Megah dan agung, kesan pertama yang aku rasakan saat memasuki keraton ini. Gerbang gapura berdiri kokoh diapit dinding benteng dengan anak tangga untuk masuk ke atas. Gerbang gapura pertama dengan 3 pintu dan dilanjutkan gerbang gapura kedua dengan 5 pintu. Tulisan pada Gapura Pertama "Panabwara" ditulis oleh Rakai Panabwara (Keturunan Rakai Panangkaran). Penanda Panabwara sebagai penguasa keraton ini.
Gerbang gapura ini spot yang paling diminati pengunjung untuk berfoto. Apalagi bila matahari terbenam, kesan dramatis menambah indahnya obyek foto. Dari gerbang gapura ini tampak pesawat-pesawat terbang melintas dan pemandangan sekitar Yogyakarta.
Candi pembakaran (kremasi) |
Tempat lain yang menurutku menarik adalah Kaputren/kolam. Kita harus ke sisi kanan melewati dua bangunan Paseban yang saling berhadapan, Pendopo dan lorong selasar yang diapit dinding dikanan-kirinya untuk menuju Kaputren/kolam. Kaputren ini terbagi dua bagian dipisahkan oleh dinding, dan dihubungkan dengan pintu gapura kecil. Bagian pertama dengan 3 kolam yang besar, dan bagian kedua dengan 7 kolam kecil-kecil. Rasanya ingin bermain air di kolam ini, sepertinya menyenangkan.
Disebelah kiri terpisah jauh dari Kaputren ada goa-goa yang dahulu biasanya digunakan bermeditasi. Ada Goa Lanang dan Goa Wadon.
Nama Ratu Boko berasal dari legenda masyarakat setempat Ratu Boko (Bahasa Jawa adalah Raja Bangau), Ayah Lara Jonggrang. Namun kutipan kisah Mas Ngabehi Purbawidjaja dalam Serat Babad Kadhiri menggambarkan keberadaan Situs Ratu Boko dalam versi yang lain.
Kaputren di kawasan Candi Ratu Boko |
Berdasar tulisan seorang Arkeolog Belanda bernama H.J.De Graaff pada abad 17 menginformasikan adanya penemuan reruntuhan bangunan istana di Bokoharjo.Tahun 1790 Van Boeckholtz mempublikasikannya dan menarik ilmuwan untuk menelitinya. Awal Abad ke 20 FDK Bosch kembali meneliti dan menyimpulkan bahwa reruntuhan di Bukit Boko merupakan bekas keraton.
Tangga dari gerbang kedua di Candi Ratu Boko |
Menurut Prasasti Siwagrha 856 Masehi Abhyagiri Wihara dirubah dari Wihara menjadi benteng pertahanan oleh Balaputradewa dalam perebutan tahta dengan Rakai Pikatan (menantu Rakai Garung Samaratungga, anak Rakai Patapan Pu Palar). Balaputradewa adalah putra Rakai Warak Samaragrawira, Raja ke-4 Medang. Akhirnya Balaputradewa pergi ke Sri Wijaya dan menjadi raja disana (Sriwijaya adalah kerajaan yang telah ditaklukan oleh Rakai Panunggalan/Dharanindra Raja ke-3 Kerajaan Medang, Kakek Balaputradewa).
Disebutkan juga dalam Prasasti Siwagrha, Rakai Walaing Pu Kumbayoni (tahun 856-863 Masehi), seorang raja bawahan Medang dalam pemberontakannya dengan Rakai Pikatan, berhasil merebut Abhyagiri Wihara dan menamainya Keraton Walaing.
Menurut Prasasti Mantyasih yang diprakarsai oleh Rakai Watukura Dyah Balitung (tahun 898-908 Masehi), Walaing adalah keturunan Punta Karna, yang menulis Prasasti Mantyasih tahun 907 Masehi. Sedangkan menurut prasasti yang ditemukan di Keraton Ratu Boko ini diketahui Rakai Walaing Pu Kumbayoni adalah cicit Sang Ratu di Halu, diidentifikasikan Sang Ratu di Halu memiliki hubungan kerabat dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Pendiri Kerajaan Medang.
Pada masa itu terjadi beberapa kali pemberontakan karena masing-masing pihak merasa berhak atas tahta Medang. Penguasaan atas Abhyagiri Wihara berpengaruh pada perubahan struktur bangunan dari corak Buddha (Rakai Panangkaran) ke corak Hindu (Rakai Walaing).
Sekarang bila kita mengunjungi Candi Prambanan diberikan promo tiket paket untuk ke situs Keraton Ratu Boko. Kita hanya membayar Rp. 65.000 untuk dapat dua tiket masuk obyek wisata, Candi Prambanan dan Keraton Ratu Boko. Dari Candi Prambanan disediakan shuttle bus menuju Keraton Ratu Boko pergi pulang. Jarak dari pintu masuk menuju komplek keraton sekitar 100 meter. Melewati taman dengan hamparan rumput hijau dan tanaman hias. Taman telah dilengkapi bangku taman dan wastafel untuk cuci tangan di tiap gazebo. Tidak jauh dari taman juga ada Toilet/WC umum dan Mushola.
Tahun 2017 ini ketiga kali aku mengunjungi situs Keraton Ratu Boko. Masih seperti dulu terlihat sepi tetapi sebenarnya ramai. Pertama kali kesini tahun 2005. Aku ingat jariku tertusuk duri tanaman perdu yang tumbuh di sekitar Pendopo. Kunjungan kedua tahun 2008. Selepas kunjungan kedua itu aku bermimpi aneh. Rasanya aku berada di atas sebuah gunung atau bukit yang dikelilingi air. Sebuah suara membisikiku seakan memberitahu nama tempat yang aku pijak.
Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro