Ama Soli dan Kampung Bodo Ede
|
Jalan setapak menanjak dan berlumut menuju ke kampung Bodo Ede |
Duduk di atas balai depan rumah berlantai batang bambu yang di'geprak' bahan yang sama dipakai untuk dinding rumah, sementara ikatan-ikatan ilalang bersusun di atas rumah menjadi atap yang tetap sejuk walau terik sekalipun. Ama Soli asyik sekali bertutur tentang masa mudanya, tentang perjalanannnya keliling ke pulau-pulau bermodalkan sirih pinang dan alasan kepulangannya kembali ke tanah leluhur dan tinggal di rumah ini. Yang agak mengherankan adalah giginya yang tidak memerah, dan ternyata jawabannya seperti dugaanku bahwa dia sudah tidak memakai sirih pinah dan rokok beberapa tahun ini.
Mulut dan gigi penuh warna merah adalah hal jamak di sini, karena sirih dan pinang sudah menjadi kebiasaan dan bagian tradisi seperti halnya parang, kerbau dan kuda. Jadi kadang melihat seseorang seperti Ama Soli menjadi pertanyaan tersendiri.
Kaget juga waktu menengok jam tangan saat hendak pamit balik ke hotel, ternyata sudah jam setengah sembilan berarti sudah dua jam aku duduk disini. Ternyata ngobrol-ngobrol dengan Ama Soli, salah satu warga kampung Bodho Ede ini dan menikmati suasana pagi di kampung yang nyaman ini tidak terasa waktu berlalu. Tidak enak hati juga karena tentu saja mengobrol selama itu bisa mengganggu aktifitas Ama Soli sendiri. Untungnya karena ini hari Minggu sehingga tidak banyak kegiatan yang dilakukan, istrinya sudah terlebih dahulu ke pasar semntara dia sendiri mau menyusul siang nanti.
|
Batu kubur menjadi pemandangan umum di perkampungan |
Kampung Bodho Ede adalah salah satu kampung adat yang ada di tengah kota Waikabubak. Letaknya berada di belakang hotel Pelita yang aku tempati selama tugas seminggu di sini. Kampung-kampung adat di sini mudah terlihat karena letaknya biasanya di atas tanah yang lebih tinggi dari tanah sekelilingnya dan pohon-pohon besar yang mengelilingi perkampungan.
Berjalan sekitar 200 meteran dari lapangan Waikabubak, nanti akan menemui sebuah gerbang batu di pinggir jalan. Memasuki area jalan kecil ini di samping kanan kiri adalah kubur batu, beberapa ukurannya sangat besar. Kubur-kubur batu yang besar-besar ini bukanlah dari semen tapi dari batu besar yang di potong langsung. Menurut penuturan Ama Soli, untuk memasang penutup batu terbesar itu bahkan butuh ribuan orang yang ditarik dengan tali dari pilinan akar kayu tertentu. Satu batu kubur dapat digunakan berulang-ulang dalam satu keluarga sedarah.
Di ujung jalan tampak undakan tangga semen selebar jalan orang menanjak ke atas di apit pohon-pohon besar seperti beringin dan beberapa pohon lain. Undakan tangga ini di beberapa sudut telah ditumbuhi lumut-lumut hijau karena kota Waikabubak memang udaranya sejuk karena terletak di ketinggian sekitar 500 meter dpl.
Sesampai di ujung undakan tangga paling atas maka akan tampak rumah-rumah adat yang masih kental tradisional dengan bentuk khas, bagian tengah yang tinggi. Seluruh rumah di kampung ini masih menggunakan atap ilalang.
Keramahan Pak SGR di Kampung Weeliang
|
Pak SGR di depan dapur rumahnya |
Pensiunan penilik sekolah, menyebut dirinya dengan nama SGR. Bapak tua yang ramah ini menjadi teman cerita yang menyenangkan. Informasi-informasi tentang kampung-kampung di sini dan adat-adat yang menyertainya dengan mudah ia tuturkan.
Pak SGR sedang asyik duduk di beranda dapur saat kami datangi. Pria baya berperawakan sedang ini sedang asyik ngobrol dengan keluarganya waktu kami datang. Dapur yang menjadi tempatnya duduk justru yang menarik perhatian kami karena di antara dua pintu itu dipajang banyak tengkorak dan tanduk kerbau dengan ukuran yang panjang-panjang yang disusun berjajar dari bawah ke atas, sementara rahang babi di taruh di berjajar di bagian atas. Beberapa tanduk bahkan panjangnya melebihi satu meter.
Salah satu tanduk paling panjang menurut penuturan pak SGR jika dijual mencapai harga ratusan juta rupiah. Kerbau tanduk terpanjang itu baru dipotong beberapa bulan lalu pada saat meninggalnya ibunya. Kerbau itu dipelihara sendiri oleh keluarga pak SGR dan umurnya waktu dipotong adalah 26 tahun. Mereka memotongnya sendiri dengan alasan kalau untuk diserahkan ke orang lain dalam acara perkawinan atau yang antaran yang lain nanti bisa memberatkan orang lain.
Selain banyak bercerita tentang adat istiadat Sumba dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, pak SGR juga mengajak kami melihat kampung Weeliang.
|
Anak-anak Weeliang yang awalnya bermain bola langsung beramai-ramai ikut foto |
Memang kampung Weeliang ini kurang terlalu kental suasananya karena sebagian rumah sudah dipugar seperti halnya rumah pak SGR sendiri yang menjadi bangunan tembok berlantai keramik. Hanya ciri rumah Sumba yang masih dipertahankan yaitu bagian tengah meruncing ke atas, namun atapnya pun sudah berganti atap seng bukan jerami.
Dibagian tengah kampung Weeliang masih terdapat kubur batu yang ukurannya besar dari batu putih asli. Namun di samping kirinya telah ada sebuah antena parabola. Walau sebagian sudah berubah, masih ada juga rumah-rumah yang berdiri masih mempertahankan bangunan lama. Suasana agak ramai karena beberapa anak sedang asyik bermain
Pak SGR menyarankan kami mengunjungi kampung Weetabar dan Tarung yang letaknya bersebelahan jika ingin melihat suasana perkampungan yang masih kental adat Sumbanya. Pak SGR menunjukkan perbukitan dibelakang pasar yang dari kampung Weeliang tampak hanya pohon-pohon besar saja.
Kampung Tua: Weetabar dan Tarung
|
Jalan menuju ke kampung Weetabar dan Tarung dipenuhi pohon besar |
Pagi sekali aku dan Andri berjalan kaki ke arah kampung Weetabar dan Tarung, kami sudah membuat janji dengan salah seorang tetua kampung sore kemarin. Hanya karena sudah terlalu sore jadi kami membatalkan jalan dan memilih pagi ini. Lesu Djaga, begitu bapak satu ini menyebutkan namanya waktu kami berpamitan pulang.
Kampung Weetabar dan Tarung merupakan kampung induk dari kampung-kampung lain masyarakat Loli. Pada bulan-bulan Oktober-November selama sebulan penuh masyarakat Loli melakukan acara Buru dimana masayarakat tidak boleh pergi ke sawah, jika ada orang meninggal tidak boleh ditangisi dan dipukul gong (salah satu bagian upacara pemberitahuan orang mati), serta tidak boleh ada acara-acara. Lelaki biasanya berburu dan mempersembahkan sebagian hasil buruan ke kampung induk di sini.
|
Kubur batu di tengah lapangan dikelilingi perkampungan |
Dari percabangan jalan menuju kampung Weetabar tampak beberapa kubur batu berukuran besar, lebih besar dari yang terpasang di dua kampung sebelumnya. Mungkin yang mengangkat batu ini lebih banyak daripada di dua kampung lainnya. Setelah melewati areal persawahan yang tidak terlalu besar kami sampai di rumah pak Lesu Djaga, beberapa meter dari jalan menanjak naik ke kampung.
Jalan menanjak di kampung Weetabar benar-benar rindang, jika pagi atau sore kabut kadang datang. Bagi yang tidak terbiasa suasana seperti ini mungkin akan merasa seram jika berjalan sendiri di malam hari. Setelah melewati tikungan, tampak undakan-undakan tangga dari semen yang sudah berlumut. Diujung undakan adalah perkampungan Weetabar.
Deretan rumah yang berbentuk khas Sumba saling berhadapan menghadap lapangan yang dipenuhi dengan batu-batu kubur berbagai ukuran. Selain beberapa batu kubur juga biasanya ada beberapa tiang-tiang batu berbentuk tabung empat buah sebagai penyangga dan bagian atasnya dipasang lempengan batu kotak. Menurut pak Lesu Djaga, batu itu bukan kubur hanya dipakai untuk semacam meja atau menaruh daging kerbau atau babi yang dipotong pada perayaan.
|
Keluarga pak Lesu Djaga, dari kiri: Lesu Djaga, mama dan cucu perempuannya |
Kami sempat mampir di rumah orang tua pak Djaga yang disambut oleh ibunya, seorang wanita yang sudah tua namun masih tergambar kecantikan waktu mudanya. Ngobrol-ngobrol seputar adat di sini, aku tertarik menanyakan satu tanduk terbesar dan terpanjang yang terpasang di dinding rumah. Pak Djaga bercerita bahwa tanduk kerbau terpanjang itu dipotong waktu acara meninggal ayahnya, dia juga mengatakan kematian ayahnya akhirnya juga membuatnya tidak meneruskan pendidikannya di bidang hukum di Kupang karena sepeninggal ayahnya mamanya tidak ingin ditinggal. Sewaktu bercerita ini, aku melihat mata mama berkaca-kaca sepertinya kenangan tentang almarhum suaminya bermain di pelupuk matanya.
Aku dan Andri mencoba berjalan terus menelusuri perkampungan sampai ke kampung Tarung. Suasana menjadi ramai saat kami menemui seorang mama yang sedang asyik membuat keranjang tempat menyimpan barang dari daun pandan hutan yang langsung di sambut dengan beberapa mama-mama yang menawarkan barang jualan seperti kain tenun, kalung dan gelang tangan serta keranjang kotak penyimpan.
|
Mama Bobo yang paling ramai dan lucu di antara pada mama |
Tak kalah menggelikan adalah tingkah mama Bobo, oma satu ini memang paling lucu. Saat Andri tak mau lewat di jalan karena ada seekor babi yang sedang tiduran di jalan justru mama Bobo mau mengambil babi itu supaya dipegang Andri. Karuan saja Andri menolak.
Bahkan untuk merayu kami agar mau membeli barang dagangannya, mama Bobo mau menari, tak pelak acara pagi itu menjadi acara tertawa. Tak kalah lucunya melihat mama Bobo tertawa terpingkal-pingkal sendiri setelah dia menari dan bernyanyi.
Kami sempat mampir ke rumah mama Bobo sekedar membeli oleh-oleh tangan. Suasana hari itu mencairkan seluruh cerita-cerita yang berkembang tentang masyarakat Loli. Walau kadang wajah-wajah keras dan mata yang tajam menyurutkan langkah kami, tapi ternyata setiap senyum kami selalu berbalas senyum yang lebih lebar. Mereka tak segan berbagi cerita penuh kehangatan, apalagi para mama-mama itu yang sepertinya tak ada hari yang perlu dipikirkan selain ceria dengan hari tua.
Menjadi pejalan tidak berarti menjadi orang asing di tengah tempat menakjubkan, ternyata senyum dan sapa mudah bertemu dan menhilangkan sekat saat seorang pejalan tidak membuat sekat-sekat itu.
Baca keseluruhan artikel...