|
Menikmati view teluk Nangalok dari atas bebatuan |
Beberapa orang sedang sibuk mengeluarkan perbekalan makan sore yang terlalu awal. Saat ini sedang jam 4, masih terlalu awal untuk mengeluarkan makanan. Bau ikan bakar yang baru disiapkan tidak terlalu menarik perhatianku. Tarikan mataku tetap terbetot pada view di depanku: teluk Nangaloh. Mengikuti kata hati, aku hanya menyahut "Sebentar" saat mereka meneriaki untuk makan sore dulu sebelum turun ke teluknya.
|
View teluk Nangalok ke arah ujung teluk |
Dari bebatuan di sisi barat, aku berdiri di batu paling ujung terpana dengan pemandangan teluk yang begitu eksotis di mataku. Untuk sebuah teluk, baru kali ini aku melihat teluk yang begitu cantik terbingkai oleh perbukitan savana yang mengelilinginya. Pemandangan pepohonan bakau yang memenuhi bagian pinggir pantai justru membuat paduan alam yang menyempurnakan. Saat ini rumput sedang menghijau walau belum memenuhi seluruh perbukitan. Warna biru kehijauan air laut saat ini menunjukkan bahwa pantai ini masih sangat bersih.
Teluk Nangalok berada di perbatasan antara desa Nanga Mbaur kecamatan Sambi Rampas dan desa Golo Lijun kecamatan Elar. Walaupun secara administratif masuk dalam pemerintahan kabupaten Manggarai Timur tetapi saat ini Borong bukanlah jalur paling dekat untuk mencapai daerah itu karena saat ini jalur dari Borong langsung ke Pota (ibukota kecamatan Sambi Rampas) kondisi rusak parah. Jadi jalur paling masuk akal justru dari Ruteng (kabupaten Manggarai) masuk ke arah Reo baru ke Pota
-----------------------------------
Perjalanan ke Sambi Rampas sebenarnya berkaitan dengan pekerjaan dimana ada dua lokasi pekerjaan irigasi yang harus aku cek yang kebetulan kedua-duanya ada di daerah Sambi Rampas. Sambil menyelam minum air, aku mencoba mencari tahu obyek apa yang aku nantinya bisa mampir selepas pekerjaanku kelar. Pencarianku di internet sempat memunculkan nama Pantai Watu Pajung. Aku tidak terlalu yakin tapi juga tidak mau terlalu memusingkan. Bukanlah yang penting perjalanan itu sendiri kalau ada lokasi yang bagus ya itu bonus bukan?
Jadi teluk ini memang bukan daerah yang aku incar untuk didatangi karena memang tidak ada yang menginformasikan keberadaan lokasi ini sebelumnya. Hanya ada satu orang bilang ada pantai yang bagus di sana yang sudah diincar oleh wisatawan asing. Tapi mereka tidak mengatakan kalau itu teluk?!? Entah sebenarnya mereka maksudkan teluk ini atau memang ada pantai yang lain.
|
View senja dari salah satu lokasi di daerah Reo |
Karena pertimbangan waktu tempuh yang lama, start perjalanan sudah dimulai sejak setengah delapan pagi dari Borong. Ingat, jika di daerah seperti NTT yang paling penting untuk ke lokasi itu waktu tempuh bukan jarak tempuh. Bisa jadi jarak 100 km bisa ditempuh dalam waktu tak lebih dari 2 jam. Tapi sangat mungkin juga jarak 15 km bisa ditempuh dalam waktu lebih dari 2 jam. Juga penting untuk mengetahui seberapa sulit medan yang harus didatangi karena bisa jadi sebuah perjalanan batal hanya karena medan yang cuma 1 km panjangnya tapi kerusakan jalannya parah sekali sehingga tidak bisa dilewati kendaraan. Dari Borong ke Ruteng jelas jalannya sudah mulus walaupun banyak tikungan tajam tapi bisa dijangkau tak lebih dari satu setengah jam.
Perjalanan dari Ruteng menuju Reo kondisi liukan jalannya lebih parah dibanding Borong-Ruteng atau malah bisa kubilang tidak ada jalan lurus lebih dari seratus meter. Cuma sekarang jalannya lebih sempit serta banyak ruas yang sudah mulai rusak jadi memang harus lebih hati-hati.
Perjalanan mulai lebih sulit lagi dari Reo menuju Pota. Bayangkan jalan meliuk-liuk dengan lebar tak lebih dari 3,5 meter tapi kita tidak tahu apakah ada bahu jalan atau tidak karena bahu jalan dan sebagian badan jalan tertutup pepohonan. Saat ini memang masih masuk bulan hujan sehingga daerah-daerah pesisir pun tetumbuhan liar tumbuh dengan suburnya.
Suara berisik terdengar dari sokbreker Ford Escapes yang menghantam bodi mobil. Frans - sang driver, bilang mobil emang sudah bilang sebelumnya kalau sokbrekernya memang sudah tidak bagus. Pantesan saja, jika menghamtam jalan yang batuannya menonjol agak keluar dengan kecepatan sedang langsung terasa ayunannya. Bila tidak diturunkan kecepatannya maka ayunan akan makin kuat dan terakhir akan terasa ban yang menghantam body mobil.
|
Persawahan di kawasan Sambi Rampas |
Jam setengah satu baru lah memasuki Pota, kota kecamatan Sambi Rampas. Daerah Pota ternyata sudah cukup ramai. Setidaknya sudah ada satu pom bensin di daerah ini termasuk sudah ada juga dermaga barang. Yang terbaru katanya juga sudah dibangun dermaga penumpang yang memungkinkan kapal penumpang bersandar. Daerah Pota ini penduduknya cukup heterogen, akses mereka justru banyak yang langsung ke Makasar mungkin karena jalur laut lebih lancar dibanding jalur darat yang seperti di atas kondisinya.
Tambahan informasi saja, daerah Pota ini ternyata daerah yang subur. Ada ratusan hektar sawah yang memiliki pengairan irigasi di daerah ini. Pantas saja di daerah ini walaupun kecamatan yang jauh dari ibukota kabupaten tapi tetap hidup suasananya.
Selepas pekerjaanku, rekan dari masyarakat lokal Sambi Rampas mengajakku makan sore sebelum kembali dengan pertimbangan di perjalanan belum tentu kami menemukan rumah makan. Dari ide itulah akhirnya mereka memperkenalkan teluk Nangalok ini.
Dari Pota menyusuri jalan ke arah timur, kami sempat melewati pantai Waju Pajung yang sepertinya sedang dipersiapkan oleh pemerintah daerah untuk menjadi salah satu destinasi wisata.
Sekitar seperempat jam melewati pantai Watu Pajung barulah kita mendapatkan view teluk Nangalok ini. Jalan yang kami lewati sepertinya baru dibuat (mungkin perbaikan dan pelebaran dari jalan sebelumnya) dan menurut mereka akan menghubungkan seluruh kabupaten di Flores melalui trans utara. Berarti jika jalan ini sudah benar-benar terhubung, daerah-daerah wisata yang keren di sisi Utara pulau Flores akan lebih mudah dieksplorasi.
---------------------------------------
|
Kejernihan air laut di teluk Nangalok |
Karena merupakan perairan tertutup, kondisi perairan teluk sangat tenang. Walaupun matahari teriknya saat itu lebih dari biasanya namun angin yang bertiup dari perbukitan terasa menyejukkan. Suasana masih begitu tenang di sini. Kalau pun ada suasana ramai, tentu mereka yang sekarang sedang asyik dengan makan sore ikan bakar dan entah apalagi di pinggir jalan sana.
Aku hanya sebentar menyantap makan siang ikan bakar. Mungkin jika waktunya pas menyantap ikan bakar segar di waktu seperti ini akan terasa nikmat sekali apalagi berada di alam terbuka yang begitu menawan. Sayang pikiranku sedang ke teluk itu sehingga sebentar kemudian aku menyudahi makan sore dan balik ke teluk di seberang jalan itu.
|
Rumput menghijau menghiasi view sekitar teluk |
Ada beberap perkampungan di sekitar teluk ini. Pak Feliks menunjukkan sebuah kampung yang berada di ujung dalam teluk yang legendanya merupakan penjaga teluk ini. Dia bercerita bahwa kawasan ini di jaga oleh orang tua di kampung itu, aku sendiri lupa nama kampungnya. Dulu sudah beberapa kali ada kegiatan AMD (ABRI Masuk Desa) di daerah ini.
Ceritanya, pada saat itu ada kunjungan damdim ke lokasi ini. Para tentara ingin menyuguhkan daging rusa untuk pimpinannya. Dulu di daerah ini masih banyak ditemukan rusa (entah sekarang). Karena butuh banyak maka para tentara itu minta orang tua itu menyediakan rusa untuk mereka. Orang tua itu menyanggupi tapi harus menghabiskan rusa yang dia bawa. Para tentara itu menyanggupi, maka orang tua itu pamit ke hutan. Tak lama kemudian dia membawa rusa besar untuk mereka yang langsung menjadi santapan nikmat para tentara. Namun ternyata mereka tak sanggup menghabiskan dan pagi hari di tempat mereka maka bukan sisa rusa yang mereka dapat tapi sisa batang kayu.
Dia juga menunjuk satu tempat di ujung teluk satunya yang tampah ada bagian pasir putihnya. Katanya, di sana ada tempat yang dibangun bule. Menurutku lokasi di sana memang strategis sekali. Bayangkan saja, teluk yang begitu aduhai dan memiliki pasir putih dan perbukitan ala teletubbies dengan posisi menghadap ke barat untuk menikmati sunset. Untuk urusan lokasi strategis seperti itu entah kenapa bule-bule bisa cepet sampai duluan sebelum kita ya.
Tambahan:
Di daerah Sambi Rampas juga ada sebuah danau yang dikenal dengan nama Rana Tonjong karena di danau itu ada bunga Tonjong (Teratai) yang tumbuh subur menutupi seluruh danau. Sebenarnya aku mau diajak makan di sana namun karena pertimbangan bahwa di danau itu saat ini baru tumbuh belum sampai musim berbunga sehingga aku disarankan lain kali saja ke sana. Kata pak Feliks musim berbunga puncaknya di bulan Mei-Juni. Itu waktu terbaik untuk mendapatkan danau dipenuhi dengan bungai Tonjong (Teratai).
Baca keseluruhan artikel...
|
Rela pingsan menikmati ademnya pasir putih di pantai Liang Bala |
Pantai Liang Bala adalah pantai yang pasirnya berwarna putih yang ada di sekitaran kota Borong. Keistimewaannya, selain berpasir putih, di pantai ini juga terdapat beberapa gua. Gua terdekat yang bisa dijangkau lewat pantai hanya bisa dicapai kalau sedang surut saja. Saat ini pantai ini masih belum dikelola oleh pemerintah, jadi masih gratis dan bebas. Iya bebas beneran kok mau ngapain aja asal bukan bebas buang sampah ya, kalau itu minta aku gosok kepalamu pake kaus kaki. Wisatawan lokal juga belum banyak yang ke tempat ini, entah karena belum dikenal atau karena kondisi jalannya yang kurang bagus. Tapi ada juga yang bilang begini: ah, sama kayak di sini kok om cuma pasirnya warna putih tapi sama saja. Wah ini orang mungkin belum tau kenapa ada salon #apahubungannyacoba.
|
Tampak pasir putih pantai Liang Bala dari puncak |
Sebelumnya gak pernah mikir kalau di Borong itu ada pantai yang pasirnya berwarna putih. Iya beneran.. Aku gak ada ekspektasi bakalan mendatangi pantai yang memiliki pasir berwarna putih di sini. Dari pertama kali ke Borong sekitar tahun 2012-an (awal-awal Manggarai Timur lepas dari Manggarai, kabupaten induknya), aku cuma tahu pantai Watu Ipu yang memanjang dari dermaga Borong yang sebelah tenggara dibatasi sama bukit batu yang terjal itu pasirnya warna hitam. Bahkan salah satu lokasi wisata yang dari dulu dikembangkan sejak kabupaten induk yaitu kawasan pantai Cepi Watu itu pun juga pasirnya berwarna hitam cuma di sana ada lokasi yang banyak batu-batunya. Kelebihan Cepi Watu cuma satu, kalau lagi pas bisa lihat mbak-mbak bahenol jalan-jalan di pantai. Ternyata oh ternyata di Cepi Watu itu ada tempat karaoke.. mungkin mbak-mbak itu yang jaga parkir kali ya #sokculun. Karena itulah, wajar aku gak punya ekspektasi banyak kalau ke Borong. Tetap suka sih menikmati senja di pantai walau pasir hitam, karena senja tetaplah senja yang asyik dinikmati dari mana saja bahkan sambil boker aja nikmat #timpukboker.
|
Suasana tebing gua dari ujung lain gua |
Katanya pantai Liang Bala ini belum lama baru diketahui keberadaannya baru sekitar dua tahunan ini. Mungkin saja pantai itu diketahui keberadaannya sejak kawasan bukit yang menghalangi pantai itu kena gusur sebagian jadi jalan. Iya, memang ada jalan baru yang harus memangkas samping bukit yang isinya batu-batu lempengan dan batu-batu besar segede gaban. Batu-batunya unik lho lempengannya lurus-lurus kayak baru keluar dari pabrik. Coba ada yang kreatif bisa langsung dibikin batu alam tuh. Yuk yang mau bisnis jualan batu kakak? Kakak yang potong batu, aku yang jual.
Ikhwal aku sampai ke pantai ini saat gak sengaja liat foto-foto pantai yang dipasang di salah satu restoran saat kita sedang makan siang. Di situ ketemu mas Eko - pinisepuhnya Tapaleuk Ukur Kaki #sungkem - yang kesasar sampai ke Borong. Dapat info dari teman-teman pemda yang sudah ke sana lebih dahulu kalau lokasi pantai itu ternyata dekat yaitu di balik bukit di pantai Watu Ipu. Waktu ngobrol siang itu juga belum kepikiran ke sana karena informasinya lokasinya masih susah dilewati. Mungkin kurang doa kali.
|
View dari dalam gua pertama di pantai Liang Bala |
Sore hari rencana awalnya mau jalan-jalan di pantai yang ada muara dari sungai Wae Bobo. Kebetulan sudah ada jembatan yang membentang tinggi melewati muara sungai Wae Bobo yang pas buat nikmati sunset. Masalahnya cuma satu motor, gak mungkin kan kita bonceng bertiga nanti bisa-bisa saingan sama alay-alay bekicot. Karena Trysu batal mau ikut (kayaknya memberi kesempatan aku dan mas Eko berduaan #halah), akhirnya kita merubah arah mau mencoba mendatangi pantai Liang Bala. Walaupun sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi informasi lokasinya lumayan belibet jadi memang harus rajin-rajin nanya sama penduduk sekitar kalau tidak mau kesasar ke tempat lain.
|
Salah satu cekungan air di gua Liang Bala |
Kita melewati jalur baru yang memangkas sisi kanan bukit sehingga kondisi jalannya masih berupa jalan tanah berbatu. Sebelumnya di daerah ini mungkin sudah ada jalan namun masih berupa jalan setapak yang digunakan untuk masyarakat sekitar bukit. Karena memang pekerjaannya baru kondisi pemotongan bukit jadi kondisi jalannya masih amburadul. Selain kurang rata batuannnya pun gampang terlepas bisa bikin motor gagap. Untung aku duduk manis jadi pembonceng di atas motor Mega Pro yang ditunggangi sama mas Eko yang juga gedenya saingan sama motornya. Jadi mantep aja lewat jalan berbatu, itu batu saat digilas bukan melenting keluar tapi langsung amblas ke tanah. Mungkin kalau dilewati mas Eko beberapa kali itu jalan langsung mulus sendiri #digamparmaseko. Aku sendiri merasa miris tiap kali lewat di batuan yang berpasir. Rem gak boleh bener-bener ditekan kalau gak ingin motor slip. Setelah melewati dua tanjakan, di tanjakan terakhir itulah view pantai pasir putih nampak jelas. Bagian menurun inilah yang bener-bener harus hati-hati. Aku bener-bener gak nyaranin ke tempat ini pakai motor yang rodanya kecil. Di belokan menurun terakhir aku memilih turun dari motor karena selain belokan tajam juga jalan berlubang dalam. Sepertinya kalau habis hujan lokasi ini tidak bakalan bisa dilewati motor, cuma bisa pake kolor itu pun jangan bukan kolor ijo, halah.
|
Lokasi yang cocok untuk memotret slowspeed |
Angin dari laut langsung menerpa ke wajah begitu sampai di lokasi, menyengat-menyengat gurih gimana. Cuaca masih terasa gerah walau sudah sore karena saat ini memang wilayah NTT menjadi salah satu wilayah yang masih mengalami gejala El Nino - gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan lautan - makanya jadi terasa lebih kering dan panas walaupun sebenarnya saat ini seharusnya masih jatuh musim hujan. Untungnya laut masih surut walaupun belum terlalu turun. Dengan menyusuri pantai ke tenggara melewati pinggir tebing batu akhirnya bertemu dengan sebuah lubang besar. Gua Liang Bala yang pertama ini tidak terlalu dalam, lebih mirip sebuah ceruk besar. Dari posisinya, air laut akan membasahi sampai ke ujung gua saat puncak pasang. Di sekitar gua banyak cekungan-cekungan air dimana beberapa ikan kecil tampak terperangkap di dalamnya. Di antara pantai pasir putih dan gua ini ada tempat karang yang bagian bawahnya bolong sehingga saat ombak naik dari lubang-lubang itu keluar suara mendesis keras yang kadang-kadang disertai semprotan air yang kencang ke udara. Tidak banyak orang hari ini, hanya ada beberapa anak yang sepertinya merupakan anak-anak dari kampung ini juga sedang menggunakan tombak dan pancing. Di bagian tebing atas tampak sebuah bangunan pondok terbuka yang dibuat oleh penduduk. Ada sepasang suami istri yang tengah beristirahat setelah selesai menanam. Di bagian atas tebing itulah tanah mereka. Saat ini mereka sedang menanam jagung, ada beberapa pokok ubi di bagian samping yang mungkin sudah di tanam jauh sebelumnya.
|
Kolam-kolam di sekitar gua, banyak ikan kecil terjebak |
Karena jaraknya tak jauh, dua hari berikut setelah mas Eko melanjutkan tour ke Ruteng, aku mengajak Trysu kembali ke pantai Liang Bala. Kebetulan dari siang, listrik di hotel yang pelayanannya ala kadar namun harganya ala mak, maka aku dan Trysu sudah mulai jalan sejak jam empat. Karena jalan kaki, aku dan Trysu memilih menyusuri jalan pantai yang sudah dilapis batu dengan jarak tempuh tak lebih dari lima belas menit. Dari dermaga pantai Watu Ipu, jalan ke arah bukit sangat terjal. Sepertinya tempat ini sudah beberapa kali longsor tampak dari beberapa pohon yang sudah tumbang jauh ke bawah. Sebenarnya waktu kembali dari pantai ini, penduduk ada yang bilang kalau kita bisa lewat bawah menyusuri bukit cuma aku kurang tahu dari mana mulainya makanya aku memilih lewat atas bukit saja. Di atas kami harus beberapa kali berhenti berteduh karena cuaca yang masih terasa terik walaupun sudah jam empat sore.
Awalnya aku mengajak Trysu ke atas bukit untuk menunjukkan view gua dari atas bukit. Saat berada di atas justru aku dikiranya mau ke gua yang lain jadi mereka memandu kami arah menuju gua lain. Wah memang rejeki, akhirnya malah tau cara menuju ke gua lainnya dan itu tidak perlu harus menunggu laur surut. Tapi masalahnya berganti. Dari atas bukit ini untuk turun ke bawah yang harus hati-hati. Turun pertama harus melewati kayu yang dibuat penduduk untuk turun ke bawah. Setelah beberapa meter menyisir pinggir tebing barulah kita harus kembali agak merangkak menyusuri tebing untuk sampai di bawah gua. Kondisi di sini kita harus hati-hati karena tipe batu di tebing bukan tipe karang tapi jenis batu cadas campur karang. Artinya tidak semua batu aman untuk dijadikan pegangan.
|
Senja dari atas tebing pantai Liang Bala |
Begitu sampai di gua bawah, pemandangan pasir putih di pantai ini lebih asyik. Bukan cuma karena tempatnya yang lebih tersembunyi tapi yang pasti juga lebih bersih karena sepertinya tidak semua orang yang berwisata ke pantai Liang Bala sampai ke pantai yang sisi ini. Ternyata di sini selain gua yang langsung kita temui saat turun juga masih ada dua gua kecil lain yang letaknya tak jauh tinggi dari pantai, yang artinya akan tergenang saat air mencapai puncak. Berarti hanya gua awal kita turun yang paling aman karena tidak akan terjangkau air walau sedang puncak pasang juga kondisi dalam gua yang berupa tanah landai bisa digunakan untuk berteduh. Hayo siapa yang berminat pasang tenda di sini. Gak rugi lah pokoknya kalau mau nenda di sini.
Perjalanan pulang aku dan Trysu sempat menyusuri lewat pingir pantai yang ternyata capek karena harus loncat dari satu batu ke batu lain. Ternyata waktu naik ke atas ada jalan setapak yang hanyak cukup satu badan. Walau kecil saja tapi jalan ini rupanya jalan yang paling cepat bila mau ke Liang Bala dengan jalan kaki. Motor tidak bisa melewati jalan ini ya karena di beberapa titik kita tetap harus melewati batu-batu besar. Gobloknya, dengan jalan kaki sejauh itu kira malah hanya membawa satu botol air putih ukuran kecil. Keruan saja kita pulang jadi setengah mati gara-gara kehausan di sepanjang jalan. Udah gitu warung yang biasa buka di pinggir dermaga entah kenapa juga tidak jualan hari ini.
Baca keseluruhan artikel...
|
Di tepi danau Ranamese, tumbuhan air memenuhi bawah danau |
Aku menulis ini bukan karena bosan jalan-jalan atau gak ada stok tempat tujuan lain lagi sehingga harus menulis yang sama.. itu lagi itu lagi... Tapi karena ada sesuatu hal yang membuat kegiatan jalan-jalan dan moto-moto terhenti. Tetapi karena kesibukan yang seharusnya gak perlu dibuat sibuk. Tak lain dan tak bukan karena harddisk-ku tewas. Sayangnya, kerusakan harddiskku terlambat aku sadari yang mengakibatkan seluruh file yang ada di dalamnya hilang tak terselamatkan... foto-foto dan video perjalanan juga data lainnya selama enam bulan terakhir raib lenyap. Jadi saat itu lebih disibukkan untuk mengembalikan data-data pekerjaan yang terus terang bisa menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan ulang. Ayo.. ayo.. yang ikut berduka bisa menyumbangkan uang duka ke rekeningku hahahaha...
Tapi ternyata foto-foto ini masih sempat aku olah walaupun hanya menyisakan ukuran layak tayang di website saja, itupun sayangnya juga tidak lengkap. Tapi daripada itu hilang lebih baik aku upload saja di sini, walau sebenarnya cerita di sini belum lengkap karena awalnya aku ingin sekalian menuliskan lokasi air terjun Watu Teber yang tidak jauh dari danau Ranamese.
|
Senja di pantai Cepi, Borong |
Perjalanan ke Ranamese baru bisa terlaksana hari Sabtu padahal sudah hampir seminggu tinggal di Borong. Apalagi kalau bukan masalah hujan yang rajin mengguyur tanah Flores belakangan ini, masih untung tidak meninggalkan jejak banjir seperti di Jakarta. Rencana perjalanan ke Ranamese sebenarnya ada dua tujuan: pertama, memperkenalkan lokasi baru ke Putra yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, kedua ada rencana yang belum tuntas yaitu mengelilingi danau Ranamese.
Kami mematangkan rencana setelah melihat cuaca siang terang, memang mungkin sekali cuaca berubah sewaktu-waktu tapi ini adalah hari terakhir kami. Minggu rencana kami akan kembali bertugas ke kota lain.
Sekitar jam tiga lewat, kami bertiga, aku, Angga dan Putra diantar mobil kijang pak Victor kami ke pertigaan arah masuk ke pasar. Di sini banyak sekali mobil-mobil plat hitam yang beroperasi layaknya angkutan umum antar kota. Umumnya mobil-mobil sejenis Avansa dan paling banyak APV memiliki jalur tempuh pendek, Borong-Ruteng atau Borong-Bajawa. Kami naik sebuah APV hitam yang sedang kosong yang menawarkan jalur Borong-Ruteng. Tak menunggu lama, si sopir memutuskan langsung berangkat. Aku sempat heran karena biasanya hari Sabtu banyak yang pulang. Just info, Borong adalah kota dari Kabupaten Manggarai Timur yang baru terbentuk beberapa tahun lalu jadi suasananya masih seperti kampung di Jawa. Karena baru banyak pegawai yang sebagian mutasi dari kabupaten induk Manggarai masih tinggal di Ruteng. Jadi hari Sabtu adalah kesempatan untuk pulang dan menikmati Minggu di rumah. Namun rupanya sebagian pegawai sudah pulang hari Jum'at karena Sabtu ini adalah hari libur. Sopirnya ternyata orang Ruteng jadi sekalian sambil mengantar kami langsung kembali ke Ruteng.
|
Sebuah rakit dari kayu di tepi danau Ranamese |
Setengah jam perjalanan yang terus menanjak akhirnya kami sampai di depan gerbang kantor bekas KSDA yang sudah kosong sekaligus pintu gerbang menuju ke danau Ranamese. Sopir APV minta uang seratus ribu waktu aku tanya biaya mengantar kami. Sebenarnya pak Victor sudah memberitahu kami kalau ongkos dari Borong sampai dengan Ruteng itu hanya dua puluh lima ribu, jadi kalau sampai Ranamese cukup lima belas ribu. Mengingat kami cuma bertiga yang naik jadi kami bayar saja seratus ribu, lebih murah dibanding kami menyewa sendiri mobil kesini. Walau pun mendung untung kabut tidak turun, padahal di Ranamese kabut mudah sekali turun jika sore menjelang apalagi jika sedang musim hujan begini. Untungnya di musim hujan begini, suhu justru menjadi tidak dingin. Aku bisa bandingkan saat kesini bulan Juli, walau tidak kabut namun suhunya benar-benar menggigit tulang.
Beberapa puluh meter masuk ke jalan setapak sampai kami di pinggir danau. Kami berputar menelusuri jalan tanah berbatu menuju ke bangunan seperti dermaga kecil. Putra dan Angga hanya sampai disitu saja sementara aku memutuskan untuk melanjutkan jalan mengitari danau. Rumput-rumput telah mulai meninggi menutupi jalan setapak yang batunya terasa licin oleh air yang mengalir dari sela-sela tanah. Tapi rumput-rumput yang tinggi ini juga membantuku berpegangan karena beberapa titik jalan yang meninggi ada yang longsor. Sukses melewati longsoran tanah aku harus rela disambut pohon-pohon besar melintang yang kulit batangnya terasa basah berlumut ditanganku. Perjalanan seperti ini, aku seperti melewati jalan yang lama tak tersentuh. Sementara di kejauhan danau, beberapa orang yang sedang asyik memancing menimbulkan tanya, darimanakah mereka berjalan sampai kesana? Apakah ada jalan lain ataukah menggunakan rakit bambu/kayu itu untuk sampai kesana?
Sepuluh menit kemudian aku sampai di turunan, tampak sebuah rakit dari kayu bersusun yang digunakan orang untuk menyeberang bersandar di tepi tanah lapang berumput. Lumayan, aku bisa sedikit menarik napas di sini. Aku cukup dekat dengan seorang pemancing yang tampak duduk tenang di atas rakitnya. Kepulan asap sesekali tampak dari sela bibirnya saat dia menghembuskan asap rokok ke udara.
Tapi aku belum setengah jalan sehingga aku putuskan untuk kembali melanjutkan jalan. Kali ini memang lebih sulit. Jejak jalan tidak seterang sebelumnya yang walau telah longsor masih tampak. Kali ini rimbunan rumput dan batang-batang pohon yang rumbuh mendatar menutupi jalan. Beberapa kali aku harus mereka jalan yang ada. Tampaknya jalan yang ini benar-benar sudah lama tidak dilewati. Tanah basah bahkan telah berlumut, harus hati-hati jika tidak ingin terpeleset. Kali ini waktu terasa lebih lambat, beberapa menit aku berjalan tidak mendapatkan kemajuan berarti. Langit mulai gerimis kembali, saatnya aku memutuskan untuk kembali. Sepertinya aku harus melanjutkan jalan di lain waktu. Jam tangan sudah menunjukkan waktu lebih dari setengah lima. Saat kami bertiga kembali sampai di tempat kami berbelok pertama kali, aku baru menyadari setidak nya ada empat lintah telah sukses menghisap tubuhku. Yah lumayan untuk mereka yang mungkin telah lama tidak mendapatkan darah segar hehehehe.
Tiba-tiba dari balik jalan kecil lain muncul orang tua yang sedang memanggul joran pancing. Aku penasaran bertanya: "pulang mancing pak?"
"Iya," sahutnya singkat sambil tersenyum
"Kalau mau ke sana itu," tunjukku ke arah dua orang yang masih mancing sesore ini, "untuk mancing bisa lewat jalan itu pak?" arah kepalaku menunjuk belakang jalan bapak tua.
"Iya, lewat sini bisa berputar sampai ke sana"
Oh, rupanya aku salah arah jalan, harusnya aku lewat jalan ini. Hahaha, lain kali aku harus mencoba lewat sini.
Acara hari ini kami akhiri dengan mampir di warung kopi persis setelah masuk gerbang menuju Ranamese. Penjual kopi ini adalah penjual kopi yang sama yang biasanya ada di jalan atas tepat di samping tembok yang dibangun untuk melihat danau Ranamese. Kata ibunya, mereka tidak diperbolehkan berjual di tempat itu lagi sehingga mereka pindah kesini. Lumayan lah jadi lebih dekat daripada sebelumnya harus naik ke atas lagi.
Segelas kopi panas dan semangkuk mi rebus segera terhidang nikmat terasa di saat hawa dingin begini. Kami sepertinya pengunjung terakhir karena ibu itu juga sudah mulai berkemas memberesi warungnya. Menurut informasi, bisanya jam terakhir ada kendaraan adalah jam setengah enam tapi bisa lebih awal kalau hari-hari sepi.
Wal hasil setengah jam menunggu di warung kopi ternyata belum ada satu kendaraan travel pun yang lewat. Akhirnya sambil menunggu kendaraan lewat, kami memutuskan sambil berjalan ke arah atas. Menunggu kendaraan travel menjadi acara yang agak bikin cemas karena sudah mulai lewat jam setengah enam masih juga belum nongol. Kami sedang bersiap-siap untuk naik kendaraan apa saja truk, pick up sekalipun yang arahnya ke Borong. Untung di menit terakhir sebuah APV putih lewat menawarkan tumpangan ke Borong.
Kami bertiga menjadi penghuni terakhir APV yang membuat APV menjadi penuh sehingga cukup untuk menghitung keuntungan si sopir. Acara naik APV diiringi sedikit accident. Saat aku hendak memutuskan membuka sedikit kaca agar udara masuk, tiba-tiba seorang nona yang duduk di depan mobil muntah di samping. Keruan saja muntahannya memenuhi kaca samping tempat aku duduk. Untung aku belum buka kaca, seandainya aku lebih dulu pasti ada acara orang muntah karena kena muntah.... hahahahaha..
Acara kembali ke Borong lebih murah, kami hanya diminta lima puluh ribu bertiga. Lumayan setengah harga dari perjalanan berangkat.
Baca keseluruhan artikel...
Danau Ranamese, siapapun yang pernah melakukan perjalanan darat ke kota Ruteng menuju Borong atau sebaliknya pasti pernah melewati tempat ini. Danau Ranamese memang terletak di tepi jalan raya antara Ruteng (Kabupaten Manggarai) dan Borong (Kabupaten Manggarai Timur) dalam kelebatan hutan Poco Ranaka. Secara administratif, danau ini masuk wilayah Kabupaten Manggarai Timur. Meski demikian, perjalanan ke danau ini lebih dekat ditempuh melalui Ruteng dengan jarak sekitar 30 km.
Sebenarnya ini perjalananku yang ketiga mengunjungi danau Ranamese. Namun dari dua kali singgah kesini sebelumnya, aku hanya berjalan-jalan tanpa mengambil foto satu kali pun (karena waktu itu aku memang belum memiliki kamera digital).
Entah karena belakangan ini terjadi anomali cuaca atau karena apa, bulan-bulan September ternyata Ruteng tempat aku memulai perjalanan setiap siang atau sore selalu tertutup kabut yang kadang disertai hujan.
Namun niat yang kuat untuk kembali mengunjungi danau Ranamese membuat aku dan seorang teman tak menyurutkan niat meski perjalanan kali ini hanya dengan sebuah sepeda motor sewaan dari pemilik hotel Sinda, pak Stefanus yang bisa kami panggil pak Nus
Berbekal sebuah tas ransel yang telah kami isi dengan beberapa makanan kecil dan minuman. Selepas jam 08.00 pagi kami melajukan kendaraan dari kota Borong ke arah timur. Perjalanannya sendiri tidaklah mulus, karena kami beberapa kali dihadang longsoran-longsoran tanah akibat hujan. Alam Flores yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung memang rawan longsor karena kondisi tanahnya yang labil.
Karena bekas longsoran ini sehingga jalan-jalan banyak dipenuhi tanah-tanah liat yang membuat jalan menjadi licin apalagi gerimis masih turun di beberapa tempat meskipun tidak merata. Karena itu kami harus melambatkan kendaraan agar tidak slip.
Pemandangan di sepanjang perjalanan sungguh menawan sehingga rasanya kami ingin berhenti tiap saat untuk duduk menikmati ataupun sekedar mengarahkan kamera. Namun karena kami tidak ingin didahului kabut yang biasanya sering turun di danau Ranamese maka kami menguatkan untuk tidak berhenti, praktis kami hanya berhenti dua kali saja.
Setelah melewati daerah Poco Ranaka, tak berapa lama kendaraan kami sampai masuk di kawasan hutan lindung yang nampak begitu lebat. Lagi-lagi kami disambut gerimis yang agak keras. Untunglah, tak lama kemudian kami sampai di atas tanjakan dimana ada bangunan tembok tinggi dimana ada sebuat warung kecil berdiri di situ. Kami memutuskan singgah di warung untuk sedikit mengeringkan badan serta menikmati kopi panas yang tentu nikmat di waktu seperti ini.
Bangunan tembok tinggi itu berdiri tepat di tikungan menurun. Menurut teman-teman yang bekerja di pemerintahan, tembok ini sengaja dibangun untuk menghalangi pandangan orang-orang yang ada di dalam kendaraan dapat melihat langsung ke arah danau Ranamese yang ada di bawah. Karena memang dulu, di tempat itu orang bisa melihat danau Ranamese tanpa harus turun ke bawah, bahkan tanpa turun dari kendaraan. Akibatnya sering terjadi kemacetan di tempat ini, padahal jalan ini adalah akses satu-satunya dari Borong-Ruteng. Dengan adanya tembok ini, maka orang harus turun terlebih dahulu dan masuk dibalik tembok untuk dapat melihat danau Ranamese dari ketinggian.
Selesai minum kopi, kami dikejutkan dengan kondisi ban motor depan yang bocor. Untunglah pemilik warung punya peralatan untuk menambal ban itu. Walhasil, kami menitipkan kendaraan itu ke pemilik warung dan kami berjalan kaki turun menuju ke pintu masuk danau Ranamese.
Di pintu masuk danau ini sebenarnya ada beberapa bangunan milik dari KSDA yang sudah tidak terpakai sehingga beberapa lopo yang dulu dibangun juga sudah rusak tak dapat digunakan.
Beberapa orang setempat mengatakan tempat ini penuh dengan mistis dan beberapa kejadian aneh. Salah satu khas yang kami tahu setiap kali kendaraan melewati daerah ini pada malam hari pasti membunyikan klakson panjang beberapa kali. Waktu kita tanyakan kepada sopir-sopir itu, mereka katakan bahwa mereka membunyikan klakson untuk meminta ijin lewat daerah ini. Kalau tidak, tanya saya.. wah, beberapa cerita seram mengalir dari mulut mereka. Kebenarannya? Wallahualam....
Begitu turun ke danau kami disambut pemandangan beberapa orang yang tampaknya begitu asyik memancing dan mereka tidak saling berkumpul melainkan saling berpencar beberapa jauh. Wah, padahal air udara disini dingin sekali. Tempat ini terletak di atas 1000 meter di atas permukaan air laut serta hutan lindung dengan pohon-pohon besar jadi pantas jika suasananya dingin.
Pokok-pokok pohon besar yang ditumbuhi lumut dan tumbuhan pakis, air danau yang begitu tenang dengan pantulan airnya yang tampak hijau seperti menyihir mata kami. Meskipun awan tetap menyelimuti tempat ini namun warna-warna yang menawan antara daun-daun pepohonan yang berwarna hijau dengan beberapa pohon yang daunnya telah menguning bahkan memerah seperti menciptakan kontras warna yang saling melengkapi.
Perjalanan mengelilingi danau ini agak sulit sehingga sebaiknya menggunakan alas kaki berbahan karet yang bagus karena selain jalurnya yang sempit dan seringkali dihalangi batang-batang pohon yang tumbang, jalur-jalur itu juga dibatasi lereng yang curam, salah sedikit kaki melangkah berarti siap-siap tercebur ke dalam danau. Ingin tau seberapa dingin air di danau ini? Rasanya tidak berlebihan jika pada waktu tertentu terutama pada bulan-bulan Juli maka anda akan seperti es yang dicairkan.
Suasana danau memang terkesan mistis, namun keheningan dan suasana alamnya sungguh menghanyutkan. Suguhan keindahan komposisi karya Tuhan seperti mozaik yang ditaburkan dengan begitu sempurna baik di musim berbunganya maupun dimusim gugurnya.
Pemancing di danau ini tidaklah banyak, sebagian besar yang saya tanyai adalah penduduk sekitar danau ini yang tinggal di daerah Gololoni. Bahkan kalau sudah asyik memancing mereka bisa asyik sampai malam sambil membuat perapian biar tetap hangat.
Bahkan waktu itu saya melihat jam 10.00 mereka sudah membuat api, ya karena memang udara disini walaupun siang hari tetep akan sejuk bahkan dingin pada waktu-waktu tertentu.
Oh, bagi yang penggeli terhadap lintah juga harap berhati-hati karena lintah banyak sekali di danau ini, saya sendiri harus merelakan darah dihisap setidaknya 3-4 lintah.
Selepas jam 11.00 saya dan teman memutuskan kembali karena batere kamera teman sudah habis sehingga tidak bisa memfoto lagi. Padahal kita belum sampai seperempat lingkaran danau, dan terus terang pemandangan di seberang danau tampak begitu menawan dengan juntaian tanaman-tanaman merambat dipohon besar, jembatan kecil dengan rumput-rumput ilalang yang begitu hijau...
Akhirnya kita kembali ke warung karena kabut turun dengan cepat sehingga danau menjadi tertutup dan tak bisa dilihat lagi. Danau Ranamese memang kalau tertutup kabut sering sulit untuk bisa dilihat lagi meski dalam jarak dekat karena kabut yang turun seringkali tebal sekali sehingga jarak pandang teramat pendek.
Namun pengalaman ini sungguh menyenangkan, tampaknya aku harus mengunjunginya lagi setidaknya untuk bisa memutari seluruh kawasan danau ini.
Baca keseluruhan artikel...