Malam di pantai Klayar yang sepi, sayang awan menghalangi pemandangan galaksi Bima Sakti |
Liukan demi liukan bis menembus hutan wilayah antara Tulungagung - Pacitan. Inilah bis kedua yang membawaku dalam rencana perjalanan seminggu Surabaya - Jakarta melalui jalur lintas selatan. Sebuah tas ransel 60 liter berwarna biru teronggok di belakang yang akan menjadi teman perjalananku selama seminggu ini. Entah tempat saja yang akan aku lalui, aku akan membiarkan setiap peta terbuka sendiri di setiap tempat persinggahan baru. Aku hanya punya satu rencana yang harus kudatangi dari perjalanan ini: Dieng.
Hari 1: Menginap di Pacitan
Sopir berteriak-teriak, "bis terakhir, bis terakhir". Mengingatkan para penumpang yang masih belum masih ke dalam bis termasuk aku. Kopi hitam panas baru sempat kureguk sedikit karena masih terlalu panas. Aku memaksakan untuk bisa meminum sampai setengah sebelum beranjak naik ke bis. Agak ada rasa kebas di lidah, ah biarkan saja toh nanti juga sembuh sendiri.
Pengunjung di atas bukit pantai Klayar |
Bus hanya sarat muatan sampai pertengahan jalan, belum sampai Ponorogo jumlah penumpang sudah kurang dari setengah kapasitas bus. Makin mendekati Pacitan makin sedikit jumlah penumpang. Suasana makin sepi sementara langit makin gelap. Saat Maghrib tiba, sepanjang jalan terdengar lamat-lamat suara adzan dari musholla dan masjid saling bersahut-sahutan. Selepas Maghrib nyaris hanya deru bus yang aku dengar membelah hutan yang jalannya meliuk-liuk seperti tak ada habisnya.
Entah kebiasaan entah karena mengejar waktu, bus nyaris tidak banyak mengurangi kecepatan saat menikung membuat harus terbanting ke kiri kana melawan arah tikungan. Mendekati Pacitan aku lihat tinggal tiga orang. Aku bingung mau ngobrol dengan siapa karena yang satu dari percakapan jelas akan turun sebelum masuk kota Pacitan, hanya perempuan di depanku yang tadi saat naik sudah tanya ke sopir mau turun di kota Pacitan. Sayangnya perempuan di depanku yang diam meringkuk di dekat jendela yang sengaja dibuka. Tak ada suara namun aku bisa melihat wajahnya yang pasi. Kulitnya yang putih semakin memperlihatkan keberpucatannya, kegelisahan tampak nyata dari keringat besar-besar di dahinya di suasana yang cenderung dingin. Sepertinya dia sedang menahan mabuk, aku melihat dia meremas sebuah plastik hitam yang kelihatan kosong. Goyangan bus di tikungan memang ampun. Tak berapa lama terdengar bunyi hoek.. ah muntah juga rupanya.
View Seruling Samudera dari atas bukit |
"Lho, gak ada hotel yang dekat alun-alun pak," tanyaku ragu.
"Kita mau belok mas gak lewat alun-alun sudah malam,"... Ah, beginilah kalau naik bis malam hari, kalau supirnya mau balik sebelum titik terakhir yang disitulah kita harus turun. Tapi gak papa lah daripada kelewatan sampe masuk pol bisa lebih runyam masalahnya. Di seberang hotel persis aku turun hanya tampak satu hotel, satu-satunya. Namanya terpampang jelas: Hotel Permata.
Perjalanan pertama ini aku tak ingin berfikir banyak, aku memutuskan untuk menginap di sini saja. Menurut informasi, kota Pacitan ini tergolong kota kecil. Jadi walaupun malam masih tampak keramaian tentu tidak mudah mencari tumpangan untuk mencari hotel di sekitar kota.
Pacitan adalah kota pertama yang aku pilih untuk disinggahi, pantai Klayar adalah salah satu alasannya. Pantai Klayar kupilih setelah menerima masukan alternatif beberapa tempat wisata yang bisa aku singgahi bila lewat jalur selatan.
Hari ke-2: Minggu di Pantai Klayar
Pagi-pagi sekali selepas sholat Subuh aku berjalan-jalan berharap pagi ini bisa mendapatkan angkutan yang bisa mengantarkanku ke Pantai Klayar. Semalam, aku coba mencari informasi dari resepsionis hotel tentang travel atau kendaraan umum yang bisa mengantarkan ke Pantai Klayar. Resepsionis sendiri menihilkan pertanyaanku, katanya sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi atau melalui travel kota-kota besar lain.
Masih terlalu sepi di jalan, aku terus berjalan sampai di depan pasar Minulyo. Meski Pacitan termasuk kota kabupaten yang kecil di Jawa Timur, tapi suasana di pasar Minulyo cukup menyenangkan. Kondisinya yang tertata rapi membuatku terpikir dengan kondisi pasar-pasar di NTT yang masih acak kadul kalau tidak mau dibilang kurang terurus.
Suasana pagi hari di Pantai Klayar |
Karena sepagian menawarkan tumpangan belum ada juga yang naik akhirnya menyanggupi mengantarkanku dengan motor. Untuk menggunakan jasa Colt miliknya, dia mengenakan tarif 150-ribuan sampai ke Pantai Klayar, alasannya kalau kesana tidak akan mendapat penumpang balik. Kalau motor dia minta 100-ribuan, nah lho kok bedanya dikit gitu.
Setelah sepakat dengan pak Warno, aku kembali ke hotel dan mengemasi barang-barangku. Resepsionis sedikit heran melihat aku yang check-out pagi begini bahkan masih sempat bertanya, "Tidak menunggu makan pagi dulu pak?"
Seperti dugaanku, Minggu di pantai Klayar tidak akan mendapatkan pemandangan yang seperti yang kuharapkan. Meski sudah pagi sekali, tapi pantai Klayar sudah dipenuhi wisatawan. Cerita di pantai Klayar ini sudah aku tuliskan di Basah di Pantai Klayar.
Bermalam di Pantai Klayar
Karena tidak mendapatkan view sesuai harapanku, aku memilih menginap semalam di pantai Klayar. Sebenarnya masih banyak lokasi menarik di seputaran pantai Klayar ini seperti yang ditutukan oleh pak Wito, penjual batu akik yang biasa mangkal di atas bukit pantai Klayar.
Berbeda dengan saat siang hari, saat malam hari Pantai Klayar ini akan terasa sekali sepinya. Musik dangdut samar-samar terdengar namun terkalahkan dengan bunyi ombak yang terdengar keras menghantam bebatuan. Ya, homestay ini letaknya persis di bawah bukit yang menjadi lokasi satu-satunya untuk dapat melihat Seruling Samudera. Sehingga saat malam sepi seperti ini, deburan gelombang menghantam karang akan lebih keras terdengar. Letak homestay yang jauh dari penginapan lain yang rata-rata dekat dengan jalan raya menambah suasana sepi tempat ini.
Alur balik gelombang |
Kata pak Esdi, dulu waktu dia pertama kali datang ke tempat ini masih sangat sepi. Darah Madura yang mengalir di tubuhnya telah membawanya mengelana ke banyak tempat, dan pantai Klayar telah menjadi keputusan akhirnya untuk dia tempati sampai akhir hayat. Orang tua pak Isni ini memiliki tanah yang cukup luas di daerah ini. Sekarang, katanya, berapapun harga yang dia minta banyak yang bersedia membayarnya. Walaupun tepi pantai, tapi untuk urusan air sangat lancar. Pak Esdi menarik pipa sendiri dari mata air yang berada sekitar 2 km dari tempat ini karena belum ada PDAM yang masuk wilayah ini. Baca keseluruhan artikel...