Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Timor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Timor. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Mei 2016

Kolam Air Asin di Gua Kristal

Kolam air asin di gua Kristal Kupang
Warna kebiruan toska air kolam yang terkena sinar matahari
Kucoba membuka mataku ke dalam air saat menyelam bebas agar bisa menatap bebatuan di bagian bawah namun tetap saja tidak jelas.Anehnya, saat aku muncul ke permukaan aku tidak merasakan perih di mata sebagaimana kalau membuka mata di air laut. Mungkin kalian masih ragu, apa mungkin air yang rasanya masih tetap asin itu tidak perih di mata? Aku tidak tahu, tapi aku bahkan berani bilang kalau air tawar di kolam renang saja masih lebih perih dibanding air di dalam gua ini. Masih gak percaya juga? Aku tunggu kapan mau tes air di gua Kristal...

Lokasi yang Tak Terduga 
Letak gua Kristal tidak jauh dari kota Kupang, sekitar setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat ini. Tapi ada yang berubah dari informasi awal yang kudengar. Tidak ada petunjuk jelas gua Kristal karena jalan masuk tidak ada tanda sedangkan sekitar gua Kristal masih daerah yang dipenuhi pepohonan. Tapi tidak, ternyata di tempat kami parkir motor sedang berdiri puluhan rumah yang masih dalam proses pembangunan: perumahan. Imam yang jadi pemandu sempat kebingungan karena memang perjalanan ke tempat ini sebelumnya tidak dijumpai perumahan melainkan masih pepohonan. Untung ada sepotong tulisan penanda ala kadarnya "Gua Kristal 100 meter" yang membantu meyakinkan bahwa kita sudah di lokasi yang benar.

Bertujuh di dalam Gua Kristal Kupang
Cuaca bulan ini memang terasa terik, apalagi di sekitar tidak ada pepohonan besar. Tapi beberapa pohon yang tidak terlalu besar cukuplah menjadi tempat parkir yang dikelola oleh seorang anak muda yang mungkin tinggal disekitar tempat ini. Belakangan waktu pulang aku baru tahu kalau anak muda itu tidak cuma mengenakan harga parkir tapi juga ongkos masuk ke dalam, dan untuk itu kami harus membayar 5.000 rupiah per motor. Yah, setidaknya motor kami aman kami parkirkan di sini.

Lucunya papan penanda itu tidak menunjuk jalan apapun karena memang tidak ada jalan. Jadi kami ikut saja menerobos batu karang menjadi tempat yang kami bisa berjalan. Entah sebenarnya kami yang memang asal jalan atau memang jalan itu ada tapi kami tidak tahu. Waktu pulang kami baru tahu jalan itu ada tapi memang tidak terlalu jelas.

Cahaya dari mulut gua Kristal Kupang
Jangan bayangkan gua Kristal itu seperti gua-gua pada umumnya yang lubangnya besar tinggi. Gua Kristal dari luar tak ubahnya sebuah bongkahan batu yang berlubang. Sampai dengan titik tujuan memang tak tampak ada gua, karena memang gua Kristal ini lubang menurun ke bawah menuju sebuah kolam air asin.

Satu yang aneh lagi yaitu adanya toilet sekaligus kamar ganti yang dibuat persis di mulut gua.  Penempata itu saja sudah parah, ditambah dengan bahan untuk toilet dari tripleks yang menambah bentuk depan gua Kristal itu tampak acakadut gak jelas. Setelah masuk memang ruang gua kelihatan lebih besar. Mungkin itulah kenapa cahaya matahari tidak bisa masuk sepenuhnya ke dalam gua. 

Berada di dalam gua yang lubang masuknya tidak terlalu besar dan jalan yang menurun ke bawah, aku yakin kolam air asin di dalam gua Kristal ini terus tersembunyi dari matahari. Hanya pada siang hari saja matahari mampu menerobos ke dalam gua melalui satu-satunya lubang gua untuk keluar dan masuk. Itu pun sinarnya hanya sampai menembus sepertiga bagian gua. Untungnya sepertiga cahaya yang masuk ini memantul ke seluruh dinding gua sehingga setengah air yang lebih sering bersembunyi dalam bayangan gelap berubah lebih terang ke warna kebiruan yang pekat.

Seiring naiknya sinar matahari yang menerobos dari lubang masuk gua, warna air yang biru akan menjadi biru lebih terang, kadang-kadang tampak seperti biru toska. Entah apakah masih pas menyebut gua ini dengan nama gua kristal sementara aku tidak melihat warna berkilauan bebatuan yang tertimpa sinar matahari. Mungkin kilauan-kilauan yang muncul laksana kristal yang pernah mereka ceritakan telah hilang seiring warna bebatuan yang menjadi kusam. Tapi di sisi dalam, stalagtit dan stalagmit yang tidak terlalu besar masih tampak berkilauan dan basah. Mungkin jika sinar matahari sampai menembus ke stalagtit dan stalagmit yang di dalam aku akan melihat kilauan kristal.

Aku menghela napas panjang melihat tulisan-tulisan dari cat berwarna-warni di dinding batuan dalam gua. Kampret!! Mahluk-mahluk keparat ini memang tidak pernah tau keindahan. Tangan-tangan mereka sepertinya akan gatal seumur hidup jika lupa tidak membuat tanda-tanda graviti seperti ini. Dengan graviti yang ditulis sporadis memang jadi sulit untuk mencari tempat yang tidak menampakkan graviti mereka.

Kolam Air Asin yang Jernih
Air kolam di ujung gua memang tidak terlalu besar, pun tidak banyak tempat datar yang dapat digunakan untuk duduk menikmati pemandangan. Mungkin kolam ini masih jika dinikmati jika yang masuk ke dalamnya tidak lebih dari sepuluh orang.

Kolam air asin di dalam gua Kristal Kupang
Anakku lah yang teriak-teriak di air waktu aku masih asyik mengabadikan gambar gua. "Ayah.. ayah.. Shiva tadi matanya masuk air tapi gak perih lho. Tapi airnya dingin", katanya senang sekali waktu berenang di dalam airnya. Aku sendiri memang berniat berenang setelah menuntaskan memotret lokasi ini. Jadi Shiva ditemani pakde Dibyo dan pak Achmadi yang turun lebih dulu.

Tak dapat berlama-lama, akhirnya aku menyusul mereka memasukkan badan ke dalam air. Bener-bener air di gua ini segar. Dan seperti yang aku bilang di awal, walau airnya asin tapi tidak perih di mata. Hanya sesekali aku menggunakan kecamata untuk menyelam ke dalam air. Karena tidak terlalu banyak orang, aku jadi bisa menikmati nikmatnya berendam air di sini.
Kedalaman kolam sekitar tiga meteran aku rasa, tapi di bagian sisi batas gua ke bawah masih tampak bayangan hitam pertanda kalau di sisi itu lebih dalam dari tempat lain. Akun menduga di sisi itulah yang menghubungkan kolam ini dengan laut. Mungkin juga air di sini pasang surut seperti kondisi di laut, aku tidak terlalu yakin karena dari gua ini ke laut jaraknya lebih dari 100 meter.


Menunggu di depan mulut gua Kristal Kupang
Ada satu batu yang agak menjorong ke kolam. Tempat itu sering digunakan orang untuk meloncat ke dalam air karena memang air di bawahnya langsung dalam jadi aman. Namun hati-hati, jangan terlalu semangat meloncat. Jika kamu orang yang tinggi dan sembarangan meloncat bisa-bisa kepalamu terbentuk dinding atas gua yang tidak terlalu jauh tingginya dari batu itu.

Tidak seperti di bagian luar gua yang berupa batu karang hitam terjal dan kasar, bagian dalam gua batuannya berwarna putih kekuningan. Batu-batu itu terasa rapuh namun untungnya kesat sehingga tidak licin waktu diinjak. Hanya memang waktu untuk turun harus lebih hati-hati karena dari luar yang terang, maka di dalam gua tampak sangat gelap. Agak lama untuk membiasakan mata agar dapat melihat ke dalam gua lebih baik. Sayang tepat di tengah-tengah pintu gua ada batu besar yang menghalangi sinar matahari masuk lebih banyak.

Untuk amannya, jika ada yang mau ke sini bukan saat siang hari sebaiknya selalu bersiap-siap dengan senter atau lampu karena kemungkinan gua akan terlihat sangat gelap dan jelas akan mengecewakan perjalananmu ke tempat ini.

Hari Minggu itu Waktu yang Salah
Kami bertujuh mencari tempat duduk persis di belakang batu besar yang menutup pintu gua. Kami masih harus membiasakan mata karena di dalam gua selain warna biru air selebihnya adalah gelap. Memang terdengar celotehan pengunjung yang sedang mandi atau berenang di dalam kolam gua. Setelah agak lama dan mulai bisa melihat lebih jelas ke dalam gua, ternyata sudah ada beberapa anak muda yang berenang di dalam kolam, beberapa tidak berenang tapi seperti biasa sibuk mengabadikan diri. Istilah selfi sekarang memang kekinian dan tidak bisa ditolak.

Shiva di depan mulut gua Kristal Kupang
Jumlah anak-anak muda yang di dasar gua yang sudah puluhan jelas sudah tidak bisa ditambah sehingga aku dan teman-teman memilih mengalah. Itu pun dari belakang kami masih berdatangan beberapa anak lebih kecil yang turun dengan cepat ke dalam gua. Aku berpikir mereka anak-anak di sekitar sini yang sudah terbiasa dengan suasana gua.

Untungnya acara mandi mereka tidak terlalu lama. Setelah aku lihat yang berenang hanya tinggal tiga orang, maka kami mulai ikut turun ke bawah. Awalnya kami benar-benar harus hati-hati karena batuan di bawah yang basah tampak licin. Ngeri juga membayangkan stalagmit menyambut kami jika sampai tergelincir. Ternyata aku salah, batu-batu itu tidak licin walau terkena air dari anak-anak muda yang naik balik ke atas dalam keadaan basah.

Sialnya selepas siang, rombongan yang datang lebih banyak. Jelas itu waktunya kami berbenah untuk pergi. Dengan kedatangan rombongan baru sebanyak itu jelas berada di dalam gua tidak lagi menyenangkan. Benar seperti perkiraanku semula, mengunjungi tempat wisata hari Minggu adalah pilihan yang salah. Masih untung kami sempat merasakan saat kolam sepi, namun di banyak waktu lain, Minggu berarti siap-siap kecewa.



Bagaimana Menuju Kesana?
Sebenarnya lokasi ini tidak susah di jangkau. Bisa menggunakan kendaraan umum dengan setidaknya 2 kali ganti angkutan kota. Tapi menurut saya lebih enak menggunakan kendaraan pribadi (motor kalau saya). Rute perjalanan sebagai berikut:
  1. Dari kota Kupang arahkan kendaraan menuju arah Namosain, ikuti jalan sampai bertemu pertigaan Namosain yang ada tugu "Imperial Estate". Sebenarnya dua arah itu semuanya bertemu lagi di jalan yang sama pertigaan Bolok. Namun saya lebih menyarakan ikut jalur ke kiri menuju ke atas.
  2. Ikuti jalan terus sampai ke pertigaan Bolok (belok kanan ke pelabuhan Tenau), tetap terus sampai melewati jembatan. Setelah jembatan ada pertigaan belok ke kiri lagi (lurus sampai ke pelabuhan perikanan)
  3. Terus lurus melewati sampai ke pelabuhan Bolok tetap lurus, nanti sekitar satu km dari pelabuhan ASDP Bolok akan bertemu pertigaan yang menuju ke kantor DIT POLAIR POLDA NTT belok kanan.
  4. Berhenti di depan perumahan (100 meter sebelum kantor Polisi Perairan), parkirkan kendaraan di sekitar situ dan cari papan petunjuk menuju Gua Kristal.  
Terima kasih buat temen-temen yang ikut bersama ke gua Kristal: pakde Kushandoyo, pakde Dibyo, pak bos Sulih, pak Ahmadi, Imam 'Boncel' .
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 18 Mei 2016

Hammock-an di Danau Nefokouk

View Danau Nefokau Apren
Hammock bergoyang pelan di ayun angin yang bertiup menerobos sela pepohonan. Gemerisik dedaunan tidak menarik perhatiannya, matanya sayu menatap langit yang hari ini cerah sambil sesekali masih menjawab pertanyaanku. Aku membiarkan dirinya asyik menikmati suasana siang ini di atas hammock, toh kesempatan tiduran di tempat seperti ini tidak sering dia dapatkan. Matahari boleh saja menyengat, tapi angin yang bertiup terasa sejuk. Mungkin hawa bulan Mei memang seperti ini.

Bersantai di tepi danau Nefokau
Bersantai menikmati suasana
Aku senang sekali melihat wanita yang kunikahi 16 tahun yang lalu begitu menikmati tiduran di hammock. Sebenarnya dia sudah menawarkan membantu aku menyiapkan masakan tapi aku menolaknya. Saat-saat seperti ini, bagiku justru waktu untuk memanjakannya. Toh untuk perlengkapan camping seperti ini, aku pasti lebih sigap menggunakannya. Setelah aku membatalkan rencana perjalanan ke Fatumnasi, pilihan mengunjungi tempat ini tidak terlalu buruk tampaknya. Hujan yang terjadi di musim yang seharusnya bukan waktunya hujan memang menjadi dilema. Beberapa rencana perjalanan apalagi yang harus ke tempat terbuka pasti akan berantakan.

Sambil menyiapkan peralatan masak, aku mencoba mengamati seorang pria berkulit hitam yang duduk di atas cabang pohon yang tumbang. Ditangannya masih memegang alat pancing dari bambu, sementara masih ada beberapa bambu pancing yang tergeletak di dekatnya setidaknya enam buah kalau aku tidak salah menghitung. Sayangnya, sampai saat ini hanya beberapa ikan kecil yang dia dapatkan. Padahal aku berharap akan melihat tangkapan ikan yang jauh lebih besar dari yang dia dapatkan saat ini. Ikan mujair saja, kata pria itu.

View siang hari di danau Nefokau
Danau ini tidak terlalu besar memang, pun juga tidak dalam. Bahkan sisi danau sebelah timur sebelah timur sudah dipenuhi tumbuhan semak berbunga putih dan merah. Airnya pun berwarna coklat tanah bukan bening sebagaimana danau-danau di ketinggian seperti danau Ranamese. Dengan ketinggian sekitar 200 mdpl tentu saja cuaca di sekitar danau cenderung panas. Untungnya sekitar danau banyak ditumbuhi pepohonan besar, ya karena danau ini terletak di pinggiran hutan. Danau yang aslinya bernama Nefoko'uk namun lebih dikenal dengan nama danau Apren ini masuk kawasan Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johannes. Hutan ini cukup luas, menurut catatan dari Dinas Kehutanan, luas kawasan hutan ini sekitar 1.900 hektar.

Memancing saat siang terik di danau Nefokau
Entah sebelumnya atau hujan angin yang terjadi baru-baru ini, beberapa batang pohon tampak tumbang di sekitar danau, yang justru dapat dimanfaatkan masyarakat menjadi lokasi duduk memancing. Danau ini setiap hari didatangi masyarakat sekitar untuk memancing ikan. Beberapa anak kecil terlihat ramai mandi di sisi lain danau.

Di tengah-tengah danau tampak tiga rumah kayu terapung di tengah danau yang bisa dijangkau dengan naik sampan. Kata pemiliknya, selain kadang digunakan sendiri untuk memancing juga untuk disewakan wisatawan yang berlibur ke tempat ini. Sayang waktu aku sampai di sana, pemiliknya sedang tidak ada. Rupanya pemiliknya sering tidak ada pada hari-hari biasa, mungkin mereka baru ada jika waktu liburan dimana bakal banyak wisatawan yang datang.

Bunga merah di pinggir danau Nefokau
Untung suasana saat ini cukup sepi, hanya sesekali terdengar percakapan mereka yang sedang memancing. Sekali ada masuk beberapa rombongan anak-anak muda dengan menggunakan motor. Saat itulah ketenangan tempat ini pecah oleh tawa dan teriakan melengking dari cewe-cewe ABG. Dimanapun mereka ada, mahluk-mahluk seperti ini memang sering menciptakan kehebohan. Di banyak waktu kadang asyik aja melihat kehebohan mereka, meski lebih sering aku mengabaikan keriuhan yang mereka ciptakan. Namun juga sekali dua aku agak terganggu dengan pekikan-pekikan mereka terutama saat di daerah yang memang dikenal dengan suasananya yangn hening dan tenang. Tapi rupanya mereka tak terlalu lama, karena tak berapa lama kemudian aku kehilangan keriuhan mereka.

Sisi timur danau Nefokau
Cukup lama juga aku bersantai di tempat ini sampai aku lihat mendung mengelayut dari sebelah timur. Beberapa hari ini memang hampir tiap hari hujan turun. Berharap hujan tidak turun hari ini namun ternyata justru hujan yang semula gerimis berubah menjadi hujan lebat waktu masuk Oesao. Hampir seperempat jam berteduh di emperan toko akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan lebat. Ternyata perkiraanku benar, bahkan sampai aku kembali ke Kupang ternyata hujan belum juga berhenti.

Danau Nefoko'uk ini lebih mudah dikenali dengan nama danau Apren karena memang terletak di desa Apren. Desa ini masih masuk kecamatan Amarasi Timur. Untuk fasilitas, sudah dibangunkan lopo-lopo oleh pemerintah daerah di sekitar danau di bagian atas dekat jalan, lumayan bisa untuk bersantai. Lebih disarankan membawa tikar atau hammock sendiri. Untuk sanitasi, ada bangunan toilet umum cuma sayangnya sepertinya sudah tidak dimanfaatkan lama. Kalau sudah kebelet berak sepertinya mau gak mau meniru sapi yang suka berak sembarangan.. eh jangan.. masuk hutan sebentar, gali tanah dan seterusnya ya. Pokoknya jangan bikin bau kotoranmu kemana-mana, lagian lumayan untuk pupuk. Untuk fasilitas tempat makan belum ada dan sepertinya memang tidak ada yang menjual makanan di tempat ini jadi bekal makanan dan minuman itu sifatnya harus. Lupa bawa makanan boleh coba ngramut daun di hutan.

Gerbang masuk ke danau Nefokau
Cara untuk mencapai tempat ini:
Tempat ini tidak terlalu jauh dari kota Kupang mungkin sekitar 45 km, dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1,5 jam. Ada kendaraan umum (sejenis pickup modifikasi dengan tempat duduk kayu) yang lewat tempat ini namun aku tidak tahu kendaraan itu dari mana menuju mana. Sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi (motor/mobil). Motor matic biasa juga tidak masalah kok masih aman dilewati kecuali 2-3 km terakhir. Detil menuju lokasi ke tempat ini:

  1. Dari Kota Kupang menelusuri Jalan Timor Raya terus ke Timur arah SoE, nanti dari pertigaan pasar Oesao beloklah ke kanan.
  2. Telusuri jalan aspal besar terus sampai menemukan pertigaan yang ada kantor Unit Simpan Pinjam Desa Bank NTT, ambil arah jalan lurus (kiri) jangan belok kanan menuju arah Tesbatan. Perjalanan sampai ke sini juga masih cukup baik. Beberapa ruas memang ada lubang-lubang tapi masih bisa dilewati dengan aman.
  3. Melewati desa Ponain dan menuju ke desa Tesbatan sampai di pertigaan tugu desa Tesbatan belok ke lurus kiri (jangan ke kanan) menuju ke desa Oenoni. Jalan masih aspal dan masih cukup baik untuk dilewati.
  4. Di Depan Toko Sinar Utama Oenoni belok kanan mengikuti jalan beraspal sampai di perempatan jalan SDN Ropnoni belok  kiri menuju Gapura Desa Apren. Dari perempatan jalan SDN ini kondisi jalan tanah berbatu. Ikuti saja jalan yang besar sampai ketemu gapura desa Apren.
  5. Dari Gapura Desa Apren jalan lurus terus sudah mendekati gerbang masuk Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johanes, persis setelah masuk gerbang itulah letak danau Apren.


Baca keseluruhan artikel...

Senin, 04 April 2016

Fatu Nausus: Bukit yang Terpotong

Bukit Anjaf di Fatu Nausus
Bukit batu Anjaf, salah satu bukit Fatu Nausus yang telah terpotong
Bukit batu karst yang menjulang ini masih menampakkan sisa-sisa kemistisannya. Bukit Nausus masih tampak utuh dari tempatku berdiri. Nampak sedikit ada bekas batu terpotong di bagian bawah yang sebagian tertutup longsoran batu-batu dari atas. Sementara bukit Anjaf tempatku berdiri sebagian besar bukitnya telah terpotong sehingga sekarang menyisakan bukit terjal dengan dinding tegak lurus licin dari marmer. Bahkan lantai yang kupijak ini bukan lantai semen tapi dari batu marmer. Karenanya pagi yang dingin semakin terasa dingin jika menginjak lantai ini tanpa alas kaki.

Aku meletakkan tas ranselku di ujung bukit yang terasa makin berat oleh medan jalan yang harus kulewati untuk mencapai tempat ini. Ada perasaan lega telah mencapai tempat ini karena sepanjang jalan aku harus terus sibuk bertanya kepada setiap orang yang kutemui untuk menyakinkan arah lokasi yang mau aku tuju.
Dari kejauhan kedua bukit batu yang dikenal dengan nama Anjaf dan Nausus memang sudah tampak dari daerah Kapan, ibukota kecamatan Mollo Utara karena memang kedua bukit ini paling menonjol. Namun untuk mencapainya ternyata tidak segampang kita melihatnya.


Menyusuri Pagi Buta yang Sepi
Jam tiga aku keluar dari rumah dengan motor matic 'Trondol' yang sudah kuganti rodanya dengan jenis dosser tipe roda semi trail. Kupang yang siang hari ternyata terasa dingin jika pagi begini. Di sepanjang jalan tampak obor-obor dari botol berjajar di sepanjang jalan. Hari ini adalah paskah. Di beberapa titik tampak tanda salib tiga buah di pasang para warga, kadang tampak beberapa pemuda bergerombol duduk sambil mendengarkan musik yang berbunyi sepanjang malam. Namun selebihnya jalanan sepi.

Hutan cemara di Fatu Nausus
Tanaman perdu menghijau menghiasi perbukitan Cemara
Beberapa kali aku berjalan pelan di pinggir karena berpapasan rombongan yang beriringan dengan obor di tangan melantunkan pujian-pujian menuju gereja. Aku baru tahu jika paskah begini justru ada acara jalan salib sepagi ini.Setelah itu jalanan bisa dibilang sepi, hanya kadang bertemu satu dua motor yang berboncengan. Jika melihat perlengkapannya, sepertinya mereka juga melakukan perjalanan luar kota.

Sampai di hutan Camplong cuaca masih tampak cerah walaupun terasa lebih dingin di banding kota Kupang. Justru saat mulai memasuki Takari aku harus menurunkan kecepatan motorku karena kabut nyaris dimana-mana membuat jarak pandangku terbatas. Apalagi kabutnya juga disertai air gerimis tipis. Beberapa kali aku harus berhenti untuk membersihkan kaca helm memudar oleh kabut membuat bias cahaya tampak bergaris mengganggu pandangan.

Sekitar jam setengah enam pagi aku sudah sampai di pom bensin di pinggiran kota SoE yang masih tutup. Untungnya ada celah sehingga aku bisa memarkirkan kendaraanku sebentar, berharap toilet di pom bensin ini bisa aku gunakan dan istirahat sedikit melepas sisa kantuk yang masih ada. Setelah menambah bensin satu liter di warung sebelah pom bensin aku kembali melanjutkan kembali perjalanan. 

Keindahan yang Tidak Ditopang Infrastruktur
Hutan Fatu Nausus
Matahari bersinar dari balik pepohonan cemara, hutan Fatumnasi
Perjalananku dari SoE menuju Kapan masih cukup lancar, walaupun beberapa ruas menuju kapan sudah mulai mengalami kerusakan. Selepas Kapan, dipertigaan aku mengambil ke arah kiri. Di papan petunjuk tertera tulisan arah menuju Fatumnasi, sebagaimana petunjuk yang diberikan penduduk desa yang aku tanyai dari di percabangan. Selepas satu km yang masih mulus (sepertinya proyek rehabilitasi jalan baru-baru ini) akhirnya kembali melewati yang ruas jalannya mulai rusak parah. Bahkan masih ada ruas yang longsor parah dan menyisakan sisa selebar setengah meter. Cukup untuk satu motor saja.

Perbukitan di Fatu Nausus
Hamparan perbukitan menghijau di Fatu Nausus
Kapan yang ketinggiannya sekitar 900 mdl (sedikit lebih tinggi dari SoE) memiliki banyak potensi yang menjadi andalan Kabupaten Timor Tengah Selatan, salah satunya jeruk. Konon katanya di sini juga pernah menjadi sentra dari buah apel yang khas dari Timor, sayang sekarang tidak ada jejak sama sekali dari buah apel ini.

Selepas tugu pertigaan itulah jalur yang lumayan cukup sulit karena jalan nyaris tidak menyisakan lagi aspal. Dengan jalur menanjak dan banyak kelokan, batu-batu bulat yang licin jika hujan membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Pada kondisi seperti ini, motor memang menjadi lebih fleksibel, kalau pun dengan kendaraan maka lebih pas jika menggunakan kendaraan jenis off road (penggerak empat roda).

Dengan kondisi jalan yang rusak, namun pemandangan yang ditawarkan mampu mengimbangi. Sepanjang kelokan menanjak, view pohon cemara yang telah berlumut dengan tanah yang menghijau mampu menyihir mata yang memandang.
Apalagi dengan eloknya cahaya matahari menyeruak di antara jajaran batang cemara, menerobos dingin yang berusaha kulawan dengan meniup-niupkan hawa panas ke tanganku. Sendirian tak membuatku tergugu, sendirian saat seperti ini seperti sebuah kesempatan untuk menghirup kesegaran dan keindahan yang ada sepenuhnya. Di sini hawa pegunungan yang dingin nyaris belum berpolusi, kalau pun polusi itu tak lebih dari tai sapi yang sering hangat tergeletak di sepanjang pinggir jalan.


Kuda-kuda di hutan Fatu Nausus
Kuda-kuda merumput di hutan cemara Fatu Nausus
Sapi-sapi banyak bersliweran di perbukitan dan di lembah. Mereka beruntung tinggal dan besar di sini, walau tahu akan tetap berakhir di tempat pemotongan sapi hehehe. Kadang-kadang tampak serombongan kuda muncul tiba-tiba dari antara semak mengejutkanku. Awalnya kupikir kuda-kuda ini adalah kuda liar karena aku melihat kuda-kuda ini surainya panjang tak terpotong. Ternyata aku salah, saat bincang-bincang dengan penduduk kampung, ternyata mereka memang membiarkan kuda-kuda ini lepas begitu saja tak dimasukkan kandang.

Bunyi binatang-binatang malam masih berderik juga padahal matahari sudah keluar dari tadi. Entah karena mendung yang masih mengelayut di langit, ataukah dingin yang masih menyergap. Memang walaupun matahari sudah keluar sedari aku sampai di turunan pertigaan tugu di kapan, namun dengan ketinggian 1.160 mdl suhu di atas sini masih terasa dingin. Aku sesekali masih harus meniupkan udara panas ke telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin di jari-jari.

Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto
Bayangan Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto
Jalan yang harus dilewati pelan makin pelan karena aku sering harus berhenti. Di bukit atas terdapat percabangan jalan, di situlah aku harus kembali belok kiri karena jalan lurus berarti ke arah Fatumnasi. Jalanan menurun ini tak terlalu lama sampai aku bertemu dengan perkampungan. Salah satu dusun dari desa Fatukoto.

Ternyata sebelum perkampungan ada jalan ke kiri lagi itu yang harus kuikuti. Persis di depan percabangan itu terdapat sebuah cek dam yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menjadi daerah wisata. Memang bukan danau sehingga airnya pun tidak berwarna bening namun suasana tempat ini lumayan menyenangkan apalagi pepohonan banyak berjajar di sepanjang jalan lokasi ini. Dari sini pemandangan bukit batu Nausus tampak menarik terpantul di air  di sela-sela bayangan pohon ampupu yang masih muda di sekitar lokasi cek dam. Hanya ada seorang pria yang duduk menggelung kaki sedang memancing di salah satu ujung batu. Udara dingin begini memang tidak menarik orang untuk keluar sekedar memancing. Apalagi jika rumah hangat masih menyala apinya.

Kendaraanku kembali masuk ke kiri menyusuri jalan tanah berbatu yang adak licin, mungkin sisa embun semalam. Jika sebelumnya pemandangannya adalah pepohonan cemara sekarang pemandangannya didominasi pepohonan Ampupu.

Bukit Batu Karst yang Menjulang: Anugerah dan Bencana
Bukit terpotong Fatu Nausus
Pepohonan mulai tumbuh di bekas potongan batu
Pintu gerbang kawasan wisata Fatu Nausus masih tertutup, aku menarik pintu dari potongan-potongan kayu ini agar cukup untuk masuk motor. Pagar yang menutup kawasan ini hanya dibuat secara sederhana dari potongan batang-batang pohon sekitar kawasan ini. Beberapa puluh meter selepas masuk gerbang terdapat bangunan panjang yang saat ini digunakan penjuga dari lokasi ini. Hanya ada satu orang penjaga dan seorang anak kecil yang menjaga tempat ini. Karena aku hanya sendiri dan belum ada orang lain, mereka mempersilahkan aku menggunakan motor sampai ke dalam sampai persis di bawah bukit.

Mataku langsung tertambat pada pemandangan bukit yang dindingnya tegak lurus licin, dinding ini lurus licin bukan dibentuk oleh alam tapi oleh tangan manusia melalui teknologi yang dimilikinya. Ya, bukit yang terpotong tegak lurus ini hasil dari eksplorasi perusahaan tambang marmer. Bukit-bukit karst yang menjulang ini dipuja danb dijaga masyarakat karena dianggap keberadaannya memberikan kehidupan bagi sekitarnya juga dipuja oleh para pebisnis.  Bukan oleh karena kemistisannya namun lebih kepada nilai ekonominya. Dibalik batu-batu terjal inilah tersimpan potensi batu marmer yang katanya berkualitas nomor dua di dunia.

Longsoran Fatu Nausus
Longsoran batu di bukit Anjaf
Dulu tempat ini dulunya digunakan oleh masyarakat Mollo untuk melakukan upacara-upacara adat. Tempat ini memang layak dipuja karena dengan hutan disekitarnya mampu menjadi penopang kehidupan. Air-air hujan yang tertahan dan mampu menghasilkan kehidupan dengan adanya mata air bagi daerah yang dibawahnya.

“Seperti manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini. Seperti itulah keindahan di sini dulunya. Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, salah seorang tokoh adat dari desa Lelobatan. 

Pintu masuk lokasi wisata Naususu (Fatu Nausus)
Kudengar, bukit yang menonjol paling menonjol di kawasan Mollo ini berubah menjadi bencana saat masyarakat terpecah menjadi dua, yang pro tambang dan menolak tambang. Akhirnya memang kawasan ini telah ditinggalkan perusahaan tambang namun bukan dengan cara yang mudah. Ada perjuangan yang cukup lama dan keberanian yang harus terus dikobarkan agar masyarakat mau saling bahu membahu dalam satu suara menolak pertambangan ini.

Di bagian dekat rumah panjang bekas bangunan perusahaan masih terdapat beberapa balok yang ditinggalkan, ada juga beberapa yang masih tersisa tertutup semak belukar. Bahkan bukit Anjaf yang telah terpotong juga sudah mulai hidup beberapa pohon termasuk pohon beringin didindingnya. Alam sedang berusaha mengembalikan tempat ini.

Potongan marmer di Fatu Nausus
Sisa potongan batu milik perusahaan tambang yang belum diangkut
Di balik dari bukit Anjaf, beberapa batu yang terpecah-pecah lebih kecil tampak longsor sehingga aku tidak berani menaikinya. Hanya dua pasang kambing coklat dan hitam yang telah nangkring di atas entah lewat mana.

Sayang aku tidak bertemu kera putih yang menjadi legenda tempat ini. Katanya kera putih itu memang tidak mudah ditemui, hanya orang yang beruntung saja yang bisa bertemu dengan kera putih itu. Kemunculan kera putih itu dianggap pertanda baik. Ah, cerita mistis dari tempat-tempat seperti ini memang menarik bagiku. Walaupun aku tidak mempercayainya, tapi akan menghormati dan menghargainya. Karena bagiku, cerita-cerita mistis yang melingkupi tempat ini adalah cara agar manusia yang sebenarnya bergantung dengan keberadaan tempat ini tetap menghormatinya.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 16 Maret 2016

Air Terjun Tesbatan, Jangan Nyampah!

warna tosca air terjun Tesbatan Kupang
Warna tosca air terjun ini tetep nampak walau sudah sore, jika ada cahaya matahari warna tosca-nya makin menjadi.
Keindahannya tampak jika tak ada sampah berserakan


Mungkin sudah banyak orang Kupang yang berwisata ke air terjun Tesbatan. Bukan banyak lagi tapi banyak banget. Tau dari mana? Dari sampah yang mereka tinggalkan. Itu sampah plastik sama kantong Ka-Ef-Ce yang jelas saat ini satu-satunya yang ada di Kupang berserakan di tanah lapang dekat air terjun Tesbatan. Pokoknya itu pengalaman gak banget yang bikin aku gak mau nulis pengalaman pertama berkunjung ke Tesbatan. Di situ, aku mendapat predikat "Orang Gila" sama ibu-ibu gendut yang jengkel karena asap dari sampah yang aku bakar. Iya mungkin aku salah bakar sampah yang aku kumpulin, tapi aku memang mau kasih pelajaran sama pengunjung yang cuma bisa datang buang sampah seenak udelnya. Padahal udelnya aja gak enak diliat #cekudelsendiri.

menikmati air terjun Tesbatan
Berendam di air terjunnya yang segar
Saking sampahnya yang bikin sepet mata akut, akhirnya kita bersihin tuh sampah-sampah apa saja yang bikin pemandangan air terjun Tesbatan kehilangan asyiknya. Pas kita lagi bakar, ada bapak-bapak yang bilang "sekarang lagi buat mandi, nanti aja bersihinnya kalau pengunjung udah pulang". Lah dipikirnya aku ini penjaga air terjun apa ya, disuruh bersihin abis gak ada orang. Pas dibilangin kalau aku juga pengunjung yang udah sepet akut sama sampah-sampah ini, dengan bijaksananya si bapak bilang, "Ya percuma dibersihin dek, di taman Nostalgia aja banyak sampah gak dibersihin". Bijaksana banget sih pak tapi lebih mirip orang putus asa. Kalau Bapak putus asa, aku punya tali buat mengakhirinya #bikinayunantali.
Udah lama juga sejak kunjungan pertama aku gak ke Tesbatan lagi. Padahal perjalanan pertama kesana lumayan asyik karena bareng anak-anak gokil yang sok-sokan hapal jalan, dan berujung pada jalan yang ancur-ancuran. Roda-roda motor matic yang kelasnya jalan aspal mulus harus rela menghajar jalan sekelas batu telford. Aje gile gak tuh.
 

air terjun Tesbatan
View aliran air dari bagian teratas
Kemarin setelah ambil cuti libur ke Surabaya, aku sempetin coba balik ke Tesbatan sekalian ngajak bini yang belum pernah tau tuh Tesbatan kayak apa. Kesian, lahir dan besar di pulau Timor masak Tesbatan aja gak tahu.
Berangkat sekitar jam setengah tigaan sore dengan tujuan biar gak pas rame orang. Lagiaan saat itu bukan sedang hari libur jadi kemungkinan sepi pengunjung, tambah beberapa hari sebelumnya ada hujan jadi ada kemungkinan sampah-sampah yang bikin sepet mata mungkin udah hilang kebawa air. Kalau pun sampah-sampah itu gak hilang terbawa air biar yang buang sampah saja yang kena banjir gak papa. Ini bukan doa lho, cuma permohonan orang teraniaya.
 

Belajar dari pengalaman pertama, aku memilih mengikuti jalur waktu pulang yang lebih mulus jalannya. Walaupun lebih jauh tapi setidaknya perjalanan jadi terasa lebih nyaman. Mungkin lariku yang kelewat pelan, akhirnya nyampai ke sana pas udah mendekati jam setengah lima. Berarti perjalanan hampir dua jam, lumayan bikin ngilu tangan yang agak kram. Perjalanan ini sekaligus uji coba pertama motor X-ride sebelum nanti dipakai untuk perjalanan yang lebih ekstrem: naik ke gunung Fatumnasi. Secara umum aku bisa bilang dari Kota Kupang sampai masuk ke desa Tesbatan bisa dikatakan kondisi jalannya aman bahkan dengan motor matic yang modelnya nyaris rata dengan tanah. Ada juga sih beberapa ruas yang agak jelek tapi gak jelek banget-banget kok. Itu juga gak banyak, mungkin gak nyampai 30km yang rusak begitu #ituparahmonyet! Gak bercanda...

sore di hijaunya air terjun Tesbatan
Ngeksis buat bukti kalau udah ke Tesbatan walau gak nyemplung
Justru di ruas terakhir setelah masuk ke pertigaan menuju pintu masuk air terjun yang mulai jelek. Jalannya masih berupa aspal yang tinggal menyisakan batu-batu kerikil. Setelah gerbang pintu masuk air terjun disitu kita harus lebih hati-hati lagi karena batuan bekas beraspal ini tipenya mudah lepas jadi bisa bikin motor tergelincir.
Begitu sampai di sana justru aku masih sempat berpapasan rombongan-rombongan yang udah mau balik. Kirain bakalan sepi ternyata ada yang sepikiran dengan aku, mendatangi tempat ini pas bukan hari-hari libur. Tampaknya mereka rombongan yang bukan tipe pembuang sampah dan pecinta vandalisme di tempat-tempat publik. Coba tanya ke beberapa anak kampung di dekat situ katanya udah sepi. Setelah jalan masuk beberapa ratus meter dari parkiran, akhirnya ketemu air terjun Tesbatan yang mulai berkurang debit airnya. Suasana sudah sepi, hanya ada beberapa remaja tanggung sekitar tiga orang yang sedang mandi di air terjun. Aku lihat sekeliling tidak terlalu banyak sampah seperti sebelumnya dan tidak ada tampak sampah baru. Ternyata rombongan-rombongan yang tadi lewat untung termasuk wisatawan yang bertanggung jawab.
 
air terjun Tesbatan
Bonus dari perjalanan pulang dari Tesbatan
Ternyata kalau udah sepi dan agak bersihan begini, suasana air terjun Tesbatan lumayan asyik. Biniku yang melihat genangan airnya berwarna tosca pengen nyebur aja untung diingetin sama adik-adik yang berenang itu kalau di bagian tengah itu langsung dalem. Akhirnya dia cuma main air di pingir doang. Karena udah sore jadi gak susah dapat view enak di air terjun Tesbatan. Tak berapa lama kemudian, beberapa anak yang lebih kecil (sepertinya mereka masih SD) mulai ikut mandi di bawah. Kalau anak-anak yang umurnya tanggung (sekitar SMA) mereka tinggal di sekitar Oesao agak jauh dari sini, kalau yang kecil-kecil baru datang memang anak-anak desa Tesbatan. Asyik aja lihat anak-anak bermain air dengan cara meloncat dari tingkat paling atas untuk terjun.
 

Aku senang melihat sebuah tulisan papan yang ditulis dari para Traveler Malaka yang mengimbau para pelancong tidak meninggalkan sampah. Walau 100 pengunjung tidak peduli setidaknya ada satu-dua yang belajar untuk peduli. Sepertinya aku juga harus menyiapkan papan tulisan bagus untuk dibuat seperti itu.

Catatan: Air terjun Tesbatan itu bukan ada di Kota Kupang tapi di Kabupaten Kupang. Beberapa orang luar sering keliru menganggap Kota Kupang itu dekat dengan Kabupaten Kupang, padahal bedanya bisa puluhan bahkan ratusan kilometer. Jadi dari Kota Kupang itu jalan menyusuri jalan Timor Raya arah SoE, nanti dari pertigaan pasar Oesao belok ke kanan terus ikuti jalan besar. Jangan ragu untuk bertanya ke penduduk sekitar, umumnya mereka akan dengan senang hati menunjukkan arah ke air terjun. Nanti kalau melihat pertigaan dengan tugu Selamat Datang di desa Tesbatan di tengah-tengah belok ke kanan lagi  sampai ketemu pertigaan terus ke bawah. Sekali lagi, jadilah pejalan yang bertanggung jawab. Jika hari ini kamu melihat keindahan tempat yang kamu kunjungi, buatlah tempat itu tetap terjaga indah untuk pengunjung selanjutnya. Jangan ragu untuk mengingatkan pengunjung yang masih suka menyampah dan berbuat vandalism.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 26 April 2015

Kembali Menikmati Alam Bawah Laut Kupang

Underwater in the Tenau Beach, Kupang
Dengan kedalaman yang begini sudah dapat menikmati terumbu karang warna warni yang cantik tersusun
Bertemu kembali dengan ikan Nemo yang masih tetap lucu dengan warna merah oranye yang cantik, kerinduanku melihat taman laut seperti terlampiaskan. Bagi yang sering snorkling pasti juga tahu kalau ikan badut (clown fish) ini adalah ikan yang penakut, makanya mereka bermain tidak pernah dari anemon. Anemon adalah tempat sembunyi yang pas buat si ikan badut ini, sulur-sulurnya yang panjang lembut terasa agak lengket menyedot jika tersentuh. Bagi yang menyentuh anemon ini, rasanya seperti tersengat padahal hanya efek rasa lengket menyedot. Kalau gak percaya tempelin aja itumu ke anemon nanti rasain sendiri sensasinya. Maksudnya itu yang disini bang?? (tunjuk itu).. Iya, yang itu... Masih gagal paham?? Ya udah, gak usah dibahas lagi.  

Clown fish in Tenau beach
Ikan Nemo kecil ini tak akan beranjak dari anemon
tempat bermain sekaligus tempat teraman baginya
Sudah cukup lama aku gak masuk ke dalam air untuk snorkling. Terakhir aku inget bareng Kadek cs mungkin udah sekitar 2 tahunan. Yang aku inget terakhir snorkling itu gagal karena peralatan buat nyelam bocor karena karet kacamata menjadi terlipat kaku. Mungkin karena terlalu lama dibiarkan. Tak ada teman lagi untuk snorkling setelah perpindahan mereka sehingga beberapa tahun aku melupakan rasanya bermain di laut melihat terumbu yang tersusun dengan indah. Warnanya itu lho, bikin rasanya pengen lagi lagi dan lagiiiii...
Namun Tuhan memang maha baik, mati satu tumbuh satu.. (ya iyalah, tumbuh seribu kebanyakan keles)... akhirnya aku punya kesempatan untuk snorkling lagi setelah bertemu dengan Ardi, Imam dan cs-nya yang punya minat sama. 

Tenau sea's underwater
Terumbu-terumbu bersusun indah dipenuhi ikan-ikan kecil
Awalnya kita mencoba peruntungan di daerah Bolok di pantai bawah kantor balai konservasil laut apa gitu. Namun sayang saat itu laut pasang dan agak keruh. Entah aku yang salah lokasi atau informasinya yang gak update ternyata dalam radius beberapa puluh meter aku memutari daerah ini tidak melihat kawasan terumbu ini. Padahal ini berdasarkan informasi salah seorang mbak-mbak berjilbab yang menjadi pegawai di balai itu saat ketemu gak sengaja di Sabu (iyalah gak sengaja, kalau sengaja namanya nge-date). Akhirnya percobaan pertama yang gagal ini kita ambil hikmahnya (salam lekum ustat), jadilah acaranya ngajari teman-teman lain yang baru pertama kali snorkling. Macam Imam misalnya, satu-satunya gaya berenang yang dikuasai cuma gaya batu.

Tenau sea's underwater
Karang-karang besar menjadi tempat strategis terumbu hidup
Kali kedua aku memilih ke Tenau, karena beberapa titik disini aku kenal cukup baik. Anak-anak lain sempat bertanya apakah aku akan snorkling dari jalanan turunan di depan Gua Monyet. Aku bilang gak, karena aku tahu persis di sana terumbunya sudah hancur cukup banyak terutama di perairan yang dangkal. Asli parah banget, mirip korban kecelakaan setelah dijampret trus dipukuli pake sapu dan disiksa digelitiki bulu ayam sampai kencing di celana.  Ibarat kasus penganiayaan pasti udah masuk kategori pembunuhan dengan kekerasan. Ah masak iya?? Gak, boongan!
Sumpah, sebenarnya aku gak mau ragu tau jalannya karena ragu apa kalian nanti kalau kesini abis snorkling trus naksir berat sama terumbu dan ikan-ikannya trus kalian ngambil terumbu atau ikannya buat dibawa pulang. Atau lebih parah seperti mereka yang tiap kali air surut datang ke sini membawa tombak untuk mencari ikan dan mereka dengan santainya menginjak-injak terumbu karang hingga menjadi rusak tak karuan. Tapi kalau aku gak aku kasih tau, nanti dibilang hoax. Apa foto seperti di bawah ini tidak cukup menjelaskan??

Tenau sea's underwater Underwater in Tenau sea
Terumbu menjadi tempat ikan kecil tumbuh Terumbu mulai tumbuh memenuhi karang
Untungnya memang lokasi itu masih terjaga karena bentuk pantainya hanya beberapa meter yang landai sehingga menghindari orang-orang untuk mencari ikan dengan menombak disini. Itu juga menguntungkan karena cukup berenang tak sampai sepuluh meter kita sudah bertemu dengan banyak terumbu karang yang indah.
Hanya memang lokasi di sini agak sulit karena berupa karang-karang yang terjal dan tajam, di beberapa titik ada tempat untuk turun ke pantai tapi itu harus dilakukan hati-hati karena sedikit saja kita salah melangkah dengan mudah karang akan melukai kaki.
Free dive under Tenau sea's
Yang tampak paling lihai snorkling tentu saja di Irmeng, lengkap dengan baju wet dry yang spesial untuk diving bahkan membawa baju untuk pemberat di badannya. Beberapa foto ini sebenarnya adalah foto yang diambil oleh Irmeng dan Yudha yang berenang lebih ke tengah. Yudha sendiri menurutku cukup mahir dan tenang namun masih kesulitan untuk melakukan free diving di awalnya, maklum karena dia sendiri belum banyak bermain snorkling. Aku sendiri biasanya bermain di tengah namun karena harus mendampingi anakku Shiva yang juga baru pertama kali ikut snorkling sehingga memilih bermain di daerah yang tidak terlalu dalam. Namun karena sudah pintar berenang dengan cepat dia bisa melakukan snorkling dengan mudah bahkan sudah mulai bisa melakukan free diving.
Dan terakhir, inilah foto para peserta snorkling itu, termasuk anakku Shiva yang menjadi snorking termuda. Semoga foto dan tulisan ini membuat banyak orang di Kupang berminat dengan alam bawah lautnya yang sebenarnya sangat menarik. Tapi tentunya dengan diiringi tanggung jawab untuk menjaganya. Mulai saat ini, berhenti membuang sampah sembarangan di laut, karena setiap kalian membuang sampah sedikit demi sedikit perairan akan menjadi tercemar. Cieee, sok ngingetin.. ya gitu deh, pokoke happy snorkling. 

Before snorkling in Tenau sea Underwater in Tenau sea
Poses sesaat sebelum snorkling Shiva, si kecil diantara para cowo gede
Thanks buat teman-teman yang telah bersama-sama snorkling beberapa waktu lalu baik yang sudah disebutkan namanya atau yang aku lupa menyebutkan (gak sengaja nih men ceritanya). Juga thanks buat mbak Arin (si Mak Ketjeh) buat informasi lokasinya walau sampai sekarang belum sempat dikunjungi karena masih bingung hehehe.... Dan tentu saja tunggu hunting lokasi selanjutnya.
Buat kalian yang berminat dengan lokasi snorkling di Kupang, sekarang sudah ada komunitas snorkling dan diving di Kupang, silahkan kalian cari saja via fesbuk, kalau gak nemun juga boleh kontak aku nanti aku hubungkan dengan mereka yang lebih mengenal daerah snorkling di Kupang.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 22 Maret 2015

Senja di Batas Indonesia - Timor Leste

Pasir hitam mencipatakan bayangan sempurna jajaran pohon cemara di pantai Wemasa
Sudah ketiga kalinya aku ke Kabupaten Malaka tapi memang belum pernah kemana-mana. Urusan ke Malaka berarti sibuk dengan urusan kerjaan yang kejar-kejaran gara-gara perjalanan yang susah kesana. Kabupaten Malaka yang beribukota di Betun belum genap berusia 2 tahun jadi kabupaten baru setelah melepaskan diri dari induknya Kabupaten Belu. Buka google map, kalian akan menemukan kota ini berada di perbatasan Indonesia - Timor Leste. Jadi di Malaka ini lah yang menjadi daerah perbatasan Indonesia - Timor Leste dari sisi selatan sekaligus daerah perbatasan laut dengan Australia.

Mengangkat perahu menuju ke pantai untuk mencari ikan
Selasa sore saat jalan-jalan di kota mau ngambil uang di-ATM iseng aku nanya pantai yang ada di dekat sini tukang ojek. Setelah banding-banding lokasi dan sepakat harga akhirnya aku dianter sama tukang ojek ke pantai Wemasa yang kebetulan kata Fredo si ojek dekat dengan rumahnya. Tidak jauh mungkin sekitar 5-6 km melewati jalan besar arah menuju perbatasan. Sebenarnya aku bareng dua cewe yang juga ingin jalan-jalan tetapi karena belum mengenal medan aku memilih jalan sendiri. Sebelum aku masuk pantai Wemasa, aku sempatkan mampir di warung untuk beli bekal karena biasanya aku suka nunggu sampai malam baru balik.
Sekitar jam setengah lima aku sudah sampai di pantai Wemasa. Pantai ini berpasir hitam walau tak segelap pasir di Ende. Aku memang sedari awal tidak berekspektasi lebih dengan pantai-pantai di daratan Timor apalagi yang sisi selatan. Kata Niken, tempat tujuan mungkin tidak indah tapi perjalanan itu tetaplah indah. Kalau aku tambahi, indah tidaknya tempat tergantung darimana kita melihatnya.
Anak-anak pengangkut perahu
Berpose dibawah semburat sinar senja
Pantai Wemasa memang berada dekat perbatasan, salah seorang anak muda yang bantu menarik perahu yang turun melaut menunjuk tanjung yang tampak sekali di ujung timur yang katanya merupakan daerah yang memisahkan Indonesia dengan Timor Leste. Tidak tahu apakah yang dia tunjuk itu pantai Kobalima, karena informasinya di sebelah pantai Wemasa yang dekat dengan perbatasan itu pantai Kobalima. Dengan pasirnya yang berwarna hitam, siang hari memang terasa terik sekali sehingga nyaris tidak ada aktivitas di pantai ini kecuali beberapa anak muda yang sedang memperbaiki jaring pukat di bawah jajaran pohon cemara yang rindang.
Walau senja, cahaya matahari masih menyilaukan
Menantang gelombang demi lanjutnya kehidupan
Saat sore menjelang dan matahari sudah tidak terik, barulah aku berjalan-jalan menyusuri pantai. Sepanjang pantai hanyalah pasir, tidka kutemukan karang di daerah ini. Beberapa anak kecil berlarian, yang masih masih malu-malu saat kusodorkan makanan ringan yang kubawa di dalam rompi. Aku memang suka membawa makanan lebih untuk saat-saat seperti ini.
Gelombang meninggalkan buih-buih putih di pasir yang hitam
Rata-rata perahu yang ada disini perahu kecil, katanya mudah untuk ditarik kembali ke daratan saat ombak menjadi besar. Pantai selatan memang khas dengan ombaknya yang kadang besar. Saat ini masih digolongkan tenang oleh nelayan setempat. Beberapa perahu ditarik ke pantai untuk mencari ikan. Mereka mencari ikan jauh ke tengah karena memang dengan kondisi perairan terbuka seperti ini tidak ada tempat perlindungan bagi ikan di pinggiran. Mereka pun tidak melaut lama, seperti saat ini mereka keluar maka biasanya jam 7 malam mereka sudah mulai kembali. Rata-rata nelayan di sini bukan asli dari daerah ini namun tersebar dari beberapa tempat termasuk dari Betun.
Saat malam aku menyusuri pantai, aku diingatkan oleh pak Dalis yang merupakan pemilik beberapa kapal disini. Dia menyarankan aku menjauhi daerah air karena saat gelap buaya-buaya suka bermunculan di pinggir pantai. Dia menunjuk jauh di sebelah barat dimana terdapat muara di sana. Di sanalah banyak terdapat buaya yang kadang suka mengejar anak-anak. Itulah kenapa daerah yang ada rumah-rumah jaga untuk perahu hanya di sekitar pantai Wemasa sebelah timur, karena sebelah barat selepas jalan memang wilayah para buaya. Walaupun begitu, disini tidak ada orang yang memburu buaya karena sepertinya membunuh buaya itu sebuah pamali bagi mereka.
Pak Fredo juga menceritakan tentang kepala desa Nekmasa yang bisa berkomunikasi dengan para buaya ini. Katanya ada satu pulau kecil di dekat daratan, tapi untuk kesana harus di antar oleh kepala desa ini karena disana menjadi sarang buaya.
Aku sebenarnya masih akan menunggu kembalinya para nelayan ke pantai ini. Kata pak dalis, kalau malam para pengumpul ikan akan berdatangan kesini dengan senter menunggu nelayan sehingga tiap malam di wilayah ini akan terang dengan senter yang dibawa pengumpul untuk membeli ikan dari nelayan. Sayang Fredo ternyata udah menungguku di cabang sehingga akhir aku mengalah kembali sebelum jam tujuh.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 28 Juli 2013

Antara Perbatasan Mota'ain dan Kolam Susuk

Orang memancing ikan di Kolam Susuk, tenang tapi banyak nyamuk
Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tonggak kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga, tonggak kayu dan batu jadi tanaman

Ada yang ingat tulisan ini? Ya, mungkin bagi yang pernah merasakan musik-musik di era 70-an yang juga masih terdengar di era 80-an masih bisa mengingat syair lagu ini. "Kolam Susu", itulah judul lagi yang diciptakan Koes Plus. Apa hubungan lagi ini dengan tulisanku? Nanti aku ceritakan lengkapnya.

Mota'ain: Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Gaya narsis anak jaman sekarang, orang tua gak mau ketinggalan :p
Tulisan buat bulan Juli ini... dari kemarin mikir terus mau nulis apa, padahal liat di list gak ada tulisan sama sekali untuk bulan Juli ini padahal tanggalnya udah tinggal menghitung hari (Krisdayanti mewek...). Lagian bulan puasa, emang bawaannya males mau bikin tulisan.
Untungnya tadi sore kerjaan dah kelar trus temen yang ngajak buat mampir buat liat perbatasan Indonesia-Timor Leste di Mota'ain. Ya udah, sambil ngabuburit buat buka, aku iyain aja ajakannya, lagian aku juga punya rencana sekalian mau ngeliat Teluk Gurita. Kebetulan dapet pinjem kendaraan buat jalan.
Sekitar jam setengah tiga abis kerja kita balik sebentar ke hotel buat ganti baju sekalian ambil kamera. Kali ini aku cuma bawa kamera yang udah terpasang lensa wide 11-16mm, lensa tele 90mm fix yang biasanya aku bawa kelupaan di rumah jadi gak kebawa.
Ups... buat informasi yang gak familiar dengan perjalananku. Saat ini aku ada di Atambua, Kabupaten Belu tempat biniku dilahirkan. Jarak dari Kupang-Belu jika ditempuh lewat darat cukup lama sekitar enam sampai tujuh jam perjalanan (sekitar 270 km). Kalau mau lebih cepet bisa pake pesawat yang biasa terbang tiga kali seminggu, tapi pesawat kecil lho yang cuma muat paling banyak 12 orang.
Membuktikan diri kalau sudah meninggalkan Indonesia :D
Belu ini merupakan daerah yang menjadi kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Nah daerah Mota'ain itu desa di Timor Leste yang berbatasan dengan desa Motamasin Kabupaten Belu. Dari Atambua, pak Nyoman yang menemaniku mengambil jalur potong melalui Haliwen-Mota'ain yang lebih cepat yang dapat ditempuh hanya setengah jam perjalanan. Sayangnya sebagian kondisi di jalur ini banyak yang  kondisinya kurang baik bahkan ada beberapa titik terdapat jalan yang mengalami patahan yang mengakibatkan jalan amblas beberapa puluh senti, lumayan harus bikin kendaraan hati-hati. Tapi memang jalur ini yang sering juga digunakan kendaraan travel untuk sampai ke Mota'ain karena jarak yang paling pendek. 
Setengah jam kemudian, aku sampai di perbatasan. Setelah lapor ke pos polisi yang berada tepat di pertigaan masuk perbatasan, kendaraan belok ke kanan menuju sebuah gerbang selamat jalan milik Indonesia. Tadi di pos, polisi memberitahukan supaya kami tidak melangkah melebihi garis kuning karena beberapa hari ini sedang ada ketegangan di Timor Leste. Mobil terlebih dahulu diparkirkan di area pasar perbatasan yang sudah ditutup, pasar gagal padahal sudah menghabiskan banyak biaya, sayang sekali.
Ternyata garis kuning itu dekat sekali, persis di ujung akhir jembatan. Waduh, padahal gerbang Timor Leste masih kelihatan jauh. Tapi berhubung ada beberapa rombongan cewek yang cuek melewati garis kuning akhirnya kami juga ikut juga, sambil bertanya-tanya sampai dimana batas boleh lewat. Emang penyakit narsis itu gawat juga, sampai batas aman juga dilewati demi mendapatkan bukti otentik sudah sampai ke perbatasan. Sepertinya batas itu menunggu bunyi dor hahhahaha.... 
Untung, sepertinya kondisinya gak setegang seperti informasi di pos polisi sampai akhirnya kami bisa mendekat sampai di dekat pintu gerbang pos perbatasan Timor Leste. Di tengah-tengah gerbang itu, rupanya banyak kambing yang berkeliaran, tapi gak tau berkewarganegaraan mana (lumayan bisa diculik buat jadi kambing guling). 
Lokasi perbatasan ini juga sering disebut dengan nama Batu Gade (Batu Gede), waktu aku tanya pak Nyoman asal kata itu, katanya di laut ada sebuah batu besar yang kemudian dikenal masyarakat untuk menamai daerah perbatasan ini.
Sebuah pantai di sebelah dermaga TPI Atapupu
Gak lama setelah di perbatasan, kami melanjutkan perjalanan ke Atambua tapi lewat jalur Atapupu. Jalur ini lebih jauh untuk sampai ke Atambua tapi kondisi jalannya jauh lebih bagus. Sebenarnya dalam perjalanan itu ada dua lokasi wisata yang satu dimiliki pemda dan satu lagi dimiliki masyarakat. Nah yang dimiliki masyarakat ini sebenarnya lebih enak suasananya, tapi aku gak mampir karena pernah punya pengalaman yang tidak menyenangkan. Itu terjadi beberapa tahun lalu yang saat itu permasalahan pengungi dari Timor Leste masih hangat. Waktu itu kami berempat sedang mencoba melihat daerah Atapupu. Waktu melihat lokasi ini kami mau turun, eh tiba-tiba ada orang (sepertinya pengungsi Timor Leste yang membangun gubuk di lokasi ini) mencegat kami dan meminta bayaran 20ribu per orang dengan wajah yang galak. Bayangkan waktu itu di sebuah lokasi yang jauh dari kata memadai hanya tempat untuk menikmati pantai tanpa fasilitas minta biaya 20ribu per orang... bah karuan saja kami langsung kabur.
Kami juga sempat diajak mampir ke TPI (Tempat Penjualan Ikan) yang sayang kondisinya sama seperti pasar perbatasan yang sama-sama sudah ditutup. Biaya milyaran yang berakhir tidak memberi manfaat apa-apa.

Kolam Susuk
Sebuah tulisan Kolam Susuk besar di atas bukit sebelah pintu masuk
Beberapa kilo mendekati jalur masuk ke arah kolam susuk ternyata ada jalan tampak melambat, ternyata ada rombongan yang sedang ada acara memindahkan patung Maria. Untungnya pertigaan ke kolam susuk sudah dekat jadi kami tak harus berlama-lama di dalam kendaraan yang bergerak seperti siput. Jalan kolam susuk sedang dalam perbaikan jadi kondisinya baru sebatas batu dihampar namun telah dilakukan perkerasan. 
Nah, syair yang ditulis Koes Plus ini ada hubungannya dengan tempat ini. Untuk informasi, kolam susuk ini pernah dikunjungi salah satu anggota Koes Plus, Yok Koeswoyo pada tahun 1971 yang kemudian menginspirasinya menciptakan sebuah lagu berjudul Kolam Susu pada tahun 1974 dan menjadi salah satu lagu hit yang pada intinya menceritakan keindahan dan kayanya bumi Indonesia (tapi masyarakatnya tetep miskin.. hiksss ). Tapi kolam susuk bukan artinya kolam susu lho, jauh... justru susuk itu artinya nyamuk, jadi kolam susuk itu jelas maksudnya kolam yang banyak nyamuknya hehehehe....


Tambak di sekitar Kolam Susuk
Kolam Susuk saat ini sudah ada kegiatan pemugaran walau kesannya hanya sekedar proyek menghabiskan uang yang tidak direncanakan dengan matang. Kendaraan tidak bisa masuk walau gerbangnya besar karena dibangun di tengah-tengah sebuah prasasti pendirian kolam susuk. Dan yang lebih lucu lagi ada tulisan besar keren yang dipasang di atas bukit macam seperti tulisan Hollywood. Kenap lucu, karena penempatannya yang jadi malah tidak terbaca. Jika tulisan itu dibuat besar kan pasti tujuan awalnya supaya bisa terbaca dari jauh, nah tulisan ini justru dibuat di atas bukit kolam susuk namun justru tulisan kolam susuk menghadap ke dalam bukan keluar jadi orang yang mau melihat tulisan ini harus masuk ke dalam kolam susuk. Apakah setelah masuk bisa membaca tulisan ini? Tidak, karena pohon-pohon akan menghalangi kita membaca tulisan itu. Jadi satu-satunya jalan anda harus naik bukit dan persis di depan tulisan kolam susuk itu baru bisa terbaca. Jadi buat apa dibuat besar-besar tulisannya hahaha.... Di foto itu, agar bisa terbaca kolam susuk, aku harus memotret dari belakang lalu aku baik fotonya karena kalau difoto dari depan susah terhalang pepohonan, lensa wide 11 mm membantu membuat tulisan ini bisa terbaca tapi kalau anda hanya memotret dengan kamera dengan panjang fokal biasa atau kamera hape, aku gak menjamin bisa mendapat foto seperti itu.


Matahari menjelang senja di Kolam Susuk
Tapi di luar itu suasana kolam susuk sebenarnya cukup menyenangkan. Aku melihat beberapa orang sedang asyik memancing di kolam ini. Katanya sih mereka memancing mujair, walau sebenarnya ada juga bandeng. Pada hari seperti ini memang kolam susuk cenderung sepi, hanya pemancing saja yang datang. Biasanya suasana menjadi ramai kala hari libur. Daerah sekitar kolam susuk adalah kawasan tambah bandeng, dan udang. Bandeng dari daerah ini dikenal enak rasanya karena tidak bau lumpur seperti umumnya bandeng di tempat lain. Jadi kalau kesini jangan lupa untuk mencari ikan bandeng sebagai oleh-oleh. Pernah satu kali aku makan bandeng yang dibakar langsung disini beberapa tahun lalu saat lebaran bareng saudara-saudara istriku waktu itu.

Teluk Gurita
Salah satu sudut lain dari teluk Gurita
Dari kolam susuk, karena satu arah jadi kendaraan sekalian melaju menuju ke teluk Gurita. Menurut informasi dari pemda, teluk Gurita akan digunakan sebagai tempat persinggahan para peserta Sail Komodo yang akan mampir ke Atambua. Teluk Gurita ini sebenarnya digunakan dermaga feri dahulunya tapi katanya sekarang sudah tidak dipakai lagi. Jika jalan dari pertigaan sampai ke kolam susuk sedang dalam peningkatan, maka jalan dari kolam susuk sampai ke teluk gurita masih belum ada perbaikan. Selain kondisi jalan yang sudah bolong disana-sini, ada satu titik dimana jalan di tepi pantai separo sisi sebelah pantai amblas termasuk tembok penahan pantainya.
Letaknya di teluk jadi suasana lautnya tenang, dan menurut pak Nyoman di teluk ini cukup dalam jadi cocok jadi tempat persinggahan peserta sail komdo karena umumnya kapal layar yang digunakan peserta punya ekor ke bawah yang cukup dalam yang berfungsi sebagai penyeimbang perahu.
Terdapat sebuah dermaga dan bangunan penumpang serta rumah penjaga yang sudah terbengkalai. Suasana di teluk gurita sepi, hanya ada beberapa rumah nelayan di ujung sisi teluk. 

Aku dan temanku kembali sekitar jam lima sore berharap dapat kembali ke Atambua sebelum waktu berbuka puasa. Perhitungan kami dari teluk Gurita sampai ke Atambua sekitar setengah jam saja atau paling telat 3/4 jam. Tapi ternyata di luar dugaan kami, kami harus bertemu kembali dengan rombongan pembawa patung Maria yang ternyata sedang prosesi akhir penyerahan kepada pihak penjemput sebelum dibawa masuk ke dalam gereja. Aduh ternyata prosesi ini cukup panjang, hingga akhirnya kendaraan harus berhenti di tepi jalan sampai prosesi berakhir sekitar jam enam sore. Lewat sudah kesempatan berbuka, karena memang aku tidak menyiapkan berbuka. Aku membatalkan puasa dengan memakan sedikit buah kom. Bagi yang tidak kenal buah kom, buah ini berasal dari pohon kom, pohon berduri dan berdaun kecil-kecil yang banyak tumbuh di sekitar pantai. Buahnya yang mentah berwarna hijau, sedang yang tua berwarna merah. Rasanya asam manis dan ada juga rasa sepatnya.
Akhirnya kendaraan baru bisa masuk Atambua jam setengah tujuh dan langsung kami menuju ke tempat makan untuk berbuka tanpa kembali ke hotel.

Catatan: Perjalanan dari Kupang ke Atambua bisa ditempuh lewat darat dengan naik bus biasa (bus mini) sekitar 60 ribu atau naik travel (Timor Travel) dengan biaya 95ribu yang berangkat pagi sekali atau siang hari. Kalau naik travel memang lebih mahal tapi tidak perlu ke pool-nya cukup telepon nanti ada yang jemput dan juga di tempat tujuan akan diantar sampai ke tempat yang kita tuju. Kalau dari Kupang langsung ke Dili biaya sekitar 200ribu, siapkan passpor kalau mau kesana.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya