Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Sabtu, 01 Desember 2018

Terbius Tosca Air Terjun Tanggedu

Dinding batu air terjun Tanggedu
Tebing-tebing batu berlekuk di bagian akhir air terjun
Dua buah aliran sungai yang mengalir di bawah dinding-dinding perbukitan karst menjatuhkan airnya ke dalam kubangan bertingkat membentuk beberapa anak air terjun. Warna biru tosca air yang mengalir tampak semakin cemerlang membiaskan pantulan cahaya matahari yang mulai tenggelam di balik bukit. Ini adalah air terjun terindah yang pernah kulihat selama ini. Tanggedu... perjalanan yang sulit telah terbayar lunas!

Rencana Liburan Seminggu di Sumba
Papan penanda pintu masuk air terjun Tanggedu
Suara manis pramugari terdengar mengumumkan bahwa 15 menit lagi pesawat akan mendarat. Mengintip dari jendela, pemandangan yang kudapati hanya langit nyaris tanpa awan, tanah Sumba belum tampak. Tak lama kemudian seiring pesawat yang semakin terbang merendah, pemandangan tanah Sumba mulai menampakkan diri. Kering, datar dan tampak rata dengan warna kecoklatan. Sumba Timur memang terkenal dengan padang sabana-nya, yang pada bulan panas seperti ini seluruh rumputnya sudah pasti akan coklat mengering. 

Pesawat Wings Air menjejakkan roda-rodanya di landasan pacu bandara Umbu Mehang Kunda. Pesawat mendarat agak keras dan sedikit terasa oleng, pasti angin saat ini sedang kencang. Aku memutar badan untuk melemaskan otot-otot yang serasa kaku semua. Aku dan Imam tak terburu-buru karena toh masih harus mengambil tas yang aku masukkan bagasi. Tidak ada barang penting, tapi pisau lipat dan beberapa barang yang tidak mungkin lolos jika lewat kabin.

Padang sabana arah air terjun Tanggedu
Padang sabana di punggungan bukit
Begitu turun pesawat, hawa panas langsung menyergap kami. Ruang tunggu bagasi yang kecil jadi berasa panas, apalagi tidak ada AC yang terpasang. Untung tak lama kemudian tasku tampak pertama. Imam tampak menerima telepon, sepertinya dari hotel yang akan menjemput kami. Agak surprise juga begitu tahu yang menjemput kami ternyata seorang perempuan. Rupanya dia adalah anak pemilik hotel yang sekalian menjadi manager hotel. Orangnya masih muda dan cukup ramah, cuma aku gak tahu masih jomblo atau udah nikah. 

Untungnya pemilik hotel juga menyewakan sepeda motor. Cuma harga sewanya agak mahal Rp150.000/hari dengan dua helm yang udah bulukan hahaha. Ya sewa ini tentu jauh lebih mahal dibanding penyewaan motor di Bali atau di Malang misalnya. Yah, masih lumayan lah. Mungkin nanti dengan semakin berkembangnya wisata di sini, persewaan kendaraan akan semakin murah.

Seminggu ini, aku dan Imam berencana akan melakukan perjalanan dari ujung Timur ke ujung Barat pulau Sumba. Semua berawal dari ajakanku ke Imam untuk jalan seminggu penuh ke Sumba. Selama ini aku mengunjungi beberapa lokasi wisata di Sumba mencari waktu di sela-sela penugasan, yang tentu saja lebih terbatas. Namun seminggu juga bukan waktu yang panjang, aku masing berhitung waktu tempat mana yang aku harus masukkan lokasi wajib didatangi.

Menuju Air Terjun Tanggedu
Air terjun kecil di bagian aliran sungai sebelah kiri
Setelah mampir sebentar untuk makan pagi, hal pertama yang aku cari adalah sekaleng gas. Naik pesawat tidak memungkinkan aku membawa gas kalengan. Namun ternyata mencari gas kaleng bukan perkara mudah. Beberapa toko yang aku tahu dulu menjual gas kaleng ternyata juga berakhir dengan tangan hampa. Untungnya setelah beberapa toko akhirnya aku mencapatkan gas kaleng, dan ternyata ada di toko yang menjual peralatan motor. Nah lho..

Kelar urusan gas kaleng, aku dan Imam langsung ngacir dengan motor dengan jadwal ke air terjun Tanggedu. Informasi dari Ayu yang pernah kesini, jalur menuju Tanggedu yang jarak jalannya paling dekat melewati rute ke Puru Kambera. Aku sendiri sudah beberapa kali ke Pantai Puru Kambera karena tempatnya deket dari kota. Nyaris setiap kali ke Waingapu aku biasa mampir ke Pantai Puru Kambera. Ya udah, gak usah tanya ke masyarakat aku melarikan motor ke arah Puru Kambera.

Bukit savana di atas Puru Kambera
Perjalanan sampai Puru Kambera masih terbilang aman saja, jalur jalan sebagian besar masih bagus. Btw, kalau aku bilang bagus itu bagusnya ala orang NTT ya tidak sama dengan kalau di Jawa bilang jalannya bagus hehehe. Hanya saja ada satu titik yang paling susah untuk kendaraan yaitu selepas pantai Londa Lima, yaitu adanya pembangunan jembatan. Menuruni sungai yang jalannya tanah berdebu lumayan susah. Aku harus turun jalan kaki karena bantu menahan motor saat turun dan mendorong motor saat naik ke atas.

Dari Pantai Puru Kambera aku terus menyusuri jalan sampai bertemu sebuah pertigaan Pasar Mondu di daerah Kanatang. Seharusnya aku sudah berbelok ke kiri di pertigaan sebelumnya, tapi lebih mudah dikenali jika lewat pertigaan Pasar Mondu. Mungkin mencari pertigaan ini yang harus bertanya ke penduduk yang ada di sekitar. Tapi itu susah, nyaris siang itu tidak kami dapati orang yang ada di pinggir jalan.

Menggiring kuda pulang
Setelah berbelok ke kiri dari pasar Mondu, barulah perjalanan berubah menjadi lebih lambat. Jalur yang kami lewati adalah jalan lapen yang aspalnya ala kadarnya sehingga di beberapa ruas sudah banyak yang rusak. Tapi untungnya sepanjang jalan menyusuri padang sabana yang bikin suasana panas siang itu tidak terlalu kami rasakan. Kalau kalian menemukan jalan beraspal bagus jangan senang dulu karena itu hanya dibangun pas belokan saja selebihnya kembali jalan tanah putih. Aku sendiri sudah beberapa kali terkena zonk seperti ini, berharap dapat jalan aspal ternyata cuma angin surga sesaat.

Di pinggir jalan kami melihat dua buah mobil terparkir masuk ke sebuah tanah lapang dan tampak beberapa orang yang sedang duduk-duduk santai. Aku dan Imam mendekati rombongan itu berharap bisa mendapatkan informasi lokasi. Ternyata mereka juga rombongan wisatawan yang menggunakan mobil tetapi tertahan sampai di lokasi ini. Apa pasal? ternyata beberapa kilometer ke depan menuju Tanggedu ada perbaikan jalur jalan. Saat itu sepanjang jalan sedang dihampar batu karang, hanya menyisakan sepotong jalan tanah di sisi kiri yang dekat dengan jurang. Beberapa orang yang tetap mau ke Tanggedu melanjutkan jalan dengan berpindah ke jasa ojek. Sayang jumlahnya terbatas sehingga tidak semua bisa terangkut.

Karena aku pikir sudah tanggung ya sudah kami nekat mencoba jalan. Namun karena masih berupa batuan karang yang besar-besar tentu rawan bikin ban robek. Jadi aku memutuskan Imam yang naik motor pelan-pelan menyisir jalan pinggir, sedang aku berjalan kaki. Untungnya karena di atas bukit, dengan berjalan kaki aku bisa memotong jarak dengan menuruni perbukitan walaupun harus tetap hati-hati.

Kesulitan Perjalanan yang Setimpal
Perjalanan berakhir ke desa Tanggedu, berakhir menggunakan motor maksudnya. Jalan benar-benar berakhir di sebuah halaman rumah salah satu penduduk. Beberapa motor terparkir di bawah pohon, sementara pemiliknya sedang bersantai menikmati makanan di lapak penjual minuman di sekitar lokasi. Ternyata mereka sudah kembali dari air terjun Tanggedu.

Setelah memarkirkan motor, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki turun ke bawah sampai di pinggir jurang. Menuruni jurang sampai ke bawah untuk melewati sungai menuju ke bukit sebelanya. Jika kondisinya begini, alamat air terjun Tanggedu tidak dapat dilewati saat musim penghujan.

Setelah naik kembali ke bukit sebelahnya dan menyusuri punggungan bukit, perjalanan berubah melewati padang sabana sampai bertemu dengan beberapa rumah. Di salah satu rumah kami masuk untuk membayar tiket masuk dan uang untuk jasa mengantar. Toni, anak pemilik rumah yang masih bersekolah di SMP mengantarkan kami sampai ke gerbang masuk air terjun Tanggedu. Kami melewati beberapa area berpagar, rupanya untuk ke air terjun harus melewati tanah-tanah milik warga. Mungkin itu salah satu alasan pembangunan ke arah air terjun belum berkembang saat ini.
 

Perjalanan turun ke bawah cukup curam, untungnya oleh masyarakat dipasang kayu atau tali tambang untuk bantuan berpegangan. Musim kemarau seperti ini lumayan membantu, tanah putih menjadi tidak licin walaupun jadi sedikit berdebu. Sepertinya di musim hujan, perjalanan turun ke bawah akan sangat sulit karena tanahnya bisa jadi akan menjadi licin.

Semua kesulitan perjalanan memang setimpal dengan pemandangan air terjun yang kami temui. Padahal terus terang, pada musim kemarau seperti ini aku sudah menurunkan harapan serendah-rendahnya. Namun yang kami dapati, air terjun ini airnya tetap berlimpah.

Bagian bawah selayaknya bebatuan karst dimana air mengalir seperti mencari celah untuk dapat mengalir. Di bagian akhir dari air terjun ini yang menjadi favorit Imam. Air sungai yang diapit lekukan khas dinding karst tegak lurus berlekuk-lekuk bagaikan diukir seniman alam. Warna air biru tosca seakan menegaskan keindahannya.

Air terjun Tanggedu berasal dari dua aliran sungai. Di sebelah kiri aliran sungai jatuh langsung ke sebuah kubangan besar dan menyatu dengan aliran satunya. Berbeda dengan aliran sungai yang lurus, dari ujung pemandangan sampai ke titik penyatuan ada beberapa jatuhan air di beberapa titik. Hal itu mengapa di beberapa aliran yang sempit air tampak sangat kencang.

Aku dan Imam naik kembali menjelang sore sekitar jam 5-an. Namun, aku dan Imam sudah berniat suatu saat nanti akan kembali kesini untuk bermalam di air terjun Tanggedu.

Perjalanan Pulang yang Sama Susahnya
Ternyata perjalanan pulang juga tidak lebih mudah terutama mengenali medan jalan. Karena mulai gelap terus terang aku dan Imam kesulitan mengenali tempat kami datang. Sempat agak kesasar, untungnya ada seorang ibu yang kami temui waktu di air terjun sedang lewat sehingga membantu mengantarkan sampai ke jalan turun bukit untuk melewati sungai.




Dan kesusahan kedua adalah di titik yang ada pembangunan jalan. Jika sebelumnya aku berjalan menuruni bukit, sekarang aku harus berjalan naik ke atas bukit. Bah, keringatan bikin sehat memang perjalanan ke air terjun Tanggedu ini. Itu belum lagi ditambah bensin yang sudah berada di garis demarkasi untuk menyerah. Bayangkan saja, berjalan naik motor sambil berharap motor tidak mogok di tempat sepi karena bensin habis. Duh untungnya hal itu tidak terjadi. Orang baik masih dilindungi Tuhan wkwkwkwk.

Teman jalan seminggu keliling Sumba:  Imam "Boncel"

19 komentar:

  1. Fotonya keren banget. Pengin suatu saat ke sini juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak nyesel ke sini, air terjunnya keren banget

      Hapus
  2. Mantul fotonya, mantap betul. Saya pun ikut terbius

    BalasHapus
  3. Tanah Humba, tanah Sumba, tanah berjuta-juta juta pesona alam yang luar biasa. Ada yang mudah dicapai, ada yang sulit banget kayak yang ini. Jadi pengen ke Sumba lagi saya hahaha 😂😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah next time ke Sumba lagi jangan lupakan Tanggedu, biar susah di hati tapi sonde bisa lupa #belepotanomongkupang

      Hapus
    2. Hahaha betul itu Bang Bahtiar 😁 semoga suatu saat bisa kembali ke sana. Naik KM milik Pelni cuma 80an, naik Fery lebih murah cuma waktu sering nggak nhijinin dulu 😂😂

      Hapus
    3. Baru tahu kalau naik kapal Awu Ende-Waingapu cuma 80ribu... dulu sekali pernah dari Kupang-Sabu-Ende-Waingapu pake kapal Awu..

      Hapus
    4. Waktu tahun 2015an apa 2014an balik dr Waingapu ke Ende cuma 75rb. Hehehe sekarang paling 80an ribu, kalau naik gak banyak2 😁😂

      Hapus
  4. mantap mas.. tapi ternyata jalannya masih memprihatinkan ya???

    aku rencana kesini juga bulan ini, tapi kalau cuti 3 bulan diacc dan dana mencukupi, kalau enggak, skip dulu, langsung ke sulawesi dulu wkwkwk..

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin udah diperbaiki.. kemarin itu jelek karena baru dihampar baru kalau sekarang kemungkinan udah selesai jadi malah jadi bagus

      Hapus
  5. Itu seru banget perjalanannya, seru seru serem sih haha. Btw, itu kuda punya masyarakat apa Kuda liar ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi seremnya jadi terbayar begitu nyampe lokasi... kudanya dilepas tapi gak ada kuda liar tetep ada pemiliknya

      Hapus
  6. wow, luar biasa, pemandangannya cakep bgt ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget... makasih udah mampir ya

      Hapus
  7. WAh saya seneng sama air terjun yang model model gitu mas, buat belajar long exposure :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama.. betah aku sama air terjun begini mau dibikin long exposure cakep, lha difoto biasa aja tetep cakep kok

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya