Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label taman nasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label taman nasional. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Januari 2019

Matayangu: Air Terjun atau Danau?

Air terjun Matayangu
Suatu kali pernah ada turis asing yang penasaran mencoba mengukur kedalaman danau. Untuk mengukur, dia menyiapkan 5 rol tali yang panjang tiap rolnya 500 meter. Namun setelah rol demi rol tali disambungkan sampai habis 5 rol itu tetap tidak menjangkau dasar danau. Itulah cerita mitos air terjun Matayangu yang dituturkan oleh Jumad, pemandu kami. Atas dasar cerita itu, masyarakat sekitar percaya kalau danau ini terhubung dengan laut Wanokaka yang berada di sisi selatan Sumba. Mitos lebih jauh mengatakan jika ada gurita raksasa yang dipercaya masyarakat menjaga danau ini. Seru mendengar cerita mitos tentang tempat-tempat seperti ini.

Air terjun atau Danau?
Air terjun Matayangu
Dari atas tempatku berdiri, sebuah danau luas yang airnya berwarna biru tosca tampak jelas walau masih terhalangi pepohonan. Di ujung lain berhadapan dari tempatku berdiri, tampak sebuah air terjun yang keluar dari bagian tengah tebing batu. Air terjun itulah yang mereka sebut Matayangu. Mungkin air itu keluar dari sungai bawah tanah.

Aku tak tahu, apakah Matayangu lebih pas disebut sebagai air terjun atau danau. Tingginya air terjun Matayangu jadi tampak kecil bagaikan sebuah 'grojokan' kecil bila dibandingkan luas danau di bawahnya. Terlepas dari hal itu, Matayangu tetaplah salah satu air terjun terbaik yang ada di Sumba. Berada di kedalaman hutan di kawasan Taman Nasional Tanadaru Manupea, air terjun ini menawarkan sensasi air danau dengan warna biru toscanya.

Air terjun Matayangu
Air terjun ini terkurung lengkung tebing dalam lebatnya hutan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Dalam satu kawasan ini selain air terjun Matayangu juga ada air terjun Lapopu. Bedanya air terjun Matayangu posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan air terjun Lapopu. Meskipun berada dalam lokasi yang sama namun sumber air kedua mata air ini berbeda.

Perjalanan Menuju Air Terjun
Dengan naik mobil travel, aku dan Imam baru sampai di Waikabubak agak sore sekitar jam 3-an. Saat itu, aku sudah diinformasikan kalau hotel sudah penuh semua. Dari informasi seorang ibu yang mengajakku ngobrol selama di mobil, akhirnya aku menginap di sebuah hotel kecil bernama A. Sebuah keputusan yang kusesali kemudian, karena ternyata pemilik hotel ini sangat tidak ramah. Itulah mengapa kemudian aku mengisi rate hotel ini bintang satu alias sangat tidak direkomendasikan.

Sungai di Air terjun Matayangu
Masalah kedua adalah soal sewa motor. Ternyata bukan cuma kamar-kamarnya saja yang penuh, motor-motor dari hotel yang biasa bisa kita sewa ternyata sudah tidak tersedia. Untungnya, ada seorang teman dari Waikabubak, pak Hans biasa kita memanggilnya bersedia meminjamkanku sebuah motor. Dia juga menyarankanku untuk berangkat lewat jalur air terjun Lapopu.

Memang ada dua jalur untuk bisa ke air terjun Matayangu. Pertama adalah jalur yang umum yaitu masuk melalui gebang masuk ke air terjun Lapopu. Jalur kedua adalah lewat jalur Sumba Tengah tepatnya di desa Waimanu. Secara administratif memang air terjun Matayangu masuk ke Sumba Tengah. Namun untuk akses ke air terjun lebih disarankan lewat jalur gerbang masuk air terjun Lapopu. Informasinya, jalur yang melalui Sumba Tengah belum ditata sehingga medannya lebih susah. Secara jarak juga lebih jauh dibandingkan jalur dari Lapopu. Belum lagi untuk parkir kendaraan lebih susah karena tidak ada penjaga di sana.

Perjalanan dari Waikabubak sampai ke cabang masuk menuju gerbang masuk air terjun Lapopu bisa dikatakan lancar karena sebagian jalan sudah diperbaiki. Waktu tempuh hanya sekitar setengah jam saja. Namun selepas percabangan masuk itulah terdapat beberapa ruas yang agak susah dilewati karena rawan bikin roda kendaraan slip.

Di titik jalan rusak menuju ke gerbang masuk, aku memilih turun dari motor. Di tempat ini dulu Imam pernah jatuh dari motor, yang aku tulis disini: Terpesona di Lapopu. Sebagian besar jalan memang sudah perbaikan namun jalan masuk ke arah gerbang masuk bekas jalan aspal yang sudah habis terkelupas menyisakan tanah dan batuan. Mungkin karena masih trauma dengan kejadian sebelumnya, saat jalan menurun Imam sangat hati-hati. Aku membantu memegangi kendaraan dari belakang. Beberapa kali roda motor mengalami slip namun untuk tidak sampai terguling. Setelah jalan menanjak, aku minta Imam naik motor sendiri sementara aku berjalan kaki. Dan ternyata, bikin sehat ngos-ngosan!

Sampai di gerbang masuk rupanya sudah banyak kendaraan terutama mobil. Sebagian mobil itu berisi wisatawan dari luar. Perkiraanku mungkin dari Taiwan atau China Daratan (RRC). Saat aku tanya ke Jumad, salah satu guide di sana ternyata mereka lebih memilih ke air terjun Lapopu. Kemajuan pertama yang aku lihat di tempat ini adalah sudah dibangunnya beberapa bangunan lopo juga beberapa tempat duduk untuk beristirahat tamu. Selain itu juga sudah ada beberapa warung yang berjualan makanan. Bandingkan dengan dulu waktu pertama kali ke air terjun Lapopu  dimana tidak ada satu pun penjual.

Perjalanan langsung dimulai dengan jalan naik ke atas melalui sebuah tangga kecil. Tangga ini memiliki pegangan dari besi yang dibuat sepanjang pipa besi besar yang diameternya tidak kurang dari setengah meter. Tangga ini adalah tangga inspeksi yang dibangun untuk memantau jalur pipa yagn digunakan untuk mengalirkan air ke pembangkit listrik mikro hidro. Kata Jumad sih ada sekitar 200 anak tangga, entah jumlahnya sebanyak itu atau kurang aku tidak tahu. Lagi-lagi acara naik tangga bikin sehat ngos-ngosan!

Selepas berakhirnya tangga, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri hutan berpijak di atas pipa langsung. Aku yakin, berjalan di atas jalur pipa dilarang, namun apa daya saat itu jalur jalan yang ada di bawah tidak bisa digunakan karena yang ada becek oleh aliran air. Selain itu jalur banyak terputus karena mungkin sudah lama tidak pernah lagi digunakan orang. Mungkin selama ini wisatawan selalu diarahkan guide untuk berjalan di atas pipa seperti kami. 

Berjalan di atas pipa jelas harus lebih hati-hati karena tidak ada pegangan, belum lagi kadang kala pipa menggantung dengan tinggi dua meter lebih dari tanah. Untung pipanya tidak terasa licin di kaki, entah jika datang pas musim hujan. Setelah menempuh setengah perjalanan kami sampai ke ujung pipa, yaitu sebuah bak penampungan dari sebuah sumber mata air. Mata air itulah sumber dari air terjun Lapoppu. Sayang mata air saat itu kecil debet airnya, musim kemaraulah penyebabnya. Suasana yang rindang membuat kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Baru setengah jalan namun menguras tenaga. Untungnya di sepanjang perjalanan riuh terdengar bunyi burung-burung hutan. Satu dua kali tampak burung ekor biru panjang lewat. Sayang tidak ada penampakan burung Kakatua Jambul Kuning atau Julang Sumba, entah dimana mereka semua kini. Jangan salah, Sumba punya banyak burung endemik yang sering dikira bukan burung Sumba. Jenis burung seperti Julang Sumba, Nuri Pipi Merah, Jalak Sumba, Betet Kelapa, Rawamano, Sikatan sumba, Pipasan, dan Kakatua Jambul Kuning adalah burung-burung endemik Sumba.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menyusuri punggungan bukit. Perjalanan kembali sulit karena kondisi jalan yang miring dan naik turun. Untungnya di titik-titik jalan yang rawan dilewati terbantu dengan dipasangnya kayu-kayu yang di ikat antar pohon sebagai petunjuk jalan sekaligus sebagai alat kita berpegangan. Melihat kondisi jalan yang seringkali tidak jelas, keberadaan pemandu seperti Jumad ini memang sangat diperlukan. Bahkan jika kalian pernah dua kali ke Matayangu tetap berpotensi akan tersesat tanpa jasa pemandu. Golok di pinggangnya berguna sekali untuk membantu memangkas cabang pohon yang kadang tumbuh menutupi jalan.

Danau Biru Tosca yang Luas
Setengah jam kemudian suara guruh air terdengar makin jelas. Dari balik pepohonan tampak aliran air bening berwarna kebiruan mengalir melewati bebatuan turun ke bawah. Begitu mencapai area terbuka, pemandangan danau yang luas tampak didepan mata. Benar dugaanku, air terjun Matayangu itu menipu mata. Jika dilihat dari foto-foto yang ada di internet air terjun nampak kecil saja. Padahal dalam kondisi kering dan menyisakan air terjun yang dari tengah (air bawah tanah), ketinggiannya tidak kurang dari 30 meter. Namun karena danaunya luas, jadilah air terjunnya tampak kecil saja di foto.

Air terjun Matayangu
Sebenarnya jika aliran air terjun yang paling atas sedang tidak kering, ketinggian air terjun Matayangu itu sekitar 75 meter. Jadi air terjun itu ada 2 sumber, dari sungai yang paling atas dan air yang keluar dari bagian tengah (sungai bawah tanah). Aku kurang beruntung tidak mendapatkan pemandangan air terjun yang lebih tinggi, tapi tetap saja tidak mengurangi kekagumanku akan keindahan alam Sumba.

Baru mulai masak air untuk membuat minuman pas dan mie rebus, tampak beberapa bule mulai berdatangan dari seberang lain danau. Setidaknya ada tiga rombongan terpisah yang datang bergantian. Bule-bule ini adalah tamu dari Nihiwatu Resort. Artinya ada 3 jalur yang bisa digunakan untuk menjangkau Matayangu.

Sayangnya aku tidak berenang karena tidak ada celana ganti sama sekali. Mungkin lain kali kalau kesini aku bisa membawa baju ganti dan perlengkapan berenang. Rugi rasanya hanya bisa melihat air danau yang bening segar. Padahal bule-bule dari Nihiwatu saja pasti kesini untuk berenang.

 

Selain bule-bule itu, praktis cuma kami saja yang melancong ke tempat ini. Baru saat kembali pulang bertemu dengan rombongan muda-mudi yang baru akan ke Matayangu. Rombongan muda-mudi ini rupanya berangkat dari jalur Sumba Tengah. Jalur yang katanya lebih susah walau secara jarak lebih dekat.

Catatan:
  1. Dari jalur manapun, perjalanan ke air terjun Matayangu menempuh jarak yang lumayan memakan waktu dan cukup berat, siapkan perbekalan makanan dan minuman yang cukup. Jangan berharap ada penjaja makanan di lokasi.
  2. Pada musim khususnya penghujan adalah saat terbaik menikmati keindahan air terjun Matayangu, namun perjalanan juga makin sulit. Penggunaan sepatu boat bisa dipikirkan, baju dan celana panjang untuk menghindari terkena tanaman liar beracun dan berduri serta pacet/lintah.
  3. Gunakan jasa pemandu, medan jalan di semua jalur sama susahnya. Harga pemandu sekitar 150ribu menurutku wajar saja karena sehari mereka paling hanya menemani 1-2 kali turis/pejalan. Ikut rombongan adalah cara lain untuk sharing biaya terutama jika menjadi solo traveller.
  4. Sepertinya pilihan menginap/memasang tenda bukan pilihan baik. Bagaimanapun daerah Lamboya dan Manokaka masih dianggap sebagai daerah yang rawan kejahatan. Sebaiknya hindari pulang terlalu sore/malam demi keamanan.
(catatan perjalanan satu minggu keliling sumba bareng Imam)
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 25 November 2018

Curug Sawer Sukabumi


Sambil mengusap peluh yang bercucuran, aku mencari bebatuan untuk duduk. Lumayan juga perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai ke air terjun ini sekitar satu jam dengan kondisi jalan yang kadang membingungkan karena minim petunjuk. Pemandangan air terjun yang suaranya bergemuruh yang debet airnya masih kencang hanya berjarak beberapa puluh meter dari tempatku duduk. Tiupan dari uap air yang kadang-kadang menerpa wajahku membuat adem tubuhku. Suasana masih lumayan sejuk walau matahari sudah bersinar terik. Kuletakkan kameraku agak jauh di balik bebatuan agak tidak ikut basah oleh tempias airnya.

Debet air dari air terjun yang tingginya sekitar 50 meter ini masih besar walaupun bukan musim penghujan. Hal itu tidak mengherankan, letaknya yang berada di kawasan Gunung Gede Pangrango yang berada di ketinggian sekitar 1300 mdpl adalah kawasan yang masih terlindungi.

Btw, saat aku mencoba browsing di Internet mencari informasi tentang Curug Sawer ternyata banyak sekali air terjun di sekitar Jawa Barat yang menggunakan nama Curug Sawer. Ada Curug Sawer di Majalengka, ada Curug Sawer di Pandeglang, Curug Sawer di Gunung Halu. Juga ada satu lagi nama Curug Sawer di Tasikmalaya. Duh kok pasaran banget ya kasih nama Curug Sawer.

Melihat Curug Sawer sebenarnya bonus saja bagiku karena dari awal aku tidak punya informasi sedikitpun tentang curug satu ini. Dari awal perjalanan aku hanya berniat mengunjungi Danau Situ Gunung saja yang sudah aku tulis di sini: Kabut Pagi Danau Situ Gunung. Tapi rupanya hari pertama kedatanganku di danau ini pemandangannya tidak seperti yang kuharapkan, cuacanya sangat cerah tanpa kabut pagi sedikitpun.

Sebuah jembatan kayu di depan Curug Sawer
Jam setengah delapan setelah berjalan-jalan di seputaran danau Situ Gunung, akhirnya aku memutuskan untuk menjelajahi sekitar taman nasional ini. Kebetulan sebuah papan petunjuk menunjukkan posisi Curug Sawer, ya udah aku coba ikutin saja. Di jalan kebetulan ada seorang pekerja yang sedang memeriksa jaringan pipa air yang sepertinya ada perbaikan.
"Iya ikut jalan terus saja nanti ada pertigaan di depan itu belok ke kanan yang jalannya naik ke atas," katanya kepadaku saat aku bertanya arah jalan Curug Sawer.

Ya udah, aku berjalan mengikuti petunjuk orang itu. Semakin jauh ke dalam semakin rapat pepohonan. Sempat bertemu sebuah pertigaan namun yang jalan belok ke kanan ada sebuah gerobak diletakkan menutupi jalan, juga ada sebuah kayu yang dipasang menghalangi. Ah, pasti bukan pertigaan ini, aku menduganya. Aku melanjutkan perjalanan tapi beberapa lama tidak melihat pertigaan lagi kecuali jalan setapak aku jadi ragu. Mendekati sebuah jembatan kecil aku bertemu dengan seseorang pria tua yang berjalan dengan memanggul umbi hutan. Ternyata benar, bapak tua tadi mengatakan kalau aku terlewat jauh, seharusnya ke pertigaan yang tadi. Justru sekarang aku mengarah ke curug Cimanaracun. Tanggung, aku sekalian berjalan lurus ke arah curug Cimanaracun yang ditunjuk bapak tua tadi.

Curug Cimanaracun yang debet airnya kecil
Curug Cimanaracun ini ternyata sebuah air terjun yang debet airnya kecil saja. Padahal dengan melihat bentuk bebatuannya, andai saja debet sedikit lebih besar tampaknya menarik juga. Entah nanti kalau di musim hujan, mungkin saja debet lebih kencang. Ya sudah, walau debetnya kecil setidaknya suasananya yang sepi dan rindang enak buat sedikit bersantai sambil mengeringkan kaos yang sudah basah kuyup dengan keringat.

Aku kembali ke arah pertigaan tadi dan mulai berjalan menanjak pelan menuju ke atas. Beberapa ratus meter kemudian aku baru tahu kenapa ada terpasang penghalang di pertigaan. Sebuah pohon besar tumbang menutup jalan setapak, tampaknya pohon ini sudah cukup lama tumbang entah karena apa. Tapi rupanya pohon tumbang bukan satu saja, ada beberapa pohon tumbang yang aku temui sepanjang jalan. Setelah berjalan menyusuri jalan setapak akhirnya aku bertemu dengan jalan yang sedang diperbaiki.

Suspension Bridge yang menjadi jalur singkat ke Curug Sawer
Akhirnya aku tahu, jalan pintas dari Situ Gunung ke Curug Sawer rupanya jalur yang sudah jarang dilewati pengunjung, lebih banyak jalur ini digunakan oleh masyarakat sekitar saja. Jalur baru yang mulai dibangun rupanya langsung dari gerbang masuk menuju ke jembatan gantung. Di papan gerbang jembatan tertulis: Suspension Bridge. Melewati jembatan gantung adalah jalur tercepat ke Curug Sawer. Sayangnya saat itu jembatan gantung terpanjang di Indonesia itu belum dibuka, mungkin sekarang udah dibuka untuk umum ya.

Jembatan kayu di depan Curug Sawer
Karena jalur jembatan belum bisa dilewati aku mengikuti jalur jalan menuruni bukit yang sedang dalam pengerjaan. selain jalur trekking, di salah satu sisi sedang dibangun jalan rata yang sepertinya untuk jalur beroda. DUh tapi dengan kemiringannya bener-bener jalur ekstrim untuk bersepeda di tempat ini.

Disalah satu belokan dekat jembatan ada warung kecil. Ya udah, buat sekalian turunin napas yang agak ngos-ngosan aku mampir ke salah satu warung kecil yang buka di pinggir jalan. Semangkuk mie panas terasa nikmat saat udara dingin seperti ini.

Jembatan anyaman bambu
Setelah melewati beberapa sungai yang dipasangi jembatan dari anyaman bambu, barulah aku bisa mendengar bunyi gemuruh air terjun. Semakin dekat, hal pertama yang aku lihat adalah sebuah lapangan dengan kolam-kolam yang mengelilingi bangunan yang menjual makanan dan minuman. Selain itu juga ada sebuah bangunan yang mirip gelagar jembatan dari tiang-tiang besi yang sedang dilas oleh pekerja. Jelas itu bukan jembatan, mungkinkah itu adalah calon bangunan restoran/cafe dengan pemandangan langsung ke air terjun?

Masih jam 9 pagi, tapi air terjun Sawer telah dipenuhi pengunjung. Bukan pengunjung dari wisatawan melainkan anak-anak pramuka yang sedang melakukan kegiatan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Padahal kata penjual makanan di perlintasan jalan dari danau Situ Gunung ke air terjun Sawer bilang tidak banyak pengunjung yang lewat kesini. Kemungkinan mereka menggunakan jalur lain untuk sampai kesini. Memotret dalam kondisi seperti ini lumayan susah juga karena banyaknya orang yang berlalu lalang.


 

Balik dari Curug Sawer terus terang aku malas lewat jalan yang tadi, jadi aku memilih keluar lewat jembatan pipa air dan masuk ke perkampungan. Jalan ini yang memberitahu penjual mie rebus, katanya warga kampung sekitar biasa lewat jembatan itu jika mau ke Curug Sawer. Cocok, jalan buat wisatawan yang mau gratisan hahaha...
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 17 November 2018

Kabut Pagi Danau Situ Gunung


Menunggu matahari terbit bagaikan menunggu anggukan seorang gadis yang sedang dipinang. Yakin kalau si gadis tidak akan menolak tapi tetap saja rasanya deg-degan. Ah tidak persis seperti itu sebenarnya, hanya saja ada perasaan kuatir bahwa hari ini pemandangannya tidak seperti yang aku harapkan. Ini hari kedua aku kembali pagi-pagi ke danau Situ Gunung, setelah hari sebelumnya aku gagal mendapatkan gambar danau Situ Gunung yang menawan. Namun saat cahaya pagi muncul dari balik pepohonan dan bersambut dengan kabut pagi yang naik dari air danau, Uereka!! Aku mendapatkan pemandangan yang sungguh tak pernah terlupakan. Tidak sia-sia aku kembali lagi ke danau ini esok harinya.

Danau Situ Gunung yang terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memang sudah terkenal di kalangan fotografer lansdskap. Suasana pagi berkabut dan sinar mataharinya selalu menghasilkan gambar-gambar yang dramatis. Walaupun memiliki pesona alam yang ciamik, namun sebenarnya Danau Situ Gunung ini bukanlah danau alam namun danau buatan.

Menurut cerita. Danau Situ Gunung ini dibuat oleh seorang buronan saat Belanda berkuasa yang dikenal dengan nama Mbah Jalun atau Rangga Jagad Syahadana. Mbah Jalun ini konon adalah seorang bangsawan Mataram yang menentang Belanda. Beliau melarikan diri bersama istrinya dari Mataram menembus jalur Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang akhirnya membawa mereka sampai di sebuah lembah.

Lembah yang dialiri air yang sangat jernih ini dijadikan tempat tinggal sekaligus persembunyian Mbah Jalun dan istrinya sampai mereka mempunyai seorang anak. Mbah Jalun kemudian membuat sebuah danau kecil sebagai wujud syukur atas kelahiran anaknya. Danau ini diberi nama Situ Gunung yang mempunyai arti danau yang ada di sebuah pegunungan.

Menuju Sukabumi
Danau Situ Gunung, nama itulah yang terpatri di kepalaku saat aku memperpanjang waktu penugasanku dengan menambah cuti dua hari. Keindahan danau Situ Gunung yang bertebaran di hasil pencarian Google membuatku semakin bersemangat, walau kali ini aku harus melakukan perjalanan sendiri.

Dari Ciawi, aku naik kendaraan Elf yang biasa nongkrong di pertigaan Ciawi ke arah Sukabumi yang melalui jalur Caringin-Cigombong-Cibadak dan turun di Cisaat. Keuntungan naik Elf ini salah satunya lebih cepat, karena rata-rata supirnya agak berani mengambil jalan begitu ada kesempatan. Yah sedikit terkesan ugal-ugalan. Masalahnya karena jalur Bogor-Sukabumi ini bisa menjadi macet parah menjelang sore. Asal kalian kuat mental dan sudah siap apapun yang terjadi. Jalur Bogor-Sukabumi yang jalannya tidak terlalu lebar dan banyak titik berbahaya bisa dilahap sampai mepet jurang dengan santainya.

Sesampai di pertigaan Cisaat, aku turun untuk mencari makan. Karena sudah terlalu sore akhirnya aku memutuskan untuk mencari penginapan. Aku naik ojek ke arah jalur Kadudampit untuk mencari penginapan di sana. Banyak hotel/penginapan di sekitar tempat itu antara 100-150ribu. Jangan mencari hotel atau penginapan di sekitaran kawasan wisata Situ Gunung karena harganya cenderung lebih mahal. Hasil tanya-tanya ojek akhirnya aku diantarkan untuk menginap di Wisma Panineungan.

Hari Pertama Situ Gunung
Jam setengah lima pagi, langit masih gelap gulita. Bayangan pohon Damar (Agathis Alba) yang tinggi menjulang di sepanjang jalan bagai raksasa hitam penjaga danau. Lutung-lutung yang biasa berloncatan di pohon Damar pun belum memulai aktivitasnya. Jalan yang meliuk turun makin terasa gelap oleh rerimbunan pohon. Sangat sepi, bahkan langkah kaki pun terdengar jelas saat menjejak tanah kering yang berdebu. Hanya ada satu motor yang lewat di depanku yang membuat aku menepi sebentar. Tanah yang kering dan tidak tersiram air hujan beberapa lama membuat roda motor dengan mudah menerbangkan debu ke udara.

Sesampainya di tepi danau mataku disambut serombongan muda mudi yang sedang memasang tenda dan tikar di dekat danau. Sambil bermain gitar dan bernyanyi, suara mereka menjadi pengisi alam yang masih tidur. Katanya mereka rombongan yang langsung datang pakai motor jam 2 malam dari Bekasi. Setelah berbasa-basi sebentar dengan mereka, aku pamit menuju ke arah bangunan yang persis berdiri di depan danau. Aku tak ingin mengganggu pasangan muda-mudi itu, toh aku juga tak punya kepentingan dengan mereka.

Sambil merapatkan jaket untuk menepis dingin, aku mencoba berjalan-jalan di seputar danau untuk menghangatkan badan. Danau masih tampak hitam, ah aku rupanya salah waktu. Seharusnya aku tak sepagi ini di danau yang berada di ketinggian. Matahari tidak mungkin terbit pagi karena pasti terhalang perbukitan di sekitarnya.

Hari pertama ternyata tidak sesuai dengan dugaanku, cuaca yang sangat cerah membuat danau tidak diselimuti kabut sedikitpun. Pandangan yang jelas seperti ini memang enak buat dinikmati namun tidak menciptakan momen pencahayaan yang dramatis. Akhirnya aku banyak berjalan-jalan berkeliling di sekitar. Beberapa anak kecil yang kemungkinan anak kampung sekitar sedang mencari udah menggunakan jaring kecil yang dibuat terbuka dengan melengkungkan dua buah bambu yang diikat di tiap ujung jaring.

Dari pinggir danau, aku mencoba masuk lebih dalam kebalik rerimbunan pepohonan. Di dalam rerimbunan pepohonan itu aku baru tahu jika ada sekumpulan rumah-rumah yang sudah rusak terbengkalai. Malahan dari beberapa rumah yang rusaknya parah ada pohon yag tumbuh menerobos tembok yang sudah terbelah.. Kemungkinan besar dulu ini adalah tempat penginapan yang dibuat oleh pengelola langsung dekat dengan danau. Entah alasan apa sehingga rumah penginapan ini tidak laku, padahal di sekitar kawasan ini mulai dibangun hotel dan penginapan baru. Mestinya penginapan yang dekat danau justru lebih laku. Entah kalau justru lebih horror hiiiii...

Aku menerobos bekas jalan yang sudah mulai ditumbuhi tumbuhan di kiri kanan sampai bertemu jalan setapak lain. Yakin kalau ini jalan satu-satunya dan tidak mungkin tersesat aku terus berjalan menyusuri jalan tanah. Semakin ke dalam aku masuk, suasana jalan semakin redup karena tertutupi oleh pepohonan. Aku ikuti terus hingga akhirnya selepas beberapa puluh meter melewati sebuah jembatan kecil, aku sampai diujung jalan.. dan sebuah air terjun kecil.

Curug Cimanaracun, sebuah curug yang airnya mengalir kecil. Sepertinya curug ini sangat mengandalkan curah hujan. Sangat mungkin pada saat musim hujan air yang jatuh di curug ini sangat melimpah dan menarik untuk dinikmati. Tapi tentu saja ada konsekuensi lain, di sepanjang jalan menuju ke Curug ini akan banyak lintah yang bertebaran.

Hari Kedua Situ Gunung
Pagi pertama di Danau Situ Gunung bisa dibilang aku gagal mendapatkan suasana pagi yang terkenal itu sehingga aku memutuskan menambah satu hari untuk kembali ke danau ini.

Pagi-pagi jam lima aku sudah keluar dari hotel, hawa hari kedua ternyata tidak sedingin hari pertama. Kali ini aku mendapatkan sebuah angkot yang bersedia mengantarkan naik sampai ke pintu gerbang Kawasan Wisata. Lumayan cukup membayar 5ribu rupiah saja. Setelah membayar tiket masuk, aku kembali memilih berjalan kaki menuju ke danau Situ Gunung. Bagi yang tidak kuat berjalan kaki, ada pilihan untuk menggunakan jasa ojek yang akan mengantar dari pintu masuk sampai ke tepi danau. Tapi itu jelas bukan pilihanku, menukar berjalan kaki dengan naik ojek sungguh rugi.

Beruntung di hari kedua ini, tampaknya suasana danau telah berpihak kepadaku. Tampak kabut pagi yang menyelimuti hutan di sekitar danau. Sementara tukang perahu sudah banyak yang mulai menunggu di tepi kolam berharap ada wisatawan yang akan menggunakan jasa mereka. Ada tiga jenis perahu yang mereka sewakan: petahu biasa, rakit bambu, dan perahu fiber berbentuk bebek-bebekan.

Mungkin karena hari ini Minggu sehingga jumlah pengunjung jauh lebih banyak daripada hari kemarin. Waktu yang banyak aku hindari di tempat wisata seperti ini. Sayangnya walaupun pengunjung lebih ramai tapi tidak ada satupun yang menyewa perahu.

Adakah momen wanita cantik tinggi semampai bergaun merah panjang dengan belahan sampai ke pangkal paha dan sebuah payung yang warnanya senada sedang naik rakit sendiri dengan latar suasana magis Danau Situ Gunung? Aku tepok jidat sambil tertawa.. tentu saja momen seperti itu tidak akan ada. Momen seperti itu pastilah hasil foto konsep.. menunggu momen seperti itu rasanya seperti menunggu keajaiban.. atau kecelakaan..

Semakin lama semakin ramai pengunjung yang datang sehingga aku memutuskan kembali, toh momen cahaya pagi telah lewat. Untungnya tempat-tempat wisata umumnya tidak terlalu ramai saat pagi bahkan di hari Minggu sekalipun, karena memang tidak mudah orang untuk rela bangun pagi hanya demi mendapatkan secarik momen cahaya pagi. Bahkan oleh orang-orang yang menginap di sekitar tempat ini sekalipun.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya