Senja di Batas Indonesia - Timor Leste
|
Pasir hitam mencipatakan bayangan sempurna jajaran pohon cemara di pantai Wemasa |
Sudah ketiga kalinya aku
ke Kabupaten Malaka tapi memang belum pernah kemana-mana. Urusan ke Malaka
berarti sibuk dengan urusan kerjaan yang kejar-kejaran gara-gara perjalanan
yang susah kesana. Kabupaten Malaka yang beribukota di Betun belum genap berusia
2 tahun jadi kabupaten baru setelah melepaskan diri dari induknya Kabupaten
Belu. Buka google map, kalian akan menemukan kota ini berada di perbatasan Indonesia - Timor Leste. Jadi di Malaka ini lah yang menjadi daerah perbatasan Indonesia - Timor Leste dari sisi selatan sekaligus daerah perbatasan laut dengan Australia.
|
Mengangkat perahu menuju ke pantai untuk mencari ikan |
Selasa sore saat jalan-jalan di kota mau ngambil uang di-ATM iseng aku nanya pantai yang ada di dekat sini tukang ojek. Setelah banding-banding lokasi dan sepakat harga akhirnya aku dianter sama tukang ojek ke pantai Wemasa yang kebetulan kata Fredo si ojek dekat dengan rumahnya. Tidak jauh mungkin sekitar 5-6 km melewati jalan besar arah menuju perbatasan. Sebenarnya aku bareng dua cewe yang juga ingin jalan-jalan tetapi karena belum mengenal medan aku memilih jalan sendiri. Sebelum aku masuk pantai Wemasa, aku sempatkan mampir di warung untuk beli bekal karena biasanya aku suka nunggu sampai malam baru balik.
Sekitar jam setengah lima aku sudah sampai di pantai Wemasa. Pantai ini berpasir hitam walau tak segelap pasir di Ende. Aku memang sedari awal tidak berekspektasi lebih dengan pantai-pantai di daratan Timor apalagi yang sisi selatan. Kata Niken, tempat tujuan mungkin tidak indah tapi perjalanan itu tetaplah indah. Kalau aku tambahi, indah tidaknya tempat tergantung darimana kita melihatnya.
|
Anak-anak pengangkut perahu |
|
|
Berpose dibawah semburat sinar senja |
|
Pantai Wemasa memang berada dekat perbatasan, salah seorang anak muda yang bantu menarik perahu yang turun melaut menunjuk tanjung yang tampak sekali di ujung timur yang katanya merupakan daerah yang memisahkan Indonesia dengan Timor Leste. Tidak tahu apakah yang dia tunjuk itu pantai Kobalima, karena informasinya di sebelah pantai Wemasa yang dekat dengan perbatasan itu pantai Kobalima. Dengan pasirnya yang berwarna hitam, siang hari memang terasa terik sekali sehingga nyaris tidak ada aktivitas di pantai ini kecuali beberapa anak muda yang sedang memperbaiki jaring pukat di bawah jajaran pohon cemara yang rindang.
|
Walau senja, cahaya matahari masih menyilaukan |
|
|
Menantang gelombang demi lanjutnya kehidupan |
|
Saat sore menjelang dan matahari sudah tidak terik, barulah aku berjalan-jalan menyusuri pantai. Sepanjang pantai hanyalah pasir, tidka kutemukan karang di daerah ini. Beberapa anak kecil berlarian, yang masih masih malu-malu saat kusodorkan makanan ringan yang kubawa di dalam rompi. Aku memang suka membawa makanan lebih untuk saat-saat seperti ini.
|
Gelombang meninggalkan buih-buih putih di pasir yang hitam |
Rata-rata perahu yang ada disini perahu kecil, katanya mudah untuk ditarik kembali ke daratan saat ombak menjadi besar. Pantai selatan memang khas dengan ombaknya yang kadang besar. Saat ini masih digolongkan tenang oleh nelayan setempat. Beberapa perahu ditarik ke pantai untuk mencari ikan. Mereka mencari ikan jauh ke tengah karena memang dengan kondisi perairan terbuka seperti ini tidak ada tempat perlindungan bagi ikan di pinggiran. Mereka pun tidak melaut lama, seperti saat ini mereka keluar maka biasanya jam 7 malam mereka sudah mulai kembali. Rata-rata nelayan di sini bukan asli dari daerah ini namun tersebar dari beberapa tempat termasuk dari Betun.
Saat malam aku menyusuri pantai, aku diingatkan oleh pak Dalis yang merupakan pemilik beberapa kapal disini. Dia menyarankan aku menjauhi daerah air karena saat gelap buaya-buaya suka bermunculan di pinggir pantai. Dia menunjuk jauh di sebelah barat dimana terdapat muara di sana. Di sanalah banyak terdapat buaya yang kadang suka mengejar anak-anak. Itulah kenapa daerah yang ada rumah-rumah jaga untuk perahu hanya di sekitar pantai Wemasa sebelah timur, karena sebelah barat selepas jalan memang wilayah para buaya. Walaupun begitu, disini tidak ada orang yang memburu buaya karena sepertinya membunuh buaya itu sebuah pamali bagi mereka.
Pak Fredo juga menceritakan tentang kepala desa Nekmasa yang bisa berkomunikasi dengan para buaya ini. Katanya ada satu pulau kecil di dekat daratan, tapi untuk kesana harus di antar oleh kepala desa ini karena disana menjadi sarang buaya.
Aku sebenarnya masih akan menunggu kembalinya para nelayan ke pantai ini. Kata pak dalis, kalau malam para pengumpul ikan akan berdatangan kesini dengan senter menunggu nelayan sehingga tiap malam di wilayah ini akan terang dengan senter yang dibawa pengumpul untuk membeli ikan dari nelayan. Sayang Fredo ternyata udah menungguku di cabang sehingga akhir aku mengalah kembali sebelum jam tujuh.
Kak, makssudnya pak kepala desa itu bisa komunikasi dengan buaya macam mana itu ??? menyeramkan kali lah
BalasHapusIya seperti itu, pak kades bisa memanggil buaya hingga keluar berkumpul semua. Katanya itu pernah saat ada satu anak hilang dimakan buaya. Maka pak kades yang turun tangan dan buaya yang memakan anak itu dipukulnya supaya tidak mengulang lagi. Tapi tidak dibunuh, ada kepercayaan kalau nenek moyang mereka itu buaya..
HapusTapi kalo pak kades yg datang, buaya nya ngak nyerang gitu ??? gw masih amazing banget ama cerita beginian.
HapusTidak, justru buaya yang makan anak akan maju.. beliau akan marahi dan kasih tau untuk tidak mengulangi perbuatan bodohnya, paling cuma pukul kepala buaya pake kayu... gak heran waktu ada kejadian buaya muncul di Kupang baru-baru ini ada orang dari Timor Leste yang ngaku kalo itu neneknya... keperdayaan animisme masih kuat di sini
HapusNgomong2 itu ambil gambar pake kamera apa?
BalasHapusPake Canon EOS 550D, kamera satu2nya yang menemani setiap perjalananku
Hapus