Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 30 Desember 2010

Melihat Indonesia Kurang Dari Satu Meter

-------------- kecantikan tak selalu berasal dari yang begitu dipuja ----------------
Mungkin sudah hampir satu bulan ini aku seperti kehilangan energi untuk mendapatkan gambar-gambar alam Indonesia yang begitu indah. Bukan karena tidak ada tempat yang menarik selama aku mengunjungi tempat baru tapi lebih karena faktor cuaca yang membuat sebagian semangat untuk melakukan penjelajahan agak meluntur.



white lotus: don't be apart
Perjalanan yang sempat aku lakukan pun tak lebih seperti sebuah perjalanan ulangan dengan suasana yang lebih buruk, cuaca yang tidak bersahabat, mesin kapal-kapal yang tiba-tiba mati satu. Jadilah perjalanan ke pulau Rinca menjadi sebuah acara setengah hati.


Menikmati blog yang terlalu kosong juga rasanya kurang nyaman. Lalu aku berfikir, kenapa tidak sekali-kali menampilkan sisi “indah” Indonesia dari sisi yang lebih kecil. Dunia makro dan bunga tampaknya adalah keindahan lain Indonesia. Indonesia punya beribu keanekaragaman jenis bunga dan kumbang yang luar biasa.


Dengan bekal sebuah kamera yang masih “biasa” bahkan “under”, aku mencoba berbagi gambar-gambar makro, bunga-bunga dan yang kutemui. Dengan kreatifitas seadanya,tambah perangkat sana tambah perangkat sini supaya gambar-gambar tersaji sedikit “cantik”.


Semoga lain kali bisa mempersembahkan kembali alam Indonesia yang luar biasa.


----------- meninggalkanmu -----------------


in diagonal lines of green


kepik merah: mencari sari


yang ditepi jalan begitu menggoda


putih-putih bertebaran


bulir-bulir embun di pagi hari


belalang hijau: generasi baru


anggrek: saat berbungamu memancing cemburu

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 09 Desember 2010

Manggarai Barat: Menuju Ikon Dunia

View dermaga Labuan Bajo senja hari dari Puncak Waringin (picture taken 29/11/2010 18:39:36)

Bagi yang pernah singgah di Labuan Bajo, tidak akan heran bila mengetahui bahwa Labuan Bajo, ibukota dari Kabupaten Manggarai Barat ini memiliki hotel berbintang yang lebih banyak daripada hotel di Kupang, ibukota dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah alam yang menjanjikan wisata alam luar biasa, potensi yang mulai dilirik olah para investor baik dalam negeri maupun investor asing.

Senja hari di daerah pendinginan ikan
Kabupaten yang berada diujung pulau Flores ini memiliki kontur alam yang membuat kita mengganggukkan kepada betapa banyak potensi yang mungkin tergali dari daerah ini. Kabar terkuat belakangan ini justru dari keberadaan pulau Komodo yang sedang dalam pertarungan di dunia untuk menjadi satu dari keajaiban alam.
Sebuah pesawat bermesin baling-baling mendaratkan rodanya di bandara Komodo saat kulirik jam 09.00 WITA, aku menunggu kedatangan seseorang hampir setengah jam sampai akhirnya memastikan bahwa pesawat tiba saat keudengar bunyi sirine dari menara pengawas bandara. Ini adalah hari ketiga aku di Labuan Bajo, sebuah tugas dari kantor telah membawaku ke tempat ini. Bukan pertama kali aku kesini, tapi mungkin saat inilah waktu terpanjang aku kesini setidaknya sampai seminggu ke depan.

Pasir putih dan kawasan terumbu karang di P. Bidadari
 Walaupun lebih dari seminggu aku disini, bukan hal gampang untuk mempersiapkan perjalanan. Total sampai hari ketiga ini, aku belum melakukan perjalanan jauh. Aku hanya bolak-balik ke mampir dermaga pelabuhan atau sekedar berjalan-jalan ke arah pasar ikan. Di depan pasar ikan banyak berdiri lopo-lopo yang seharusnya digunakan untuk orang duduk-duduk tapi justru digunakan pedagang untuk berjualan makanan dan minuman. Tapi kalian harus rela menahan napas jika kendaraan berat lewat karena kondisi jalan yang rusak dan banyak timbunan tanah membuat debu tebal berterbangan begitu kendaraan besar lewat.
Kalo sore dan langit tidak terlalu mendung, maka aku akan menyempatkan diri naik ke atas bukit dimana terdapat satu tempat yang menarik untuk melihat kota Labuan Bajo, namanya Puncak Waringin. Di Puncak Waringin ini berdiri bangunan yang dibangun oleh pemerintah setempat dan sekarang tempat ini telah menjadi hotel dan restauran. Sayang sekali, padahal tempat ini sangat menarik jika dijadikan ruang publik dan tidak ada bangunan seperti hotel ini. Dari atas Puncak Waringin ini, dapat kulihat kontur Manggarai Barat yang berbukit-bukit dengan banyak pulau-pulau seperti saling menutup menjadi perairan disini terlindung dari gelombang laut. Bahkan sering sekali laut di sini terasa tenang sekali seperti air danau.

Suasana pagi hari di dermaga pelabuhan
Untunglah akhirnya aku mendapatkan sebuah motor pinjaman yang dapat kugunakan untuk berjalan-jalan sore hari sepulang tugas kantor. Perjalanan darat pertama aku mencoba menyusuri kawasan jalan menuju pantai Pede, sebuah ikon wisata lokal yang sama sekali tidak menarik menurutku. Sebuah tempat wisata lokal yang pantainya telah kotor tercemari sampah penduduk yang tinggal di perkampungan Bajo di sebelah pantai Pede.
Tapi disamping pantai Pede sendiri terdapat bangunan hotel New Bajo Beach yang tampaknya sudah lama berdiri. Beberapa bangunan lama seperti villa-villa berdinding bambu tampak menganggur dan dalam kondisi rusak, padahal dulu aku sering melihat bule (wisatawan asing) backpacker tinggal disini.
Sebuah bangunan baru juga tampak baru dibangun di sebelah kanan pantai Pede, katanya teman yang bekerja di pemerintahan, bangunan itu adalah calon hotel bintang lima. Sebuah hotel lain yang akan melengkapi keberadaan hotel berkelas lain seperti hotel Bintang Flores dan hotel Jayakarta. Dari bangunan dan jalan yang baru dibangun, tampaknya arah pembangunan hotel dan tempat hiburan akan diarahkan ke tempat ini. Bangunan-bangunan baru yang berdiri ini seperti mengisyaratkan kesiapan investor untuk menjadi daerah tujuan wisata kelas dunia. Apalagi jika pulau Komodo nantinya berhasil menjadi salah satu ikon keajaiban alam dunia.
Disepanjang jalan utama dari Labuan Bajo banyak dipenuhi hotel dan tempat-tempat yang menawarkan jasa travelling dan tempat kursus diving karena memang salah satu yang menarik dari Manggarai Barat adalah banyaknya lokasi-lokasi terumbu karang yang indah di sepanjang alur pantai di pulau-pulau.
Saya juga sempat menikmati perjalanan darat ke arah perbukitan sebelah barat Labuan Bajo dimana mengantarkan saya sampai ke tempat pendinginan ikan. Sebuah dermaga kayu kecil memanjang yang digunakan nelayan-nelayan yang akan menyetorkan ikannya ke tempat ini. Arinya begitu tenang dengan ikan-ikan warna-warni yang begitu mudah ditemui mata. Sayang sekali, sekali lagi saya menemukan pantai yang begitu banyak sampah padahal jika di tempat ini bersih dari sampah, saya akan menemukan tempat yang menarik untuk disinggahi.
Baru pada hari kedelapan, saat bersamaan tim kerja memiliki waktu longgar kita bisa merencanakan perjalanan ke luar pulau. Sebenarnya awal kita akan merencanakan perjalanan ke pulau Komodo tapi berhubung jarak tempuh yang sekitar 4 jam sedangkan hari ini ada tim yang harus kembali ke Kupang, maka kita memutuskan untuk mengunjungi pulau Rinca. Pulau Rinca adalah pulau lain yang juga menjadi habitat hidup Komodo.


Pak Arman di atas perahu memasuki Loh Buaya
  Kami menggunakan perahu motor teman bernama pak Armansyah, yang kebetulan juga memiliki sebuah kapal wisata bernama Sibanaha, sebuah perahu bergaya pinisi yang juga berfungsi sebagai penginapan terapung. Sebuah sensasi yang layak anda coba jika suatu ketika kesini, perjalanan anda ke pulau-pulau dengan pantai nan eksotis dan diving diantara terumbu-terumbu karang yang tersebar di pulau Bidadari, Seraya Besar, Seraya, Rinca, Komodo, Kanawa dan beberapa pulau lain tak akan terlupakan, apalagi menikmati makan malam berlatar matahari terbenam disebuah kapal pinisi yang tertambat di tengah laut yang begitu tenang.
Perjalanan ke pulau Rinca ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam, di antara jarak itu, mata kami disuguhi landskap Manggarai Barat dan beberapa pulau yang begitu indah. Laut yang begitu tenang terbelah mesin perahu motor kami. Suara raungan moto perahu seperti tidak terdengar karena aku begitu terpaku pada setiap view yang lewat di depan mata. Setelah melewati selat Molo, sebuah tempat yang harus diwaspadai karena arus yang kadang sangat kencang, tak lama kemudian kami mulai memasuki ceruk ke dalam melewati Loh Timah menuju ke Loh Buaya.

Seekor anak komodo mengintip dari rerumputan

Komodo tertua di P. Rinca yang dipanggil the Big Boss
Loh Buaya terletak di ceruk pulau Rinca sehingga laut di sini tenang sekali, perahu kami seperti membelah sebuah kaca raksasa karena pantulan pulau-pulau begitu sempurna tergambar. Sederetan hutan bakau menyambut kami menyusul pemandangan sebuah dermaga yang bertuliskan Selamat Datang di Pulai Rinca menyambut kami. Kami melihat beberapa kano bersandar disebuah sisi perahu yang agak besar. Menurut pak Arman, kano-kano modern ini yang sering digunakan olah wisatawan asing untuk menjelahi pulau Rinca dari perairan. Sensasi petualan yang ingin saya jajal nanti.
Beberapa ekor monyet bertengger di pohon bakau menyambut kedatangan kami, dari dermaga masuk ini kami harus berjalan sekitar 400 meter menuju sebuah kawasan bangunan milik penjaga. Beberapa ekor komodo tampak tak antusias menyambut kami, setidaknya itulah yang kami inginkan, karena kami tak ingin menjadi santapan mereka. Sebuah anak komodo kecil menarik perhatianku, ukurannya yang seperti biawak dewasa tampaknya menarik apalagi dengan gerakannya yang cenderung lebih gesit dari pada induknya. Dengan ditemani seorang penjaga yang selalu memegang tongkat bercabang seperti ketapel, kami memasuki ke kawasan yang lebih dalam kami disambut beberapa ekor komodo yang ukurannya jauh lebih besar. Menurut penjaga tersebut, komodo di pulau Rinca ini ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang ada di pulau Komodo. Sebenarnya dua habitat berbeda ukuran ini adalah satu jenis, namun berbedaan ekosistem tempat habitat mereka rupanya mempengaruhi ukuran tubuh komodo.
Sebelum kami kembali ke Labuan Bajo, kami menyempatkan diri berenang di pulau Kelor, sebuah pulau yang malah sebenarnya tidak ada pohon Kelor. Entah apa makna dari nama pulau Kelor ini. Hamparan pasir dan laut yang begitu jernih menyambut kami, kesempatan yang tidak kami sia-siakan tentunya walaupun ada yang harus kami tebus: kulit yang makin terbakar. Ah, kesenangan yang tidak tergantikan dengan hanya sebuah kulit yang terbakar matahari. Siang tidak menjadi penghalang kaki-kaki mengayuh di beningnya air Pulau Kelor.
Inilah Manggarai Barat, potensi-potensi wisata luar biasa yang terbentang dengan keterbatasan-keterbatasan infrastruktur dan prasarana seolah saling bertarung untuk menentukan: apakah Kabupaten ini berhasil mengatasi hambatan infrastruktur dan menjadi menjadikan salah satu pulaunya menjadi ikon wisata dunia ataukah menjadi sebuah kota yang nyaris menjadi tempat wisata dunia yang ditinggalkan.
Rasanya dibutuhkan hubungan yang lebih baik antara pemerintah dan komponen masyarakat yang peduli wisata di Manggarai Barat untuk membuatnya menjadi tempat yang layak untuk dikunjungi. Mari kita dukung pulau Komodo menjadi salah satu keajaiban dunia.

Vote Komodo!
http://www.new7wonders.com/community/en/new7wonders/new7wonders_of_nature/voting

catatan: Jika anda tertarik untuk menyewa kapal motor "Sibanaha" yang bergaya pinisi untuk menikmati perjalanan anda di wilayah Nusa Tenggara Timur atau Nusa Tenggara Barat, silahkan hubungi saya atau pemilik langsung kapal Sibanaha.

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 15 November 2010

Menikmati Sawah dan Perbukitan

Musim panen setahun terjadi sampai dengan tiga kali, suasana gotong royong masih terasa disini

Gambaran perbukitan diambil dari belakang bukit di kawasan kantor kabupaten yang baru

Bagi orang yang pernah mendengar kata Nusa Tenggara Timur, maka kata panas, kering, susah air, tanahnya berbatu sering lebih dulu menghinggapi. Mudah untuk menunjukkan sisi gersang tanah Nusa Tenggara ini dibandingkan menunjukkan sisi suburnya tanah ini. Bukan satu dua kali saya mendapatkan pertanyaan (atau pernyataan?) ketidakpercayaan kalau saya menunjukkan salah satu wilayah subur dari Nusa Tenggara Timur.


Pemandangan sawah sebelum musim tanam

Salah satunya waktu saya menunjukkan foto persawahan yang ada di Mbay, Kabupaten Nagekeo. Saya sendiri awalnya kurang terlalu yakin waktu diberitahu kalau di Flores ada kawasan persawahan yang luas seperti halnya di Lembor, yang berada di Kabupaten Manggarai Barat. Diantara kabupaten-kabupaten yang ada di Nusa Tenggara Timur, sawah di kawasan Lembor memang yang sudah dikenal luas, karena memang tidak banyak kawasan sawah di Nusa Tenggara Timur.

Namun sesampainya di Mbay, saya harus mengakui kalo di daerah ini memang memiliki kawasan persawahan yang luas sebagaimana di Lembor. Bahkan saya mendapatkan cerita tambahan unik seputar sawah di daerah ini.

Salah satu Bangau yang ada di persawahan

Kawasan persawahan Mbay langsung tampak dari atas bukit yang kita lintasi sewaktu memasuki kota Mbay. Hamparan hijau sepanjang tahun berpetak-petak tampak memenuhi tanah datar sampai mendekati di batas pantai.
Sawah disini memang tak pernah berhenti karena pengairannya menggunakan bendungan bukan berasal dari hujan atau dikenal dengan istilah sawah tadah hujan.

Bendungan "Sutami" yang dibangun tahun 1970-an yang memiliki kemampuan 47.751 juta meter kubik inilah yang menjadi penyangga berlangsungnya pertanian di daerah ini. Dan masih bersihnya udara disini bisa tampak dari banyaknya jenis bangau dan burung lain yang ada di sawah. Beberapa jenis bangau tampak singgah di persawahan ini.

Setidaknya aku menemukan 4 jenis burung berkaki panjang sejenis bangau dari yang berwarna kepala dan leher oranye, sampai bermotif lurik dengan ukuran kecil.

Padang rumput saat rumput-rumput masih hijau

Keunikan pertama dari daerah ini adalah banyak ditemukannya dangau-dangau yang sebenarnya dulu digunakan untuk menyembunyikan peralatan tempur jepangan seperti pesawat, tank ataupun kendaraan panser. Itulah mengapa dulu di kawasan ini pernah dibangun bandara yang disebut sebagai Surabaya 2, yang sepertinya adalah bahasa sandi sebagai tempat apabila pangkalan Surabaya yang dikuasai Jepang mengalami masalah. Itulah kenapa di dangau rata-rata memiliki sebuah rawa/kubangan membentuk huruf U. Dahulu menurut cerita penduduk, di dangau masih mudah ditemukan bangkai pesawat atau tank yang sudah rusak, namun saat ini sudah sulit dijumpai. Mungkin pendatang baru yang datang ke daerah ini yang ikut mengambil bangkai-bangkai itu.

Bukit pada bulan-bulan kering

Rata-rata padi yang ditanam di persawahan ini adalah padi Mamberamo, dan meskipun beberapa kali serangan hama menyerang persawahan di sini, petani tetap enggan untuk berpindah menanam jenis padi yang lebih tahan terhadap serangan hama wereng.

Sawah-sawah yang tergenang disini juga banyak hidup ikan lele, menurut salah satu penduduk, ikan lele di sini mudah didapat karena masyarakat sendiri kurang suka mengkonsumsinya.

Selain menikmati senja dari persawahan juga dapat anda lakukan di antara perbukitan. Perbukitan di Mbay yang lebih kering lebih sering hanya tumbuh rumput saja. Pada musim-musim hujan dan bulan-bulan dimana tanah masih mengandung air, duduk diperbukitan yang lebih mirip padang savanna ini seperti menikmati alam koboy. Anda akan melihat hamparan rumput hijau dan gembalaan sapi atau kambing.
Jangan lupakan menyiapkan minuman dan makanan, rasanya sayang kalau hanya sekedar menikmati padang sawannah ini jika ingin sekaligus menikmati saat-saat tenggelamnya matahari diantara perbukitan.
 
Pertunjukan langit senja berlatar belakang alam perbukitan di Mbay

 Kekosongan hamparan perbukitan berpadu begitu eksotis di perbukitan Mbay. Mengajak anda sejenak melupakan rutinitas dan menikmati sebuah taman rumput yang begitu luas membentang dengan menunggu tinta-tinta langit bergambar biru kuning begitu cepat, siapa menyangka apa yang terjadi pada menit berikutnya.
Pertunjukan langit senja yang tak pernah saya lewatkan bila saya telah duduk di hamparan rumput di bukit Mbay ini.
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 05 November 2010

Menemani Senja


Pemandangan senja hari diambil dari pantai Namosain, Kupang, Nusa Tenggara Timur
 Hari ini mencoba membuka beberapa folder foto-foto yang kuabadikan selama ini, di antara foto-foto itu harus kuakui aku masih merasa nyaman dengan foto-foto senja hari. Padahal jika mau kuhitung, aku menikmati senja jauh lebih banyak dibanding yang hasil foto-fotoku. Dan momen-momen terbaik lebih sering terendam dalam lautan memoriku sendiri.


Pemandangan senja diambil dengan kamera
Fuji S200EXR di Pelabuhan Tenau, Kupang
Aku memang penikmat senja walaupun tidak kulakukan tiap hari, sebagaimana orang-orang yang sering kutemui di banyak pantai. Ya, penikmat senja memang paling sering menikmati senja dari pantai. Momen tenggelamnya sang matahari memang paling terasa di pantai dimana batas horison menjadi jarak pemisah antara langit merah dan bumi.
Senja memang menghadirkan warna lembayung merona dan beberapa warna lain yang begitu pendek yang begitu sayang terlewati. Perubahan waktu yang pendek itu seolah menghentikan sejenak degup jantung saat emosi menyala. Bagitu berbedanya nuansa senja, bagiku senja tetap menjadi waktu istimewa.

Dan menikmati senja tak sebatas dari laut, begitu banyak tempat yang bisa menjadi tempat yang indah menikmati senja. Sebagian besar orang bisa mencicipi teh hangat dan kue di tepi pantai, atau dengan sebuah jagung bakar saja.

Pemandangan senja diambil dari sisi lain (Nirwana Resort),
Pura Tanah Lot, Bali di menit-menit terakhir hilangnya matahari

Menggenggam tangan kekasih berduaan (serasa) di dermaga atau pun duduk sendiri dengan linangan air mata kehilangan kekasih hati (asal tidak sampai bunuh diri) Senja selalu menawan baik dinikmati sendiri atau berdua, senja tetap tidak kehilangan gairahnya dinikmati di tempat sepi atau di suasana diskotik yang hingar-bingar (salah satu tempat di tepi pantai di Bali yang pernah kulihat).
Tapi aku tetap memilih menjadi penikmat senja yang sendiri, atau biarkan perasaanmu sendiri.

Pemandangan senja diambil dari sisi selatan (Nirwana Resort) ke arah
Pura Tanah Lot, Tabanan, Bali dengan 2 filter gradasi sunset dan biru
Tak harus di tepi pantai, di atas bukit-bukit yang tandus berumput pun senja tetap akan menampakkan keangkuhan warna langitnya.

Waktu yang hanya sepersekian sebelum terang berubah menjadi gelap selalu menyisakan sesuatu yang tak bisa di tebak. Tiap menit selalu mengirimkan nuansa yang berbeda.
Bahkan kadang cahayanya tak sempat terekam kamera sehingga harus puaslah terekam dengan memori.
 
Suasana senja dari daerah perbukitan kota Mbay, Nagekeo
Lokasi pengambilan dibelakang rumah dinas Bupati Nagekeo
Kapankah aku akan menjadi bosan dengan senja? Kapankah aku akan abai dengan senja.... rasanya tak akan pernah. Karena rupanya senja seperti mengirimkan sepotong cerita hari ini untuk dibawa tenggelam matahari. Tenggelamnya hari pertanda akan ada hari esok dengan cerita baru yang kita miliki.

Jangan pernah kuatir meski senja hari ini begitu pekat, bahkan di menit terakhir pun kita tak pernah tahu. Senja mengajarkanku untuk tidak menghakimi tiap detiknya dan membiarkan diri kita menikmati waktu apa adanya, menemani senja menutup hari-hari
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 27 Oktober 2010

Tumpengan

Tumpeng adalah hidangan tradisional khas Jawa yang terbuat dari nasi yang dimasak bersama santan dan dibentuk menjadi kerucut yang menyerupai gunungan yang sekelilingnya dihias dengan sayuran dan lauk pauk.

Biasanya nasi tumpeng dihidangkan ketika ada acara seremonial/upacara tertentu, misalnya acara selamatan pernikahan, khitanan, bersih desa/merti bumi, bahkan untuk ulang tahun dan peresmian/pembukaan suatu tempat.
Puncak kerucut sebagai simbol Tuhan.Sayuran dan lauk pauk yang mengelilinginya sebagai simbol alam dan lingkungannya. Warna Kuning pada nasi menandakan tingginya kekayaan dan kemuliaan.

Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.

Sesungguhnya 'tumpengan' adalah istilah untuk sebuah acara dimana didalamnya disajikan nasi tumpeng, jadi tidak hanya untuk acara selamatan (kenduri) atau perayaan kebahagiaan semata. 
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.

Beberapa acara tumpengan yang biasa ada di masyarakat antara lain:

  • Tumpeng Robyong - Dulu, tumpeng robyong disajikan untuk acara-acara besar seperti musim panen, mengusir penyakit, atau meminta hujan. Kini tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. 
  • Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan saat memasuki umur tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
  • Tumpeng Pungkur - Digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
  • Tumpeng Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
  • Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya. Isinya tak beda jauh dengan ketentuan Tumpeng pada umumnya, tetapi biasanya ditambahkan perkedel, kering-keringan, abon, irisan ketimun, dan dadar rawis.
  • Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi. Tumpeng nasi uduk berupa tumpeng nasi gurih yang disertai ayam ingkung bumbu areh, lalapan, rambak goreng, dan gorengan kedele hitam.
  • Tumpeng Seremonial/Modifikasi - Tumpeng ini bisa dibilang ‘tumpeng suka-suka’, karena untuk Tumpeng yang ini tidak memperhatikan arti filosofi yang terkandung dalam Tumpeng. Biasanya Tumpeng ini menggunakan Nasi kuning, Nasi goreng dan nasi warna yang lain. untuk lauk pauknya menurut selera kita sendiri.
Foto dan teks: Arum Mangkudisastro
Editor: Baktiar
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 23 September 2010

Danau Ranamese: Keheningan

Danau Ranamese, siapapun yang pernah melakukan perjalanan darat ke kota Ruteng menuju Borong atau sebaliknya pasti pernah melewati tempat ini. Danau Ranamese memang terletak di tepi jalan raya antara Ruteng (Kabupaten Manggarai) dan Borong (Kabupaten Manggarai Timur) dalam kelebatan hutan Poco Ranaka. Secara administratif, danau ini masuk wilayah Kabupaten Manggarai Timur. Meski demikian, perjalanan ke danau ini lebih dekat ditempuh melalui Ruteng dengan jarak sekitar 30 km.

Sebenarnya ini perjalananku yang ketiga mengunjungi danau Ranamese. Namun dari dua kali singgah kesini sebelumnya, aku hanya berjalan-jalan tanpa mengambil foto satu kali pun (karena waktu itu aku memang belum memiliki kamera digital).

Entah karena belakangan ini terjadi anomali cuaca atau karena apa, bulan-bulan September ternyata Ruteng tempat aku memulai perjalanan setiap siang atau sore selalu tertutup kabut yang kadang disertai hujan.

Namun niat yang kuat untuk kembali mengunjungi danau Ranamese membuat aku dan seorang teman tak menyurutkan niat meski perjalanan kali ini hanya dengan sebuah sepeda motor sewaan dari pemilik hotel Sinda, pak Stefanus yang bisa kami panggil pak Nus

Berbekal sebuah tas ransel yang telah kami isi dengan beberapa makanan kecil dan minuman. Selepas jam 08.00 pagi kami melajukan kendaraan dari kota Borong ke arah timur. Perjalanannya sendiri tidaklah mulus, karena kami beberapa kali dihadang longsoran-longsoran tanah akibat hujan. Alam Flores yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung memang rawan longsor karena kondisi tanahnya yang labil.

Karena bekas longsoran ini sehingga jalan-jalan banyak dipenuhi tanah-tanah liat yang membuat jalan menjadi licin apalagi gerimis masih turun di beberapa tempat meskipun tidak merata. Karena itu kami harus melambatkan kendaraan agar tidak slip.

Pemandangan di sepanjang perjalanan sungguh menawan sehingga rasanya kami ingin berhenti tiap saat untuk duduk menikmati ataupun sekedar mengarahkan kamera. Namun karena kami tidak ingin didahului kabut yang biasanya sering turun di danau Ranamese maka kami menguatkan untuk tidak berhenti, praktis kami hanya berhenti dua kali saja.

Setelah melewati daerah Poco Ranaka, tak berapa lama kendaraan kami sampai masuk di kawasan hutan lindung yang nampak begitu lebat. Lagi-lagi kami disambut gerimis yang agak keras. Untunglah, tak lama kemudian kami sampai di atas tanjakan dimana ada bangunan tembok tinggi dimana ada sebuat warung kecil berdiri di situ. Kami memutuskan singgah di warung untuk sedikit mengeringkan badan serta menikmati kopi panas yang tentu nikmat di waktu seperti ini.

Bangunan tembok tinggi itu berdiri tepat di tikungan menurun. Menurut teman-teman yang bekerja di pemerintahan, tembok ini sengaja dibangun untuk menghalangi pandangan orang-orang yang ada di dalam kendaraan dapat melihat langsung ke arah danau Ranamese yang ada di bawah. Karena memang dulu, di tempat itu orang bisa melihat danau Ranamese tanpa harus turun ke bawah, bahkan tanpa turun dari kendaraan. Akibatnya sering terjadi kemacetan di tempat ini, padahal jalan ini adalah akses satu-satunya dari Borong-Ruteng. Dengan adanya tembok ini, maka orang harus turun terlebih dahulu dan masuk dibalik tembok untuk dapat melihat danau Ranamese dari ketinggian.

Selesai minum kopi, kami dikejutkan dengan kondisi ban motor depan yang bocor. Untunglah pemilik warung punya peralatan untuk menambal ban itu. Walhasil, kami menitipkan kendaraan itu ke pemilik warung dan kami berjalan kaki turun menuju ke pintu masuk danau Ranamese.

Di pintu masuk danau ini sebenarnya ada beberapa bangunan milik dari KSDA yang sudah tidak terpakai sehingga beberapa lopo yang dulu dibangun juga sudah rusak tak dapat digunakan.

Beberapa orang setempat mengatakan tempat ini penuh dengan mistis dan beberapa kejadian aneh. Salah satu khas yang kami tahu setiap kali kendaraan melewati daerah ini pada malam hari pasti membunyikan klakson panjang beberapa kali. Waktu kita tanyakan kepada sopir-sopir itu, mereka katakan bahwa mereka membunyikan klakson untuk meminta ijin lewat daerah ini. Kalau tidak, tanya saya.. wah, beberapa cerita seram mengalir dari mulut mereka. Kebenarannya? Wallahualam....

Begitu turun ke danau kami disambut pemandangan beberapa orang yang tampaknya begitu asyik memancing dan mereka tidak saling berkumpul melainkan saling berpencar beberapa jauh. Wah, padahal air udara disini dingin sekali. Tempat ini terletak di atas 1000 meter di atas permukaan air laut serta hutan lindung dengan pohon-pohon besar jadi pantas jika suasananya dingin.

Pokok-pokok pohon besar yang ditumbuhi lumut dan tumbuhan pakis, air danau yang begitu tenang dengan pantulan airnya yang tampak hijau seperti menyihir mata kami. Meskipun awan tetap menyelimuti tempat ini namun warna-warna yang menawan antara daun-daun pepohonan yang berwarna hijau dengan beberapa pohon yang daunnya telah menguning bahkan memerah seperti menciptakan kontras warna yang saling melengkapi.

Perjalanan mengelilingi danau ini agak sulit sehingga sebaiknya menggunakan alas kaki berbahan karet yang bagus karena selain jalurnya yang sempit dan seringkali dihalangi batang-batang pohon yang tumbang, jalur-jalur itu juga dibatasi lereng yang curam, salah sedikit kaki melangkah berarti siap-siap tercebur ke dalam danau. Ingin tau seberapa dingin air di danau ini? Rasanya tidak berlebihan jika pada waktu tertentu terutama pada bulan-bulan Juli maka anda akan seperti es yang dicairkan.

Suasana danau memang terkesan mistis, namun keheningan dan suasana alamnya sungguh menghanyutkan. Suguhan keindahan komposisi karya Tuhan seperti mozaik yang ditaburkan dengan begitu sempurna baik di musim berbunganya maupun dimusim gugurnya.
Pemancing di danau ini tidaklah banyak, sebagian besar yang saya tanyai adalah penduduk sekitar danau ini yang tinggal di daerah Gololoni. Bahkan kalau sudah asyik memancing mereka bisa asyik sampai malam sambil membuat perapian biar tetap hangat.

Bahkan waktu itu saya melihat jam 10.00 mereka sudah membuat api, ya karena memang udara disini walaupun siang hari tetep akan sejuk bahkan dingin pada waktu-waktu tertentu.
Oh, bagi yang penggeli terhadap lintah juga harap berhati-hati karena lintah banyak sekali di danau ini, saya sendiri harus merelakan darah dihisap setidaknya 3-4 lintah.


Selepas jam 11.00 saya dan teman memutuskan kembali karena batere kamera teman sudah habis sehingga tidak bisa memfoto lagi. Padahal kita belum sampai seperempat lingkaran danau, dan terus terang pemandangan di seberang danau tampak begitu menawan dengan juntaian tanaman-tanaman merambat dipohon besar, jembatan kecil dengan rumput-rumput ilalang yang begitu hijau...

Akhirnya kita kembali ke warung karena kabut turun dengan cepat sehingga danau menjadi tertutup dan tak bisa dilihat lagi. Danau Ranamese memang kalau tertutup kabut sering sulit untuk bisa dilihat lagi meski dalam jarak dekat karena kabut yang turun seringkali tebal sekali sehingga jarak pandang teramat pendek.


Namun pengalaman ini sungguh menyenangkan, tampaknya aku harus mengunjunginya lagi setidaknya untuk bisa memutari seluruh kawasan danau ini.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 13 Juli 2010

Di Ketinggian Kota Bajawa (1)


Sungai Waewoki diambil pada waktu menjelang petang pukul 18.12 dengan bukaan selama 13 detik

 Pesawat mendarat di bandara Turulelo Soa sekitar pukul 8 pagi, cukup cerah untuk dinikmati. Hawa sejuk cenderung dingin langsung menyergap kami, ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut membuat kota ini selalu diselimuti dingin apalagi pada bulan Juni-Juli. Beberapa lelaki hidir mudik di ruangan tunggu kedatangan menawarkan angkutan menuju kota Bajawa. Kebetulan karena kami sedang dalam tugas sehingga sudah ada yang menjemput kami, namun apabila tidak ada yang menjemput dengan biaya sekitar 50ribu-an sebuah mobil berplat hitam dapat mengantarkan anda ke ibukota Kabupaten Ngada ini.

View dari hotel Edelweis lantai 4 pada saat kabut tebal mulai menyelimuti

  Perjalanan menuju Bajawa yang berjarak sekitar 21 km dari bandara ini terasa menyenangkan, melewati perkampungan dan hutan-hutan yang rimbun membuat kendaraan yang melaju di jalan berkelok-kelok tidak terasa.

Kesan pertama begitu kami memasuki jalan masuk ke Bajawa seperti masuk di kawasan perumahan. Bagaimana tidak, kota Bajawa yang terletak di cekungan seperti sebuah piring yang dipagari barisan pegunungan. Akses jalan keluar dan masuk ya jalan ini, persis sebuah perumahan yang tertutup yang gerbang masuk keluarnya tunggal kan?
Perumahan di kota Bajawa sebagian masih bergaya lama, beberapa bangunan mengingatkan bahwa tempat ini pernah menjadi tempat persinggahan orang-orang Purtugis atau Belanda dulu.
 
Bunga-bunga kecil diambil di depan hotel Kembang

 Jam setengah sembilan, mobil carter kami memasuki areal hotel Edelweis. Beruntung saat itu tidak ada kendaraan terparkir sehingga mobil bisa masuk tidak harus berhenti di pinggir jalan. Hotel Edelweis memiliki gambaran seperti halnya losmen-losmen di Jawa, sama seperti halnya beberapa hotel yang tersebar di kota Bajawa ini. Namun yang paling menarik dari hotel yang berada di pinggir jalan keluar masuk kota Bajawa ini adalah kontur tanah berbukit yang menyebabkan posisi kamarnya bertingkat. Jika mau memilih kamar yang berada di belakang maka kita bisa menikmati pemandangan gunung Inerie yang sering tersaput kabut tebal bagian puncaknya pada sore hari. Maka kegiatan yang cukup menyenangkan di pagi atau sore hari adalah menikmati pemandangan kota Bajawa berlatar gunung Inerie di bagian paling belakang hotel di lantai paling atas. Bunga-bunga begitu segar di sekeliling hotel juga bagian yang saya nikmati dari hotel ini.

Pemandangan sungai Waewoki dengan pengambilan petang hari

Sore setelah selesai dengan pekerjaan pasti saya sempatkan berjalan-jalan mengelilingi kota ini. Rasanya tak lama untuk mengenal tempat ini, kota yang kecil yang mungkin tak lebih besar dari sebuah kawasan perumahan bertipe sedang di Jawa. Bahkan karena kecilnya kota ini, kaki saya sampai harus ajak berkeliling keluar agak jauh.

 Ada satu sungai yang mengelilingi separo kota Bajawa yang beberapa kali saya datangi. Sungai yang alirannya bening ini masih digunakan sebagian penduduk Bajawa yang terutama di pinggir kota untuk melakukan aktivitas seperti mandi, mencuci atau mengambil air. Di pinggir sungai ini dengan mudah kita temui pohon-pohon bambu yang batangnya panjang lurus yang menjadi salah satu bahan utama rumah penduduk di Bajawa. Bahkan atap rumah yang menggunakan bambu banyak saya temui disini, unik sekali. Oh iya, bambu di Bajawa ini ukurannya besar-besar dengan batang yang lurus dengan sedikit cabang. Dari kualitas bambunya sebenarnya bambu-bambu ini sangat berpotensi dikembangkan.

Pemandangan yang berselimut kabut dari gunung
Inerie diambil dari gunung Inelika

Sebenarnya saya senang sekali menikmati sungai yang airnya terasa dingin di kaki ini, namun dari banyaknya sampah tersangkut di pinggir atau di bekas-bekas kayu melintang menunjukkan masih adanya kebiasaan beberapa masyarakat yang membuang sampah ke sungai.

 Semakin kaki saya melangkah semakin banyak yang ingin saya kenal dari Kabupaten Ngada ini. Rasanya menyenangkan sekali menyaksikan penggalan masa lalu tercipta di sini karena di sini lah saya bisa menemukan budaya lama (Megalitikum) yang masih hidup bersama masyarakatnya.
Hampir semua tempat yang pernah saya kunjungi membuat saya terkesan. Seperti perjalanan tanpa bekal yang cukup yang membuat saya terkapar sendirian di tepi kawah gunung Inelika sampai harus memakan buah-buahan yang saya gak tahu namanya (rasanya asam manis yang biasanya pertanda buah yang tidak beracun) untuk mengambil airnya. Sayangnya saat itu, kawah gunung Inelika baru saja kering sehingga waktu disana saya hanya bisa menyaksikan kawah yang sedang kering dengan sisa-sisa pohon kering.

Susunan batu berlumut yang digunakan untuk tempat
menambatkan hewan piaraan. Lokasi Kampung Bena

Aliran percabangan air dingin san air panas di Sumber
Air Panas Soa, sekitar 13 km dari Bajawa

Meskipun sisa-sisa budaya Megalitikum masih bisa ditemui di banyak tempat, namun tempat yang masih kental nuansanya dapat di saksikan di Bena. Jika harus membuat daftar kunjungan wajib jika di Flores, maka Bena adalah salah daftar wajib yang harus anda kunjungi.

Di Bena, anda bisa menyaksikan sebuah perkampungan yang berbentuk melingkar dengan nuansa Megalitikum yang masih kental dan menyaksikan dari dekat bagaimana aktivitas yang mereka jalankan.
Ada juga air terjun Ogi yang sayang potensinya masih belum diperhatikan oleh pemerintah.
Air terjun yang terletak di celah bukit dengan debet air yang sangat kencang ini cukup menjanjikan suasananya. Sebenarnya air terjun Ogi ini bisa menjadi salah tempat tujuan wisata yang layak bila dibenahi. Untuk mencapai kesana waktu itu saya harus bersedia melewati pematang sawah sejauh hampir satu kilometer tanpa ada akses jalan sama sekali. Menurut informasi, sebenarnya disini pernah dibangun akses jalan, namun seiring kerusakan yang tidak ada perbaikan lama-lama jalannya terkubur tak berbekas.

Pemandangan laut di salah satu pulau berterumbu karang
di kawasan Taman Laut 17 Pulau di Riung, Bajawa

Bagi yang ingin merasakan air panas, maka daerah Detusoko menjanjikan tempat pemandian air panas di Soa. Sumber air panas yang letaknya dekat dari bandara ini memliki sumber air panas yang cukup besar. Tempat yang menyenangkan untuk berendam apalagi setelah merasakan dinginnya air di Bajawa yang membuat kita menjadi malas mandi.


Masih ada lagi potensi yang berkelas dunia di taman laut 17 pulau yang berada di Riung. Meskipun jarak yang cukup jauh dari Bajawa sekitar tiga jam dengan perjalanan darat yang berliku-liku, namun semua kesulita itu akan terbayar begitu kita menikmati alam Riung, pulau-pulau berpasir putih dengan keunikan masing-masing, taman lautnya yang begitu bening dengan terumbu karang yang memukau. Namun lagi-lagi yang harus saya ingatkan adalah keterbatasan fasilitas di tempat ini, jadi jangan lupa membawa peralatan sendiri termasuk alat snorkling atau peralatan selam jika anda tertarik ke tempat ini. Namun yang tidak pun tidak akan kecewa dengan keindahan pulau-pulau yang ditawarkan tempat ini.

Rasanya bercerita tentang Ngada tak akan cukup dengan satu kali tulisan, mungkin untuk lebih detil masing-masing tempat ini akan saya sajikan dalam gambaran tersendiri.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya