Pantai Watumandorak, warna torquis (hijau kebiruan) begitu mendominasi warna air laut |
Pantai Watumandorak dengan paduan alamnya yang eksotis |
Menyebut Sumba seperti menyebut kata kuda itu sendiri. Begitulah kentalnya kuda sebagai bagian dari Sumba, seolah-olah semangat dan kekuatan kuda melahirkan putra-putra Sumba. Sebuah pulau yang keberadaannya berada di dekat perbatasan laut Indonesia-Australia, Sumba begitu identik dengan kuda dimanapun kaki menginjakkan kaki di tanah ini. Benak itu pula yang melingkupi setiap orang yang pertama menginjakkan kaki di Sumba.
Pantai Kita memiliki deretan pasir putih yang panjang |
Tapi sesungguhnya Sumba melebihi dari itu, sekali kaki melangkah ke ujung-ujung tanah Sumba maka kita seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Kepercayaan Marapu yang masih kental melingkupi penduduk Sumba yang terutama tinggal di perkampungan seperti mencampakkan modernitas kita di tanah yang masih begitu asli. Ruh-ruh orang mati yang memiliki kemampuan untuk memberkati maupun mengutuk tanah Sumba menciptakan irama kehidupan yang kental bagi penduduk Sumba dalam berbagi keharmonisan dengan alam. Dari penampilan luar, akan terlihat bagaimana rumah-rumah dibangun, upacara-upacara dilakukan dan bentuk kubur batu yang berdiri menandakan bahwa kekuatan masa lalu masih memiliki akar dengan Sumba saat ini. Dan cobalah masuk lebih dalam, maka kekuatan bangunan, filosofi dan struktur hubungan masyarakat Sumba dengan alam begitu mewarnai jalan dan cara mereka beritndak.
Karang di Pantai Pero dan air laut berwarna torquis |
Beberapa kali saya berkunjung ke kampung penduduk yang masih memegang kepercayaan Marapu namun mungkin perjalanan mengunjungi salah satu kerabat teman ke kampung Waikahumbu daerah Kodi terasa begitu berbeda karena membawa saya merasakan energi hidup orang Sumba.
Berjarak tempuh sekitar satu jam ke arah utara dari kota Tambolaka sampai menuju pinggir laut di daerah Kodi Utara. Sebelum ke perkampungan, kendaraan mampir ke pantai Pero. Pantai Selatan daerah Sumba ternyata dipenuhi banyak karang namun juga hamparan pasir putih yang sama banyaknya. Ombak yang tak terlalu besar memecah sebelum mencapai tepian, beruntung saat ini ombak selatan tidak terlalu besar. Gugusan karang yang terjal ini menawarkan pemandangan lain, setidaknya anda bisa menikmati sunset berlatar semburan air laut yang masuk ke dalam celah lubang karang dan menyemprot saat menambrak dinding dalam.
Bukan perjalanan yang pertama aku lakukan namun tetap saja memuntahkan decak setiap saya menginjakkan ujung-ujung tanah ini. Hamparan pasir-pasir putih seperti melingkupi seluruh pantai Sumba, warna air laut hijau kebiruan bukanlah pemandangan langka. Karena terlalu terik dan mengingat tujuan sebenarnya, maka kami meneruskan perjalanan.
Rumah ada Sumba dan kubur batu tua di Waikahumbu |
Menyusuri jalan aspal yang dipenuhi lubang-lubang dan sebagian jalan tanah di sepanjang jalur pantai, kami melewati beberapa lokasi lapangan luas yang biasanya dipergunakan untuk pagelaran acara Pasola. Acara upacara adat berperang yang tiap tahun diadakan di Kodi sebagai bagian dari acara Pasola tahunan. Pasola adalah upacara untuk mengenang perang yang pernah terjadi antar kampung. Dalam pasola ini akan dapat disaksikan atraksi saling melempar tombak kayu dari atas kuda yang berlari. Tahun 2011 ini rencanya Pasola di daerah Kodi akan dilaksanakan tanggal 24 Februari sampai dengan 27 Februari yang biasanya diakhiri dengan acara Nyale.
Tengah hari kendaraan kami masuk ke kampung halaman teman. Beberapa rumah ada beratap ilalang dengan bentuk khas dan berdinding bambu tampak berdiri mengelilingi beberapa makam berbentuk persegi sedangkan bagian atasnya dipasangi batu persegi. Satu bentuk penguburan yang berbeda dari orang Sumba adalah posisi orang mati. Jika umumnya orang mati dikubur tidur maka di penduduk Sumba yang masih memegang kepercayaan Marapu maka orang mati dikubur dengan posisi duduk dan kaki dilipat. Dengan bentuk seperti itu, satu kubur batu berbentuk persegi bisa diisi beberapa orang dalam satu keluarga. Jika dikota kubur batu ini dari bentuk masih mempertahankan bentuk kubur batu persegi namun berasal dari semen maka di kampung masih bisa ditemui kubur-kubur batu yang masih menggunakan batu asli.
Anak-anak yang tinggal di kampung Waikahumbu |
Saat mobil kami berhenti di depan salah satu rumah, beberapa anak berlarian mendatangi kami. Rupanya kami dikira penjual kredit yang biasanya mampir menawarkan dagangan. Suasana di rumah itu jadi terasa meriah. Dengan keramahan dan bentuk persahabatan yang tulus, tuan rumah menawarkan sirih pinang sebagai bentuk penerimaan dan perhargaan kunjungan tamu.
Di samping rumah ini terdapat rumah induk tapi secara adat hanya boleh dimasuki oleh keluarga besar adat dan orang dari luar tidak diijinkan sama sekali.
Rumah di Sumba ternyata tidak hanya memiliki atap yang unik tapi juga bentuk arsitektur yang unik dan menarik. Saya bahkan terkesan dengan cara mereka membuat tingkatan kamar-kamar dan ruang bersantai. Bagian bawah tentu saja bagian yang digunakan untuk memelihara kuda dan babi serta persediaan kayu bakar. Bagian tengah adalah rumah tempat tinggal dengan kamar-kamar bagian pinggir sedangkan bagian tengah adalah dapur. Sedangkan tingkatan atas menjadi tempat menyimpan hasil kebun atau lumbung keluarga.
Disini penduduk sekitar belum menikmati listrik, jika ada rumah yang menikmati listrik biasanya berasal dari panel tenaga surya bantuan. Untuk kebutuhan minum juga biasanya masyarakat membangun sumur.
Pemiliki rumah bersama anak-anaknya |
Setelah selepas melepas lelah sekaligus makan siang di sini, kendaraan kami melanjutkan perjalanan setelah singgah sebentar di pantai Waikahumbu. Menuju ke perjalanan ke arah Watumandorak kami menemukan kenyataan menyedihkan. Beberapa rumah adat yang hancur ditinggalkan pemiliknya. Dari informasi ternyata pemiliknya memilih membangun rumah ke kota dan meninggalkan rumah hingga hancur tanpa ada yang menjaga. Godaan modernitas secara pelahan mulai mengikis jiwa dari penduduk Sumba.
Melewati jalan bertanah yang tidak bisa dikatakan rata kami harus beberapa kali memutar balik kemudi karena terlewat. Perjalanan ini menjadi setengah petualangan karena ternyata tidak satu pun dari kami yang tahu persis tempat itu. Namun itu justru membuat perjalanan menjadi tambah menyenangkan. Kadang-kadang kita tidak perlu tahu dan membiarkan pikiran menebak sesuatu untuk membuat pengalaman kita lebih kaya.
Setelah lebih dari satu jam akibat kondisi jalan yang membuat kami menjalankan kendaraan dengna pelan akhirnya kami sampai di pantai Watumandorak. Sebuar pantai yang memiliki ceruk yang terhalang karang. Hamparan pasir putih dibalik ceruk begitu menawan berpadu dengan warna torquis yang begitu kental.
Salah satu rumah yang roboh ditinggal pemiliknya di Kodi |
Sungguh kami harus mendecakkan bibir menemukan keindahan pantai ini. Sebuah bangunan khas Sumba berdiri anggun di atas karang di pinggir pantai dengan berpagarkan susunan batu putih. Menurut informasi, bangunan ini dimiliki oleh orang Perancis, bangunan yang sungguh elegan seakan melengkapi eksotika tempat ini.
Saat ini Sumba Barat Daya dalam gerakan membangun, sebagai sebuah daerah pemekaran baru. Napas pembangunan dan modernitas mulai bergulir. Entah apakah napas Marapu dari penduduk Sumba masih bisa dipertahankan terutama dalam filosofinya yang berdampingan dengan alam atau kah yang hadir adalah modernitas yang mengikis kekuatan hidup dan energi Marapu orang Sumba.