Beberapa waktu kemarin saya menyempatkan diri mengunjungi beberapa situs yang memuat tentang tempat wisata di Nusa Tenggara Timur. Beberapa situs memberikan informasi yang cukup bagus namun lebih banyak yang penulisannya agak kacau kalau tidak boleh saya bilang kopas (kopi-paste) dari sana-sini tanpa memperhatikan keterkaitan antar kalimatnya.
Yang agak menyedihkan justru foto-foto yang ditampilkan. Sebenarnya saya sangat mengharapkan foto-foto yang ditampilkan mampu secara visual menarik perhatian pengunjungnya. Dari kunjungan ini saya berharap ada keinginan kuat dari pemilik situs selain keindahan dalam menampilkan pesona wisata NTT melalui tulisan juga membangkitkan minat melalui bahasa gambar.
Tiba-tiba saya teringat satu tempat yang pernah saya datangi bersama seorang teman yang bekerja di Pemkab Ngada yang sering menjadi guide orang-orang yang menginap di Bajawa.
Air terjun Ogi namanya, jauhnya sekitar 11 km dari kota Bajawa. Tidak terlalu jauh sebenarnya namun kondisi jalan ke tempat itu memang lumayan sulit, disamping kondisi jalan yang rusak dan curam serta berbelok-belok tajam masih ditambah satu kesulitan tambahan: tidak ada papan penunjuk satupun yang menunjukkan lokasi air terjun Ogi ini.
Bahkan saya harus rela melalui pematang sawah sejauh satu kilometer untuk menuju lokasi. Sungguh memprihatinkan!
Padahal begitu sampai ke tempat itu, saya disuguhi pemandangan air terjun yang sangat kencang. Dengan kondisi yang terletak di celah perbukitan, air terjun Ogi yang terkurung bukit itu tampak begitu gagah di mata saya.
Dari kondisinya sepertinya benar bahwa tempat ini digunakan olah PLN untuk menjadi pembangkit listrik, walaupun saat ini saya kurang tahu apakah masih digunakan atau tidak. Namun di tempat ini masih terlihat bangunan yang waktu itu kosong. Di sisi samping air terjun juga terdapat anak tangga dari besi yang tampak usianya sudah lama.
Sebenarnya dulu tempat ini ada jalan yang sampai ke lokasi, dan tempat ini juga sering dijadikan tempat wisata penduduk dari Bajawa tiap akhir pekan. Namun mungkin kondisi itu sudah lama sekali, terbukti waktu saya bertanya tentang air terjun ini ke penduduk Bajawa banyak yang malah tidak tahu.
Ini adalah satu-satunya foto paling layak (masih kurang sebenarnya) saya tampilkan karena terus terang saya kurang siap dengan kondisi lingkungan waktu itu. Bahkan tripod yang saya ganjal dengan kayu tetap saja goyang.
Saya masih berharap bisa mengunjungi lagi tempat ini dan menghasilkan karya yang jauh lebih baik dari ini. Semoga.
Baca keseluruhan artikel...
Senin, 26 April 2010
Selasa, 16 Maret 2010
Senja di Kawaliwu (Sunset on Kawaliwu)
Tapi bukan itu yang menjadi sedikit kegundahan saya selama di sini. Tapi pertanyaan sederhana ini rasanya agak sulit dijawab oleh orang-orang disini "Dimana tempat wisata yang bagus disini?" Rasanya pertanyaan yang wajar, namun mungkin (saya tidak tahu persisnya) karena membandingkan dengan tempat wisata di tempat lain di pulau Flores, rasanya terasa tidak ada tempat yang istimewa dari Flores Timur ini.
Jika ada yang membuat Flores Timur ini terkenal, maka keberadaannya sebagai salah satu tempat orang merayakan Paskah adalah daya tariknya.
Memang di Flores Timur sebagaimana kota lain di Flores yang memiliki laut, mungkin di Flores Timur inilah yang setiap saya singgah di laut yang saya temui adalah pasir berwarna hitam. Ada memang beberapa tempat yang pasirnya tidak berwarna hitam, tapi itu hanya sebaris pantai saja dan sisa lainnya adalah pasir hitam.
Di hari terakhir waktu tugas saya, saya teringat cerita seseorang yang memiliki hotel di Larantuka tentang Pantai Hading yang letaknya berada di pesisir barat Flores Timur. Sedikit gambaran, Flores Timur berada di ujung pulau Flores artinya sebagian besar tempatnya menghadap ke timur atau tenggara. Kepala pulau Flores ini ada di Kabupaten Flores Timur, artinya ada bagian teluk di sisi barat Flores Timur, daerah yang diberi nama Kawaliwu. Nah disinilah pantai Hading berada.
Berawal dari informasi ini, saya coba konfirmasikan kembali kemungkinan untuk bisa mencapai daerah ini. Bukan apa-apa, pengalaman sebelumnya saat saya dan teman-teman mencoba menuju ke pantai Hading dari arah kepala justru malah jauh sekali karena harus melewati Tanjung Bunga. Tanjung Bunga ini ada dibagian kepala dari pulau Flores, jadi kami harus memutari kepala pulau Flores untuk sampai ke teluk ini... wah..Namun saya diberitahukan jalur lain yang lebih mudah untuk mencapai Kawaliwu yaitu melalui desa Oka, ada jalur lain yang lebih dekat tapi karena harus melewati sisi lereng gunung Ile Napo (entah benar apa salah) jadi medannya agak berat.
Berbekal informasi ini kami bertiga, saya dan dua teman memulai petualangan kecil kami. Kami menyebut petualangan karena diantara kami bertiga tidak ada yang benar-benar pernah ke Kawaliwu, jadi niat dari awal memang siap untuk tersesat.
Untungnya di sepanjang jalan yang ada kami mendapatkan informasi yang cukup, penduduk dengan ramah menunjukkan arah jalan yang harus kami lalui.
Perjalanan dari desa Oka yang hanya beberapa belas menit dari Larantuka yang mulus berganti menjadi sedikit bergelombang setelah membelok ke arah barat, tapi sebenarnya masih lumayan bisa dinikmati asal kita mengendarai dengan hati-hati.
Perjalanan yang kami lalui terasa menyenangkan karena alam Flores Timur yang subur terbentang di depan mata kami, deretan pohon kelapa seolah mengajak kami berdendang. Beberapa dusun yang kami lewati juga juga terasa suasana yang menyenangkan, apalagi keberadaan dusun-dusun ini di perbukitan yang hijau.
Setelah sekitar setengah jam kami melalui perjalanan akhirnya sebuah papan penunjuk berwarna putih "SDN Kawaliwu" memberi tahu kami bahwa kami telah sampai di Kawaliwu.
Jam sudah menunjukkan hampir jam lima sore saat kami sampai. Pasir hitam yang sama, begitu pikir kami saat kami tida di pantainya, pantai Hading begitulah masayarakat disini menamainya.
Namun kesan biasa-biasa saja mulai hilang saat kami memandangi latar belakang gunung dan perbukitan yang ada di Kawaliwu. Rasanya cantik sekali melihat paduan antara pantai dan perbukitan yang terentang di sepanjang perjalanan kami tampak dari pantai ini.
Pantainya sendiri tidaklah memberi kesan wow dari kami jika dibandingkan laut lain di Flores yang memiliki pasir putih dan taman laut yang indah, namun kami dikejutkan oleh beberapa orang yang mencuci dan mendi di pinggir laut.
Wah, keren sekali... saya bisa mandi di laut lalu membilas badan dengan sumber air panas.
Akhirnya seperti diingatkan bahwa kami ingin melihat matahari terbenam di Kawaliwu, mata kami mencoba mencari tempat yang menarik untuk menatap saat terakhir sang matahari menutup hari ini.
Akhirnya kami melangkah ke bebatuan yang menjorok ke pantai. Air laut sore itu sedang tenang sekali, suasananya sungguh menenangkan. Airnya yang bening membuat mata kami dapat menembus sampai ke permukaan airnya. Beberapa orang masih asyik dengan kegiatan mencuci dan mandi, sementara beberapa orang lain ada yang memancing ikan.
Kami sampai di ujung bebatuan karang, tempat yang sangat strategis. Disinilah kami duduk-duduk menikmati senja yang begitu menyenangkan. Kami tidak perlu berpikir untuk beberapa lama kecuali membiarkan pikiran kami mengembara bersama sisa sinar yang semakin redup. Langit memerah, salah satu teman kami seperti dibuai angannya. Asyik sekali dia duduk sendiri di salah satu batu karang memandangi satu bintang yang muncul pertama kali, namanya Alpha Centaury katanya.
Setelah gelap kami mulai beranjak, senter kepala saya menjadi penuntun karena saat itu memang sulit untuk kembali kepinggir melewati bebatuan tanpa bantuan cahaya.
Sebelum pulang kami sempatkan menyapa orang-orang yang masih mandi, yah kalo airnya panas jam berapapun tentu tak masalah mandi... kami iri, mungkin lain kali kami harus mencobanya.
Diakhir perjalanan kami beberapa ekor kunang-kunang menunjukkan diri, memamerkan sinar kecil yang keluar dari bawah perutnya. Binatang yang sudah sangat sulit saya temui di kota kami.
Peristiwa hari ini, pemandangan yang kami nikmati saat ini, senja yang begitu sempurna kami hampiri, membuat janji di hati kami untuk kembali kesini.... menyapa waktu dan alam di sini dan menikmati SENJA DI KAWALIWU...
- Aryo Fajar Gunarso (suka dipanggil Ayok)
- Maria ... (biasa dipanggil Maya)
Rabu, 24 Februari 2010
Jajanan Tradisional: Kue Rangi dan Uli Bakar
Mau mencicipi jajanan tradional tidak harus jauh-jauh pergi keluar rumah. Setiap hari lewat penjual panganan di daerah tempat tinggalku, daerah Menteng Atas Setiabudi. Kebetulan pagi ini aku membeli Kue Rangi dan Uli Bakar.
Kue Rangi
Kue Rangi ini makanan khas Betawi seperti halnya Kue Kerak Telor. Kue ini bentuknya seperti kue Pancong atau Bandros.
Kue Rangi dibuat dengan bahan adonan tepung sagu/tapioca dan irisan kelapa kemudian dipanggang. Di atasnya dilumuri campuran sagu/tapioka dan gula merah.
Cara membuat (diambil dari sumber lain):
Bahan:
1/2 butir kelapa setengah tua, kupas, parut
100 g ampas kelapa
100 g tepung sagu aren
1/4 sdt garam
250 g gula merah, parut
Cara membuat :
Campur kelapa parut, ampas kelapa, tepung sagu, dan garam. Aduk hingga rata.
Panaskan wajan kecil, diameter 12 cm di atas api.
Taruh 1-2 sdm di dalamnya sambil ratakan hingga tipis. Masak hingga kering dan matang.
Taburi permukaannya dengan gula merah. Lipat dua. Angkat dan sajikan.
300 ml santan (1 kelapa)
1 sendok teh garam
1 lembar daun pandan
200 gram beras ketan, direndam 1 jam
100 gram kelapa muda parut
Cara membuatnya:
Kue Rangi dibuat dengan bahan adonan tepung sagu/tapioca dan irisan kelapa kemudian dipanggang. Di atasnya dilumuri campuran sagu/tapioka dan gula merah.
Cara membuat (diambil dari sumber lain):
Bahan:
1/2 butir kelapa setengah tua, kupas, parut
100 g ampas kelapa
100 g tepung sagu aren
1/4 sdt garam
250 g gula merah, parut
Cara membuat :
Campur kelapa parut, ampas kelapa, tepung sagu, dan garam. Aduk hingga rata.
Panaskan wajan kecil, diameter 12 cm di atas api.
Taruh 1-2 sdm di dalamnya sambil ratakan hingga tipis. Masak hingga kering dan matang.
Taburi permukaannya dengan gula merah. Lipat dua. Angkat dan sajikan.
Makanan khas Betawi ini juga nikmat disantap.
Panganan berbahan dasar beras ketan yang dihaluskan/ditumbuk dengan parutan kelapa kemudian dibakar.Dimakan dengan parutan kelapa yang digongseng (seperti serundeng).
Cara pembuatannya sebagai berikut(berdasarkan sumber lain):
Bahan
300 ml santan (1 kelapa)
1 sendok teh garam
1 lembar daun pandan
200 gram beras ketan, direndam 1 jam
100 gram kelapa muda parut
Cara membuatnya:
- Kukus beras ketan selama 10 menit. Sementara itu panaskan santan, garam dan daun pandan. Masukkan beras ketan ke dalam santan. Aduk hingga santan mengering.
- Kukus sampai matang. Campur ketan dan kelapa parut. Haluskan campuran ketan dan masukkan ke loyang yang dialas daun pisang.
- Setelah dingin, potong-potong lalu panggang uli. Sajikan dengan sambal oncom
Teks & foto oleh: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...
Sabtu, 23 Januari 2010
Sunyaragi - Hiding place
Situs Sunyaragi adalah salah satu obyek wisata budaya yang ada di daerah Cirebon. Letaknya di kelurahan Sunyaragi, Kesambi. Tidak jauh dari jalan raya Brigjend. Dharsono.
Sunyaragi atau Taman Sari Sunyaragi dibangun sekitar abad ke-17. Tepatnya tahun 1703 Masehi oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran Arya Carbon. Namun dari sumber lain menyebutkan Sunyaragi dibangun tahun 1529 yang merupakan perluasan dari Kraton Pakungwati atau juga dikenal dengan nama Kraton Kasepuhan.
Sunyaragi, berasal dari kata "Sunya" yang berarti sunyi dan "Ragi" yang berarti raga. Mensunyikan raga atau mengosongkan raga sebagai aktivitas dalam olah semedi/meditasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bangunan Sunyaragi didominasi dengan batu kali pada dinding-dindingnya dan batu bata merah untuk gapuranya meniru candi Bentar. Sebagaimana layaknya taman sari, situs tersebut dipenuhi dengan kolam beserta pancurannya dan dihiasi dengan patung-patung dan relief-relief pada dindingnya. Uniknya patung dan relief tersebut disusun dari batu kali yang ditumpuk meniru bentuk garuda dan gajah.
Peninggalan yang dapat kita temui di komplek Taman Sari Sunyaragi:
Sunyaragi atau Taman Sari Sunyaragi dibangun sekitar abad ke-17. Tepatnya tahun 1703 Masehi oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran Arya Carbon. Namun dari sumber lain menyebutkan Sunyaragi dibangun tahun 1529 yang merupakan perluasan dari Kraton Pakungwati atau juga dikenal dengan nama Kraton Kasepuhan.
Sunyaragi, berasal dari kata "Sunya" yang berarti sunyi dan "Ragi" yang berarti raga. Mensunyikan raga atau mengosongkan raga sebagai aktivitas dalam olah semedi/meditasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bangunan Sunyaragi didominasi dengan batu kali pada dinding-dindingnya dan batu bata merah untuk gapuranya meniru candi Bentar. Sebagaimana layaknya taman sari, situs tersebut dipenuhi dengan kolam beserta pancurannya dan dihiasi dengan patung-patung dan relief-relief pada dindingnya. Uniknya patung dan relief tersebut disusun dari batu kali yang ditumpuk meniru bentuk garuda dan gajah.
Peninggalan yang dapat kita temui di komplek Taman Sari Sunyaragi:
- Goa Peteng (Goa Gelap).
- Goa Pande Kemasan.Tempat pembuatan dan penyimpanan senjata.
- Goa Pawon.Tempat perbekalan dan makanan para prajurit.
- Goa Pengawal. Tempat pengawal berjaga.
- Bangsal Jinem, merupakan tempat Sultan menerima para bawahan untuk bermufakat.
- Goa Padang Ati (hati terang). Tempat Sultan bersemedi.
- Mande Beling.Biasa digunakan keluarga Sultan untuk beristirahat. Konon bila kita beristirahat di tempat tersebut akan berbesanan dengan keluarga Sultan. Anda berminat?
Kamis, 24 Desember 2009
Pantai Mbuu: Scenery Ende Ada Disini
Sudah beberapa kali saya ke Ende, bahkan kalo sekedar lewat untuk perjalanan ke kota lain di Flores bisa dibilang sangat sering. Ende seperti menjadi pintu untuk melakukan perjalanan ke kota lain khususnya ke arah barat Flores seperti ke ke kota Mbay, Bajawa atau mau ke Ruteng. Karena untuk daratan Flores, hanya bandara di Maumere dan Ende yang ada penerbangan tiap harinya.
Meskipun begitu, pantai Mbuu yang sebenarnya dekat dari Ende baru beberapa bulan yang lalu sempat saya kunjungi. Memang bagi sebagian orang Ende sendiri, pantai Mbuu sendiri bisa dibilang tidak ada yang begitu istimewa. Disana justru yang tiap hari ramai adalah kegiatan penambangan batu dan pasir. Bayangkan! kegiatan penambangan di area yang ditulis di depan gerbang masuknya Tempat Wisata Pantai Mbuu, hah!!
Pantai Mbuu ini masih berada di kota Ende, anda bahkan bisa melihat pantai Mbuu dari jendela pesawat saat pesawat landing maupun take off. Dari pesawat anda akan melihat hulu sungai yang membelah dengan beberapa kubangan rawa/danau.
Awal tiba di tempat ini tidak terlalu tertarik juga, namun naluri seorang pejalan yang menyukai segala medan membuat saya terus menelusuri setiap lekuk tempat ini.
Jika mau sedikit bersusah payah menyeberangi sungainya niscaya mata akan dibawa pada scenery alam yang begitu cantik, beberapa kubangan rawa/danau bahkan sangat cocok sebagai lokasi untuk berfoto-foto.
Sayang, ada kegiatan penambangan pasir dan batu di sini. Sebagai tempat. yang telah dinyatakan sebagai lokasi wisata, seharusnya ada kehati-hatian dalam memberikan ijin lokasi penambangan.
Saya rasa kalau tempat ini terus ditambang, tak lama lagi air laut akan memasuki kubangan-kubangan rawa di sekeliling tempat itu, dan hasilnya rumput-rumput yang memiliki warna tersendiri itu akan menjadi mati.
Beberapa waktu lalu saya berkenalan dengan seseorang yang datang dari Jakarta. Namanya ibu Liliana, traveller yang saya kenal secara tidak sengaja karena kebetulan sama-sama menginap di hotel Satarmese. Hotel sederhana dengan jumlah terbatas namun pelayanannya yang nyaman menjadi salah satu hotel favorit saya kalo di Ende. Ibu Liliana yang spesial datang untuk berburu foto ini ternyata kebingungan saat tiba di NTT karena tidak mendapatkan informasi tempat mana yang bagus. Beberapa orang setempat yang menunjukkan tempat yang mereka anggap bagus ternyata kurang menarik minatnya. Kesamaan hobi ini yang akhirnya mengantarkan saya menemaninya di waktu yang sempit untuk menikmati pantai Mbuu. Terus terang saya belum tau bagaimana pendapatnya dengan tempat ini karena selama di pantai Mbuu saya pun sibuk dengan aktivitas yang tergolong pendek ini.
Seandainya saya punya cukup waktu tentu saya tidak berkeberatan menemani ibu Liliana untuk menjelajahi alam Flores yang menurut saya cukup eksotis. Mungkin hanya kendala biaya yang cukup besar karena lokasi antar obyek wisata yang cukup jauh.
Kamis, 26 Februari 2009
Kampung Megalit Bena
Kampung Bena, adalah salah satu perkampungan megalit(ikum) yang terletak di Kabupaten Ngada. Tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa.
Kampung yang terletak di puncak bukit dengan view gunung Inerie. Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta, dewa yang bersinggasana di gunung ini yang melindungi kampung mereka.
Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.
Oh ya, karena sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada jadi kalau masuk ke sana jangan lupa isi dulu buku tamu. Syukur-syukur dilihat dulu. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan Italia.
Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.
Salah satu acara adat tahunan yang digelar di kampung megalit ini adalah Rebha. (kenapa pakai h karena mereka menyebut ba dengan tekanan yang kuat).
Reba merupakan suatu prosesi adat dimana semua anggota keluarga berkumpul dalam sebuah rumah adat ( Sa’o ) dan melakukan syukuran atas apa yang telah diperoleh selama setahun dan memohon keberhasilan ditahun yang akan datang. Prosesi ini merupakan wujud syukur kepada Tuhan dan sekaligus sebagai ritual untuk menghormati nenek moyang, dan semua yang mengikuti ritual ini diwajibkan untuk memakai pakaian adat.
Selain sisi tradisional yang tampak dari kampung bena terdapat pula seni tata letak rumah adat ( Sa’o ) yang tampak seperti susunan anak tangga yang menambah keindahan kampung bena. Masyarakat kampung bena khususnya kaum wanita, memiliki keahlian untuk membuat kerajinan tenun ikat dengan corak yang berbeda.
Nah, tenun ikat ini salah satu cendera mata yang dapat dibeli di kampung ini.
Catatan tambahan (dari beberapa sumber):
Penduduk Bena termasuk ke dalam suku Bajawa. Mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama katolik. Umumnya penduduk Bena, pria dan wanita, bermata pencaharian sebagai peladang. Untuk kaum wanita masih ditambah dengan bertenun.
Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini yaitu klan Bena. Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. Hal ini bisa terjadi karena penduduk Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat.
Pada saat klan baru akan terbentuk maka berlangsunglah suatu upacara yang diakhiri dengan pendirian ngadhu, berbentuk seperti payung (simbol pihak keluarga laki-laki) dan bagha, berbentuk seperti rumah (simbol keluarga perempuan).
Rumah keluarga pria menjadi sakalobo, sementara rumah keluarga wanita menjadi sakapu'u, keduanya menjadi rumah pokok klan baru tersebut. Sepasang rumah pokok itu menggambarkan prinsip hidup penduduk setempat bahwa di dunia ini manusia hidup berpasangan pria dan wanita. Secara umum prinsip ini juga dapat dibaca dari perletakan rumah di Bena yang berhadapan satu sama lain mengelilingi sebuah lapangan terbuka di tengah desa.
Karena ada sembilan klan di kampung ini maka terdapat sembilan pasang Ngadu dan Bagha. Pada dasarnya masyarakat Bena (sejak dahulu) sudah menganggap bahwa gunung, batu, hewan-hewan (anjing, babi, dll) harus dihormati sebagai makhluk hidup. Seperti Gunung Surulaki yang dianggap sebagai hak bapa, dan Gunung Inerie sebagai hak mama.
(tulisan ini berdasarkan pengalaman sendiri dan beberapa tulisan dan artikel di internet yang terkait) Baca keseluruhan artikel...
Kampung yang terletak di puncak bukit dengan view gunung Inerie. Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta, dewa yang bersinggasana di gunung ini yang melindungi kampung mereka.
Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.
Oh ya, karena sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada jadi kalau masuk ke sana jangan lupa isi dulu buku tamu. Syukur-syukur dilihat dulu. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan Italia.
Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.
Salah satu acara adat tahunan yang digelar di kampung megalit ini adalah Rebha. (kenapa pakai h karena mereka menyebut ba dengan tekanan yang kuat).
Reba merupakan suatu prosesi adat dimana semua anggota keluarga berkumpul dalam sebuah rumah adat ( Sa’o ) dan melakukan syukuran atas apa yang telah diperoleh selama setahun dan memohon keberhasilan ditahun yang akan datang. Prosesi ini merupakan wujud syukur kepada Tuhan dan sekaligus sebagai ritual untuk menghormati nenek moyang, dan semua yang mengikuti ritual ini diwajibkan untuk memakai pakaian adat.
Selain sisi tradisional yang tampak dari kampung bena terdapat pula seni tata letak rumah adat ( Sa’o ) yang tampak seperti susunan anak tangga yang menambah keindahan kampung bena. Masyarakat kampung bena khususnya kaum wanita, memiliki keahlian untuk membuat kerajinan tenun ikat dengan corak yang berbeda.
Nah, tenun ikat ini salah satu cendera mata yang dapat dibeli di kampung ini.
Catatan tambahan (dari beberapa sumber):
Penduduk Bena termasuk ke dalam suku Bajawa. Mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama katolik. Umumnya penduduk Bena, pria dan wanita, bermata pencaharian sebagai peladang. Untuk kaum wanita masih ditambah dengan bertenun.
Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini yaitu klan Bena. Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. Hal ini bisa terjadi karena penduduk Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat.
Pada saat klan baru akan terbentuk maka berlangsunglah suatu upacara yang diakhiri dengan pendirian ngadhu, berbentuk seperti payung (simbol pihak keluarga laki-laki) dan bagha, berbentuk seperti rumah (simbol keluarga perempuan).
Rumah keluarga pria menjadi sakalobo, sementara rumah keluarga wanita menjadi sakapu'u, keduanya menjadi rumah pokok klan baru tersebut. Sepasang rumah pokok itu menggambarkan prinsip hidup penduduk setempat bahwa di dunia ini manusia hidup berpasangan pria dan wanita. Secara umum prinsip ini juga dapat dibaca dari perletakan rumah di Bena yang berhadapan satu sama lain mengelilingi sebuah lapangan terbuka di tengah desa.
Karena ada sembilan klan di kampung ini maka terdapat sembilan pasang Ngadu dan Bagha. Pada dasarnya masyarakat Bena (sejak dahulu) sudah menganggap bahwa gunung, batu, hewan-hewan (anjing, babi, dll) harus dihormati sebagai makhluk hidup. Seperti Gunung Surulaki yang dianggap sebagai hak bapa, dan Gunung Inerie sebagai hak mama.
(tulisan ini berdasarkan pengalaman sendiri dan beberapa tulisan dan artikel di internet yang terkait) Baca keseluruhan artikel...
Langganan:
Postingan (Atom)