|
Empat tingkat dari air terjun Oehala, Timor Tengah Selatan |
Tahu rasanya saat bulan puasa seperti ini harus bertugas di daerah yang suhunya lagi dingin-dinginnya? Jawabannya: gak enak sama sekali. Akhir bulan Juli ini suhu di SoE lagi dingin-dinginnya, walaupun siang hari tapi angin yang bertiup membuat gemeretak gigi. Sengatan matahari lumayan membantu mengurangi rasa dingin. Berada di ketinggian +/- 780 meter di atas permukaan laut dan pengaruh musim dingin di Australia, tak heran suhu menjadi dingin menggigit seperti ini.
Jangan tanya di kamar, rasa dinginnya lebih tidak karuan, satu-satunya penyelamat adalah masuk ke dalam selimut. Sahur menjadi sarapan yang menyiksa, pilihan antara makan roti yang dibeli malam atau makan nasi padang yang penuh santan kental.
Tiap hari nyaris selalu memakai jaket penuh dan sarung tangan, paling menyenangkan saat ada matahari.
Bagaimana menggambarkan dinginnya bahkan bisa dilihat di Kupang. Hari Senin pagi aku naik motor dari Kupang menuju SoE harus menahan rasa dingin terasa menggigit di tangan di sepanjang jalan. Bahkan aku harus beberapa kali berhenti mengibas-ibaskan saking ngilunya jari-jari tangan menahan dingin akibat tidak memakai sarung tangan.
|
Suasana pagi dari atas jembatan Noelmina di perbatasan Kupang-Timor Tengah Selatan |
Bahkan sampai di jembatan Noelmina daerah Takari kabut tebal tampak menyelimuti di seberang sungai. Padahal Takari terkenal panasnya, mengalahkan panasnya Kupang. Jajaran pepohonan memenuhi kawasan pinggir sungai yang pasirnya sering ditambang ini bagai bayang-bayang tertutup kabut putih. Pohon lontar yang tumbuh jangkung tampak mendominasi pemandangan pagi di seberang sungai Noelmina yang arus airnya sedang berkurang bulan-bulan seperti ini. Padahal di atas motor aku memakai pakaian tebal dobel dan jaket, bahkan selain helm aku melapisi kepala botakku dengan ponco tetapi tetap saja dingin menerobos dari celah jaket.
|
Danau atau rawa supul dan deretan tanaman teratai |
Untung beberapa hari kemudian aku sempat melakukan uji sampling penugasan ke kota kecamatan, dan pilihanku jatuh ke Niki-Niki. Sebuah kecamatan yang berada dipertengahan SoE-Kefamenanu ini cuacanya tergolong panas lumayan menyenangkan untuk mengurangi rasa dingin selama berhari-hari mendekam di kota SoE.
Siang setelah mewawancarai petugas kesehatan di puskesmas Niki-Niki aku kembali ke SoE. Beberapa kilometer menuju setelah habis Niki-Niki aku minta sopir yang mengantar aku dan Bram berhenti di sebuah rawa yang berada di pinggir jalan. Rawa ini biasa disebut penduduk dengan nama danau Supul, katanya kalau musim hujan airnya bisa meluap sampai ke jalan. Entah ada hubungannya atau tidak, karena orang kupang mengatakan 'supul' itu artinya juga sudah penuh (su=sudah; pul=ful=penuh). Sebenarnya memang lebih tepat disebut rawa karena air disini tidak ada sungai atau sumber lain yang bermuara jadi seperti air tergenang, tapi kata masyarakat disini airnya tidak pernah sampai habis walaupun musim paling kering sekalipun.
Di rawa Supul juga digunakan masyarakat untuk berwisata, tak heran kalau hari minggu tempat ini banyak didatangi masyarakat. Juga pada hari-hari lain mudah ditemui pemancing di sekeliling rawa. Menurut seorang penduduk yang tinggal disini, sebenarnya di rawa ini ada penunggunya. Istilah untuk menyebut buaya.
Cuaca cukup sejuk, tak panas seperti bulan-bulan biasa tapi masih jauh lebih baik daripada dinginnya SoE. Sebuah dangau yang dibangun di pinggir jalan menjadi tempat yang asyik untuk berteduh atau menjadi tempat untuk membakar ikan.
Tapi sekali lagi aku harus kembali memberi catatan untuk rawa ini. Lagi-lagi waktu aku berkeliling rawa ini aku menemukan banyak sampah plastik berserakan begitu saja. Kembali aku harus mengeluhkan budaya bersih yang masih kurang di NTT ini, entah dari mana semua kesadaran ini harus mulai dibangun.
|
Air terjun bertingkat-tingkat |
Hari berikutnya, aku dan Bram harus ke puskesmas Kapan. Perhitunganku suhu di sana kemungkinan akan lebih menggigit karena terletak lebih tinggi dari kota SoE. Letaknya yang berada di bawah kaki gunung Mutis dengan ketinggian sekitar 960 meter di atas permukaan laut. Sekedar info, kecamatan Kapan merupakan sentra jeruk. Perkebunan jeruk khas SoE yang ada disini memasok hampir sebagian besar keberadaan jeruk SoE. Karuan saja, dari berangkat aku sudah persiapkan sarung tangan rangkap dan ponco di kepala berjaga-jaga kalau suhu siang hari tidak bersahabat dengan kami. Untung sesampainya di sana matahari justru terang benderang sehingga rasa dingin banyak berkurang walau tidak sampai harus melepaskan jaket. Sekembalinya dari sana aku mengajak Bram mampir ke Oehala. seperti yang aku tulis pada tulisan-tulisan sebelumnya (baca: Air Terjun Oehala dan Re-visit: Oenesu dan Oehala), Oehala ini terkenal dengan air terjunnya.
|
Tingkat kelima dari air terjun Oehala |
Di Oehala sebenarnya lebih panas daripada SoE karena ketinggiannya tak lebih dari 675 meter dpl bahkan waktu kita turun sampai di bawah turun lebih dari 40 meter sampai 635 meter dpl. Kebetulan pula Bram belum pernah ke air terjun ini. Karena sedang puasa, aku berdua dengan Bram sengaja menapaki tangga pelan saja menghemat tenaga karena perhitunganku di tempat ini, waktu kembali justru yang banyak memakan energi.
Besoknya setelah Bram bercerita dengan teman-teman lain mereka menjadi tertarik, apalagi waktu kita beritahu bahwa suhunya juga tidak sedingin di SoE saat ini. Sayang kendaraan yang ada cuma satu motor yang aku bawa sendiri dari Kupang, padahal kami ada empat orang. Tak kurang akal, kami mencoba mencari tukang ojek yang biasa mangkal di pertigaan. Tanpa tawar menawar kami iyakan saja permintaan 40 ribu dari tukang ojeknya.
Berempat aku, Bram, pak Joko dan pak Sunaryo dengan berboncengan kami kembali memacu motor ke arah Kapan sekitar jam setengah empat. Tak terlalu kencang karena memang jarak Oehala tidak terlalu jauh, hanya jalan masuk ke dalam sekitar tiga kilometer yang kurang bagus sehingga kecepatan jauh berkurang. Hampir setengah jam kami baru sampai ke tempat parkir Oehala.
|
Wajib narsis untuk bukti otentik: Sunaryo, Joko, Bram |
Lokasi di tempat ini sudah banyak perbaikan. Tangga menurun menuju ke arah air terjun sekarang dipasangi pegangan dari kayu, cukup membantu kalau kaki capek menapak. Karena tangganya cukup terjal, tangga seperti ini juga mengurangi risiko orang terjatuh ke samping. Dibagian air terjun juga tampaknya sudah banyak perbaikan. Beberapa pohon tumbang yang aku temui kemarin juga telah dibersihkan. Lopo-lopo yang ada juga sudah diperbaiki walaupun di sampingnya menyisakan sebuah bangunan kamar mandi yang sudah rusak tak terpakai.
Air terjun yang bening dan dingin cukup membuat teman-teman tertarik. Warna tosca yang menempel di bebatuan memang membuat warna air tampak lebih berwarna. Beberapa lokasi yang dibersihkan cukup membantu view untuk melihat air terjun menjadi lega.
Kali ini kami eksplore sedikit ke bawah dua tingkat lebih rendah dari sebelumya. Sedikit sulit waktu harus lewat jalan melingkar dengan berpegangan akar dan batang pohon untuk turun tapi view disitu cukup enak buat duduk-duduk.
Mungkin karena puasa beberapa kali aku harus menahan diri saat tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Aku harus diam dan menenangkan diri beberapa saat sampai perasaan itu hilang. Kemungkinan ini efek dari puasa tapi justru aku jalan lebih jauh.
Mendekati sore kami memutuskan kembali sekalian langsung mencari makan untuk berbuka puasa. Perjalanan kembali ke atas menjadi cukup menguras tenaga, tak pelak keringat mengucur di dahi dan badan membuat cuaca dingin tidak terasakan.
Baca keseluruhan artikel...