Om Robby duduk di sebuah pokok pohon mati berselimut sarung menunggu kami yang duduk mengatur napas. Perjalanan selama 1 jam 20 menit di pagi buta dengan kondisi angin yang cukup kencang gagal membuat kami berkeringat. Aku yang tidak pernak merokok sampai meminta sebatang rokok ke Imam untuk membantuku mengurangi rasa dingin. Kami masih terselamatkan karena tidak ada hujan semalam. Jalanan tanah yang berlubang-lubang besar bekas ban mobil off-road akan menjadi kubangan air jika sampai hujan turun.
"Nature's beauty is a gift that cultivates appreciation and gratitude" ---Louie Schwartzberg
Pagi di Padang Sabana
Kami tepat keluar dari hutan dan menginjak padang sabana pertama Gunung Mutis saat matahari mulai keluar dari ufuk timur. Sayang pemandangan padang menghijau itu sebentar muncul sebentar hilang terhalang oleh awan-awan rendah yang bergerak begitu cepat.
Kami duduk beristirahat di sebuah bukit terbuka yang dipenuhi rerumputan hijau pendek rapi layaknya perbukitan-perbukitan di padang golf. Matahari yang sudah naik sepenggalan masih belum mampu mengusir rasa dingin di padang sabana ini. Tapi setidaknya berjalan selama satu jam-an lumayan membuat badan lebih hangat. Jelas perjalanan untuk mengejar matahari di puncak Mutis sudah gagal sehingga kami memutuskan untuk bersantai di padang sabana.
Sebelum kembali kami sempatkan turun ke sebuah aliran sungai kecil yang airnya super duper bening. Botol-botol air dengan segera terisi, termasuk tenggorokan kami dengan air yang segarnya mengalahkan air minum dalam kemasan.
Kami beruntung, bulan April ini beberapa pohon sedang bersemi. Pohon santigi sedang bersemi, pucuk-pucuk daun berwarna merah memenuhi ujung dahannya. Pohon santigi jenis ini mengingatku pada walpaper pepohonan di Jepang yang daunnya berwarna merah, hanya Santigi ini berwarna merah di bagian pucuknya saja. Tapi Santigi ini tak kalah indah, pohonnya yang meliuk-liuk adalah bonsai alam terbaik. Apalagi disini, pohon Santigi dipenuhi dengan lumut dan tanaman-tanaman yang tertempel di sekujur batangnya.
Tidak beruntungnya, kami tidak menemukan banyak ternak yang mampir ke padang sabana. Hanya serombongan sapi dan kuda yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh ekor masing-masing. Entah karena sedang banyak angin, entah karena sedang dikandangkan pemiliknya. Padahal kalau melihat setiap meter pasti kami menemukan kotoran sapi atau kuda yang sudah mengering.
Ada dua padang sabana di gunung Mutis, padang sabana pertama berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari benteng dua putri. Titik akhir yang dapat dijangkau motor kami. Padang sabana kedua yang ukurannya lebih kecil hanya berjarak 20 menit perjalanan dari padang sabana pertama.
Di padang sabana kedua yang berada di ketinggian hampir 2000 mdl itulah, tempat yang tepat untuk melihat puncak gunung Mutis. Di sebelah barat daya, tampak puncak mengerucut yang ternyata gunung Timau. Ah baru kutahu, kalau puncak gunung Mutis dan gunung Timau itu sebenarnya berdekatan.
Berjibaku dengan Dingin di Fatumnasi
Angin berkesiur tak karuan, suaranya bergemuruh tak henti-henti. Pukulan angin di tenda meninggalkan suara berderak-derak selaksa ingin menerbangkan tenda beserta isinya. Pasak-pasak yang kutancapkan di bawah Benteng Dua Putri untungnya cukup kokoh menahan tenda tetap tertahan di tempatnya. Padahal kami sudah memilih memasang tenda di tempat yang cukup terlindungi dari angin. Di sisi barat dan timur ada batu karang tinggi yang oleh masyarakat sekitar disebut dengan Benteng Dua Putri.
Tak heran jika tidak ada yang berminat berlama-lama di depan api unggun seperti biasa jika kami kemping. Angin terlalu dingin untuk kami lawan. Tak lama setelah selesai makan, satu demi satu dari kami masuk ke dalam tenda hingga menyisakan pak Robby sendirian di depan api unggun.
Aku berusaha membungkus kakiku yang terasa dingin dengan sleeping bag, tak mempan! Suhu hari ini pasti di bawah 15 derajat celsius dan sialnya aku tak mengenakan kaos kaki. Keputusan yang salah besar, yang membuatku tidak bisa memejamkan mata semalaman. Aku bahkan kuatir akan mengalami hipotermia jika terus menerus seperti ini. Aku jadi menyesal tidak membawa kaos kaki dan kaos tangan.
Om Robby yang biasanya bisa tidur di luar dengan hanya berselimut sarung tenung di depan api unggun pun kali ini menyerah. Angin yang terus bertiup memang membantu api terus membara memakan pokok kayu yang sudah tumbang lama. Namun rasa dinginnya jadi menyusup ke seluruh tubuh. Om Robby akhirnya masuk ke dalam tenda bergabung denganku. Itupun dia tetap meringkuk kedinginan dalam bungkusan sarung.
Jam dua om Robby kembali bangun dan keluar tenda. Dari suara keributan di luar tenda aku perkirakan kalau om Robby sedang mencari kayu-kayu kecil untuk membuat besar kembali api unggun. Mungkin dia sudah tidak tahan harus bergelung dalam dingin di tenda. Kesempatan itu aku pakai untuk menarik sebagian sleeping bag untuk menutupi kakiku. Yah walau tidak membuat aku jadi merasa hangat dan bisa tidur setidaknya rasa dingin di kaki terkurangi.
Perjalanan ke Gunung Mutis
Bisa kemping di Mutis seperti sebuah pencapaian baru bagiku setelah kegagalanku rencana kempingku pertama kali kemari. (baca tulisanku sebelumnya di sini). Bukan obsesif sih cuma godaan kemping itu terus terngiang-ngiang di kepala tidak mau hilang.
Aku, Imam, Daud dan Rama berkendara sendiri-sendiri. Kami merasa aman untuk naik motor masing-masing karena kondisi medan yang kurang mendukung untuk berboncengan plus masing-masing membawa tas ransel besar. Lagi pula, jika ada masalah di salah satu motor kami, kami masih punya alternatif motor lain yang tidak bermasalah.
Ada insiden saat masuk ke Fatumnasi karena Daud sempat terjatuh dan tertimpa sepeda motornya saat berada di jalan tanjakan menuju ke Bukit Usapikolen. Tanjakan itu memang agak parah kondisinya baik yang dari dan ke Bukit Usapikolen. Untungnya tidak sampai luka, cuma mungkin setelah balik ke rumah baru rasain ngilu-ngilu. Biasanya begitu kalau sampai jatuh motor walau secara kasat mata tidak terluka.
Dari Kupang jam 8 pagi, kami baru sampai ke Fatumnasi sekitar jam 3 sore. Yang kami tuju seperti biasa adalah rumah pak Anis. Sayangnya pak Anis sendiri sendiri sedang sakit, katanya sudah beberapa hari ini demam jadi besok mau cek ke Puskesmas. Awalnya pak Robby sendiri tidak bisa ikut karena mau ke kantor desa untuk urusan pencoblosan. Namun karena tidak ada yang menemani kami, jadilah pak Robby memutuskan ikut dengan kami.
Setelah menandaskan segelas kopi yang disajikan di rumah pak Anis, kami langsung berangkat lagi dengan motor ke dalam kawasan hutan Mutis. Targetnya malam ini kami harus mendapatkan tempat untuk kemping.
For your information:
- Jalan dari Kapan sampai ke Fatumnasi banyak yang sudah diperbaiki, belum beraspal tapi sudah ditambah tanah putih sehingga jauh lebih mendingan. Motor matic sekarang bisa sampai ke Fatumnasi. Yah sedikit perjuangan ada di tanjakan sebelum dan sesudah Bukit Usapikolen yang batunya masih tinggi.
- Jika berencana ke puncak atau minimal sampai ke padang sabana sebaiknya gunakan guide karena tidak ada petunjuk jalan di dalam hutan Mutis. Jika mau ke puncak gunung Mutis jangan lupa bawa sirih pinang, karena serahkan ke guide-nya masalah penggunaannya. Ini bukan masalah kepercayaanmu, tapi menghormati adat dan kebiasaan setempat.
- Ada satu homestay disana yang dikelola pak Matheos Anin, biasanya bule-bule suka menginap disana. Aku sendiri lebih sering kontak ke pak Anis kalau ke Mutis. Ya dua-duanya oke saja, nanti mereka bisa menemani atau meminta orang untuk menemani kita.
- Perhatikan cuaca dan waktu kedatangan. Imam dulu pernak ke Mutis bulan Juni-Juli dan untuk sampai ke puncak sepanjang jalan cuma disuguhi pemandangan kabut, hujan dan kabut, dan endingnya ya berkubang dengan tanah.
- Persiapkan kendaraan sebaik-baiknya, tidak banyak yang bisa diharapkan kalau sampai ada masalah dengan kendaraan kita. Mungkin beberapa suku cadang yang kita tahu suka bermasalah dengan kendaraan kita sudah disiapkan.
Tim MLAKU kali ini, aku ditemani oleh:
- Si Imam anak boncel, suka mencuri ketimun. Ayo lekas di kurung, jangan diberi sarung. ig: @mimamarifw
- Ramadana, satria baja hitam yang baru saja ditugaskan di Kupang. ig: @nashrulummam
- Daud yang jika naik motor serasa jadi "Dilan 1990", namun saat jatuh dari motor jadi "Dilanda Masalah" ig: @daudgb
Baca keseluruhan artikel...
|
Hutan bonsai alam di hutan Mutis |
"Beberapa waktu ini kampung kami sedang ramai dengan keberadaan Teku. Ini kami sekarang tiap malam harus bergiliran ronda malam untuk menjaga kampung." Pak Anis menceritakan tentang kondisi keamanan di daerah Fatumnasi belakangan ini sambil menunjukkan sebuah ketapel dan beberapa paku yang telah dibuat sedemikian rupa dengan helaian rafia membentuk bulu sebagai peluru. Begidik kami waktu mendengar kalau peluru paku ini telah direndam dengan racun ular hijau. "Pake tai ayam pak?" tanyaku. Pak Anis mengiyakan walau sedikit keheranan aku bisa tahu cara pembuatan racun ular itu.
Ingatanku kembali pada pertemuanku dengan orang tua dari Pacitan yang ingin memberikanku sebuah senjata ekor pari yang telah direndam ramuan racun ular hijau. Dia memberitahukanku cara membuat racun ular hijau itu bisa bertahan lama di ekor pari, yaitu dengan menggunakan tahi ayam. Bayangkan, ekor pari saja bisa menyebabkan kesakitan luar biasa bila melukai badan orang apalagi jika ditambahkan racun ular hijau. Untungnya aku lebih memilih menolak pemberiannya. Aku tak ingin segala senjata yang justru membuatku tidak tenang jika melakukan perjalanan. Kadang alat yang kita sebut untuk menjaga diri justru memancing orang untuk mencoba kita.
Rencana Kemping di Telaga yang Batal
Aku menengok ke arah Tardi memberi isyarat tentang kelanjutan rencana kami yang akan memasang tenda di telaga dalam hutan Mutis. Tardi yang banyak tahu tentang Mutislah yang mengusulkan kepada kami untuk bermalam di tepi telaga hutan Mutis. Katanya pada saat pagi hari banyak binatang seperti kuda dan sapi yang minum air di telaga. Tentu itu akan menjadi kesempatan menarik untuk mendapatkan foto-foto satwa itu.
Sekarang masalahnya adanya isu keberadaan teku yang seperti dinyatakan pak Anis. Pak Anis dan beberapa warga di Fatumnasi tentu tidak berani menjamin keselamatan kami jika bermalam di luar kampung, apalagi sampai di dalam hutan. Menurutnya, teku-teku ini biasa bersembunyi di dalam hutan dan keluar pada waktu malam hari. Pak Anis menyarankan menginap di rumahnya saja, nanti pagi-pagi buta baru berjalan menuju puncak gunung Mutis. Itu jalan paling aman katanya.
Cukup dilematis juga. Mempertimbangkan beberapa pilihan, akhirnya kami memutuskan sekedar berjalan-jalan saja di sekitar hutan Mutis dulu dan tidak jadi menginap. Walau menginap, keberadaan kami sepertinya akan tetap merepotkan karena mereka sendiri harus menjaga kampung. Padahal waktu itu istri pak Anis sudah sempat membereskan kamar untuk dapat kami gunakan menginap.
Perjalanan yang Tertunda
|
Jalan menuju ke arah Fatumnasi |
Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, kami berkemah malam sebelumnya di perbukitan Upasikolen. Masalahnya banyak barang kami yang kebasahan. Wal hasil, begitu pagi itu matahari pagi keluar menyinari perbukitan tempat kami memasang tenda hal yang kami lakukan pertama adalah menjemur beberapa barang yang basah semalam. Untungnya memang cuaca pagi ini cerah, sangat cerah bahkan awan tebal yang menghiasi langit kemarin nyaris tidak bersisa.
Bahkan saat aku sudah selesai memotret matahari terbit dan turun ke arah kemah, aku melihat mereka masih asyik terbenam dalam hangat selimut. Tardi yang sudah bangun lebih pagi cuma karena tidak melihat seorangpun yang keluar akhirnya hanya duduk-duduk sambil masak air panas. Dia sedikit protes saat tahu aku kembali dari memotret, katanya kalau tahu aku sudah naik ke atas bukit tentu dia bakalan nyusul.
Kami sendiri untungnya tidak terlalu terburu-buru ke Mutis, karena rencanaya kami mau bermalam di telaga dalam hutan Mutis untuk dapat menikmati suasana hutan saat fajar menyapa. Sayangnya seperti ceritaku di awal, kami tidak diijinkan berkemah di dalam kawasan hutan Mutis kali ini oleh pak Anis. Sekitar jam sepuluh kami baru berkemas jalan kembali ke arah Fatumnasi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami memasang tenda.
Kami sampai di rumah pak Anis sekitar jam setengah sebelas. Pak Anis ini kebetulan rumahnya dekat dari gerbang masuk kawasan gunung Mutis sekitar setengah kilometer saja, tidak jauh dari homestay pak Matheos Anin yang sudah dikenal dikalangan para traveller yang berwisata ke gunung Mutis.
Cagar Alam Mutis: Bukan Tempat Wisata
Menjelang siang, kami baru memasuki gunung Mutis menggunakan motor. Sebenarnya di depan gerbang masuk gunung Mutis ada rumah penjaga yang digunakan untuk meminta ijin jika ingin masuk ke kawasan gunung Mutis. Sekedar infor saja, kawasan gunung Mutis ini masuk dalam kategori cagar alam. Makanya di gerbang masuk tertera tulisan besar "Cagar Alam Mutis". Artinya tempat ini adalah kawasan yang dilindungi dimana segala bentuk eksploitasi tidak diperbolehkan termasuk untuk pengembangan wisata. Satu-satunya kegiatan yang diperbolehkan di kawasan cagar alam adalah penelitian.
Tardi yang telah lama kerja di WWF dan ikut membidani perkembangan Mutis sampai kemudian menjadi cagar alam ikut memberikan informasi penting kepadaku. Aku baru tahu ternyata lumayan banyak juga spesies yang ada di gunung Mutis seperti Rusa Timor (Cervus Timorensis), Kuskus, Biawak Timor (Varanus Timorensis), Ular Sanca Timor (Phyton Timorensis), Punai Timor (Treon psittacea), Betet Timor (Apromictus Jonguilaceus), Pergam Timor (Ducula Cineracea). Kuskus? Kuskus warna putih? Iya, kamu gak salah dengar. Di hutan Mutis ini masih ada binatang bernama Kuskus. Sayangnya tidak mudah dilihat karena dia mahluk malam hari.
Memasuki hutan Mutis seperti memasuki taman yang tidak diatur oleh manusia tapi oleh alam itu sendiri. Rerumputan yang menghampar disepanjang jalan memasuki hutan Mutis tampak begitu rapi diantara jajaran pohon Ampupu. Keberadaan pohon Ampupu yang terjaga ini juga rupanya menjadikan keuntungan tersendiri yaitu adanya lebah madu. Nah selain kalian bisa berburu kain-kain tenun ikat khas Mollo disini kalian juga bisa mencari lebah madu untuk oleh-oleh.
Motor kami berhenti sampai di batas sungai yang agak curam karena Tardi menggunakan motor matic jadi agak sulit melewatinya. Untungnya diperjalanan kami bertemu dengan mobil dobel gardan yang masuk ke dalam. Ya udah, numpang naik lah. Lumayan bisa menghemat tenaga.
Sayangnya hujan turun kembali siang itu memaksa kami mencari tempat berteduh. Sebuah pohon Ampupu besar yang berlubang bagian tengahnya menjadi tempat kami berteduh menunggu hujan berhenti. Ada bekas terbakar di dalamnya. Pada bulan-bulan panas masyarakat atau petugas jagawana akan membakar lumut yang menempel di pohon Ampupu. Tujuan pembakaran ini untuk menghambat pertumbuhan lumut sehingga tidak akan memakan batang pohon. Lumut-lumut ini jika dibiarkan akan membuat batang bagian bawah pohon Ampupu melapuk, yang pada gilirannya akan menumbangkan pohon. Cuma kadang ada saja pohon Ampupu yang ikut terbakar dan justru tumbang karena terbakar batangnya.
Hutan Bonsai Alam di Gunung Mutis
|
Salah satu pohon Santigi di hutan bonsai alam hutan Mutis |
Satu yang paling menarik dari gunung Mutis adalah keberadaan hutan bonsai alamnya. Ada hawa mistis yang menyelimuti kawasan hutan bonsai alam yang tanahnya dipenuhi oleh lumut-lumut. Jika kalian yang pernah ke tempat ini tentu mengerti, pohon-pohon yang membentuk lainya bonsai alam ini adalah pohon Santigi. Beberapa orang mungkin menyebut pohon ini dengan nama Stigi atau Drini, yang konon batangnya dipercaya bertuah. Kenapa menarik, karena jenis pohon Santigi yang tumbuh di hutan ini adalah jenis pohon Santigi yang biasa tumbuh di kawasan pesisir berkarang, berpasir atau disekitar kawasan Mangrove. Bayangkan bagaimana pohon-pohon Santigi ini bisa terjebak di antara tanaman Ampupu dan bertahan sampai dengan saat ini di ketinggian alam gunung Mutis yang memiliki tinggi di atas 2.000 mdpl.
Apakah jenis Santigi di hutan ini bukan jenis Santigi yang tumbuh di gunung? Memang ada jenis Santigi yang tumbuh di gunung namun biasanya berukuran lebih kecil dengan daun muda berwarna ungu kemerahan atau merah. Lagian Santigi gunung biasanya tidak dapat tumbuh terlalu besar. Itu informasi yang aku peroleh kalau tidak salah.
Rata-rata pohon Santigi di hutan bonsai ini sudah tua, disekeliling tanahnya sampai di pokok batangnya dipenuhi lumut hijau. Uniknya lagi, hanya di hutan bonsai ini pohon Santigi bisa hidup dan berbentuk seperti ini. Itu pun di sekitar tidak ada lagi bakalan pohon baru yang hidup disekitar pepohonan ini, padahal umumnya Santigi berbuah dan biji buahnya bisa menghasilkan tanaman baru. Jika pohon-pohon Santigi itu mati tidak akan tergantikan oleh pohon baru.
Kalian yang pernah mengunjungi hutan ini beruntung sekali. Karena bila pohon-pohon Santigi pada gilirannya mati sepertinya hutan ini hanya akan cerita saja.
Baca keseluruhan artikel...
Hammock bergoyang pelan di ayun angin yang bertiup menerobos sela pepohonan. Gemerisik dedaunan tidak menarik perhatiannya, matanya sayu menatap langit yang hari ini cerah sambil sesekali masih menjawab pertanyaanku. Aku membiarkan dirinya asyik menikmati suasana siang ini di atas hammock, toh kesempatan tiduran di tempat seperti ini tidak sering dia dapatkan. Matahari boleh saja menyengat, tapi angin yang bertiup terasa sejuk. Mungkin hawa bulan Mei memang seperti ini.
|
Bersantai menikmati suasana |
Aku senang sekali melihat wanita yang kunikahi 16 tahun yang lalu begitu menikmati tiduran di hammock. Sebenarnya dia sudah menawarkan membantu aku menyiapkan masakan tapi aku menolaknya. Saat-saat seperti ini, bagiku justru waktu untuk memanjakannya. Toh untuk perlengkapan camping seperti ini, aku pasti lebih sigap menggunakannya. Setelah aku membatalkan rencana perjalanan ke Fatumnasi, pilihan mengunjungi tempat ini tidak terlalu buruk tampaknya. Hujan yang terjadi di musim yang seharusnya bukan waktunya hujan memang menjadi dilema. Beberapa rencana perjalanan apalagi yang harus ke tempat terbuka pasti akan berantakan.
Sambil menyiapkan peralatan masak, aku mencoba mengamati seorang pria berkulit hitam yang duduk di atas cabang pohon yang tumbang. Ditangannya masih memegang alat pancing dari bambu, sementara masih ada beberapa bambu pancing yang tergeletak di dekatnya setidaknya enam buah kalau aku tidak salah menghitung. Sayangnya, sampai saat ini hanya beberapa ikan kecil yang dia dapatkan. Padahal aku berharap akan melihat tangkapan ikan yang jauh lebih besar dari yang dia dapatkan saat ini. Ikan mujair saja, kata pria itu.
Danau ini tidak terlalu besar memang, pun juga tidak dalam. Bahkan sisi danau sebelah timur sebelah timur sudah dipenuhi tumbuhan semak berbunga putih dan merah. Airnya pun berwarna coklat tanah bukan bening sebagaimana danau-danau di ketinggian seperti danau Ranamese. Dengan ketinggian sekitar 200 mdpl tentu saja cuaca di sekitar danau cenderung panas. Untungnya sekitar danau banyak ditumbuhi pepohonan besar, ya karena danau ini terletak di pinggiran hutan. Danau yang aslinya bernama Nefoko'uk namun lebih dikenal dengan nama danau Apren ini masuk kawasan Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johannes. Hutan ini cukup luas, menurut catatan dari Dinas Kehutanan, luas kawasan hutan ini sekitar 1.900 hektar.
Entah sebelumnya atau hujan angin yang terjadi baru-baru ini, beberapa batang pohon tampak tumbang di sekitar danau, yang justru dapat dimanfaatkan masyarakat menjadi lokasi duduk memancing. Danau ini setiap hari didatangi masyarakat sekitar untuk memancing ikan. Beberapa anak kecil terlihat ramai mandi di sisi lain danau.
Di tengah-tengah danau tampak tiga rumah kayu terapung di tengah danau yang bisa dijangkau dengan naik sampan. Kata pemiliknya, selain kadang digunakan sendiri untuk memancing juga untuk disewakan wisatawan yang berlibur ke tempat ini. Sayang waktu aku sampai di sana, pemiliknya sedang tidak ada. Rupanya pemiliknya sering tidak ada pada hari-hari biasa, mungkin mereka baru ada jika waktu liburan dimana bakal banyak wisatawan yang datang.
Untung suasana saat ini cukup sepi, hanya sesekali terdengar percakapan mereka yang sedang memancing. Sekali ada masuk beberapa rombongan anak-anak muda dengan menggunakan motor. Saat itulah ketenangan tempat ini pecah oleh tawa dan teriakan melengking dari cewe-cewe ABG. Dimanapun mereka ada, mahluk-mahluk seperti ini memang sering menciptakan kehebohan. Di banyak waktu kadang asyik aja melihat kehebohan mereka, meski lebih sering aku mengabaikan keriuhan yang mereka ciptakan. Namun juga sekali dua aku agak terganggu dengan pekikan-pekikan mereka terutama saat di daerah yang memang dikenal dengan suasananya yangn hening dan tenang. Tapi rupanya mereka tak terlalu lama, karena tak berapa lama kemudian aku kehilangan keriuhan mereka.
Cukup lama juga aku bersantai di tempat ini sampai aku lihat mendung mengelayut dari sebelah timur. Beberapa hari ini memang hampir tiap hari hujan turun. Berharap hujan tidak turun hari ini namun ternyata justru hujan yang semula gerimis berubah menjadi hujan lebat waktu masuk Oesao. Hampir seperempat jam berteduh di emperan toko akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan lebat. Ternyata perkiraanku benar, bahkan sampai aku kembali ke Kupang ternyata hujan belum juga berhenti.
Danau Nefoko'uk ini lebih mudah dikenali dengan nama danau Apren karena memang terletak di desa Apren. Desa ini masih masuk kecamatan Amarasi Timur. Untuk fasilitas, sudah dibangunkan lopo-lopo oleh pemerintah daerah di sekitar danau di bagian atas dekat jalan, lumayan bisa untuk bersantai. Lebih disarankan membawa tikar atau hammock sendiri. Untuk sanitasi, ada bangunan toilet umum cuma sayangnya sepertinya sudah tidak dimanfaatkan lama. Kalau sudah kebelet berak sepertinya mau gak mau meniru sapi yang suka berak sembarangan.. eh jangan.. masuk hutan sebentar, gali tanah dan seterusnya ya. Pokoknya jangan bikin bau kotoranmu kemana-mana, lagian lumayan untuk pupuk. Untuk fasilitas tempat makan belum ada dan sepertinya memang tidak ada yang menjual makanan di tempat ini jadi bekal makanan dan minuman itu sifatnya harus. Lupa bawa makanan boleh coba ngramut daun di hutan.
Cara untuk mencapai tempat ini:
Tempat ini tidak terlalu jauh dari kota Kupang mungkin sekitar 45 km, dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1,5 jam. Ada kendaraan umum (sejenis pickup modifikasi dengan tempat duduk kayu) yang lewat tempat ini namun aku tidak tahu kendaraan itu dari mana menuju mana. Sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi (motor/mobil). Motor matic biasa juga tidak masalah kok masih aman dilewati kecuali 2-3 km terakhir. Detil menuju lokasi ke tempat ini:
- Dari Kota Kupang menelusuri Jalan Timor Raya terus ke Timur arah SoE, nanti dari pertigaan pasar Oesao beloklah ke kanan.
- Telusuri jalan aspal besar terus sampai menemukan pertigaan yang ada kantor Unit Simpan Pinjam Desa Bank NTT, ambil arah jalan lurus (kiri) jangan belok kanan menuju arah Tesbatan. Perjalanan sampai ke sini juga masih cukup baik. Beberapa ruas memang ada lubang-lubang tapi masih bisa dilewati dengan aman.
- Melewati desa Ponain dan menuju ke desa Tesbatan sampai di pertigaan tugu desa Tesbatan belok ke lurus kiri (jangan ke kanan) menuju ke desa Oenoni. Jalan masih aspal dan masih cukup baik untuk dilewati.
- Di Depan Toko Sinar Utama Oenoni belok kanan mengikuti jalan beraspal sampai di perempatan jalan SDN Ropnoni belok kiri menuju Gapura Desa Apren. Dari perempatan jalan SDN ini kondisi jalan tanah berbatu. Ikuti saja jalan yang besar sampai ketemu gapura desa Apren.
- Dari Gapura Desa Apren jalan lurus terus sudah mendekati gerbang masuk Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johanes, persis setelah masuk gerbang itulah letak danau Apren.
Baca keseluruhan artikel...
|
Bukit batu Anjaf, salah satu bukit Fatu Nausus yang telah terpotong |
Bukit batu karst yang menjulang ini masih menampakkan sisa-sisa kemistisannya. Bukit Nausus masih tampak utuh dari tempatku berdiri. Nampak sedikit ada bekas batu terpotong di bagian bawah yang sebagian tertutup longsoran batu-batu dari atas. Sementara bukit Anjaf tempatku berdiri sebagian besar bukitnya telah terpotong sehingga sekarang menyisakan bukit terjal dengan dinding tegak lurus licin dari marmer. Bahkan lantai yang kupijak ini bukan lantai semen tapi dari batu marmer. Karenanya pagi yang dingin semakin terasa dingin jika menginjak lantai ini tanpa alas kaki.
Aku meletakkan tas ranselku di ujung bukit yang terasa makin berat oleh medan jalan yang harus kulewati untuk mencapai tempat ini. Ada perasaan lega telah mencapai tempat ini karena sepanjang jalan aku harus terus sibuk bertanya kepada setiap orang yang kutemui untuk menyakinkan arah lokasi yang mau aku tuju.
Dari kejauhan kedua bukit batu yang dikenal dengan nama Anjaf dan Nausus memang sudah tampak dari daerah Kapan, ibukota kecamatan Mollo Utara karena memang kedua bukit ini paling menonjol. Namun untuk mencapainya ternyata tidak segampang kita melihatnya.
Menyusuri Pagi Buta yang Sepi
Jam tiga aku keluar dari rumah dengan motor matic 'Trondol' yang sudah kuganti rodanya dengan jenis dosser tipe roda semi trail. Kupang yang siang hari ternyata terasa dingin jika pagi begini. Di sepanjang jalan tampak obor-obor dari botol berjajar di sepanjang jalan. Hari ini adalah paskah. Di beberapa titik tampak tanda salib tiga buah di pasang para warga, kadang tampak beberapa pemuda bergerombol duduk sambil mendengarkan musik yang berbunyi sepanjang malam. Namun selebihnya jalanan sepi.
|
Tanaman perdu menghijau menghiasi perbukitan Cemara |
Beberapa kali aku berjalan pelan di pinggir karena berpapasan rombongan yang beriringan dengan obor di tangan melantunkan pujian-pujian menuju gereja. Aku baru tahu jika paskah begini justru ada acara jalan salib sepagi ini.Setelah itu jalanan bisa dibilang sepi, hanya kadang bertemu satu dua motor yang berboncengan. Jika melihat perlengkapannya, sepertinya mereka juga melakukan perjalanan luar kota.
Sampai di hutan Camplong cuaca masih tampak cerah walaupun terasa lebih dingin di banding kota Kupang. Justru saat mulai memasuki Takari aku harus menurunkan kecepatan motorku karena kabut nyaris dimana-mana membuat jarak pandangku terbatas. Apalagi kabutnya juga disertai air gerimis tipis. Beberapa kali aku harus berhenti untuk membersihkan kaca helm memudar oleh kabut membuat bias cahaya tampak bergaris mengganggu pandangan.
Sekitar jam setengah enam pagi aku sudah sampai di pom bensin di pinggiran kota SoE yang masih tutup. Untungnya ada celah sehingga aku bisa memarkirkan kendaraanku sebentar, berharap toilet di pom bensin ini bisa aku gunakan dan istirahat sedikit melepas sisa kantuk yang masih ada. Setelah menambah bensin satu liter di warung sebelah pom bensin aku kembali melanjutkan kembali perjalanan.
Keindahan yang Tidak Ditopang Infrastruktur
|
Matahari bersinar dari balik pepohonan cemara, hutan Fatumnasi |
Perjalananku dari SoE menuju Kapan masih cukup lancar, walaupun beberapa ruas menuju kapan sudah mulai mengalami kerusakan. Selepas Kapan, dipertigaan aku mengambil ke arah kiri. Di papan petunjuk tertera tulisan arah menuju Fatumnasi, sebagaimana petunjuk yang diberikan penduduk desa yang aku tanyai dari di percabangan. Selepas satu km yang masih mulus (sepertinya proyek rehabilitasi jalan baru-baru ini) akhirnya kembali melewati yang ruas jalannya mulai rusak parah. Bahkan masih ada ruas yang longsor parah dan menyisakan sisa selebar setengah meter. Cukup untuk satu motor saja.
|
Hamparan perbukitan menghijau di Fatu Nausus |
Kapan yang ketinggiannya sekitar 900 mdl (sedikit lebih tinggi dari SoE) memiliki banyak potensi yang menjadi andalan Kabupaten Timor Tengah Selatan, salah satunya jeruk. Konon katanya di sini juga pernah menjadi sentra dari buah apel yang khas dari Timor, sayang sekarang tidak ada jejak sama sekali dari buah apel ini.
Selepas tugu pertigaan itulah jalur yang lumayan cukup sulit karena jalan nyaris tidak menyisakan lagi aspal. Dengan jalur menanjak dan banyak kelokan, batu-batu bulat yang licin jika hujan membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Pada kondisi seperti ini, motor memang menjadi lebih fleksibel, kalau pun dengan kendaraan maka lebih pas jika menggunakan kendaraan jenis off road (penggerak empat roda).
Dengan kondisi jalan yang rusak, namun pemandangan yang ditawarkan mampu mengimbangi. Sepanjang kelokan menanjak, view pohon cemara yang telah berlumut dengan tanah yang menghijau mampu menyihir mata yang memandang.
Apalagi dengan eloknya cahaya matahari menyeruak di antara jajaran batang cemara, menerobos dingin yang berusaha kulawan dengan meniup-niupkan hawa panas ke tanganku. Sendirian tak membuatku tergugu, sendirian saat seperti ini seperti sebuah kesempatan untuk menghirup kesegaran dan keindahan yang ada sepenuhnya. Di sini hawa pegunungan yang dingin nyaris belum berpolusi, kalau pun polusi itu tak lebih dari tai sapi yang sering hangat tergeletak di sepanjang pinggir jalan.
|
Kuda-kuda merumput di hutan cemara Fatu Nausus |
Sapi-sapi banyak bersliweran di perbukitan dan di lembah. Mereka beruntung tinggal dan besar di sini, walau tahu akan tetap berakhir di tempat pemotongan sapi hehehe. Kadang-kadang tampak serombongan kuda muncul tiba-tiba dari antara semak mengejutkanku. Awalnya kupikir kuda-kuda ini adalah kuda liar karena aku melihat kuda-kuda ini surainya panjang tak terpotong. Ternyata aku salah, saat bincang-bincang dengan penduduk kampung, ternyata mereka memang membiarkan kuda-kuda ini lepas begitu saja tak dimasukkan kandang.
Bunyi binatang-binatang malam masih berderik juga padahal matahari sudah keluar dari tadi. Entah karena mendung yang masih mengelayut di langit, ataukah dingin yang masih menyergap. Memang walaupun matahari sudah keluar sedari aku sampai di turunan pertigaan tugu di kapan, namun dengan ketinggian 1.160 mdl suhu di atas sini masih terasa dingin. Aku sesekali masih harus meniupkan udara panas ke telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin di jari-jari.
|
Bayangan Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto |
Jalan yang harus dilewati pelan makin pelan karena aku sering harus berhenti. Di bukit atas terdapat percabangan jalan, di situlah aku harus kembali belok kiri karena jalan lurus berarti ke arah Fatumnasi. Jalanan menurun ini tak terlalu lama sampai aku bertemu dengan perkampungan. Salah satu dusun dari desa Fatukoto.
Ternyata sebelum perkampungan ada jalan ke kiri lagi itu yang harus kuikuti. Persis di depan percabangan itu terdapat sebuah cek dam yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menjadi daerah wisata. Memang bukan danau sehingga airnya pun tidak berwarna bening namun suasana tempat ini lumayan menyenangkan apalagi pepohonan banyak berjajar di sepanjang jalan lokasi ini. Dari sini pemandangan bukit batu Nausus tampak menarik terpantul di air di sela-sela bayangan pohon ampupu yang masih muda di sekitar lokasi cek dam. Hanya ada seorang pria yang duduk menggelung kaki sedang memancing di salah satu ujung batu. Udara dingin begini memang tidak menarik orang untuk keluar sekedar memancing. Apalagi jika rumah hangat masih menyala apinya.
Kendaraanku kembali masuk ke kiri menyusuri jalan tanah berbatu yang adak licin, mungkin sisa embun semalam. Jika sebelumnya pemandangannya adalah pepohonan cemara sekarang pemandangannya didominasi pepohonan Ampupu.
Bukit Batu Karst yang Menjulang: Anugerah dan Bencana
|
Pepohonan mulai tumbuh di bekas potongan batu |
Pintu gerbang kawasan wisata Fatu Nausus masih tertutup, aku menarik pintu dari potongan-potongan kayu ini agar cukup untuk masuk motor. Pagar yang menutup kawasan ini hanya dibuat secara sederhana dari potongan batang-batang pohon sekitar kawasan ini. Beberapa puluh meter selepas masuk gerbang terdapat bangunan panjang yang saat ini digunakan penjuga dari lokasi ini. Hanya ada satu orang penjaga dan seorang anak kecil yang menjaga tempat ini. Karena aku hanya sendiri dan belum ada orang lain, mereka mempersilahkan aku menggunakan motor sampai ke dalam sampai persis di bawah bukit.
Mataku langsung tertambat pada pemandangan bukit yang dindingnya tegak lurus licin, dinding ini lurus licin bukan dibentuk oleh alam tapi oleh tangan manusia melalui teknologi yang dimilikinya. Ya, bukit yang terpotong tegak lurus ini hasil dari eksplorasi perusahaan tambang marmer. Bukit-bukit karst yang menjulang ini dipuja danb dijaga masyarakat karena dianggap keberadaannya memberikan kehidupan bagi sekitarnya juga dipuja oleh para pebisnis. Bukan oleh karena kemistisannya namun lebih kepada nilai ekonominya. Dibalik batu-batu terjal inilah tersimpan potensi batu marmer yang katanya berkualitas nomor dua di dunia.
|
Longsoran batu di bukit Anjaf |
Dulu tempat ini dulunya digunakan oleh masyarakat Mollo untuk melakukan upacara-upacara adat. Tempat ini memang layak dipuja karena dengan hutan disekitarnya mampu menjadi penopang kehidupan. Air-air hujan yang tertahan dan mampu menghasilkan kehidupan dengan adanya mata air bagi daerah yang dibawahnya.
“Seperti manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini. Seperti itulah keindahan di sini dulunya. Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, salah seorang tokoh adat dari desa Lelobatan.
|
Pintu masuk lokasi wisata Naususu (Fatu Nausus) |
Kudengar, bukit yang menonjol paling menonjol di kawasan Mollo ini berubah menjadi bencana saat masyarakat terpecah menjadi dua, yang pro tambang dan menolak tambang. Akhirnya memang kawasan ini telah ditinggalkan perusahaan tambang namun bukan dengan cara yang mudah. Ada perjuangan yang cukup lama dan keberanian yang harus terus dikobarkan agar masyarakat mau saling bahu membahu dalam satu suara menolak pertambangan ini.
Di bagian dekat rumah panjang bekas bangunan perusahaan masih terdapat beberapa balok yang ditinggalkan, ada juga beberapa yang masih tersisa tertutup semak belukar. Bahkan bukit Anjaf yang telah terpotong juga sudah mulai hidup beberapa pohon termasuk pohon beringin didindingnya. Alam sedang berusaha mengembalikan tempat ini.
|
Sisa potongan batu milik perusahaan tambang yang belum diangkut |
Di balik dari bukit Anjaf, beberapa batu yang terpecah-pecah lebih kecil tampak longsor sehingga aku tidak berani menaikinya. Hanya dua pasang kambing coklat dan hitam yang telah nangkring di atas entah lewat mana.
Sayang aku tidak bertemu kera putih yang menjadi legenda tempat ini. Katanya kera putih itu memang tidak mudah ditemui, hanya orang yang beruntung saja yang bisa bertemu dengan kera putih itu. Kemunculan kera putih itu dianggap pertanda baik. Ah, cerita mistis dari tempat-tempat seperti ini memang menarik bagiku. Walaupun aku tidak mempercayainya, tapi akan menghormati dan menghargainya. Karena bagiku, cerita-cerita mistis yang melingkupi tempat ini adalah cara agar manusia yang sebenarnya bergantung dengan keberadaan tempat ini tetap menghormatinya.
Baca keseluruhan artikel...
|
Warna tosca air terjun ini tetep nampak walau sudah sore, jika ada cahaya matahari warna tosca-nya makin menjadi.
Keindahannya tampak jika tak ada sampah berserakan |
|
|
Mungkin sudah banyak orang Kupang yang berwisata ke air terjun Tesbatan. Bukan banyak lagi tapi banyak banget. Tau dari mana? Dari sampah yang mereka tinggalkan. Itu sampah plastik sama kantong Ka-Ef-Ce yang jelas saat ini satu-satunya yang ada di Kupang berserakan di tanah lapang dekat air terjun Tesbatan. Pokoknya itu pengalaman gak banget yang bikin aku gak mau nulis pengalaman pertama berkunjung ke Tesbatan. Di situ, aku mendapat predikat "Orang Gila" sama ibu-ibu gendut yang jengkel karena asap dari sampah yang aku bakar. Iya mungkin aku salah bakar sampah yang aku kumpulin, tapi aku memang mau kasih pelajaran sama pengunjung yang cuma bisa datang buang sampah seenak udelnya. Padahal udelnya aja gak enak diliat #cekudelsendiri.
|
Berendam di air terjunnya yang segar |
Saking sampahnya yang bikin sepet mata akut, akhirnya kita bersihin tuh sampah-sampah apa saja yang bikin pemandangan air terjun Tesbatan kehilangan asyiknya. Pas kita lagi bakar, ada bapak-bapak yang bilang "sekarang lagi buat mandi, nanti aja bersihinnya kalau pengunjung udah pulang". Lah dipikirnya aku ini penjaga air terjun apa ya, disuruh bersihin abis gak ada orang. Pas dibilangin kalau aku juga pengunjung yang udah sepet akut sama sampah-sampah ini, dengan bijaksananya si bapak bilang, "Ya percuma dibersihin dek, di taman Nostalgia aja banyak sampah gak dibersihin". Bijaksana banget sih pak tapi lebih mirip orang putus asa. Kalau Bapak putus asa, aku punya tali buat mengakhirinya #bikinayunantali.
Udah lama juga sejak kunjungan pertama aku gak ke Tesbatan lagi. Padahal perjalanan pertama kesana lumayan asyik karena bareng anak-anak gokil yang sok-sokan hapal jalan, dan berujung pada jalan yang ancur-ancuran. Roda-roda motor matic yang kelasnya jalan aspal mulus harus rela menghajar jalan sekelas batu telford. Aje gile gak tuh.
|
View aliran air dari bagian teratas |
Kemarin setelah ambil cuti libur ke Surabaya, aku sempetin coba balik ke Tesbatan sekalian ngajak bini yang belum pernah tau tuh Tesbatan kayak apa. Kesian, lahir dan besar di pulau Timor masak Tesbatan aja gak tahu.
Berangkat sekitar jam setengah tigaan sore dengan tujuan biar gak pas rame orang. Lagiaan saat itu bukan sedang hari libur jadi kemungkinan sepi pengunjung, tambah beberapa hari sebelumnya ada hujan jadi ada kemungkinan sampah-sampah yang bikin sepet mata mungkin udah hilang kebawa air. Kalau pun sampah-sampah itu gak hilang terbawa air biar yang buang sampah saja yang kena banjir gak papa. Ini bukan doa lho, cuma permohonan orang teraniaya.
Belajar dari pengalaman pertama, aku memilih mengikuti jalur waktu pulang yang lebih mulus jalannya. Walaupun lebih jauh tapi setidaknya perjalanan jadi terasa lebih nyaman. Mungkin lariku yang kelewat pelan, akhirnya nyampai ke sana pas udah mendekati jam setengah lima. Berarti perjalanan hampir dua jam, lumayan bikin ngilu tangan yang agak kram. Perjalanan ini sekaligus uji coba pertama motor X-ride sebelum nanti dipakai untuk perjalanan yang lebih ekstrem: naik ke gunung Fatumnasi. Secara umum aku bisa bilang dari Kota Kupang sampai masuk ke desa Tesbatan bisa dikatakan kondisi jalannya aman bahkan dengan motor matic yang modelnya nyaris rata dengan tanah. Ada juga sih beberapa ruas yang agak jelek tapi gak jelek banget-banget kok. Itu juga gak banyak, mungkin gak nyampai 30km yang rusak begitu #ituparahmonyet! Gak bercanda...
|
Ngeksis buat bukti kalau udah ke Tesbatan walau gak nyemplung |
Justru di ruas terakhir setelah masuk ke pertigaan menuju pintu masuk air terjun yang mulai jelek. Jalannya masih berupa aspal yang tinggal menyisakan batu-batu kerikil. Setelah gerbang pintu masuk air terjun disitu kita harus lebih hati-hati lagi karena batuan bekas beraspal ini tipenya mudah lepas jadi bisa bikin motor tergelincir.
Begitu sampai di sana justru aku masih sempat berpapasan rombongan-rombongan yang udah mau balik. Kirain bakalan sepi ternyata ada yang sepikiran dengan aku, mendatangi tempat ini pas bukan hari-hari libur. Tampaknya mereka rombongan yang bukan tipe pembuang sampah dan pecinta vandalisme di tempat-tempat publik. Coba tanya ke beberapa anak kampung di dekat situ katanya udah sepi. Setelah jalan masuk beberapa ratus meter dari parkiran, akhirnya ketemu air terjun Tesbatan yang mulai berkurang debit airnya. Suasana sudah sepi, hanya ada beberapa remaja tanggung sekitar tiga orang yang sedang mandi di air terjun. Aku lihat sekeliling tidak terlalu banyak sampah seperti sebelumnya dan tidak ada tampak sampah baru. Ternyata rombongan-rombongan yang tadi lewat untung termasuk wisatawan yang bertanggung jawab.
|
Bonus dari perjalanan pulang dari Tesbatan |
Ternyata kalau udah sepi dan agak bersihan begini, suasana air terjun Tesbatan lumayan asyik. Biniku yang melihat genangan airnya berwarna tosca pengen nyebur aja untung diingetin sama adik-adik yang berenang itu kalau di bagian tengah itu langsung dalem. Akhirnya dia cuma main air di pingir doang. Karena udah sore jadi gak susah dapat view enak di air terjun Tesbatan. Tak berapa lama kemudian, beberapa anak yang lebih kecil (sepertinya mereka masih SD) mulai ikut mandi di bawah. Kalau anak-anak yang umurnya tanggung (sekitar SMA) mereka tinggal di sekitar Oesao agak jauh dari sini, kalau yang kecil-kecil baru datang memang anak-anak desa Tesbatan. Asyik aja lihat anak-anak bermain air dengan cara meloncat dari tingkat paling atas untuk terjun.
Aku senang melihat sebuah tulisan papan yang ditulis dari para Traveler Malaka yang mengimbau para pelancong tidak meninggalkan sampah. Walau 100 pengunjung tidak peduli setidaknya ada satu-dua yang belajar untuk peduli. Sepertinya aku juga harus menyiapkan papan tulisan bagus untuk dibuat seperti itu.
Catatan: Air terjun Tesbatan itu bukan ada di Kota Kupang tapi di Kabupaten Kupang. Beberapa orang luar sering keliru menganggap Kota Kupang itu dekat dengan Kabupaten Kupang, padahal bedanya bisa puluhan bahkan ratusan kilometer. Jadi dari Kota Kupang itu jalan menyusuri jalan Timor Raya arah SoE, nanti dari pertigaan pasar Oesao belok ke kanan terus ikuti jalan besar. Jangan ragu untuk bertanya ke penduduk sekitar, umumnya mereka akan dengan senang hati menunjukkan arah ke air terjun. Nanti kalau melihat pertigaan dengan tugu Selamat Datang di desa Tesbatan di tengah-tengah belok ke kanan lagi sampai ketemu pertigaan terus ke bawah. Sekali lagi, jadilah pejalan yang bertanggung jawab. Jika hari ini kamu melihat keindahan tempat yang kamu kunjungi, buatlah tempat itu tetap terjaga indah untuk pengunjung selanjutnya. Jangan ragu untuk mengingatkan pengunjung yang masih suka menyampah dan berbuat vandalism.
Baca keseluruhan artikel...
|
"Dan Sumba tidak hanya menawarkanmu ringkik-ringkik kuda Cendana
Raut-raut keras dan bilah-pilah parang panjang di balik sarung tenun ikat
Walaupun aku harus mengakui pasir putih pantai-pantainya memukau
tapi jauh di kedalaman hutan
masih ada sepi yang melingkupi seluruh keindahan di Lapopu
dimana gemuruh air yang jatuh memaksamu diam dalam pesonanya"
|
Jauh di kedalaman hutan yang menjadi kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, gemuruh air dari datang bagian atas bukit memenuhi sungai yang mengalirkan air yang dipenuhi warna tosca. Selain itu adalah sepi, suara derit tiga batang bambu yang membelah sungai yang kami injak hanya kami dengar sendiri. Semuanya luruh dalam suarah gemuruh air terjun Lapopu.
|
Keindahannya tidak diragukan lagi: tenang mempesona |
Beberapa waktu lalu, tiap kali ada penugasan ke Sumba, selalu terbersit keinginan untuk bisa mengunjungi air terjun Lapopu. Hanya saja, informasi lokasi ini sendiri masih simpang siur dari jaraknya yang katanya jauh dan kondisi medan yang katanya sangat berat. Setelah beberapa kali ke Sumba namun keinginan itu terus tertunda, kesempatan itu akhirnya datang juga. Memang Sumba sendiri memiliki banyak lokasi dan event wisata yang bagus-bagus bahkan potensinya luar biasa. Sebagai negeri dengan kebudayaan Megalitikum yang masih hidup, adat dan pantai Sumba adalah hal yang tidak boleh dilewatkan siapapun yang datang ke Sumba. Ringkik-ringkik kuda Cendana yang berlari kencang di tengah lapangan yang dipenuhi manusia dari dua kubu yang saling melemparkan lembing ke arah lawan adalah sebuah ritual yang menarik wisatawan bahkan dari luar negeri untuk menyaksikannya. Dan Pasola ini telah menjadi ajang yang laku dijual sebagai destinasi wisata budaya.
|
Jembatan darurat untuk menyeberang ke sisi lain sungai. |
Kebetulan mas Joni Trisongko, salah seorang fotografer dari Kupang sedang ada acara di Sumba yang waktunya bersamaan dengan penugasanku ke tempat ini sehingga kami membuat janji diantara waktu dia melakukan tugas pemotretan kita akan mengunjungi air terjun Lapopu ini. Sayang hari pertama, langit sore waktu itu tampak gelap sehingga kami memutuskan menunda keesokan harinya.
Hari kedua mas Joni telah selesai melakukan job pemotretan, sehingga kami punya cukup waktu untuk ke air terjun Lapopu. Agar leluasa, kami memutuskan menggunakan sepeda motor di hotel dengan biaya 50ribu per hari. Aku bertiga bareng mas Joni dan Imam naik dua kendaraan. Menurut informasi, jalan paling umum adalah lewat jalur Wanokaka karena memang air terjun Lapopu terletak di desa Lapopu, kecamatan Wanokaka. Hanya aku mencoba jalan alternatif lain yang katanya jauh lebih dekat yaitu lewat kampung Loli Atas. Dari hotel Pelita kami mengambil jalan ke arah Waingapu bukan ke arah Wanokaka. Sebenarnya sudah diberikan petunjuk agar kami setelah sampai ke Loli Atas masuk ke arah kampung Laipraga yang ditandai dengan sebuah pohon besar. Konyolnya karena informasi ini tidak terlalu kami tangkap dengan benar *korek tai telinga pake cangkul* justru akhirnya kami sampai ke kabupaten Sumba Tengah yang memang jaraknya tak begitu jauh dari Sumba Barat. Setelah kehilangan waktu setengah jam akibat perbuatan kami, dengan bertanya beberapa kali ke orang-orang yang kami temui akhirnya kami masuk ke arah yang benar menuju kampung Laipraga. Saran saya memang sebaiknya kalau punya rencana jalan, ajak orang Sumba yang tahu tempat plus jangan segan sering-sering bertanya daripada kesasar karena informasi papan penunjuk jalan masih minim.
|
Aliran airnya terbelah dipertengahan, tetap menawan walau airnya menyusut |
Setelah jalan menanjak sampai ke kampung Laipraga, selanjutnya jalanan terus menurun. Di sinilah kami menuai masalah karena salah satu motor sewaan ternyata rem belakangnya blong sehingga hanya tersisa rem depan untuk pengereman ditambah dengan motor tidak seimbang agak miring, padahal kondisi jalannya jelek sekali. Pada saat turunan karena kondisi medan yang berupa tanah berbatu berlubang-lubang aku memutuskan turun jalan kaki supaya Imam yang yang naik motor sendiri. Namun di jalanan turunan itu Imam harus terjatuh dari motor saat mencoba mengerem motornya. Untuk pada saat jatuh itu motor sudah berhenti betul sehingga Imam tidak terluka. Akhirnya aku berpindah naik di boncengan mas Joni yang motornya masih betul. Perjalanan kami perlambat supaya motor yang dinaiki Imam tidak buat onar lagi. Beberapa kali kami harus bertanya di setiap percabangan karena tidak banyak papan penunjuk arah yang tersedia. sampai kemudian kami sampai di percabangan pertemuan antara jalur Wanokaka. Ternyata di sepanjang jalan itu sudah diaspal namun karena disamping kanan kiri jalan ada perkerasan, jalan dibagian beraspal juga tampak putih berdebu terkena sisa-sisa tanah kapur perkerasan.
Walau jalan cukup lumayan, namun kendaraan tetap kami lajukan pelan karena sisa-sisa tanah membuat kendaraan menjadi licin. Setelah beberapa kilometer akhirnya kami masuk ke kawasan hutan dan tak lama kemudian tampak papan pengumuman dipasang di pinggir jalan yang menunjukkan bahwa 600 meter lagi kami akan sampai di air terjun Lapopu. Saat jalan menurun inilah terjadi musibah kedua, karena jalan menurunnya cukup curam Imam jadi kesulitan mengendalikan kendaraannya padahal setelah tikungan jalan langsung menurun lagi. Mungkin saat itulah dia mengerem lebih kuat sehingga motor menjadi tidak terkendali yang akhirnya membuat Imam terjatuh di atas jalan tanah. Karena sedikit terseret, Imam mengalami beberapa luka lecet. Lumayan perih sih pastinya. Karena masih ada jalan menurun, demi keselamatan kami memutuskan parkir kendaraan di tepi jalan tanpa masuk lagi ke dalam. Beberapa ratus meter akhirnya kami sampai di pos jaga dari TMNT. Tampak beberapa turis dari asia (entah taiwan atau jepang), melapor ke pos jaga sekaligus untuk membayar tiket masuk. Tiket masuk per orang ke kawasan ini ditarik 10ribu rupiah itu untuk wisatawan umum, kalau wisatawan lokal sih cuma seribu rupiah. Katanya kalau untuk wisatawan asing lebih mahal sekitar 100ribu rupiah. Kalau kalian membawa kamera, biaya per kamera dipungut 25ribu. Tapi itu bukan harga mati lho, kalau kalian ramah, baik hati, suka menolong dan tidak sombong itu biaya kamera bisa dinego kok hahahaha... apalagi yang moto just hobi, kan terlalu mahal tuh segitu kecuali yang mau komersil. Kalau gak tanya tanya saja Lukas, petugas polisi hutan yang kami temui.
|
Sekali-kali narsis untuk bukti otentik dah nyampe sini |
Untuk sampai ke air terjun, kami harus menyeberangi sungai setelah berjalan di pinggir beberapa ratus meter. Airnya berwarna hijau kebiruan atau biasa dikenal dengan warna toska. Seperti warna batuan kapur yang yang memendarkan warna kebiruan bercampur dengan warna hijau (entah dari mana, yang pasti bukan lumut karena kalau kita ambil airnya bening sekali) membuat warna airnya menjadi toska. Warna itu akan lebih tampak saat matahari tidak menyinari langsung permukaan airnya (pagi atau sore hari). Ada jembatan darurat yang dibuat masyarakat dari beberapa bambu kalau tidak ingin menyeberang langsung lewat sungai, cukup bersensasi karena ini jembatan darurat sehingga waktu berjalan akan terasa bergoyang-goyang, karena itu kami tidak berani melewati jembatan bertiga sekaligus.
Akhirnya setelah melewati bebatuan pinggir sungai, mata kami disambut air terjun setinggi 62 meter (kata sumber di internet lho, aku belum pernah mengukur sendiri :D). Debit airnya agak berkurang entah karena sekarang musim kemarau atau karena ada pembangkit listrik tenaga air, tapi itu tak mengurangi keindahannya.
Tempatny benar-benar terasa sepi, saat itu hanya kami bertiga yang mampir kesini sehingga kami puas memotret dari segala sisi yang memungkinkan, walau ketiadaan matahari yang telah hilang dibalik pepohonan hutan membuat warna-warna jadi sedikit tenggelam. Hanya saat terakhir kami mau kembali ada sepasang muda-mudi yang datang ke sini tapi itu tidak lama karena waktu kami mau kembali mereka sudah tidak ada disana.
Perjalanan kembali sebenarnya menerbitkan sedikit keraguan dengan kondisi motor kami. Untungnya Lukas, sang polisi hutan berbaik hati mengantar kami untuk mengendarai motor yang blong rem belakangnya. Kelincahannya di atas motor ditunjukkan dengan amannya kami dapat melalui jalan sampai ke daerah Wanokaka. Ternyata Lukas pernah ikut acara Pasola, ajang permainan perang melempar tombak di atas kuda, pantesan jago mengendalikan motor di kondisi begini.
Setelah mampir sebentar untuk beli minuman disebuah warung yang cukup besar di Wanokaka. Kami melanjutkan kembali perjalanan, namun kali ini melalui jalur umum Wanokaka bukan jalur kami datang lewat Loli Atas. Perjalanan memang terasa lebih jauh, dan disepanjang Lukas mengingatkan kami agar tidak berada jauh di belakang kendaraannya karena menurutnya daerah di sini masih agak rawan. Kami kurang tahu maksudnya tapi tak berani menduga-duga, dan memilih mengikuti laju motor Lukas sampai di kota Waikabubak.
Catatan:
(1) Bagi yang ingin mendatangi air terjun Lapopu, kalau mau cepet bisa ambil jalur Loli Atas karena lebih dekat tapi pastikan kendaraannya tidak mengalami masalah karena banyak turunan dengan kondisi jalan yang kurang bagus. Kalau kurang yakin, sebaiknya ambil jalur normal lewat Wanokaka. Lebih jauh sih tapi lebih nyaman dan gak bikin was was...
(2) Jangan malu untuk bertanya karena papan penunjuk memang masih minim daripada kesasar. Malu bertanya tersesat sampai di surga lho :D
(3) Disarankan untuk tidak berjalan sendiri. Kalau masih takut jalan lebih dari dua kendaraan mungkin lebih baik pake guide orang lokal, kalau masih bingung juga bisa hubungi salah satu bro Lukas; ini facebooknya: Lucas Maramba ... hehehe sorry ya bro, facebooknya aku pajang kesini :D
(4) Kalau untuk biaya kamera coba tawar ke penjaga biar bisa dapet korting, kan lumayan apalagi kalau kalian para traveller masing-masing bawa DSLR. Tapi kalau memang moto buat hobi lho ya, kalau motonya untuk dijual lagi ya jangan nawar ya. Syarat nawar ya itu tadi, gak boleh sombong dan harus ramah hehehe
Baca keseluruhan artikel...