Bukit batu Anjaf, salah satu bukit Fatu Nausus yang telah terpotong |
Aku meletakkan tas ranselku di ujung bukit yang terasa makin berat oleh medan jalan yang harus kulewati untuk mencapai tempat ini. Ada perasaan lega telah mencapai tempat ini karena sepanjang jalan aku harus terus sibuk bertanya kepada setiap orang yang kutemui untuk menyakinkan arah lokasi yang mau aku tuju.
Dari kejauhan kedua bukit batu yang dikenal dengan nama Anjaf dan Nausus memang sudah tampak dari daerah Kapan, ibukota kecamatan Mollo Utara karena memang kedua bukit ini paling menonjol. Namun untuk mencapainya ternyata tidak segampang kita melihatnya.
Menyusuri Pagi Buta yang Sepi
Jam tiga aku keluar dari rumah dengan motor matic 'Trondol' yang sudah kuganti rodanya dengan jenis dosser tipe roda semi trail. Kupang yang siang hari ternyata terasa dingin jika pagi begini. Di sepanjang jalan tampak obor-obor dari botol berjajar di sepanjang jalan. Hari ini adalah paskah. Di beberapa titik tampak tanda salib tiga buah di pasang para warga, kadang tampak beberapa pemuda bergerombol duduk sambil mendengarkan musik yang berbunyi sepanjang malam. Namun selebihnya jalanan sepi.
Tanaman perdu menghijau menghiasi perbukitan Cemara |
Sampai di hutan Camplong cuaca masih tampak cerah walaupun terasa lebih dingin di banding kota Kupang. Justru saat mulai memasuki Takari aku harus menurunkan kecepatan motorku karena kabut nyaris dimana-mana membuat jarak pandangku terbatas. Apalagi kabutnya juga disertai air gerimis tipis. Beberapa kali aku harus berhenti untuk membersihkan kaca helm memudar oleh kabut membuat bias cahaya tampak bergaris mengganggu pandangan.
Sekitar jam setengah enam pagi aku sudah sampai di pom bensin di pinggiran kota SoE yang masih tutup. Untungnya ada celah sehingga aku bisa memarkirkan kendaraanku sebentar, berharap toilet di pom bensin ini bisa aku gunakan dan istirahat sedikit melepas sisa kantuk yang masih ada. Setelah menambah bensin satu liter di warung sebelah pom bensin aku kembali melanjutkan kembali perjalanan.
Keindahan yang Tidak Ditopang Infrastruktur
Matahari bersinar dari balik pepohonan cemara, hutan Fatumnasi |
Hamparan perbukitan menghijau di Fatu Nausus |
Selepas tugu pertigaan itulah jalur yang lumayan cukup sulit karena jalan nyaris tidak menyisakan lagi aspal. Dengan jalur menanjak dan banyak kelokan, batu-batu bulat yang licin jika hujan membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Pada kondisi seperti ini, motor memang menjadi lebih fleksibel, kalau pun dengan kendaraan maka lebih pas jika menggunakan kendaraan jenis off road (penggerak empat roda).
Dengan kondisi jalan yang rusak, namun pemandangan yang ditawarkan mampu mengimbangi. Sepanjang kelokan menanjak, view pohon cemara yang telah berlumut dengan tanah yang menghijau mampu menyihir mata yang memandang.
Apalagi dengan eloknya cahaya matahari menyeruak di antara jajaran batang cemara, menerobos dingin yang berusaha kulawan dengan meniup-niupkan hawa panas ke tanganku. Sendirian tak membuatku tergugu, sendirian saat seperti ini seperti sebuah kesempatan untuk menghirup kesegaran dan keindahan yang ada sepenuhnya. Di sini hawa pegunungan yang dingin nyaris belum berpolusi, kalau pun polusi itu tak lebih dari tai sapi yang sering hangat tergeletak di sepanjang pinggir jalan.
Kuda-kuda merumput di hutan cemara Fatu Nausus |
Bunyi binatang-binatang malam masih berderik juga padahal matahari sudah keluar dari tadi. Entah karena mendung yang masih mengelayut di langit, ataukah dingin yang masih menyergap. Memang walaupun matahari sudah keluar sedari aku sampai di turunan pertigaan tugu di kapan, namun dengan ketinggian 1.160 mdl suhu di atas sini masih terasa dingin. Aku sesekali masih harus meniupkan udara panas ke telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin di jari-jari.
Bayangan Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto |
Ternyata sebelum perkampungan ada jalan ke kiri lagi itu yang harus kuikuti. Persis di depan percabangan itu terdapat sebuah cek dam yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menjadi daerah wisata. Memang bukan danau sehingga airnya pun tidak berwarna bening namun suasana tempat ini lumayan menyenangkan apalagi pepohonan banyak berjajar di sepanjang jalan lokasi ini. Dari sini pemandangan bukit batu Nausus tampak menarik terpantul di air di sela-sela bayangan pohon ampupu yang masih muda di sekitar lokasi cek dam. Hanya ada seorang pria yang duduk menggelung kaki sedang memancing di salah satu ujung batu. Udara dingin begini memang tidak menarik orang untuk keluar sekedar memancing. Apalagi jika rumah hangat masih menyala apinya.
Kendaraanku kembali masuk ke kiri menyusuri jalan tanah berbatu yang adak licin, mungkin sisa embun semalam. Jika sebelumnya pemandangannya adalah pepohonan cemara sekarang pemandangannya didominasi pepohonan Ampupu.
Bukit Batu Karst yang Menjulang: Anugerah dan Bencana
Pepohonan mulai tumbuh di bekas potongan batu |
Mataku langsung tertambat pada pemandangan bukit yang dindingnya tegak lurus licin, dinding ini lurus licin bukan dibentuk oleh alam tapi oleh tangan manusia melalui teknologi yang dimilikinya. Ya, bukit yang terpotong tegak lurus ini hasil dari eksplorasi perusahaan tambang marmer. Bukit-bukit karst yang menjulang ini dipuja danb dijaga masyarakat karena dianggap keberadaannya memberikan kehidupan bagi sekitarnya juga dipuja oleh para pebisnis. Bukan oleh karena kemistisannya namun lebih kepada nilai ekonominya. Dibalik batu-batu terjal inilah tersimpan potensi batu marmer yang katanya berkualitas nomor dua di dunia.
Longsoran batu di bukit Anjaf |
“Seperti manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini. Seperti itulah keindahan di sini dulunya. Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, salah seorang tokoh adat dari desa Lelobatan.
Pintu masuk lokasi wisata Naususu (Fatu Nausus) |
Di bagian dekat rumah panjang bekas bangunan perusahaan masih terdapat beberapa balok yang ditinggalkan, ada juga beberapa yang masih tersisa tertutup semak belukar. Bahkan bukit Anjaf yang telah terpotong juga sudah mulai hidup beberapa pohon termasuk pohon beringin didindingnya. Alam sedang berusaha mengembalikan tempat ini.
Sisa potongan batu milik perusahaan tambang yang belum diangkut |
Sayang aku tidak bertemu kera putih yang menjadi legenda tempat ini. Katanya kera putih itu memang tidak mudah ditemui, hanya orang yang beruntung saja yang bisa bertemu dengan kera putih itu. Kemunculan kera putih itu dianggap pertanda baik. Ah, cerita mistis dari tempat-tempat seperti ini memang menarik bagiku. Walaupun aku tidak mempercayainya, tapi akan menghormati dan menghargainya. Karena bagiku, cerita-cerita mistis yang melingkupi tempat ini adalah cara agar manusia yang sebenarnya bergantung dengan keberadaan tempat ini tetap menghormatinya.
Keren sumpah hutan fatumnasi harus pake motor ya? ga bisa pake mobil?
BalasHapusBisa kalau pake mobil dobel gardan mas kalo mobil biasa gak jamin aman, ada ruas yang sempit berlumpur, ada ruas yang sudah longsor penuh jadi harus turun ke bawah jauh jadi besar risikonya mobil keblasuk
HapusWah... rupanya masih banyak yg keren di Fatumnasi ya mas.... Belum sempat kesini, dulu hanay sampai Gunung Mutis aja. Pesonanya emang luar biasa.
BalasHapusNah aku yang malah belum sampai ke gunung Mutis.. moga2 Mei ini bisa sampai kesana
HapusSapi2 itu siapa yg punya ??? kalo kita potong trus bikin bbq an disana, kira2 ada yg ngamuk ngak hahahaha
BalasHapusGak sih om Cum cuma mungkin yang makan itu sapi gak pernah bakal balik kembali dan jadi penghuni tetap disana :D
Hapusjangan jangan itu dipotoong terus dijadiin batu akik? hahaha
BalasHapusbaru terpikir sama aku sekarang, wah masih ada potongan yang aku bawa apa mau dibikin batu akik? hahahaha
Hapuskalo dijawa mirip ama bukit sumbing disebelahnya kawah gunung kelud om tiar, bukit sumbing juga kepotong mirip kyakituh, tpi bukit sumbing adanya waktu gunung kelud belum meledak, kalo sekarng mungkin udah ilang tuh bukit om.. :(
BalasHapusBerarti itu bukit sumbing pernah dipotong sama perusahaan untuk diambil marmernya ya? Aku belum kelakon untuk naik gunung di Jawa sampai sekarang e..
HapusIjo-ijo. Syahdu. Indah. Menenangkan :') hihihi gambaran sederhana buat Fatu Nausus Mas :D
BalasHapusAaah, bukit batunya uniiiik :D
Bukit batunya memang adem karena berada di daerah ketinggian..
Hapuswah tebing tebingnya keren keren banget. itu dari batu kapur yah? keren banget euyyy
BalasHapusIya tapi sudah jadi batu marmer jadi bisa dibilang itu batu marmer
HapusITU SIAPA YANG MOTOOOOOOOOOOOOONG???
BalasHapusPerusahaan marmer tuh yang bikin sampe jadi masalah.. akhirnya penduduk yang menang dan bukit itu ditinggalin tapi ya gitu deh sisanya..
Hapuswowwww pemandangan alam nya yang sangat bagusss
BalasHapusYa untungnya gak sampe abis jadi menjadi view bukit yang unik.. kalo diabisin berarti gak ada sisanya yang bisa dinikmati
HapusMas, ini namanya Naususu bukan sih?
BalasHapusJangan lupa kunjungi blog ku ya mas http://simplyme-prittadamanik.blogspot.co.id/ sesama tukang tapaleuk di Kupang :)
Iya nama dusunya Naususu, nama salah satu bukitnya Fatu Nausus gak tau kenapa gak lengkap sekalian gitu.. Langsung ke tekape yah, mau tukeran link blog?
HapusSekarang pakai Avanza sudah bisa karena Jalan sudah Bagus, tinggal 1 Sungai kecil sebelum pintu masuk (±300 meter) yang agak susah.
BalasHapusOh iya sungai kecilnya emang susah untuk dimasuki mobil karena bentuknya yang agak curam.. kalau pake motor masih aman
Hapusakhirnya aku nyampai juga di nausus ini, setelah sebelumnya cuma bisa baca baca dan liat fotonya, heuheuheu
BalasHapusbetul kata komen di atas, 1 sungai kecil itu tantangan nya
untungnya kemarin pas kering, jadi pakai Xenia pun bisa lewat, cuma selip dikit ban nya.
Aseeek.. untungnya mobil kayak Xenia emang lebih jago kalau lewat tempat-tempat begini, kalau Innova ancur dah
Hapus