kalau pas hari libur beliau biasa datang lebih pagi karena antrian yang mau naik lebih banyak. Sebenarnya aku berharap mendapatkan secangkir purwaceng panas, pasti akan sanggup mengusir dinginnya udara Sikunir.
Banyak yang sudah turun, aku mungkin termasuk rombongan terakhir yang turun. Lucunya justru saat turun aku bertemu rombongan beberapa orang tua dan keluarganya yang baru mau naik. Mereka tentu kesulitan mengajak anak-anak datang pagi-pagi buat sehingga mengalah mendatangi Sikunir saat matahari sudah terang benderang.
Sampai di bawah, aku baru menyadari jika motor yang aku parkir ada di dekat sebuah telaga. Namanya telaga Cebongan. Ada beberapa tenda yang terpasang di pinggir danau. Aku menyempatkan memutari danau Cebongan beberapa saat sebelum kembali.
Catatan:
- Puncak Sikunir adalah spot favorit di Dieng untuk melihat matahari terbit. Jika ingin mendapatkan tempat datangnya pagi-pagi sekali. Sebaiknya sudah sampai di lokasi ini pagi sebelum jam setengah lima atau kurang. Hindari datang saat liburan panjang karena sangat mungkin terjadi antrian panjang.
- Jika memungkinkan naiklah sampai ke puncak kedua karena tempatnya lebih lapang untuk menikmati matahari terbit. Jika di puncak pertama, daerah untuk bisa melihat matahari terbatas.
- Jika tidak menggunakan jaket yang tahan air, sebaiknya membawa persediaan jas ponco atau sejenis. Kadang-kadang kabut yang tebal membawa air yang membuat pakaian kita basah tidak terasa. Di Dieng, hujan tidak dapat diprediksi. Kalau bisa hindari menggunakan celana berbahan jeans karena lebih mudah menyerap dingin.
Baca keseluruhan artikel...