|
Pemandangan pantai Buraen dari salah satu bukit |
Setelah sekian lama aku menyimpan penasaran seperti apa pantai di kawasan selatan Kupang akhirnya terjawab dari perjalananku kali ini. Selama ini memang pesisir selatan cuma tersimpan di benak tanpa pernah terealisasi. Apalagi kalau bukan karena kondisi jalannya. Pernah mencoba sekali ke sana tapi menyerah karena motor matic-ku harus menghajar bebatuan yang ukurannya besar-besar (batu telford isitilahnya).
|
Jangan takut, aku jagain kok (ehmm bikin ngiri) |
Jam sembilan sebenarnya bukanlah waktu yang tepat untuk memulai perjalanan, apalagi menggunakan sepeda motor. Aku sendiri sudah mengingatkan Imam jika kemungkinan kita akan sampai di lokasi pas tengah hari jadi sangat mungkin cuaca akan terasa sangat panas. Tapi Imam tidak mempermasalahkan kondisi itu. Sebenarnya aku dan Imam sudah biasa dengan cuaca di Kupang, lagian kami berdua memang sudah gosong lama. Bedanya sama aku, Imam memang gosong dari lahir hehehehe. Aku sebenarnya lebih kuatir sama Adis, satu-satunya cewe yang ikut bakalan jadi mirip Imam. Kan kasian padahal Adis ini wajahnya imut-imut kayak anak kecil bisa jadi tambah imut (item mutlak). Tapi ya sudahlah, mereka memang tabah dengan pilihannya, sebagai orang yang bijaksana tentu aku gak berhak melarang mereka.
|
Pasir pantai yang landai di pantai Buraen |
Dan perjalanan kali, yang akan kami tuju adalah kawasan pantai yang membentang di sisi selatan Kupang. Apa menariknya? Aku tidak tahu, demikian pula Imam dan Adis. Kalau kerennya, bukan tempat yang penting tapi perjalanan itu sendiri. Kata-kata itu seperti ungkapan mantra magis untukmu, entah untukmu... Memang perjalananku selalu kumulai dengan pencarian lokasi-lokasi yang kuanggap menarik, dalam dua hal. Menarik secara mata dan menarik secara batin. Tapi akhirnya ternyata bukan lokasi itu yang menjadi tujuan utama tapi perjalanannya sendirilah yang lebih penting. Kalau ada pemandangan bagus itu adalah bonus. Tapi kalau tidak ada bonus pemandangan bagus, yo itu kebangetan sialnya hahahaha.
Kalau sudah kategori menghilang mencari tempat baru yang tidak jelas seperti ini memang Imam adalah salah satu teman terbaik untuk melakukannya. Imam ini tipikal orang yang makin kesasar makin bahagia, kayaknya sih begitu. Apakah kalian tipe orang yang hepi walau kesasar? Mari kaka kita jalan sama-sama sudah..
|
Terik di pantai Buraen menciptakan fatamorgana kabut tipis di kejauhan |
Seperti biasanya, perjalanan yang terjadi tanpa perlu persiapan yang matang, jika masing-masing klop dengan daerah yang dituju maka perjalanan segera terjadi. Karena dari awal tidak berniat menginap, jadi hanya membawa air minum kecil dan kue kering saja. Pokoknya edisi hemat lah kecuali untuk urusan bahan bakar. Tangki motor harus full, itu sudah pasti. Dengan informasi jarak 57,7 km dengan waktu tempuh hampir 2 jam, bisa dibayangkan kondisi jalan yang akan dihadapi.
|
Nikmatnya tidur di dalam hammock |
Sampai ke Oesao jalan masih bagus. Ya iya lah, wong masih jalan negara mosok gak bagus. Bahkan sampai Oekabiti pun masih bisa dibilang kondisi jalan masih baik, artinya motor masih bisa lari dengan kecepatan normal. Normalnya perjalanan melewati perbukitan tentunya. Memang banyak titik jalan yang berlubang tapi tidak terlalu parah. Saat di depan gerbang masuk Taman Hutan Raya Ir. Herman Johannes ternyata ketinggian tempat ini sekitar 580 mdl. Wah pantas saja di daerah ini udara yang bertiup terasa dingin. Hutan raya ini ternyata luas dengan pepohonan besar. Udara yang sejuk dan pepohonan ini membuat suasana hutan sangat menyenangkan untuk dilewati. Informasinya di kawasan hutan ini terdapat danau yang cukup luas yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk mencari ikan. Sepertinya lain kali perlu diluangkan waktu untuk mencoba ke tempat ini.
Selepas perempatan Buraen itulah baru mulai terasa perjalanan. Tiga km jalan dari perempatan Buraen sampai ke gerbang desa Nekmese berupa jalan batuan yangtidak rata. Mungkin dulu jalan ini pernah diaspal hanya sekarang sudah tidak ada ada jejaknya hanya menyisakan batu-batu koral. Sampai di depan gerbang desa Nekmese justru kami disuguhi jalan yang lebih parah. Jalan menurun berkelok panjang ini ternyata masih berupa jalan dari tanah putih dan batu-batu koral/karang. Kami harus ekstra hati-hati karena batuan-batuan kecil yang bertebaran dapat dengan membuat roda motor slip. Perjalanan terakhir ini yang menguras waktu karena nyaris sepanjang jalan rem terus ditangan supaya motor tetep terkendali. Sampai harus melewati sungai yang tanahnya agak berlumpur. Masih bisa dilewati pada bulan seperti ini, tapi pada bulan-bulan hujan mungkin memang tidak akan bisa dilewati dengan kendaraan biasa.
|
Menikmati pemandangan pantai Buraen (atau..) |
Yang gak enak, di ending terakhir menuju pantai ternyata ada jalan beraspal membentang mulus. Sakit hati rasanya perjuangan melewati jalan tanah berkerikil yang bikin deg-degan kalau endingnya seperti ini, iya kan.. hahahaha... Jalan membentang mulus ini ternyata merupakan jalur trans-selatan pulau Timor yang akan akan melewati Kupang - Timor Tengah Selatan (Kolbano) - Malaka. Sebagian besar jalan sudah selesai tapi banyak yang masih terputus karena melewati jalur sungai. Just info, di Timor sisi pantai itu banyak sekali sungai yang sebagian besar bukan sungai aktif. Artinya, sungai-sungai ini hanya dilewati air saat musim hujan saja. Sungai-sungai ini semacam simalakama, dibangun jembatan tidak ada airnya tapi tidak bisa ditutup karena air hujan akan membentuk jalur baru yang malah akan menghancurkan badan jalan.
Karena masih jam 12 maka pasir pantai masih tersisa sedikit karena air laut masih pasang. Imam mengajak aku menelusuri jalan ke arah Timur. Pemandangan pantai selatan tampak dari ombaknya yang tidak pernah tenang. Pasir putih kekuningan yang memanjang menjadi isyarat jelas bahwa kawasan ini bakal menjadi destinasi wisata baru. Apalagi jika jalan trans-selatan pulau Timor ini kelar dikerjakan. Rumah-rumah di sepanjang jalan trans-selatan juga sedikit kalau tidak dikatakan nyaris tidak ada. Karena itu disepanjang jalan ini, rumah-rumah yang ada rata-rata belum memiliki akses listrik. Jika ada itu berasal dari panel surya kecil di atas atap yang mungkin hanya menerangi rumah beberapa jam saat malam hari.
Sampai jam setengah satu akhirnya kita menyerah dengan hawa panas. Di salah satu belokan kita menghentikan motor mencari tempat berteduh. Pohon pandan laut menjadi pilihan ideal untuk memasang hammock karena menurutku cukup kuat menahan bobot bahkan jika harus dinaiki dua orang sekalipun.
Boleh percaya boleh tidak, tapi angin yang bertiup dari pantai tidak panas sehingga tiduran di bawah pohon terasa sangat nyaman. Padahal jika di pantai sisi utara saat begini biasanya angin yang bertiup tidak terasa sejuk. Karena hawa yang sejuk berhembus ini tanpa sadar kita sempat tertidur sampai mendekati jam tiga. Sepanjang kita beristirahat di pantai tidak terlihat seorang pun di tempat ini.
Jam tiga barulah pasir pantainya makin tampak seiring air laut yang makin surut. Dari salah satu bukit, kita bisa melihat pemandangan pantai Buraen yang pasir putihnya memanjang. Di kejauhan aku melihat seperti kabut putih yang menghalangi pandangan ke perbukitan, entah itu berasal dari air laut yang menguap, atau kah fatamorgana semata.
Di pantai ini memang kita tidak bisa menikmati sensasi matahari terbenam karena matahari terbenam di balik bukit-bukit tapi view sesaat sebelum matahari menghilang di balik bukit-bukit juga tidak kalah memukau. Memang pantai ini lebih pas untuk menikmati sensasi melihat matahari terbit.
|
Pohon bakau yang berdiri sendiri (ujung pantai Buraen) |
Ada satu pantai yang banyak karang terdapat sebuah pohon bakau yang berdiri sendiri. Tempat inilah yang aku lihat ada aktivitas orang-orang di pantainya, mungkin karena karang-karang ini bisa digunakan untuk menyimpan perahu mereka saat gelombang tinggi. Permasalahan nelayan-nelayan di pantai selatan memang lebih karena ombaknya yang bisa menjadi ganas sehingga areal-areal terbuka biasanya dihindari nelayan. Beberapa anak muda asyik main trek-trekan dengan motor di pasirnya karena pasirnya yang padat.
Perjalanan baliklah yang konyol. Karena berasumsi bahwa jalan baru bisa dijangkau sampai Kupang jadi kita mencoba menelusuri jalan trans-selatan ke arah barat yang berarti dengan jalan buntu. Sepanjang jalan yang masih terputus-putus tak terhitung melewati sungai kering (atau kubangan kering). Sehingga dari perjalanan jam setengah enam dari pantai Buraen kita baru tiba di Kupang jam delapan malam. Itu pun bisa dibilang kita tidak berhenti makan, paling hanya sebentar mampir di warung untuk minum.
|
Lokasi dari pantai Baun yang kita singgahi |
Rute perjalanan:
Aku berterima kasih dengan blogger Destinasi Pantai Buraen Amarasi Selatan yang menuliskan detil rute perjalanan dengan cukup jelas. Rute ini aku gambarkan ulang dengan kondisinya:
- Dari Kota Kupang menelusuri Jalan Timor Raya terus ke Timur arah SoE, nanti dari pertigaan pasar Oesao beloklah ke kanan. Kondisi jalan aspal dan bagus
- Telusuri jalan aspal besar terus sampai menemukan pertigaan yang ada kantor Unit Simpan Pinjam Desa Bank NTT, ambil arah ke kanan menuju ke Buraen. Lanjutkan perjalanan mengikuti jalan beraspal sampai bertemu dengan sebuah gerbang yang menjadi pintu masuk Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johanes. Kondisi jalan aspal dan cukup bagus, ada kerusakan jalan di beberapa titik tapi secara umum masih aman dilewati.
- Masuk terus ke dalam sampai bertemu dengan perempatan simpang Teres. Dari sana ambil kiri ada jalan menurun, ikuti jalan sampai bertemu dengan perempatan berikutnya yaitu perempatan desa Buraen. Kondisi jalan aspal yang mulai rusak.
- Di perempatan desa Buraen ambil ke kiri lagi. Kondisi jalan di sini adalah jalan yang rusak parah,sisa bebatuan yang aspalnya nyaris sudah tidak ada lagi.
- Sekitar 3 km selepas perempatan Buraen akan ketemu pertigaan dimana sebelah kanan terdapat gerbang Nekmese.
- Masuk ke gerbang Nekmese dan ikuti jalan sampai mentok ke laut. Selepas gerbang Nekmese adalah sebuah jalan tanah putih yang sama sekali belum diaspal. Kondisi tanah putih dan batu-batu karang membuat perjalanan harus hati-hati karena rawan sepeda motor mengalami slip.
Dari sana akan melewati dua sungai, satu sungai kecil yang mudah dilewati dan satu lagi lagi jika musim hujan berarti tidak bisa dilewati. Belum ada jembatan jadi memang harus melewati sungai.
- Nanti di ujung jalan mentok akan tampak jalan besar beraspal yang merupakan jalan trans-timor sisi selatan. Kenapa kita tidak melalui jalan ini yang tentu lebih mudah. Tungguu!! Jangan terburu-buru menyimpulkan. Jalan ini memang bagus kondisinya tapi sebenarnya belum benar-benar terhubung (mungkin akhir tahun ini udah bisa kelar). Aku sudah membuktikan jalan ini dan berakhir di sebuah pantai dengan batu-batu besar berjajar (mungkin bisa dinamai pantai Batujajar kali ya). Jadi jalan ini belum tembus sampai ke daerah Baun.
Thanks buat temen-temen yang bersedia bersama berjalan-jalan ke tempat ini:
Imam 'Boncel' Arif Wicaksono
Adisti 'Pipi' Dwi Septyarini
Baca keseluruhan artikel...
|
Bukit batu Anjaf, salah satu bukit Fatu Nausus yang telah terpotong |
Bukit batu karst yang menjulang ini masih menampakkan sisa-sisa kemistisannya. Bukit Nausus masih tampak utuh dari tempatku berdiri. Nampak sedikit ada bekas batu terpotong di bagian bawah yang sebagian tertutup longsoran batu-batu dari atas. Sementara bukit Anjaf tempatku berdiri sebagian besar bukitnya telah terpotong sehingga sekarang menyisakan bukit terjal dengan dinding tegak lurus licin dari marmer. Bahkan lantai yang kupijak ini bukan lantai semen tapi dari batu marmer. Karenanya pagi yang dingin semakin terasa dingin jika menginjak lantai ini tanpa alas kaki.
Aku meletakkan tas ranselku di ujung bukit yang terasa makin berat oleh medan jalan yang harus kulewati untuk mencapai tempat ini. Ada perasaan lega telah mencapai tempat ini karena sepanjang jalan aku harus terus sibuk bertanya kepada setiap orang yang kutemui untuk menyakinkan arah lokasi yang mau aku tuju.
Dari kejauhan kedua bukit batu yang dikenal dengan nama Anjaf dan Nausus memang sudah tampak dari daerah Kapan, ibukota kecamatan Mollo Utara karena memang kedua bukit ini paling menonjol. Namun untuk mencapainya ternyata tidak segampang kita melihatnya.
Menyusuri Pagi Buta yang Sepi
Jam tiga aku keluar dari rumah dengan motor matic 'Trondol' yang sudah kuganti rodanya dengan jenis dosser tipe roda semi trail. Kupang yang siang hari ternyata terasa dingin jika pagi begini. Di sepanjang jalan tampak obor-obor dari botol berjajar di sepanjang jalan. Hari ini adalah paskah. Di beberapa titik tampak tanda salib tiga buah di pasang para warga, kadang tampak beberapa pemuda bergerombol duduk sambil mendengarkan musik yang berbunyi sepanjang malam. Namun selebihnya jalanan sepi.
|
Tanaman perdu menghijau menghiasi perbukitan Cemara |
Beberapa kali aku berjalan pelan di pinggir karena berpapasan rombongan yang beriringan dengan obor di tangan melantunkan pujian-pujian menuju gereja. Aku baru tahu jika paskah begini justru ada acara jalan salib sepagi ini.Setelah itu jalanan bisa dibilang sepi, hanya kadang bertemu satu dua motor yang berboncengan. Jika melihat perlengkapannya, sepertinya mereka juga melakukan perjalanan luar kota.
Sampai di hutan Camplong cuaca masih tampak cerah walaupun terasa lebih dingin di banding kota Kupang. Justru saat mulai memasuki Takari aku harus menurunkan kecepatan motorku karena kabut nyaris dimana-mana membuat jarak pandangku terbatas. Apalagi kabutnya juga disertai air gerimis tipis. Beberapa kali aku harus berhenti untuk membersihkan kaca helm memudar oleh kabut membuat bias cahaya tampak bergaris mengganggu pandangan.
Sekitar jam setengah enam pagi aku sudah sampai di pom bensin di pinggiran kota SoE yang masih tutup. Untungnya ada celah sehingga aku bisa memarkirkan kendaraanku sebentar, berharap toilet di pom bensin ini bisa aku gunakan dan istirahat sedikit melepas sisa kantuk yang masih ada. Setelah menambah bensin satu liter di warung sebelah pom bensin aku kembali melanjutkan kembali perjalanan.
Keindahan yang Tidak Ditopang Infrastruktur
|
Matahari bersinar dari balik pepohonan cemara, hutan Fatumnasi |
Perjalananku dari SoE menuju Kapan masih cukup lancar, walaupun beberapa ruas menuju kapan sudah mulai mengalami kerusakan. Selepas Kapan, dipertigaan aku mengambil ke arah kiri. Di papan petunjuk tertera tulisan arah menuju Fatumnasi, sebagaimana petunjuk yang diberikan penduduk desa yang aku tanyai dari di percabangan. Selepas satu km yang masih mulus (sepertinya proyek rehabilitasi jalan baru-baru ini) akhirnya kembali melewati yang ruas jalannya mulai rusak parah. Bahkan masih ada ruas yang longsor parah dan menyisakan sisa selebar setengah meter. Cukup untuk satu motor saja.
|
Hamparan perbukitan menghijau di Fatu Nausus |
Kapan yang ketinggiannya sekitar 900 mdl (sedikit lebih tinggi dari SoE) memiliki banyak potensi yang menjadi andalan Kabupaten Timor Tengah Selatan, salah satunya jeruk. Konon katanya di sini juga pernah menjadi sentra dari buah apel yang khas dari Timor, sayang sekarang tidak ada jejak sama sekali dari buah apel ini.
Selepas tugu pertigaan itulah jalur yang lumayan cukup sulit karena jalan nyaris tidak menyisakan lagi aspal. Dengan jalur menanjak dan banyak kelokan, batu-batu bulat yang licin jika hujan membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Pada kondisi seperti ini, motor memang menjadi lebih fleksibel, kalau pun dengan kendaraan maka lebih pas jika menggunakan kendaraan jenis off road (penggerak empat roda).
Dengan kondisi jalan yang rusak, namun pemandangan yang ditawarkan mampu mengimbangi. Sepanjang kelokan menanjak, view pohon cemara yang telah berlumut dengan tanah yang menghijau mampu menyihir mata yang memandang.
Apalagi dengan eloknya cahaya matahari menyeruak di antara jajaran batang cemara, menerobos dingin yang berusaha kulawan dengan meniup-niupkan hawa panas ke tanganku. Sendirian tak membuatku tergugu, sendirian saat seperti ini seperti sebuah kesempatan untuk menghirup kesegaran dan keindahan yang ada sepenuhnya. Di sini hawa pegunungan yang dingin nyaris belum berpolusi, kalau pun polusi itu tak lebih dari tai sapi yang sering hangat tergeletak di sepanjang pinggir jalan.
|
Kuda-kuda merumput di hutan cemara Fatu Nausus |
Sapi-sapi banyak bersliweran di perbukitan dan di lembah. Mereka beruntung tinggal dan besar di sini, walau tahu akan tetap berakhir di tempat pemotongan sapi hehehe. Kadang-kadang tampak serombongan kuda muncul tiba-tiba dari antara semak mengejutkanku. Awalnya kupikir kuda-kuda ini adalah kuda liar karena aku melihat kuda-kuda ini surainya panjang tak terpotong. Ternyata aku salah, saat bincang-bincang dengan penduduk kampung, ternyata mereka memang membiarkan kuda-kuda ini lepas begitu saja tak dimasukkan kandang.
Bunyi binatang-binatang malam masih berderik juga padahal matahari sudah keluar dari tadi. Entah karena mendung yang masih mengelayut di langit, ataukah dingin yang masih menyergap. Memang walaupun matahari sudah keluar sedari aku sampai di turunan pertigaan tugu di kapan, namun dengan ketinggian 1.160 mdl suhu di atas sini masih terasa dingin. Aku sesekali masih harus meniupkan udara panas ke telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin di jari-jari.
|
Bayangan Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto |
Jalan yang harus dilewati pelan makin pelan karena aku sering harus berhenti. Di bukit atas terdapat percabangan jalan, di situlah aku harus kembali belok kiri karena jalan lurus berarti ke arah Fatumnasi. Jalanan menurun ini tak terlalu lama sampai aku bertemu dengan perkampungan. Salah satu dusun dari desa Fatukoto.
Ternyata sebelum perkampungan ada jalan ke kiri lagi itu yang harus kuikuti. Persis di depan percabangan itu terdapat sebuah cek dam yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menjadi daerah wisata. Memang bukan danau sehingga airnya pun tidak berwarna bening namun suasana tempat ini lumayan menyenangkan apalagi pepohonan banyak berjajar di sepanjang jalan lokasi ini. Dari sini pemandangan bukit batu Nausus tampak menarik terpantul di air di sela-sela bayangan pohon ampupu yang masih muda di sekitar lokasi cek dam. Hanya ada seorang pria yang duduk menggelung kaki sedang memancing di salah satu ujung batu. Udara dingin begini memang tidak menarik orang untuk keluar sekedar memancing. Apalagi jika rumah hangat masih menyala apinya.
Kendaraanku kembali masuk ke kiri menyusuri jalan tanah berbatu yang adak licin, mungkin sisa embun semalam. Jika sebelumnya pemandangannya adalah pepohonan cemara sekarang pemandangannya didominasi pepohonan Ampupu.
Bukit Batu Karst yang Menjulang: Anugerah dan Bencana
|
Pepohonan mulai tumbuh di bekas potongan batu |
Pintu gerbang kawasan wisata Fatu Nausus masih tertutup, aku menarik pintu dari potongan-potongan kayu ini agar cukup untuk masuk motor. Pagar yang menutup kawasan ini hanya dibuat secara sederhana dari potongan batang-batang pohon sekitar kawasan ini. Beberapa puluh meter selepas masuk gerbang terdapat bangunan panjang yang saat ini digunakan penjuga dari lokasi ini. Hanya ada satu orang penjaga dan seorang anak kecil yang menjaga tempat ini. Karena aku hanya sendiri dan belum ada orang lain, mereka mempersilahkan aku menggunakan motor sampai ke dalam sampai persis di bawah bukit.
Mataku langsung tertambat pada pemandangan bukit yang dindingnya tegak lurus licin, dinding ini lurus licin bukan dibentuk oleh alam tapi oleh tangan manusia melalui teknologi yang dimilikinya. Ya, bukit yang terpotong tegak lurus ini hasil dari eksplorasi perusahaan tambang marmer. Bukit-bukit karst yang menjulang ini dipuja danb dijaga masyarakat karena dianggap keberadaannya memberikan kehidupan bagi sekitarnya juga dipuja oleh para pebisnis. Bukan oleh karena kemistisannya namun lebih kepada nilai ekonominya. Dibalik batu-batu terjal inilah tersimpan potensi batu marmer yang katanya berkualitas nomor dua di dunia.
|
Longsoran batu di bukit Anjaf |
Dulu tempat ini dulunya digunakan oleh masyarakat Mollo untuk melakukan upacara-upacara adat. Tempat ini memang layak dipuja karena dengan hutan disekitarnya mampu menjadi penopang kehidupan. Air-air hujan yang tertahan dan mampu menghasilkan kehidupan dengan adanya mata air bagi daerah yang dibawahnya.
“Seperti manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini. Seperti itulah keindahan di sini dulunya. Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, salah seorang tokoh adat dari desa Lelobatan.
|
Pintu masuk lokasi wisata Naususu (Fatu Nausus) |
Kudengar, bukit yang menonjol paling menonjol di kawasan Mollo ini berubah menjadi bencana saat masyarakat terpecah menjadi dua, yang pro tambang dan menolak tambang. Akhirnya memang kawasan ini telah ditinggalkan perusahaan tambang namun bukan dengan cara yang mudah. Ada perjuangan yang cukup lama dan keberanian yang harus terus dikobarkan agar masyarakat mau saling bahu membahu dalam satu suara menolak pertambangan ini.
Di bagian dekat rumah panjang bekas bangunan perusahaan masih terdapat beberapa balok yang ditinggalkan, ada juga beberapa yang masih tersisa tertutup semak belukar. Bahkan bukit Anjaf yang telah terpotong juga sudah mulai hidup beberapa pohon termasuk pohon beringin didindingnya. Alam sedang berusaha mengembalikan tempat ini.
|
Sisa potongan batu milik perusahaan tambang yang belum diangkut |
Di balik dari bukit Anjaf, beberapa batu yang terpecah-pecah lebih kecil tampak longsor sehingga aku tidak berani menaikinya. Hanya dua pasang kambing coklat dan hitam yang telah nangkring di atas entah lewat mana.
Sayang aku tidak bertemu kera putih yang menjadi legenda tempat ini. Katanya kera putih itu memang tidak mudah ditemui, hanya orang yang beruntung saja yang bisa bertemu dengan kera putih itu. Kemunculan kera putih itu dianggap pertanda baik. Ah, cerita mistis dari tempat-tempat seperti ini memang menarik bagiku. Walaupun aku tidak mempercayainya, tapi akan menghormati dan menghargainya. Karena bagiku, cerita-cerita mistis yang melingkupi tempat ini adalah cara agar manusia yang sebenarnya bergantung dengan keberadaan tempat ini tetap menghormatinya.
Baca keseluruhan artikel...
|
Menikmati view teluk Nangalok dari atas bebatuan |
Beberapa orang sedang sibuk mengeluarkan perbekalan makan sore yang terlalu awal. Saat ini sedang jam 4, masih terlalu awal untuk mengeluarkan makanan. Bau ikan bakar yang baru disiapkan tidak terlalu menarik perhatianku. Tarikan mataku tetap terbetot pada view di depanku: teluk Nangaloh. Mengikuti kata hati, aku hanya menyahut "Sebentar" saat mereka meneriaki untuk makan sore dulu sebelum turun ke teluknya.
|
View teluk Nangalok ke arah ujung teluk |
Dari bebatuan di sisi barat, aku berdiri di batu paling ujung terpana dengan pemandangan teluk yang begitu eksotis di mataku. Untuk sebuah teluk, baru kali ini aku melihat teluk yang begitu cantik terbingkai oleh perbukitan savana yang mengelilinginya. Pemandangan pepohonan bakau yang memenuhi bagian pinggir pantai justru membuat paduan alam yang menyempurnakan. Saat ini rumput sedang menghijau walau belum memenuhi seluruh perbukitan. Warna biru kehijauan air laut saat ini menunjukkan bahwa pantai ini masih sangat bersih.
Teluk Nangalok berada di perbatasan antara desa Nanga Mbaur kecamatan Sambi Rampas dan desa Golo Lijun kecamatan Elar. Walaupun secara administratif masuk dalam pemerintahan kabupaten Manggarai Timur tetapi saat ini Borong bukanlah jalur paling dekat untuk mencapai daerah itu karena saat ini jalur dari Borong langsung ke Pota (ibukota kecamatan Sambi Rampas) kondisi rusak parah. Jadi jalur paling masuk akal justru dari Ruteng (kabupaten Manggarai) masuk ke arah Reo baru ke Pota
-----------------------------------
Perjalanan ke Sambi Rampas sebenarnya berkaitan dengan pekerjaan dimana ada dua lokasi pekerjaan irigasi yang harus aku cek yang kebetulan kedua-duanya ada di daerah Sambi Rampas. Sambil menyelam minum air, aku mencoba mencari tahu obyek apa yang aku nantinya bisa mampir selepas pekerjaanku kelar. Pencarianku di internet sempat memunculkan nama Pantai Watu Pajung. Aku tidak terlalu yakin tapi juga tidak mau terlalu memusingkan. Bukanlah yang penting perjalanan itu sendiri kalau ada lokasi yang bagus ya itu bonus bukan?
Jadi teluk ini memang bukan daerah yang aku incar untuk didatangi karena memang tidak ada yang menginformasikan keberadaan lokasi ini sebelumnya. Hanya ada satu orang bilang ada pantai yang bagus di sana yang sudah diincar oleh wisatawan asing. Tapi mereka tidak mengatakan kalau itu teluk?!? Entah sebenarnya mereka maksudkan teluk ini atau memang ada pantai yang lain.
|
View senja dari salah satu lokasi di daerah Reo |
Karena pertimbangan waktu tempuh yang lama, start perjalanan sudah dimulai sejak setengah delapan pagi dari Borong. Ingat, jika di daerah seperti NTT yang paling penting untuk ke lokasi itu waktu tempuh bukan jarak tempuh. Bisa jadi jarak 100 km bisa ditempuh dalam waktu tak lebih dari 2 jam. Tapi sangat mungkin juga jarak 15 km bisa ditempuh dalam waktu lebih dari 2 jam. Juga penting untuk mengetahui seberapa sulit medan yang harus didatangi karena bisa jadi sebuah perjalanan batal hanya karena medan yang cuma 1 km panjangnya tapi kerusakan jalannya parah sekali sehingga tidak bisa dilewati kendaraan. Dari Borong ke Ruteng jelas jalannya sudah mulus walaupun banyak tikungan tajam tapi bisa dijangkau tak lebih dari satu setengah jam.
Perjalanan dari Ruteng menuju Reo kondisi liukan jalannya lebih parah dibanding Borong-Ruteng atau malah bisa kubilang tidak ada jalan lurus lebih dari seratus meter. Cuma sekarang jalannya lebih sempit serta banyak ruas yang sudah mulai rusak jadi memang harus lebih hati-hati.
Perjalanan mulai lebih sulit lagi dari Reo menuju Pota. Bayangkan jalan meliuk-liuk dengan lebar tak lebih dari 3,5 meter tapi kita tidak tahu apakah ada bahu jalan atau tidak karena bahu jalan dan sebagian badan jalan tertutup pepohonan. Saat ini memang masih masuk bulan hujan sehingga daerah-daerah pesisir pun tetumbuhan liar tumbuh dengan suburnya.
Suara berisik terdengar dari sokbreker Ford Escapes yang menghantam bodi mobil. Frans - sang driver, bilang mobil emang sudah bilang sebelumnya kalau sokbrekernya memang sudah tidak bagus. Pantesan saja, jika menghamtam jalan yang batuannya menonjol agak keluar dengan kecepatan sedang langsung terasa ayunannya. Bila tidak diturunkan kecepatannya maka ayunan akan makin kuat dan terakhir akan terasa ban yang menghantam body mobil.
|
Persawahan di kawasan Sambi Rampas |
Jam setengah satu baru lah memasuki Pota, kota kecamatan Sambi Rampas. Daerah Pota ternyata sudah cukup ramai. Setidaknya sudah ada satu pom bensin di daerah ini termasuk sudah ada juga dermaga barang. Yang terbaru katanya juga sudah dibangun dermaga penumpang yang memungkinkan kapal penumpang bersandar. Daerah Pota ini penduduknya cukup heterogen, akses mereka justru banyak yang langsung ke Makasar mungkin karena jalur laut lebih lancar dibanding jalur darat yang seperti di atas kondisinya.
Tambahan informasi saja, daerah Pota ini ternyata daerah yang subur. Ada ratusan hektar sawah yang memiliki pengairan irigasi di daerah ini. Pantas saja di daerah ini walaupun kecamatan yang jauh dari ibukota kabupaten tapi tetap hidup suasananya.
Selepas pekerjaanku, rekan dari masyarakat lokal Sambi Rampas mengajakku makan sore sebelum kembali dengan pertimbangan di perjalanan belum tentu kami menemukan rumah makan. Dari ide itulah akhirnya mereka memperkenalkan teluk Nangalok ini.
Dari Pota menyusuri jalan ke arah timur, kami sempat melewati pantai Waju Pajung yang sepertinya sedang dipersiapkan oleh pemerintah daerah untuk menjadi salah satu destinasi wisata.
Sekitar seperempat jam melewati pantai Watu Pajung barulah kita mendapatkan view teluk Nangalok ini. Jalan yang kami lewati sepertinya baru dibuat (mungkin perbaikan dan pelebaran dari jalan sebelumnya) dan menurut mereka akan menghubungkan seluruh kabupaten di Flores melalui trans utara. Berarti jika jalan ini sudah benar-benar terhubung, daerah-daerah wisata yang keren di sisi Utara pulau Flores akan lebih mudah dieksplorasi.
---------------------------------------
|
Kejernihan air laut di teluk Nangalok |
Karena merupakan perairan tertutup, kondisi perairan teluk sangat tenang. Walaupun matahari teriknya saat itu lebih dari biasanya namun angin yang bertiup dari perbukitan terasa menyejukkan. Suasana masih begitu tenang di sini. Kalau pun ada suasana ramai, tentu mereka yang sekarang sedang asyik dengan makan sore ikan bakar dan entah apalagi di pinggir jalan sana.
Aku hanya sebentar menyantap makan siang ikan bakar. Mungkin jika waktunya pas menyantap ikan bakar segar di waktu seperti ini akan terasa nikmat sekali apalagi berada di alam terbuka yang begitu menawan. Sayang pikiranku sedang ke teluk itu sehingga sebentar kemudian aku menyudahi makan sore dan balik ke teluk di seberang jalan itu.
|
Rumput menghijau menghiasi view sekitar teluk |
Ada beberap perkampungan di sekitar teluk ini. Pak Feliks menunjukkan sebuah kampung yang berada di ujung dalam teluk yang legendanya merupakan penjaga teluk ini. Dia bercerita bahwa kawasan ini di jaga oleh orang tua di kampung itu, aku sendiri lupa nama kampungnya. Dulu sudah beberapa kali ada kegiatan AMD (ABRI Masuk Desa) di daerah ini.
Ceritanya, pada saat itu ada kunjungan damdim ke lokasi ini. Para tentara ingin menyuguhkan daging rusa untuk pimpinannya. Dulu di daerah ini masih banyak ditemukan rusa (entah sekarang). Karena butuh banyak maka para tentara itu minta orang tua itu menyediakan rusa untuk mereka. Orang tua itu menyanggupi tapi harus menghabiskan rusa yang dia bawa. Para tentara itu menyanggupi, maka orang tua itu pamit ke hutan. Tak lama kemudian dia membawa rusa besar untuk mereka yang langsung menjadi santapan nikmat para tentara. Namun ternyata mereka tak sanggup menghabiskan dan pagi hari di tempat mereka maka bukan sisa rusa yang mereka dapat tapi sisa batang kayu.
Dia juga menunjuk satu tempat di ujung teluk satunya yang tampah ada bagian pasir putihnya. Katanya, di sana ada tempat yang dibangun bule. Menurutku lokasi di sana memang strategis sekali. Bayangkan saja, teluk yang begitu aduhai dan memiliki pasir putih dan perbukitan ala teletubbies dengan posisi menghadap ke barat untuk menikmati sunset. Untuk urusan lokasi strategis seperti itu entah kenapa bule-bule bisa cepet sampai duluan sebelum kita ya.
Tambahan:
Di daerah Sambi Rampas juga ada sebuah danau yang dikenal dengan nama Rana Tonjong karena di danau itu ada bunga Tonjong (Teratai) yang tumbuh subur menutupi seluruh danau. Sebenarnya aku mau diajak makan di sana namun karena pertimbangan bahwa di danau itu saat ini baru tumbuh belum sampai musim berbunga sehingga aku disarankan lain kali saja ke sana. Kata pak Feliks musim berbunga puncaknya di bulan Mei-Juni. Itu waktu terbaik untuk mendapatkan danau dipenuhi dengan bungai Tonjong (Teratai).
Baca keseluruhan artikel...
|
Rela pingsan menikmati ademnya pasir putih di pantai Liang Bala |
Pantai Liang Bala adalah pantai yang pasirnya berwarna putih yang ada di sekitaran kota Borong. Keistimewaannya, selain berpasir putih, di pantai ini juga terdapat beberapa gua. Gua terdekat yang bisa dijangkau lewat pantai hanya bisa dicapai kalau sedang surut saja. Saat ini pantai ini masih belum dikelola oleh pemerintah, jadi masih gratis dan bebas. Iya bebas beneran kok mau ngapain aja asal bukan bebas buang sampah ya, kalau itu minta aku gosok kepalamu pake kaus kaki. Wisatawan lokal juga belum banyak yang ke tempat ini, entah karena belum dikenal atau karena kondisi jalannya yang kurang bagus. Tapi ada juga yang bilang begini: ah, sama kayak di sini kok om cuma pasirnya warna putih tapi sama saja. Wah ini orang mungkin belum tau kenapa ada salon #apahubungannyacoba.
|
Tampak pasir putih pantai Liang Bala dari puncak |
Sebelumnya gak pernah mikir kalau di Borong itu ada pantai yang pasirnya berwarna putih. Iya beneran.. Aku gak ada ekspektasi bakalan mendatangi pantai yang memiliki pasir berwarna putih di sini. Dari pertama kali ke Borong sekitar tahun 2012-an (awal-awal Manggarai Timur lepas dari Manggarai, kabupaten induknya), aku cuma tahu pantai Watu Ipu yang memanjang dari dermaga Borong yang sebelah tenggara dibatasi sama bukit batu yang terjal itu pasirnya warna hitam. Bahkan salah satu lokasi wisata yang dari dulu dikembangkan sejak kabupaten induk yaitu kawasan pantai Cepi Watu itu pun juga pasirnya berwarna hitam cuma di sana ada lokasi yang banyak batu-batunya. Kelebihan Cepi Watu cuma satu, kalau lagi pas bisa lihat mbak-mbak bahenol jalan-jalan di pantai. Ternyata oh ternyata di Cepi Watu itu ada tempat karaoke.. mungkin mbak-mbak itu yang jaga parkir kali ya #sokculun. Karena itulah, wajar aku gak punya ekspektasi banyak kalau ke Borong. Tetap suka sih menikmati senja di pantai walau pasir hitam, karena senja tetaplah senja yang asyik dinikmati dari mana saja bahkan sambil boker aja nikmat #timpukboker.
|
Suasana tebing gua dari ujung lain gua |
Katanya pantai Liang Bala ini belum lama baru diketahui keberadaannya baru sekitar dua tahunan ini. Mungkin saja pantai itu diketahui keberadaannya sejak kawasan bukit yang menghalangi pantai itu kena gusur sebagian jadi jalan. Iya, memang ada jalan baru yang harus memangkas samping bukit yang isinya batu-batu lempengan dan batu-batu besar segede gaban. Batu-batunya unik lho lempengannya lurus-lurus kayak baru keluar dari pabrik. Coba ada yang kreatif bisa langsung dibikin batu alam tuh. Yuk yang mau bisnis jualan batu kakak? Kakak yang potong batu, aku yang jual.
Ikhwal aku sampai ke pantai ini saat gak sengaja liat foto-foto pantai yang dipasang di salah satu restoran saat kita sedang makan siang. Di situ ketemu mas Eko - pinisepuhnya Tapaleuk Ukur Kaki #sungkem - yang kesasar sampai ke Borong. Dapat info dari teman-teman pemda yang sudah ke sana lebih dahulu kalau lokasi pantai itu ternyata dekat yaitu di balik bukit di pantai Watu Ipu. Waktu ngobrol siang itu juga belum kepikiran ke sana karena informasinya lokasinya masih susah dilewati. Mungkin kurang doa kali.
|
View dari dalam gua pertama di pantai Liang Bala |
Sore hari rencana awalnya mau jalan-jalan di pantai yang ada muara dari sungai Wae Bobo. Kebetulan sudah ada jembatan yang membentang tinggi melewati muara sungai Wae Bobo yang pas buat nikmati sunset. Masalahnya cuma satu motor, gak mungkin kan kita bonceng bertiga nanti bisa-bisa saingan sama alay-alay bekicot. Karena Trysu batal mau ikut (kayaknya memberi kesempatan aku dan mas Eko berduaan #halah), akhirnya kita merubah arah mau mencoba mendatangi pantai Liang Bala. Walaupun sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi informasi lokasinya lumayan belibet jadi memang harus rajin-rajin nanya sama penduduk sekitar kalau tidak mau kesasar ke tempat lain.
|
Salah satu cekungan air di gua Liang Bala |
Kita melewati jalur baru yang memangkas sisi kanan bukit sehingga kondisi jalannya masih berupa jalan tanah berbatu. Sebelumnya di daerah ini mungkin sudah ada jalan namun masih berupa jalan setapak yang digunakan untuk masyarakat sekitar bukit. Karena memang pekerjaannya baru kondisi pemotongan bukit jadi kondisi jalannya masih amburadul. Selain kurang rata batuannnya pun gampang terlepas bisa bikin motor gagap. Untung aku duduk manis jadi pembonceng di atas motor Mega Pro yang ditunggangi sama mas Eko yang juga gedenya saingan sama motornya. Jadi mantep aja lewat jalan berbatu, itu batu saat digilas bukan melenting keluar tapi langsung amblas ke tanah. Mungkin kalau dilewati mas Eko beberapa kali itu jalan langsung mulus sendiri #digamparmaseko. Aku sendiri merasa miris tiap kali lewat di batuan yang berpasir. Rem gak boleh bener-bener ditekan kalau gak ingin motor slip. Setelah melewati dua tanjakan, di tanjakan terakhir itulah view pantai pasir putih nampak jelas. Bagian menurun inilah yang bener-bener harus hati-hati. Aku bener-bener gak nyaranin ke tempat ini pakai motor yang rodanya kecil. Di belokan menurun terakhir aku memilih turun dari motor karena selain belokan tajam juga jalan berlubang dalam. Sepertinya kalau habis hujan lokasi ini tidak bakalan bisa dilewati motor, cuma bisa pake kolor itu pun jangan bukan kolor ijo, halah.
|
Lokasi yang cocok untuk memotret slowspeed |
Angin dari laut langsung menerpa ke wajah begitu sampai di lokasi, menyengat-menyengat gurih gimana. Cuaca masih terasa gerah walau sudah sore karena saat ini memang wilayah NTT menjadi salah satu wilayah yang masih mengalami gejala El Nino - gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan lautan - makanya jadi terasa lebih kering dan panas walaupun sebenarnya saat ini seharusnya masih jatuh musim hujan. Untungnya laut masih surut walaupun belum terlalu turun. Dengan menyusuri pantai ke tenggara melewati pinggir tebing batu akhirnya bertemu dengan sebuah lubang besar. Gua Liang Bala yang pertama ini tidak terlalu dalam, lebih mirip sebuah ceruk besar. Dari posisinya, air laut akan membasahi sampai ke ujung gua saat puncak pasang. Di sekitar gua banyak cekungan-cekungan air dimana beberapa ikan kecil tampak terperangkap di dalamnya. Di antara pantai pasir putih dan gua ini ada tempat karang yang bagian bawahnya bolong sehingga saat ombak naik dari lubang-lubang itu keluar suara mendesis keras yang kadang-kadang disertai semprotan air yang kencang ke udara. Tidak banyak orang hari ini, hanya ada beberapa anak yang sepertinya merupakan anak-anak dari kampung ini juga sedang menggunakan tombak dan pancing. Di bagian tebing atas tampak sebuah bangunan pondok terbuka yang dibuat oleh penduduk. Ada sepasang suami istri yang tengah beristirahat setelah selesai menanam. Di bagian atas tebing itulah tanah mereka. Saat ini mereka sedang menanam jagung, ada beberapa pokok ubi di bagian samping yang mungkin sudah di tanam jauh sebelumnya.
|
Kolam-kolam di sekitar gua, banyak ikan kecil terjebak |
Karena jaraknya tak jauh, dua hari berikut setelah mas Eko melanjutkan tour ke Ruteng, aku mengajak Trysu kembali ke pantai Liang Bala. Kebetulan dari siang, listrik di hotel yang pelayanannya ala kadar namun harganya ala mak, maka aku dan Trysu sudah mulai jalan sejak jam empat. Karena jalan kaki, aku dan Trysu memilih menyusuri jalan pantai yang sudah dilapis batu dengan jarak tempuh tak lebih dari lima belas menit. Dari dermaga pantai Watu Ipu, jalan ke arah bukit sangat terjal. Sepertinya tempat ini sudah beberapa kali longsor tampak dari beberapa pohon yang sudah tumbang jauh ke bawah. Sebenarnya waktu kembali dari pantai ini, penduduk ada yang bilang kalau kita bisa lewat bawah menyusuri bukit cuma aku kurang tahu dari mana mulainya makanya aku memilih lewat atas bukit saja. Di atas kami harus beberapa kali berhenti berteduh karena cuaca yang masih terasa terik walaupun sudah jam empat sore.
Awalnya aku mengajak Trysu ke atas bukit untuk menunjukkan view gua dari atas bukit. Saat berada di atas justru aku dikiranya mau ke gua yang lain jadi mereka memandu kami arah menuju gua lain. Wah memang rejeki, akhirnya malah tau cara menuju ke gua lainnya dan itu tidak perlu harus menunggu laur surut. Tapi masalahnya berganti. Dari atas bukit ini untuk turun ke bawah yang harus hati-hati. Turun pertama harus melewati kayu yang dibuat penduduk untuk turun ke bawah. Setelah beberapa meter menyisir pinggir tebing barulah kita harus kembali agak merangkak menyusuri tebing untuk sampai di bawah gua. Kondisi di sini kita harus hati-hati karena tipe batu di tebing bukan tipe karang tapi jenis batu cadas campur karang. Artinya tidak semua batu aman untuk dijadikan pegangan.
|
Senja dari atas tebing pantai Liang Bala |
Begitu sampai di gua bawah, pemandangan pasir putih di pantai ini lebih asyik. Bukan cuma karena tempatnya yang lebih tersembunyi tapi yang pasti juga lebih bersih karena sepertinya tidak semua orang yang berwisata ke pantai Liang Bala sampai ke pantai yang sisi ini. Ternyata di sini selain gua yang langsung kita temui saat turun juga masih ada dua gua kecil lain yang letaknya tak jauh tinggi dari pantai, yang artinya akan tergenang saat air mencapai puncak. Berarti hanya gua awal kita turun yang paling aman karena tidak akan terjangkau air walau sedang puncak pasang juga kondisi dalam gua yang berupa tanah landai bisa digunakan untuk berteduh. Hayo siapa yang berminat pasang tenda di sini. Gak rugi lah pokoknya kalau mau nenda di sini.
Perjalanan pulang aku dan Trysu sempat menyusuri lewat pingir pantai yang ternyata capek karena harus loncat dari satu batu ke batu lain. Ternyata waktu naik ke atas ada jalan setapak yang hanyak cukup satu badan. Walau kecil saja tapi jalan ini rupanya jalan yang paling cepat bila mau ke Liang Bala dengan jalan kaki. Motor tidak bisa melewati jalan ini ya karena di beberapa titik kita tetap harus melewati batu-batu besar. Gobloknya, dengan jalan kaki sejauh itu kira malah hanya membawa satu botol air putih ukuran kecil. Keruan saja kita pulang jadi setengah mati gara-gara kehausan di sepanjang jalan. Udah gitu warung yang biasa buka di pinggir dermaga entah kenapa juga tidak jualan hari ini.
Baca keseluruhan artikel...
|
Warna tosca air terjun ini tetep nampak walau sudah sore, jika ada cahaya matahari warna tosca-nya makin menjadi.
Keindahannya tampak jika tak ada sampah berserakan |
|
|
Mungkin sudah banyak orang Kupang yang berwisata ke air terjun Tesbatan. Bukan banyak lagi tapi banyak banget. Tau dari mana? Dari sampah yang mereka tinggalkan. Itu sampah plastik sama kantong Ka-Ef-Ce yang jelas saat ini satu-satunya yang ada di Kupang berserakan di tanah lapang dekat air terjun Tesbatan. Pokoknya itu pengalaman gak banget yang bikin aku gak mau nulis pengalaman pertama berkunjung ke Tesbatan. Di situ, aku mendapat predikat "Orang Gila" sama ibu-ibu gendut yang jengkel karena asap dari sampah yang aku bakar. Iya mungkin aku salah bakar sampah yang aku kumpulin, tapi aku memang mau kasih pelajaran sama pengunjung yang cuma bisa datang buang sampah seenak udelnya. Padahal udelnya aja gak enak diliat #cekudelsendiri.
|
Berendam di air terjunnya yang segar |
Saking sampahnya yang bikin sepet mata akut, akhirnya kita bersihin tuh sampah-sampah apa saja yang bikin pemandangan air terjun Tesbatan kehilangan asyiknya. Pas kita lagi bakar, ada bapak-bapak yang bilang "sekarang lagi buat mandi, nanti aja bersihinnya kalau pengunjung udah pulang". Lah dipikirnya aku ini penjaga air terjun apa ya, disuruh bersihin abis gak ada orang. Pas dibilangin kalau aku juga pengunjung yang udah sepet akut sama sampah-sampah ini, dengan bijaksananya si bapak bilang, "Ya percuma dibersihin dek, di taman Nostalgia aja banyak sampah gak dibersihin". Bijaksana banget sih pak tapi lebih mirip orang putus asa. Kalau Bapak putus asa, aku punya tali buat mengakhirinya #bikinayunantali.
Udah lama juga sejak kunjungan pertama aku gak ke Tesbatan lagi. Padahal perjalanan pertama kesana lumayan asyik karena bareng anak-anak gokil yang sok-sokan hapal jalan, dan berujung pada jalan yang ancur-ancuran. Roda-roda motor matic yang kelasnya jalan aspal mulus harus rela menghajar jalan sekelas batu telford. Aje gile gak tuh.
|
View aliran air dari bagian teratas |
Kemarin setelah ambil cuti libur ke Surabaya, aku sempetin coba balik ke Tesbatan sekalian ngajak bini yang belum pernah tau tuh Tesbatan kayak apa. Kesian, lahir dan besar di pulau Timor masak Tesbatan aja gak tahu.
Berangkat sekitar jam setengah tigaan sore dengan tujuan biar gak pas rame orang. Lagiaan saat itu bukan sedang hari libur jadi kemungkinan sepi pengunjung, tambah beberapa hari sebelumnya ada hujan jadi ada kemungkinan sampah-sampah yang bikin sepet mata mungkin udah hilang kebawa air. Kalau pun sampah-sampah itu gak hilang terbawa air biar yang buang sampah saja yang kena banjir gak papa. Ini bukan doa lho, cuma permohonan orang teraniaya.
Belajar dari pengalaman pertama, aku memilih mengikuti jalur waktu pulang yang lebih mulus jalannya. Walaupun lebih jauh tapi setidaknya perjalanan jadi terasa lebih nyaman. Mungkin lariku yang kelewat pelan, akhirnya nyampai ke sana pas udah mendekati jam setengah lima. Berarti perjalanan hampir dua jam, lumayan bikin ngilu tangan yang agak kram. Perjalanan ini sekaligus uji coba pertama motor X-ride sebelum nanti dipakai untuk perjalanan yang lebih ekstrem: naik ke gunung Fatumnasi. Secara umum aku bisa bilang dari Kota Kupang sampai masuk ke desa Tesbatan bisa dikatakan kondisi jalannya aman bahkan dengan motor matic yang modelnya nyaris rata dengan tanah. Ada juga sih beberapa ruas yang agak jelek tapi gak jelek banget-banget kok. Itu juga gak banyak, mungkin gak nyampai 30km yang rusak begitu #ituparahmonyet! Gak bercanda...
|
Ngeksis buat bukti kalau udah ke Tesbatan walau gak nyemplung |
Justru di ruas terakhir setelah masuk ke pertigaan menuju pintu masuk air terjun yang mulai jelek. Jalannya masih berupa aspal yang tinggal menyisakan batu-batu kerikil. Setelah gerbang pintu masuk air terjun disitu kita harus lebih hati-hati lagi karena batuan bekas beraspal ini tipenya mudah lepas jadi bisa bikin motor tergelincir.
Begitu sampai di sana justru aku masih sempat berpapasan rombongan-rombongan yang udah mau balik. Kirain bakalan sepi ternyata ada yang sepikiran dengan aku, mendatangi tempat ini pas bukan hari-hari libur. Tampaknya mereka rombongan yang bukan tipe pembuang sampah dan pecinta vandalisme di tempat-tempat publik. Coba tanya ke beberapa anak kampung di dekat situ katanya udah sepi. Setelah jalan masuk beberapa ratus meter dari parkiran, akhirnya ketemu air terjun Tesbatan yang mulai berkurang debit airnya. Suasana sudah sepi, hanya ada beberapa remaja tanggung sekitar tiga orang yang sedang mandi di air terjun. Aku lihat sekeliling tidak terlalu banyak sampah seperti sebelumnya dan tidak ada tampak sampah baru. Ternyata rombongan-rombongan yang tadi lewat untung termasuk wisatawan yang bertanggung jawab.
|
Bonus dari perjalanan pulang dari Tesbatan |
Ternyata kalau udah sepi dan agak bersihan begini, suasana air terjun Tesbatan lumayan asyik. Biniku yang melihat genangan airnya berwarna tosca pengen nyebur aja untung diingetin sama adik-adik yang berenang itu kalau di bagian tengah itu langsung dalem. Akhirnya dia cuma main air di pingir doang. Karena udah sore jadi gak susah dapat view enak di air terjun Tesbatan. Tak berapa lama kemudian, beberapa anak yang lebih kecil (sepertinya mereka masih SD) mulai ikut mandi di bawah. Kalau anak-anak yang umurnya tanggung (sekitar SMA) mereka tinggal di sekitar Oesao agak jauh dari sini, kalau yang kecil-kecil baru datang memang anak-anak desa Tesbatan. Asyik aja lihat anak-anak bermain air dengan cara meloncat dari tingkat paling atas untuk terjun.
Aku senang melihat sebuah tulisan papan yang ditulis dari para Traveler Malaka yang mengimbau para pelancong tidak meninggalkan sampah. Walau 100 pengunjung tidak peduli setidaknya ada satu-dua yang belajar untuk peduli. Sepertinya aku juga harus menyiapkan papan tulisan bagus untuk dibuat seperti itu.
Catatan: Air terjun Tesbatan itu bukan ada di Kota Kupang tapi di Kabupaten Kupang. Beberapa orang luar sering keliru menganggap Kota Kupang itu dekat dengan Kabupaten Kupang, padahal bedanya bisa puluhan bahkan ratusan kilometer. Jadi dari Kota Kupang itu jalan menyusuri jalan Timor Raya arah SoE, nanti dari pertigaan pasar Oesao belok ke kanan terus ikuti jalan besar. Jangan ragu untuk bertanya ke penduduk sekitar, umumnya mereka akan dengan senang hati menunjukkan arah ke air terjun. Nanti kalau melihat pertigaan dengan tugu Selamat Datang di desa Tesbatan di tengah-tengah belok ke kanan lagi sampai ketemu pertigaan terus ke bawah. Sekali lagi, jadilah pejalan yang bertanggung jawab. Jika hari ini kamu melihat keindahan tempat yang kamu kunjungi, buatlah tempat itu tetap terjaga indah untuk pengunjung selanjutnya. Jangan ragu untuk mengingatkan pengunjung yang masih suka menyampah dan berbuat vandalism.
Baca keseluruhan artikel...
|
Bersandar di pulau Keroko salah satu pulau di Kepulauan Meko, Adonara |
Gosong lagi gosong lagi... dan lagi-lagi perjalanan kali ini bikin gosong kulit, bahkan rasa terbakar di tengkuk, tangan dan kaki masih terasa lebih dari dua hari. Tapi itu sepadan dengan perjalanan seharian yang aku lakukan di pulau Adonara. Apakah karena lokasinya bagus? Ya emang lokasinya bagus tapi bukan karena itu. Saat kita memilih berjalan, sebenarnya perjalanan itu sendiri tujuannya. Lokasi yang dituju itu hanya persinggahannya toh akhirnya juga balik bukan menetap di lokasi itu kan.
Perjalanan kali ini yang punya hajat temen pak Dib yang sudah dikenal dengan sebutan 'pakde'. Pakde ini yang lagi ngotot-ngototnya pengen ke Adonara, mau kemana aja asal udah menginjakkan kaki ke Adonara. Lah waktu aku tanya di Adonara mau kemana juga dia gak tau pokoknya sampai Adonara. Aku curiga Pakde nih lagi menggenapkan nadzar-nya buat menginjakkan semua pulau di Nusa Tenggara Timur sebelum balik ke Surabaya. Menurutku sih posisi bulan yang baru separo bukan waktu yang tepat karena posisi puncak surut pasti terjadi tengah hari. Semangat Pakde memang udah diubun-ubun jadi kita ngalah aja, yah tapi tetep happy lah.. siapa sih yang gak happy jalan-jalan biar pun udah kebayang panasnya saat bulan-bulan begini.
Buat yang belum tau, di wilayah NTT saat ini sedang dilanda badai el Nino yang kata para ahli di BMKG mengakibatkan penurunan curah hujan dan itu bisa terjadi sampai akhir Februari. Bayangin aja gilanya kalau NTT yang udah pasti lebih panas saat musim penghujan bakalan tambah lebih panas kalau hujannya juga ogah turun. Padahal matahari di NTT itu lebih deket dari pada di Jawa, iya beneran.. bulan Desember-Januari kan posisi matahari lagi di puncak miring ke Selatan. Ah lagian ngapain aku ngurusin panas yang emang dari sono begitu.. pokoknya kita jalan...
Gagal Nyeberang ke Waiwerang
|
View laut di salah satu tiang dermaga di Waiwerang |
Hari Sabtu pagi, setelah sarapan nasi goreng di hotel kita berempat: aku, Pakde, Idil dan Yudha meluncur ke Pelabuhan Larantuka sekitar jam tujuh lewat pakai motor pinjeman: tanpa plat dan gak ada esteneka. Udah kuatir aja sih karena ke dermaga musti melewati kantor polisi. Belum lagi cuma dapet pinjeman dua helm, artinya cuma yang di depan yang pakai. Yang depan pakai helm, yang belakang pakai doa "moga-moga selamat". Sempat mampir cari topi karena serba dadakan jadi gak ada yang bawa topi. Aku yang bahkan kemana-mana selalu pake topi jelajah pun gak tau kemana tuh topi tiba-tiba hilang saat dibutuhkan seperti ini. Emang gitu, saat dicuekin nongol melulu, giliran dibutuhin sok jual mahal pakai menghilang segala.
Pas nyampe di Pelabuhan untungnya kapal yang jadwalnya dari Larantuka - Waiwerang - Lewoleba masih ada yang memang jadwalnya berangkat jam setengah delapan pagi. Sayangnya bagian dek kapal dua lantai sudah penuh dengan motor jadi hanya orang yang bisa masuk. Daripada menunggu kapal berikutnya yang baru tiba nanti siang, akhirnya kami memutuskan naik perahu lebih kecil menuju ke Tobilota. Kalau dari Pelabuhan Larantuka menuju Waiwerang sekitar satu setengah jam, dari Pelabuhan ke Tobilota hanya sekitar sepuluh menit. Ya jauh lebih dekat karena cuma menyeberang saja, berbeda dengan Waiwerang yang letaknya di Adonara Timur jadi harus memutari setengah pulau Adonara.
|
Duduk di depan perahu yang menuju dermaga Tobilota |
Cuma ya itu, dari Tobilota menuju ke Meko itu sama dengan perjalanan membelah Adonara. Ada yang menyarankan kita dari Tobilota ke Waiwerang lewat Terong yang bisa ditempuh satu jam tapi kondisi jalannya katanya jelek (akhirnya kami buktikan saat kembali). Karena arah tujuan kami Meko, seorang bapak-bapak yang ngajak ngobrol kami di kapal menyarankan kami menuju Witihama karena kebetulan bapak itu juga tinggal di Witihama.
Perjalanan dari Tobilota ke Witihama kita tempuh sekitar hampir tiga jam, karena walaupun beberaa ruas jalan sudah diperbaiki tapi jalan-jalan di perkampungannya masih banyak yang sudah rusak. Ada jalur menurun yang paling sulit dari kampung Kelubagolit ke Witihama karena itu jalan hanya bisa dilewati satu arus karena kondisinya yang sangat rusak. Kami harus menunggu kendaraan dari bawah naik semua baru kendaraan searah arus kami bisa lewat. Aku sampai minta Idil untuk turun karena kondisi jalan yang sulit seperti itu.
Dalam perjalanan kami terus bertanya ke penduduk jika sudah mulai kebingungan. Kami bertemu seorang pria muda yang asli dari Adonara yang katanya kerja Larantuka di penagihan kredit. Untungnya dia dengan suka rela mengantar kami bahkan sampai masuk ke dalam. Di pertigaan, dia tunjukkan arah jalan ke Meko tapi dia menyarankan tidak lewat kesana karena walau bisa ditempuh pakai motor tapi kondisi jalannya parah banget. Dia lebih menyarankan aku ke arah Waiwuring yang tidak seberapa jauh lagi.
Pasir Putih di Kepulauan Meko
|
Narsis ria di pulau pasir putih yang kepulauan Meko |
Kami diantarkan ke seorang nelayan di kampung Waiwuring yang menyebut namanya Mat, katanya berasal Sulawesi di daerah Wakatobi. Karena perjalanan ke sana sekitar memakan satu jam jadi kita sepakat harga 250ribu.
Sekitar jam sebelas lewat kami berangkat dengan perahu kecil milik pak Mat. Supaya seimbang, dua harus di depan dan dua lagi di belakang. Untuk perjalanan berangkat, aku dan Pakde kebagian di depan, kata pak Mat biar gampang buat ngambil foto. Pakde pakai jaket sementara aku pake rompi dan baju lengan pendek. Gara-gara pakaian ini dan duduk di depan perahu saat terik yang akhirnya sukses membakar kulit lenganku sampai gelap naik 5 level dari gelap menjadi guelaaaap bangeeeeetttt.
Perjalanan pakai perahu dari Waiwerang sampai ke kepulauan Meko memakan waktu 50 menitan. Tanning 50 menit memang joss, mau coba? Sepanjang perjalanan itu aku menemukan beberapa pasir putih yang timbul di tengah laut dan dipenuhi burung belibis dan bangau.
|
View dari satu-satunya bukit di pulau Keroko |
Di kepulauan Meko ini terdapat 4 pulau, dua pulau yang pertama tampak yaitu pulau Konawe dan Ipet. Kedua pulau ini tampak seperti satu pulau yang terpisah dengan dibatasi bakau. Sedangkan dua pulau kecil di bagian luar yaitu pulau Keroko dan Watupeni. Nah diantara pulau ini ada sebuah daratan pasir putih yang hanya muncul saat laur surut yang mereka sebut "Nuha Pasir Putih". Pulau ini di foto teman termasuk pulau yang sering dipenuhi burung-burung seperti belibis dan bangau berkumpul. Dan benar saja, justru siang ini pas puncak surut sehingga pulau pasir itu jadi tampak luas, sayangnya minus burung-burung itu. Mungkin perahu yang datang terlebih dulu sebelum rombonganku yang membuat burung-burung di pulau itu kabur. Disekeliling pulau ini dipenuhi warna toska dan kehijauan menunjukkan daerah ini banyak yang merupakan perairan dangkal. Tapi memang kami gak bisa berlama-lama, gak tahan merasakan panasnya di pulau yang hanya berupa pasir putih tanpa ada satu tumbuhan pun. Tak lama kemudian setelah Pakde bernarsis kekinian kami naik kembali ke perahu.
|
Bersandar di pulau Keroko yang jernih |
Saya minta ke pak Mat supaya ke pulau depan yang juga berpasir putih yang ternyata bernama pulau Keroko. Karena perairan dangkal sekali kami tidak bisa langsung lurus tapi berputar keluar di perairan yang lebih dalam. Setelah agak dekat barulah mesin perahu dimatikan dan dari depan pak Mat menggunakan galah bambu untuk mendorong perahu ke tepi. Mendekati pulau, kawasan ini tampak berserakan di bawah air terumbu-terumbu karang yang masih cantik. Memang di daerah yang sangat dangkal banyak kumpulan warna hitam yang berisi puluhan bulu babi yang kalau terinjak serasa ditusuk sengat lebah.
Di sini pun kami tidak lama karena sekarang harus mengejar kapal dari Lembata-Larantuka yang singgah Waiwerang. Sesuai jadwalku sebelumnya, biasanya kapal terakhir menuju Larantuka itu jam setengah tiga. Perjalanan pulang sempat kena gerimis, untungnya tak berubah menjadi deras, aku gak bisa membayangkan asyiknya perjuangan perahu melewati selat yang dikenal arusnya ini jika ada hujan lebat di tengah lautan.
Mampir ke Pantai Inaburak Sebelum Pulang
|
Pantai Inaburak saat mulai pasang kembali |
Kamu sudah balik ke Waiwerang jam hampir mendekati jam jarum tiga. Awalnya mau mampir ke rumah pak Mat supaya bisa duduk-duduk, solat dan makan siang sebentar namun karena itu berarti kita tidak akan mendapatkan kesempatan mengejar kapal di Waiwerang. Akhirnya kita berempat sepakat langsung berangkat ke Waiwerang. Kata pak Mat ke Waiwerang tidak sampai satu jam karena kondisi jalan sekarang sudah bagus.
Sebenarnya ada jalan potong yang pernah aku gunakan dulu waktu ke Waiwuring tapi sayangnya medannya lewat perkebunan kelapa dan lewat sungai. Terus terang aku sendiri tidak bisa mengingatnya. Akhirnya kami memilih jalur balik Witihama sampai Kelubagolit baru belok ke kiri menyusuri jalan aspal yang kadang-kadang bagus, kadang-kadang jelek, dan sebagiannya lagi jelek sekali.
|
Di atas puncak salah satu karang pantai Inaburak |
Walaupun sudah dikejar, ternyata kami baru sampai sekitar jam dua lewat 50 menit. Dan itu artinya kami kehilangan kesempatan naik kapal. Duh harus jalan darat lagi ke Tobilota untuk sampai ke Larantuka. Gak ada pilihan, kami tetap harus ke Larantuka karena besok Minggu pagi-pagi kami harus naik pesawat untuk kembali ke Kupang. Kata penduduk setempat, kalau di Tobilota ada banyak kapal sampai jam tujuh malam.
Karena sudah terlanjur akhirnya aku menyarankan supaya bisa mengunjungi satu lokasi lagi sebelum ke Tobilota dan itu adalah pantai Inaburak yang pernah aku tulis disini: Pantai Ina Bura di pulau Adonara.. Pantai ini kalau dari Waiwerang tidak terlalu jauh mungkin sekitar 20-30 menit saja. Jadi kita bergerak balik ke arah Witihama, nanti ada pertigaan jalan aspal pilih ke kanan ke arah kecamatan Ile Boleng. Sekali lagi tanya penduduk saja karena tidak papan petunjuk ke sini. Jika nanti melihat papan petunjuk jalan lokasi Pantai Watutena nah berarti satu percabangan di depan itu setelahnya itulah pantai Inaburak. Kedua pantai ini sebenarnya bersebelahan cuma dipisahkan batu karang.
|
View Inaburak yang aku foto sebelumnya |
Perjalanan balik ke Tobilota melewati Lamahala dan Terong memang lebih dekat sekitar satu jam lebih sedikit. Cuma jalannya emang hancur banget, aku yang sekarang jadi pembonceng harus merasakan bijiku rasanya mau lepas saat motor yang seenaknya melibas jalan yang aspalnya udah berantakan terkelupas tanpa rem. Untung bijiku cuma dua, kalau bijiku banyak kayak anggur jangan-jangan juga rontok semua. Biji apa sih kaka? Biji mata ..... :D
Untungnya kapal terakhir yang ternyata kapal yang sama mengantarku ke sini masih ada. Emang jodoh, dia katanya juga nunggu-nunggu motor untuk naik. Akhirnya memang kapal itu cuma angkut dua motor punya kita makanya minta 70rebu untuk dua motor dan penumpangnya. Udahlah, yang penting kita bisa jalan balik biar gak ketinggalan pesawat.
Kalau dihitung jumlah kecamatan yang kami singgahi ternyata sudah enam: Adonara Barat, Adonara, Adonara TImur, Klubagolit, Witihama dan Ile Boleng. Hahaha sungguh perjalanan asyik hari itu bisa mengelilingi Adonara selama seharian.
Baca keseluruhan artikel...