|
Dua anak pulau Pangabatang menatap matahari terbit |
Aku berangkat jam setengah tiga setelah memastikan kalau pak Agus tidak bisa ikut, tentu persoalannya masalah transportasi dan penginapan. Jadilah aku berangkat sendiri. Mempertimbangkan waktu akhirnya aku memilih naik ojek yang setelah tawar menawar sepakat harga 50ribu. Perjalanan dengan ojek lebih cepat sehingga tak sampai 45 menit kemudian aku telah sampai di desa Nangahale. Inilah desa yang terletak di teluk Maumere dan merupakan jarak terdekat untuk menyeberang ke pulau-pulau sekitar, dan menjadi tempat tujuan penduduk pulau untuk ke darat. Nangahale juga menjadi lokasi perumahan yang dibangun pemerintah untuk menampung korban tsunami tahun 1992 dari pulau-pulau sekitar. Sesampai di Nangahale, aku masuk ke dermaga perikanan karena disanalah biasanya perahu penumpang bersandar. Untung hari ini aku masih mendapatkan perahu terakhir yang akan ke pulau Parumaan. Saat kutanya apakah bisa singgah ke pulau Pangabatang, pemilik perahu mengiyakan.
|
Perkampungan di pulau Parumaan |
Aku duduk di belakang tepat di depan kemudi sambil memperhatikan penumpang dibantu pemilik perahu menaikan barang-barang seperti semen, cat, minuman kaleng, makanan kecil, beras dan banyak yang lain. Mungkin itu adalah barang-barang jualan. Cuaca cerah dan lautpun tampak tenang saat perahu mulai melaju meninggalkan desa Nangahale. Aku duduk santai sambil menikmati percakapan yang tak kumengerti, entah mereka menggunakan bahasa setempat atau bahasa lain karena kudengar penduduk pulau kebanyakan adalah pendatang dari Buton, Bajo, Bugis yang tentu juga berbeda bahasanya.
|
Galaksi Bima Sakti |
Semuanya masih biasa sampai cuaca berubah tiba-tiba, awan yang semua hanya mengitari tanah di sekeliling pulau mengepung kami. Warna gelap di depan menutup pandangan kami, menghalangi kami melihat pulau arah tujuan. Rupanya jauh di depan telah terjadi hujan disertai angin kencang yang menciptakan air di lautan menjadi bergelombang agak besar. Terpal yang terpasang tidak bisa menahan kami dari basah karena air hujan datang dari sisi kanan. Segera beberapa perempuan berpindah ke sisi kiri menghindari hujan dan terpaan gelombang, yang justru mengakibatkan perahu menjadi oleng ke kiri. Di tengah angin yang terus menderu, tukang perahu berteriak “Jangan ke kiri.. jangan ke kiri.” Dia memperingatkan kami agar bertahan sisi di kanan. Aku dan berada penumpang terpaksa bertahan di sisi kanan untuk menyeimbangkan perahu. Dadaku berdegup kencang seperti hujan badai ini yang membuat kami sama sekali tidak bisa melihat kedua pulau yang kami tuju. Untungnya hujan kencang ini tidak berlangsung lama, hanya seperempat jam saja. Walaupun hujan badai itu tidak membuat perahu terbalik tapi sukses membuat seisi perahu basah kuyup termasuk barang-barang dagangan yang penumpang bawa. Tukang perahu mengatakan padaku kalau tidak bisa singgah di Pangabatang. Aku mengiyakan saja dengan kondisi seperti ini, di samping kiri, aku hanya melihat pulau Pangabatang samar-sama tertelan badai yang rupanya masih turun di sana
|
Suasana pagi di Pangabatang |
Setelah seperempat jam terhempas badai, seperempat jam kemudian perahu mulai memasuki perairan pulau Parumaan yang tampak tenang. Rumah-rumah panggung mendominasi penampakan perkampungan ini. Kondisi perairan sedang surut membuat perahu bersandar di bagian rumah penduduk yang lebih landai. Penumpang mulai turun lewat samping perahu tetapi tetap harus loncat ke air karena tidak ada jalan langsung ke darat.
Mas Joko orang Solo yang baru kukenal mengajakku menginap di rumahnya supaya besok pagi aku bisa jalan ke Pangabatang. Sebenarnya bukan rumahnya tapi rumah temannya karena dia sendiri hanya mampir tiga bulan sekali, katanya sih pekerjaannya mengumpulkan besi bekas. Hebat ternyata di pulau-pulau seperti ini, masih bisa mengais rejeki dari besi bekas. Jadi ingat perjalananku pertama empat tahun lalu ke sini dan bertemu seorang pria dari Surabaya yang pekerjaannya mampir ke pulau-pulau untuk mencari rumput laut. Katanya kualitas rumput laut di pulau-pulau seperti ini lebih bagus kualitasnya, ternyata rejeki bisa dari mana saja jika mau berusaha dan mencarinya.
|
Perahu bersiap meninggalkan Pangabatang |
Aku meloncat ke air mendahului mas Joko dan menunggunya di bawah salah satu rumah panggung milih penduduk seperti ini. Sebagian besar rumah di Parumaan berbentuk rumah panggung. Aku sempat berjalan-jalan sebentar menyusuri jalan beton kecil tapi tampaknya tak ada tempat untuk menginap tersendiri. Namun sebenarnya mudah saja kalau ingin menginap karena rata-rata mereka akan dengan senang hati menerima kita menginap di rumahnya. Tapi jika tidak mau bisa juga menginap di mesjid yang ada di tengah kampung.
Saat hujan sudah reda akhirnya aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Pangabatang sebuah sebuah perahu kecil bermesin. Bukan perahu penumpang namun hanyalah perahu nelayan biasa untuk mencari ikan, sehingga aku harus bersedia duduk di atas tumpukan jaring. Masih lumayan perahu ini menggunakan motor, 4 tahun lalu saat kesini aku malahan hanya menggunakan perahu lesung yang didayung.
|
Mesjid kecil di Pangabatang |
Pangabatang tidak banyak berubah, hanya ada beberapa rumah baru yang dibangun namun juga ada beberapa rumah yang ditinggal penghuninya. Aku sempat mampir ke rumah pak Ba'ding yang menjadi kepala dusun di kampung Pangabatang ini. Sebagai gambaran, pulau Pangabatang (dari bahasa Bugis yang airnya Pembatas) adalah sebuah pulau kecil dari sederetan pulau di Kabupaten Sikka. Saat ini jumlah rumah yang ada sudah sekitar 60 rumah dengan 85 kepala keluarga, bertambah 20 rumah dari kedatanganku empat tahun lalu yang hanya sekitar 40 rumah. Berbeda dengan desa pusat di Parumaan (bahasan Bugis artinya Perumahan) yang merupakan etnik Bajo, maka di Pangabatang sebagian besar masyarakatnya beretnik Buton. Penduduk hanya menempati sepertiga pulau, dan sisanya adalah kawasan kosong yang belum dihuni. Menurut pak Ba'ding, pulau ini milik seorang haji yang tinggal di pulau Pamana. Pantainya berpasir putih dan lautnya yang bening masih kaya akan terumbu karang yang masih terjaga terutama di perairan antara pulau Pangabatang dan pulau Babi.
|
Pohon khas di Pangabatang yang sekarang sudah patah batangnya |
Dengan pak Ba'ding aku minta ijin akan menginap sehari disini. Meskipun pak Ba'ding menawarkan agar aku menginap di rumahnya aku bersikeras mau menginap di mesjid saja. Seperti biasa juga, begitu melihat aku beberapa anak langsung mengikutiku sehingga bisa menjadi teman mengobrol. Mereka sepertinya antusias sekali setiap melihat orang baru yang datang kesini. Ada sebuah pohon yang khas tumbuh sendiri di pinggir pantai, pohon itu pulalah yang ingin pertama kutuju. Namun sayang pohon itu sekarang sudah tinggal pendek karena batang-batang bagian atasnya sudah patah katanya belum lama ini patahnya. Duduk-duduk di pasir bersama anak-anak aku mengeluarkan satu kotak sosis yang langsung menjadi rebutan dengan mereka. Aku selalu ingat untuk membawa makanan-makanan seperti ini setiap ke pulau, kadang permen atau coklat seperti saat datang kesini pertama kali empat tahun yang lalu. Namun tak berapa lama aku mendengar lamat-lamat suara perempuan yang memanggil anak-anak ini.
|
View bawah laut Pangabatang (dari perahu berjalan) |
Sebenarnya aku juga berencana membuat api unggun di sini, namun sayang karena habis hujan jadi semua kayu-kayu kering yang teronggok di sepanjang pantai menjadi basah tidak bisa digunakan untuk membuat api unggun. Sambil memotret dan ngobrol bareng anak-anak tak terasa langit berubah menjadi gelap. Tak berapa lama selepas azan Maghrib, beberapa pria dewasa menggunakan pakaian gamis mendekati aku, sepertinya mereka habis pulang dari sholat Maghrib berjamaah di mesjid. Mereka meminta aku untuk mampir ke kampung. Mereka juga menyarankan agar aku menginap saja di salah satu rumah mereka karena beberap waktu ini banyak sekali nyamuk yang datang menjelang senja, hal yang tak mereka temui selama ini. Memang aku sendiri merasakan jumlah nyamuk yang sangat banyak saat memotret di pinggir pantai. Dari mereka aku juga baru tahu, saat ini ibu-ibu suka kuatir jika ada tamu dari luar karena sekarang mereka sering melihat berita tentang pencabulan anak-anak. Wah, untung mukaku bukan tampang kriminil karena bisa-bisa aku kena tuduh bisa panjang urusannya.
|
Terumbu karang di perairan agak dalam |
Rupanya pak Sartono punya andil menjelaskan ke penduduk kalau aku ini fotografer (ngaku iya ajalah walau sebenarnya aku biasanya menolak disebut fotografer) sehingga membuat mereka bisa menerima keberadaanku. Pak Sartono menawariku ke rumahnya, sebuah rumah panggung juga untuk bersantap malam. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan mereka namun aku tidak kuasa menolak ketulusan mereka sehingga memutuskan mengiyakan ajakan mereka.
Pak Ba'ding yang rumahnya berseberangan dengan pak Sartono ikut menemani sehingga malam itu kami ngobrol lama tentang banyak hal terutama hal-hal yang berbeda dari yang ketemui empat tahun lalu. Seperti mengapa sekarang masyarakat di sini tidak lagi menanam rumput laut seperti yang mereka lakukan dulu, termasuk suara genset yang tidak lagi terdengar saat menjelang malam. Setahuku dulu di sini adalah sebuah genset umum yang digunakan bersama-sama yang dihidupkan dari jam enam sore Ternyata pak Sartono lah yang mengoperasikan genset itu, namun sekarang tidak beroperasi lagi dan sudah rusak. Masyakat sekarang menggunakan fasilitas penerangan dari PLN yang berupa listrik tenaga surya. Beberapa masyarakat juga memilih memakai genset masing-masing untuk tambahan pemakaian listrik.
|
Bukit batu yang pernah menyelamatkan penduduk waktu tsunami 1992 |
Pantas saja suasana sekarang jauh lebih tenang. Kalau dulu setelah selesai acara tivi barulah menjadi tenang karena saat itulah genset dimatikan dan suasana menjadi gelap. Pak Sartono memaksaku supaya menginap di rumahnya karena menurutnya di mesjid pun masih terlalu banyak nyamuk. Aku akhirnya menerima permintaannya namun tetap meminta agar dibolehkan tidur di balai teras. Walaupun hanya teras di rumah panggung, namun lantai bambu membuat suasana rumah tetap enak untuk tidur. Bahkan karena di teras, saat bulan menghilang aku bisa dengan mudah melihat gugusan bintang di galaksi Milky Way. Suasana inilah yang membuat aku selalu rindu melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti ini.
Suasana tenang dan nyaman seperti ini membuatku dengan cepat tertidur. Galaksi bergerak merangkak di langit timur, bunyi malam yang begitu tenang seperti mengayunku pelan dalam buaian mimpi.
Setengah empat pagi aku sudah terbangun dan bersiap turun untuk memotret galaksi karena bulan sekarang sudah menghilang. Sebenarnya aku mau cuci muka namun aku urungkan karena air tidak tersedia banyak disini. Di Pangabatang tidak ada sumber air tawar sehingga masyarakat harus mengambil dari pulau Besar di sebelahnya atau mengambil dari daratan, biasanya jalur paling dekat mengambil ke Tanjung Darat. Terus terang di teras rumah ada beberapa jerigen air namun itu biasanya persediaan untuk seminggu. Untuk mandi dan aktivitas cuci biasanya masyarakat menggunakan sumur yang terletak di tengah pulau yang airnya payau. Letaknya di belakang batu-batu besar yang membelah pulau. Pulau ini terdapat dua bukit batu yang membelah pulau, bukit batu inilah yang menjadi penduduk Pangabatang menyelamatkan diri saat terjadi bencana tsunami. Pak Sartono menceritakan betapa keanehan pernah terjadi saat itu, karena saat bencana tsunami tidak mencapai lebih dari pertengahan bukit padahal saat itu gelombang bahnya tinggi melebihi pohon kelapa. Karena itulah penduduk sering mengadakan syukuran tiap tahun di batu ini. Sayang menurutnya, kebiasaan ini sekarang sudah ditanggalkan dengan alasan syirik. Banyak cerita dari bibir pak Sartono tentang bagaimana kisah mereka saat tsunami 1992 waktu itu.
|
Memasuki kawasan bakau di Tanjung darat |
Karena tak ada perahu yang datang hari ini (menurut mereka memang tidak ada perahu penumpang yang jalan hari Minggu kecuali ada permintaan), pak Sartono menawarkan untuk mengantarkan aku kembali dengan perahunya. Sekitar jam delapan aku kembali ke darat ke Tanjung Darat karena itu jarak terdekat dari pulau ini. Perahu pak Sartono sendiri perahu kecil yang terlalu berisiko kalau harus ke Nangahale. Menurutnya walau kelihatannya tenang namun sebenarnya ada waktu-waktu tertentu arus yang ada di perairan ini sangat kuat dan itu sangat membahayakan.
Aku sebenarnya mau mampir ke pulau Koja Doi dan Koja Gethe karena di sanalah ada jembatan batu yang menghubungkan kedua pulau namun sayang karena tidak ada perahu besar jadi aku harus mengurungkan perjalanan kesana kali ini.
Perjalanan ke Pangabatang kali ini menorehkan banyak kenangan, aku berjanji kalau suatu ketika jika mereka telah membangun pondok di Pangabatang aku akan membantu mempromosikan tempat ini. Aku berharap pariwisata dapat menaikkan taraf hidup mereka, juga masyarakat bisa lebih terbuka dengan pariwisata. Aku juga tentu berharap bahwa pariwisata akan membuat terumbu disini menjadi terjaga.
Baca keseluruhan artikel...