Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 18 Agustus 2011

Batu-Batu di Pantai Mbray


View pantai Mbray ke arah Timur berlatar perkampungan Mbray dan gunung Meja
 
Seperti yang aku tuliskan sebelumnya di Berbagi Langit dan Laut: Foto di Antara Ende - Mbay, akhirnya aku punya kesempatan memotret pantai Mbray.
Pantai Mbray ini terletak dipertengahan perlintasan antara Ende - Nangapanda. Kalau kita dari Ende ke pantai Mbray mungkin bisa ditempuh sekitar 15 menit itupun kita tidak perlu melarikan kendaraan terburu-buru.

Jalur sepanjang arah perjalanan ke tempat ini  tergolong tidak lebar dengan beberapa tikungan yang banyak diantaranya sangat tajam. Aku pernah merasakan kendaraan yang kita pakai terserempet kendaraan gara-gara keteledoran sopir yang memaksa masuk melewati kendaraan kita tanpa pertimbangan yang matang.

Ada tanda yang khas yang menunjukkan lokasi perkampungan Mbray, pertama adanya sebuah masjid yang berarsitektur Timur Tengah yang saat ini masih belum selesai dikerjakan. Yang kedua di ujung perkampungan yang berada di ujung perkampungan sisi pantai terdapat dua buah pohon kelapa.

Gambar-gambar ini aku ambil pada waktu perjalanan dari Mbay ke Ende. Waktu itu sekitar  pukul lima lewat sekitar sepuluh menit. Matahari sendiri masih bersinar cukup kuat sehingga untuk menghasilkan gambar ini harus menggunakan sebuah lensa filter penghalang yang cukup gelap.

Ombak juga keras sehingga harus cukup hati-hati, karena beberapa kali tamparan ombak menghantam karang menghasilkan cipratan air yang cukup keras dan tinggi. Tapi itu sepadan dengan view yang kita nikmati. Tonjolan batu-batu karang datar yang ditumbuhi semacam lumut berwana kuning dan sebagian lagi hijau menghasilkan warna yang menarik. Hempasan air yang menghantam batu-batu itu akan mengalir turun kembali membentuk aliran air seperti sebuah air terjun kecil.

Letak batu-batu yang ceper sayang letaknya agak sedikit jauh dari perkampungan Mbray karena di perkampungan Mbray sendiri batu-batu karangnya kurang menarik berwarna hitam. Tapi di bagian batu-batu karang yang ceper ini ada beberapa jenis batu yang berwarna berbeda dan sebagian ditumbuhi lumut. Karakter pasirnya halus dan berwarna hitam pekat.



Batu ceper berlumut hijau


Batu kuning



Pecahan batu-batu
 
Batu berlumut kuning (tumbuhan laut)
Sayangnya keinginanku untuk mengambil gambar lokasi ini waktu subuh belum tercapai, tampaknya harus direncakan lagi untuk bisa mengambil foto di lokasi ini pagi hari.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 15 Agustus 2011

Share with Nagekeo Photographer Club (NPC)

Bulan purnama di atas laut Marapokot

Penugasan keluar kota pada bulan puasa? hadeeh, bawaannya malas banget. Belum jalan saja sudah terbayang rasanya lapar dan haus di kota-kota kecil, repotnya cari makanan buat buka puasa apalagi keluar hotel untuk makan sahur. Tapi tugas tetaplah tugas, saat nama kita sudah tertera di surat tugas ya maka pantang kaki kita surut ke belakang.
Untungnya penugasan di bulan puasa dapat tugasnya di Nagekeo, kota yang sudah sering aku singgahi dan disana ada temen mas Eddy Due Woi yang sudah kenal lama dan sama-sama suka foto.


Rembulan perahu (difoto oleh Eddy Due Woi)

Kurang enaknya, untuk ke Nagekeo aku harus terbang dari Kupang ke Ende dulu karena sampai saat ini Nagekeo belum memiliki bandara sendiri. Tapi rencana pembuatan bandara sendiri sih sudah ada dan di dokumen perencanaan sendiri disebut sebagai rencana pembangunan bandara "Surabaya II". Ada apa ya kok pakai nama Surabaya II, ternyata nama ini berasal dari sandi yang digunakan Jepang sebagai bandara darurat bila suatu ketika bandara Jepang di Surabaya terdesak oleh pasukan sekutu. Dan itu memang terjadi, pasca serangan sekutu ke Surabaya dan mendesak Jepang, banyak pesawat dan tank Jepang yang dilarikan ke daerah Nagekeo ini. Tapi cerita lebih lanjutnya seperti lain waktu saja kalau aku sudah memiliki data yang lengkap dan foto-foto pendukungnya.
Jadilah hari-hari di Nagekeo kembali seperti tahun sebelumnya, tiap pagi gedor-gedor pintu rumah makan Tulungagung bangunin yang punya supaya bisa makan. Lumayan, rasa makanannya yang enak apalagi sambalnya membuat hari-hari sahur bisa dinikmati. Coba kalau pagi-pagi harus makan nasi dingin dan lauk tidak enak, pasti sahurnya rasanya asem terus.


Refleksi langit senja di pantai Marapokot

Hari Minggu sore, aku sepakat sama mas Eddy dan teman-teman dari Nagekeo Photographer Club (NPC) sepakat hunting foto ke daerah Marapokot, daerah pantai yang hanya berjarak sekitar 13 km dari kota Mbay. Sebenarnya sempat direncanakan pergi ke Nangateke tapi karena masalah mobil yang tiba-tiba mogok jadilah rencana ke Nangateke dibatalkan karena medan kesana memang kurang nyaman.

Senang sekali aku bisa mengenal teman-teman Nagekeo yang semangat membuat kelompok pecinta foto, dan mereka pun orang-orang yang suka trekking, sebuah paduan yang pas untuk membagi keindahan alam Flores yang luar biasa. Sepertinya suatu ketika aku harus ikut trekking bersama mereka, rugi kalau di Flores tidak menjelahi keindahan alamnya.
Sengaja aku berangkat jam 4 sore supaya bisa sekalian ngabuburit di sana. Pantai Marapokot yang menghadap ke timut laut sebenarnya kurang tepat untuk memotret senja hari karena matahari tenggelam di sisi sebaliknya.

Temen-temen yang ikut hunting (Didimoesh dan Arief 'Papat')

Untuk beberapa saat masing-masing asyik dengan obyek bidikannya. Ada yang suka jongkok untuk mengambil pemndangan dengan komposisi di pasir, ada yang melototi anak-anak yang bermain bola, ada juga yang menunggu dengan posisi siap tembak ke arah anak-anak yang bermain air laut. Sedangkan aku justru berjalan terus ke arah tenggara karena berpikir ada sebuah pokok pohon di ujung muara, ternyata otakku mengalami tumpukan memori karena sebenarnya tidak ada pokok di pinggir laut di sini.

Saat maghrib menjelang aku mulai mengemasi peralatan foto dan mampir ke warung yang kebetulan buka. Segelas teh panas yang tidak terlalu manis dan sepiring gado-gado menjadi menu pembuka yang pas, dan tidak lama kemudian sudah berpindah semuanya ke perutku.
Tiba-tiba seorang teman menunjuk ke arah timur, dan saat aku mengikuti arah pandang mereka: waduh, aku lupa sama sekali kalau bulan saat ini masih masuk dalam fase purnama.
Buru-buru kami berlarian kembali ke pantai. Ah sebuah pemandangan malam hari yang sangat cerah dan bulan berwarna kuning di atas ufuk membentuk garis-garis kuning di air laut. Pemandangan yang romantis kata salah seorang teman, ah ha pikiran bujang rupanya.

Dengan sigap, aku dan teman-teman dari NPC mengeluarkan peralatan kamera dan membidikkan ke arah bulan. Bulan dan perahu menjadi bahan sharing kami, aksesories-aksesories kecil yang sering absen waktu hunting tiba-tiba menjadi barang penting.
Bahkan sebuah diffuser biru dan kuning yang biasanya tak tahu harus kami gunakan untuk apa menjadi alat yang menarik untuk menghasilkan tonal yang tidak biasa. Semuanya menjadi begitu saling melengkapi bahkan sebuah cahaya petromaks seorang nelayan yang sedang bersiap-siap hendak melaut menjadi tambahan cahaya yang berguna.
Awal persahabatan yang menarik bersama-sama teman NPC, semoga bisa hunting lagi yang lebih seru di tanah Flores ini.

Thanks buat teman-teman yang udah hunting bareng, semoga bisa terulang di lain kesempatan: 
Eddy Due Woi: NPC crew

Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 06 Agustus 2011

Berbagi Langit dan Laut: Foto di Antara Ende - Mbay

 
Langit biru di atas laut Flores
Tak ada cerita khusus dan tak ada perjalanan khusus, ini hanyalah gambar-gambar yang tiba-tiba hadir di depan mataku di dalam perjalanan Ende-Mbay yang membelah tanah Flores dari Selatan ke Utara. Saat gambar itu muncul mau tak mau memaksa saya meminta sopir menghentikan lajunya bila sedang tak berkendara dengan kencang sebab ruas jalan berliuk-liuk ini bisa tak memberi ampun siapapun yang berkendara dengan sembrono.

Untungnya perjalanan Ende-Nagekeo lebih sering kulakukan bukan dengan kendaraan umum sehingga aku lebih leluasa mengatur jadwal dan tak perlu berpanik-panik dengan jam sopir yang entah santai atau tidak kadang memacu kendaraan dalam kecepatan yang berkejar-kejaran dengan detak jantung yang dipicu adrenalin.

Tak usah risau kecuali rumah keong telingamu bermasalah, sepertinya sopir-sopir travel dan angkutan antar kota ini sangat mahir kecuali kemalasannya menginjak rem. Bahkan walau mereka habis meminum 2 sampai 3 sloki Moke, minuman sangat keras dari sulingan air nira pohon lontar. Aku cuma tidak menyukai melihat muka mereka menjadi memerah kadang mata juga menjadi begitu, membuatku berfikir kalau mereka seperti tampak habis dari bangun tidur.

Tengokkan kepalamu keluar jendela karena sepanjang jalan tak ada yang bisa menduga apa yang kamu lihat, tapi biarkan telingamu mendengar musik-musik country atau reggae mengalun dari dalam kendaraan. Mungkin sedikit awal yang aneh jika mereka sering juga menyetel lagu-lagu khas Flores atau lagu-lagu pop Ambon, tapi ada beberapa lagu yang ternyata enak juga didengarkan untuk menemani perjalanan. Tahukah kamu, lagu apa yang kuingat judulnya sampai sekarang? Setidaknya ada dua lagu: Jamila Wa Jawa dan Iki Mea hehehe.................

Suasana laut senja di salah satu pantai Nangapenda
Ya, ada satu tempat yang menarik diantara perjalanan antara Ende-Mbay. Tempat itu dekat dari Ende dan memang masih masuk wilayah Ende. Aku taksir dari Ende dengan kendaraan motor atau mobil sekitar 15 menit. Di pinggir laut Mbray yang ombaknya lumayan besar terdapat batu-batu yang berbentuk kepingan-kepingan besar yang datar dengan view sebuah perkampungan nelayan dengan hiasan sebuah masjid berkubah ala Timur Tengah yang belum rampung. Seperti apa sesungguhnya view Mbray? Semoga perjalanan singgah berikutnya aku bisa sampai ke tempat ini.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 01 Agustus 2011

Batu-Batu Berlumut: Melihat Gunung Meja dari Mbuu

Suasana senja hari di Pantai Mbuu berlatar gunung Meja
Orang setempat mengenalnya Pantai Nangasesa karena memang ini Kelurahan Nangasesa, tapi aku lebih suka menyebut daerah ini Pantai Mbuu karena itulah yang tertulis di gerbang masuknya. Oh ya, ini pantai berada di Kabupaten Ende. Pantai ini pasti dengan mudah terlihat saat kita mau melongokkan kepala keluar saat pesawat mau landing atau sesaat setelah take-off. Dari jendela pesawat yang mau landing, posisi Pantai Mbuu ini ada di sebelah kanan yang ditandai adanya muara sungai dan beberapa dua rawa yang agak besar, jadi memang letaknya masih dekat dari Ende.

Ke Pantai Mbuu sebenarnya sudah sering kulakukan, jika terlalu sibuk dengan pekerjaan maka sekedar singgah kesini tidak terlalu makan waktu dibanding harus jalan ke Kelimutu misalnya. Bukan tempat andalan bagi orang Ende untuk dikunjungi sebenarnya tapi aku suka saja ke tempat ini.

Dari tempat aku menginap di hotel Satarmese, perjalanan ke sana menggunakan motor sekitar 10 menit. Mengarah ke jalan menuju Maumere nanti di sebuah pertigaan yang ada patung (aku lupa patung apa itu) masuk ke dalam sekitar 2 km mengikuti jalan yang bersejajar dengan sungai.

Jika biasanya aku dari pintu gerbang suka berjalan-jalan ke arah barat, maka kali ini aku mengarahkan kaki ke arah timur. Disana tampak sebuah bukit yang bagian atasnya sedikit terpangkas, bukit yang nampak jika pesawat take-off, di samping bukit itu dulu ada namanya jalan setapak yang disebut tangga alam yang membelah bukit. Namun sekarang tangga alam itu tidak ada.

Sebelum sampai ke bukit ada sebuah kolam kecil berair tawar, menurut cerita di kolam kecil ini suka ada buayanya walaupun seharian disini belum pernah ada buaya muncul disitu. Sedikit bergeser ke timur lagi maka aku menemukan daerah bebatuan. Dari kawasana Pantai Mbuu ini, dibagian sini yang terdapat batu-batuan besar. Dan uniknya di bebatuan ini yang paling barat terdapat kawasan batuan yang seluruhnya dipenuhi lumut. Batuan berlumut ini hanya ada dibagian itu dan tidak aku temuan dibagian lain. Bahkan beberapa tempat lain di sepanjang jalur pantai selatan yang merupakan batas selatan Ende ini, baru di tempat itu kutemukan batu-batu gunung yang dipenuhi lumut.

Dari tempat ini kita bisa melihat sunset. Walaupun kawasan ini berpasir hitam tapi sunset tidak kurang asyiknya dinikmati di tempat ini. Sebuah batu besar semacam bukit kecil yang dikenal orang sebagai pecahan atau bagian puncak gunung Meja (bukit dibagian ujung ende yang bagian atasnya tampak datar di kejauhan) menjadi tambahan pemandangan. Batuan itu melengkapi view senja yang belatar gunung Meja. Tapi jangan iseng ya, aku dengar daerah ini juga dikenal angker sehingga kalau sudah sore tampak sepi.

Disini adalah tempat kecil dari banyak tempat di Ende yang sebenarnya memiliki view indah. Daerah Kelimutu adalah salah satunya, tapi jika punya semangat berpetualang pasti akan menemukan beberapa daerah yang punya potensi wisata dan landskap yang indah.

Cerita lain tentang pantai Mbuu ini aku sudah tuliskan sebelumnya di blog ini berjudul:
Pantai Mbuu: Scenery Ende Ada Disini
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 26 Juli 2011

Kelimutu: Tak Sekedar Danau

Teman berlatar Tiwu Koo Fai Nua Muri dan Tiwu Ata Polo
Kami bangun terlambat pagi ini, karena berpikir sudah tidak bisa mengejar matahari pagi dipuncak Kelimutu maka sekalian kami berangkat setelah sholat subuh. Akhirnya kami jalan dari hotel setengah lima pagi menuju ke arah Timur. Kelimutu yang berada di Kecamatan Wolowaru yang tepatnya di desa Koanara memang berada di jalur trans Ende-Maumere.

Perjalanan pagi begitu lengang sehingga nyaris kami merasakan seperti berkendara sendiri, melintasi bukit-bukit terjal dengan jalan-jalan berliuk-liuk laksana ular berbadan panjang. Untunglah jalur menuju Kelimutu sekarang dalam kondisi baik meskipun di beberapa ruas terdapat pekerjaan perbaikan jalan dan pemotongan sisi samping bukit untuk memperlebar bahu jalan. Aku melajukan kendaraan sedang saja, kami tak ingin celaka karena ini pengalaman pertama naik kendaraan sendiri dengan jalur seperti ini.

Dengan kecepatan kami seperti ini kami kira kami akan sampai dalam waktu sedikitnya tiga jam lebih. Ternyata dugaan kami keliru, dalam waktu dua jam kami sudah memasuki daerah Detusoko yang terkenal dengan daerah penghasil sayur-sayuran yang mensuplai kota Ende dan sekitarnya. Berarti tidak lama lagi kami akan masuk ke Moni.

Suasana di jalur tracking hutan (arboretum)
 Persis sebelum menuju ke tikungan Moni yang banyak villa dan restoran di situ, terdapat pertigaan dengan sebuah gerbang yang tertulis kalimat selamat datang di Danau Kelimutu. Jika sebelumnya perjalanan dari Ende meliuk-liuk namun dengan ruas jalan besar, sekarang kami berjalan menanjak dengan ruas jalan yang sempit dan lebih berkelok-kelok. Di pertengahan jalan kami berhenti untuk lapor dan membayar tiket masuk.

Sambil menunggu teman melapor ke petugas Kehutanan, kami duduk-duduk di depan warung-warung kecil menikmati jagung panas yang baru selesai dimasak dan secangkir kopi panas. Lumayan untuk mengisi perut yang masih kosong sama sekali dari pagi.

Akhirnya sampai juga di Danau Triwarna Kelimutu di Minggu pagi ini. Agak terlambat karena sudah pasti acara melihat matahari terbit dari puncak Kelimutu terlewatkan. Tapi mujur juga karena dari penjelasan jaga wana yang kami panggil Roberth ternyata dari jam 3 dini hari sampai jam 6 pagi ini gerimis terus menerus dan baru saja berhenti.

Tiwu Ata Mbupu airnya masih berwarna hitam kecoklatan
Begitu mobil kami memasuki area parkir, kami diserbu rentetan cahaya matahari di sela-sela pepohonan yang muncul dari balik kabut yang mulai menipis. Udara dingin yang telah menyergap kami tadi pagi makin terasa. Tapi keributan baru di area perparkiran membuat kami tak bisa menikmati sinaran cahaya pagi yang cantik itu dalam bingkai kamera, kami terpaksa mengundurkan kendaraan karena sebagian kendaraan yang telah ada dari pagi akan kembali. Bulan-bulan begini memang ramai kunjungan turis dan mereka cenderung berangkat di pagi buta berkejaran untuk mendapatkan momen matahari terbit.
Selesai masalah parkir selesai pula cahaya matahari, kabut kembali menebal tapi masih cukup tinggi tidak menutupi daerah ini.

Tangga menuju puncak Kelimutu
Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, kami mulai menapaki tangga. Di papan penunjuk jelas terbaca arah jalan dan apa saja yang dapat disinggahi di danau Kelimutu ini.

Menurut kepercayaan masyarakat di sekitar danau Kelimutu, arwah/roh akan datang ke Kelimutu jika sudah meninggal dunia. Jiwanya atau MaE akan meninggalkan kampung dan tinggal selama-lamanya. Sebelum masuk ke salah satu danau, para arwah harus menghadap  Ratu Konde yang merupakan penjaga pintu masuk Perekonde. Arwah itu masuk ke dalam salah satu danau yang ada tergantung dari usia dan perbuatannya. Tulisan diukir sebongkah batu marmer itulah yang terbaca jika sudah sampai di puncak Kelimutu.

Sekitar satu kilometer kami menaiki tangga ke atas untuk melihat dua danau yang letaknya saling berdekatan. Danau pertama yang tampak dari bawah adalah dua danau yang menurut masyarakat Kelimutu adalah persemayaman roh-roh orang muda (Tiwu Koo Fai Nua Muri ) dan persemayaman roh-roh orang yang jahat (berilmu hitam) yang biasa disebut suanggi (Tiwu Ata Polo). 

Kali ini "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang letaknya berdekatan makin terasa berdekatan karena mulai menunjukkan warna yang sama. Jika yang "Tiwu Ata Polo" berwarna hijau cenderung toska maka "Tiwu Koo Fai Nua Muri" cenderung berwarna hijau dengan tepian berwarna kuning hijau, warna khas dari belerang. Dan sekarang pemisah antara kedua danau itu makin tipis setelah pernah berulah pada tahun 2009 lalu.

Pohon endemik Turuwara berlatar Tiwu Ata Polo
 Tanaman endemik Kelimutu yang dikenal dengan nama Turuwara (Rhododendron renschianum) yang paling menarik perhatianku. Tanaman ini tampak sebagai sebuah bonsai yang dibentuk oleh alam, berdaun kecil dan tebal dengan buah-buah yang jika matang berwarna hitam dengan rasa manis asam. Tanaman ini juga aku temui di gunung Inerie cuma bentuknya lebih menarik disini. Tanaman Turuwara ini batangnya yang besar tampak hitam berlubang seperti gosong. Rasanya aku ingin mengoleksinya kalau tidak ingat bahwa perbuatanku hanya akan merusak alam.
 
Dan kami melanjutkan menaiki tangga yang makin menanjak, tangga menuju singgasana dewa. Kaki-kaki terasa berat melangkah mencapai separuh jarak dan hawa dingin terasa menggigit tulang. Cuma rasa terbakar panas tubuh karena berjalan ini yang membuat rasa dingin tidak terasakan.
 
Setelah sampai di puncak dimana terdapat tugu barulah kami bisa melihat ketiga danau.
"Tiwu Ata Mbupu" berada sendirian di ujung lain yang terpisah dari keduanya. Sebagai tempat bagi bersemayamnya jiwa-jiwa orang tua dan orang-orang yang bijaksana yang telah meninggal tampak dari warnanya yang hitam tenang dan berjarak dari dua yang lainnya. Untuk bisa melihat ketiganya memang harus menuju ke puncak gunung Kelimutu yang berada tepat di atas Danau orang-orang tua dan bijak ini.

Perjalanan turun kami disambut rombongan monyet yang tampaknya bergembira menikmati kue kering yang kami lemparkan kepada mereka. Selain burung yang menjadi binatang endemik Kelimutu yang bahkan diantaranya tergolong langka, maka beberapa binatang endemik lain juga bisa ditemui disini, salah satu yang mudah ya monyet ekor panjang ini.

Suasan jalan menuju ke lokasi danau Kelimutu
Kembali ke areal parkir kami mampir ke warung-warung kecil. Di areal parkir ini selain terdapat warung-warung kecil yang menjajakan makanan juga penjual kain tenun ikat khas Kelimutu. Jika ingin sekalian melihat bagaimana pembuatan kain ini bisa turun langsung ke kampung setempat di bawah.

Setelah istirahat sejenak untuk minum dan makan, kami memutuskan untuk melakukan tracking ke area arboretum (hutan). Tracking di area yang tidak terlalu luas ini cukup menyenangkan terutama karena jenis-jenis pepohonan telah diberikan papan nama pengenal sehingga kami bisa tahu nama-nama pohon yang ada di Kelimutu. Disekitar jalur tracking terdapat bangku-bangku dari semen untuk istirahat, satu yang kurang aku sukai. Lebih menarik sebenarnya jika bangku-bangku ini dibuat dari batang pohon yang sudah mati.

Tulisan lain yang bisa anda jadikan referensi:
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 18 Juli 2011

Pantai Sa'O (Waiara Beach)

Dermaga kecil yang berdiri di Pantai Waiara, Sa'O
Hari Minggu menjadi pilihan terakhir setelah bingung menentukan waktu yang tepat kapan akan jalan-jalan. Alasan utama tentu saja kesibukan yang nyaris sulit dihentikan sesaat, tapi sesuai dengan moto "Hard work, hard play" maka disepakati sore hari kita meluangkan waktu untuk mengunjungi pulau Pangabatang untuk melakukan snorkling.

Jajaran pohon kelapa dan suasana Pantai Waiara
Jam setengah tiga dengan naik ojek dan pinjaman satu motor, kami menuju ke arah timur dengan tujuan ke Waiara. Waiara yang berjarak kurang lebih 10 km dari kota Maumere kami tempuh selama 15 menit karena kami sendiri tidak terburu-buru. Pantai Waiara ini juga biasa disebut penduduk setempat dengan nama Pantai Sa'O.

Dengan berempat, kami turun di Sea Dive Beach Hotel (aku agak lupa nama tempat itu) karena terakhir kali aku kesini di hotel itu yang memiliki peralatan menyelam lengkap beserta perahu dengan lantai kaca untuk melihat pemandangan bawah laut Maumere yang terkenal indah.

Sayang, rencana ternyata tak berjalan sebagaimana mestinya. Pemandu lokasi penyelaman ternyata baru kembali dari penyelaman sementara menurut penjelasan mereka, kalo sudah sore begini sudah kurang bagus untuk melakukan penyelaman apalagi snorkling. Kalo berminat mereka menganjurkan untuk berangkat pagi.

Untuk mengurangi kekecewaan akhirnya kami snorkling di pantai Sa'O ini. Walaupun berpasir hitam ternyata di beberapa spot masih dijumpai kawasan terumbu karang dengan berbagai macam jenis ikan yang lumayan banyak. Memang tak sebanding dengan kawasan perairan di daerah kepulauan macam Pulau Babi/Bater, Pangabatang, Kambing, Pemana Besar, Damhila, Permaan, Besar, Palue. Pulau-pulau di Kabupaten Sikka ini rata-rata berpasir putih landai yang memiliki kawasan terumbu karang yang indah.

Di Pantai Sa'O sendiri ternyata telah dibangun deretan villa-villa kecil dan hotel baik milik dari Hotel Sea Dive maupun milik dari Hotel Sa'O Wisata. Bahkan di sebelah kiri berdiri bangunan besar dengan penataan yang menarik dengan jajaran pohon kelapa yang dimiliki oleh orang asing.

Walaupun telah berdiri villa-villa kecil tapi kawasan di Pantai Sa'O ini masih terasa tenang. Senja hari masih dinikmati tanpa banyak terganggu oleh suara-suara sekitar. Burung elang laut yang memekik sambil terbang berputar-putar dan nelayan-nelayan yang mulai mengayunkan sauhnya saling bertemu dalam suasana remang senja.

Nikmatnya menikmati senja dari tempat yang begitu tenang
Akhirnya kami duduk-duduk di sebuah dermaga kayu kecil yang berdiri memanjang di sebelah kiri hotel. Sepertinya masih ada hutang yang harus kami bayar untuk menikmati senja dari pulau Pangabatang yang tampak di seberang mata kami. Ah, hari ini kami hanya menikmati senja dikejauhan dari pulau tapi kami akan kembali dan benar-benar menikmati senja di pulau itu.

Tak terasa hampir jam tujuh saat sisa sinar matahari telah melewatkan warna keemasannya dan berganti warna biru.


Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 16 Juni 2011

Senja-Senja di Pesisir Pantai (Kupang)

Pemandangan senja di pantai Pasir Panjang, Kupang

Menjelang malam di pantai Namosain
Langit di ufuk barat mulai memerah, menghapus jejak kuning yang semula begitu terang. Selapis awan tipis yang awalnya tampak menyala kuning garang mulai menghitam. Aku berdiri berjingkat untuk melihat bayangan warna air yang memerah di laut disamping kakakku yang seperti tak acuh. Bapakku duduk di pinggir tembok pembatas laut sambil menahan satu tangan di punggungku, tangan yang begitu besar sebesar pemilik tangan ini membuatku tidak takut menatap ombak yang berulang kali menampar tepian tembok pembatas ini. Sementara ibu yang sedang menggendong adikku yang masih berumur dua setengah tahun berdiri senja tanpa sepatah kata terucap dari mulutnya. Hanya sekali kulihat sebaris senyuman saat pertama kali sampai di tempat ini. Semua tenggelam dalam angan dan harap masing-masing sementara pertunjukan langit justru sedang memamerkan adegan terakhir sebelum menutupnya dengan tirai biru gelap malam.
Itulah pertama kalinya keluargaku berlibur berangkat dari janji seorang bapak kala seorang anaknya (aku) sakit keras yang bisa saja membunuhku. Meskipun keluargaku sering kekurangan dan hampir tak pernah merasakan berlibur bersama, namun entah kenapa mengatakan sebuah janji untuk mengajakku berlibur jika aku sembuh. Dan setelah sembuh sesuai janji bapak mengajakku ke pantai Kartini yang ada di Rembang.

Pertunjukan langit yang saling berharmonisasi
 Itu adalah senja pertama yang kulihat dan sekali-kalinya yang kemudian tak pernah kulihat lagi sampai aku beranjak dewasa. Dan kutahu kemudian bahwa itu adalah kenangan liburan indah bagi ibu karena bisa bersama keluarga menikmati laut, hal yang dulu di masa kecilnya sering dilakukan karena dulu ibu tinggal di Pati yang memang berada di pesisir pantai utara Jawa.

Kini saat aku tinggal di Kupang selama lebih dari sepuluh tahun, sudah ratusan kali aku duduk menikmati pertunjukan warna langit yang Tuhan pertontonkan di tiap sore. Meskipun sering kali kulewati hari menikmati senja tak secuilpun ada rasa bosan karena sepertinya Tuhan begitu cekatan meramu pertunjukan senja dengan cerita tak pernah sama. Kadang ada kerlip kemilau kecil kadang menyusup di celah mataku saat-saat seperti ini teringat kembali kenangan kecil yang tak mungkin terulang.


Senja di daerah Tenau
 Pantai dan senja pernah memerangkapku dalam deru rindu saat pertama kali aku singgah di kota Kupang ini. Menjejakkan kaki di tanah rantau dalam masa yang tanpa pengalaman hidup sementara sudah di taruh rindu di seberang tanah bernama Jawa dan janji untuk kembali. Kulewati waktu duduk di karang-karang yang menjulang di pantai yang dikenal orang bernama Ketapang Satu yang terletak persis berhadapan dengan Kantor Cabang Bank BNI Kupang. Pantai yang dipenuhi batu-batu putih dan berpasir putih ini adalah pantai pertama yang kukenal.

Pantai Kupang yang berada di terminal kota bawah adalah tempat yang kusinggahi kedua. Menikmati senja dari sebuah jembatan dari gelagar kayu sungguh begitu menggoda. Sayang sekarang gelagar kayu itu sudah tidak ada digantikan dengan jembatan beton. Pasangan-pasangan duduk dan berdiri memadu kasih, seolah senja menciptakan romansa. Pias-pias cahaya senja di wajah para nona seolah menyihir nyong Kupang dan memberikan energi mengucapkan janji-janji, begitu indah, begitu menggetarkan dan begitu meluluhkan jiwa-jiwa yang sedang mencari pegangan cinta.

Senja di Pelabuhan Tenau, Kupang
 Walaupun di tempat yang sama nantinya kutemui cerita luka dari janji-janji yang terlalu tinggi, wajah-wajah cantik namun menatap senja dengan mata yang terluka seolah menuntut senja dari janji yang akhirnya tak pernah ditepati. Aku jadi ingat pengalaman saat kulihat seorang gadis yang tiba-tiba berjalan sendiri masuk ke laut tanpa disadari oleh orang-orang disekitarnya dan tiba-tiba dihebohkan dengan teriakan seseorang yang melihat orang mengambang di laut. Ternyata gadis yang berjalan ke laut itu berniat bunuh diri, luka hati hubungan dari seorang polisi yang tidak mau menikahinya saat tubuhnya menjadi berbadan dua (cerita yang aku ketahui kemudian setelah membantu polisi mencari tahu tentang gadis ini dan kutemukan surat dan foto-foto di tas putihnya)

Semenjak itu, senja menjadi bagian yang begitu sayang kulewatkan. Kulangkahkan kakiku kemana ada senja bisa dihampiri. Dan Kupang sendiri menjanjikan surga senja untuk dinikmati.
Pantai berpasir putih di Tablolong sampai pantai Manikin menawarkan senja yang damai. Di tempat-tempat ini, pertunjukan senja malah sering hanya diwarnai bunyi burung-burung laut yang pulang ke sarang. Maka di pantai ini akan terangkai jalinan cerita senja yang syahdu, menukikkan jiwa yang merindu pada kekasihnya

Anak-anak bermain di pantai Pasir Panjang
 Senja yang riuh dapat ditemui di pantai Namosain atau di pantai Pasir Panjang. Jamak sekali melihat anak-anak bermain bola di waktu senja begitu riang begitu riang. Teriakan-teriakan 'oper' atau sekali-kali 'goal' membawa aura gembira.
Siluet-siluet hitam berlarian mengajar bola ditinkah dengan siluet sepasang muda-mudi bergandengan tangan berpadu dengan warna langit yang menguning begitu harmoni melingkupi.

Ah, senja selalu punya cara merekam setiap jejak manusia dan pergumulannya, menyimpannya dan untuk kemudian menyampaikannya kembali di lain waktu sebagai kenangan yang tidak pernah terlupakan. Pada senja kutemukan derai tawa, pada senja pula ketemukan air mata. Sungguh senja adalah harmoni hidup
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 14 Juni 2011

Geliat Malam Kupang

Masih ingat aku saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Timor awal tahun 1999 paska kejadian berdarah bangsa ini. Kejadian kelam di negeri Indonesia tahun 1998 yang katanya bangsa cinta damai dan murah senyum ini seperti menghempaskan negeri beribu-ribu pulau ini dalam keterpurukan yang cukup dalam, meninggalkan bekas luka, rasa pahit dan goresan perih.
Saat itu Kupang yang adalah sebuah ibukota dari Provinsi Nusa Tenggara Timur tak lebih ramai dari sebuah kecamatan di Jawa. Awal tahun itu keramaian lebih berpusat di dua titik yaitu kawasan kota lama  yang terbentang di sepanjang jalur Siliwangi yang biasa disebut sopir-sopir daerah LLBK (Lai Lai Besi Kopan) dan satu lagi adalah jalur Kuanino.
Tapi keramaian Kupang di dua tempat ini pun hanya terjadi dari pagi sampai sore hari, begitu menjelang malam maka aktivitas menurun drastis.

Jam 6 sore saat itu batas terakhir angkutan kota membawa penumpang, jika ada satu dua angkutan yang masih jalan membawa penumpang biasanya sambil menuju arah balik kandang.
Harga-harga jangan ditanya, Kupang yang memang dari awalnya memiliki biaya hidup yang sudah mahal makin bertambah mahal. Bahkan beberapa komoditas yang biasanya melimpah tersedia di Kupang seperti ikan juga menjadi mahal.
Yang paling menyedihkan bagi pendatang adalah sulitnya mencari tempat makan. Saat itu tempat makan yang ada bisa ditunjuk dengan jari.


Suasana malam Pujasera di Kampung Solor
 Perubahan mulai terasa dari 3 tahun belakangan ini, bahkan perubahan ini sangat terasa dibanding pertama kali kedatanganku kembali pertengah tahun 2003.
Aku sendiri kurang tahu dari mana titik ini bermula namun seperti ada benang penyambung sehingga roda kemajuan bergerak saling mengangkat namun juga dibeberapa titik saling menyikut dan membenamkan.
Bicara tentang kemajuan sebuah kota, maka dua kata pertama yang terpikirkan adalah: Kuliner dan Hiburan

Dan itulah geliat yang terasakan di Kupang sekarang ini. Sekarang dengan mudah dapat ditemui tempat-tempat makan yang tersebar seantero Kupang.

Jalur kawasan Siliwangi yang berada sepanjang pantai Kupang dan berisi pertokoan lama masih tetap ramai walau sedikit berubah. Kawasan ini masih menjadi sentral pemberhentian angkutan kota dari seluruh arah walaupun terminal yang ada telah ditutup oleh pemerintah.

Namun keberadaan kawasan pantai Kupang masih terbantu oleh penataan pantai di sekitar kawasan yang dikenal sebagai daerah Tedy's. Karena di tempat itu berdiri sebuah kafe dan tempat karaoke bernama Tedy's yang berdiri cukup lama.


View jalan dari atas Gedung Bank NTT Pusat
 Ada ide lain yang terealisasikan dan menjadi sarana yang cukup ampuh memancing orang-orang melongokkan kepala dari rumah: Pujasera Solor. Kawasan yang baru dikembangkan 3 tahun ini merupakan gagasan yang cukup apik, sebuah kawasan sebagai pusat jajanan dan makanan yang memanfaatkan jalan sebagi tempat berjualan.
Konsekuensinya setelah jam 5 sore maka jalan ini tertutup untuk umum, dan berubah menjadi pujasera. Berbagai jenis makanan ditawarkan disana dari hanya makanan-makanan khas pedagang keliling sampe menu ikan bakar dan makanan laut lainnya.
Dengan harga yang cukup bersahabat, kuliner di kawasan ini bahkan menarik minat sebagian pelancong asing untuk sekedar singgah mencicipi kuliner Kupang.
Dan yang lebih mengasyikkan, kawasan ini masih ramai hingga jam 12 malam.

Kawasan Kuanino sendiri tetap menjadi kawasan yang paling ramai karena disinilah berdiri banyak toko-toko besar yang sedari awal menjadi sentra orang-orang Kupang berbelanja. Namun untuk kuliner sendiri geliat dari kawasan ini belum terlalu kuat.


Suasana malam jalan di kawasan Mal
 Yang juga cukup menarik adalah kawasan Mal Flobamora. Mal satu-satunya di kota Kupang ini menggeliatkan rasa haus masyarakat akan tempat belanja yang lebih representatif mewakili Kupang sebagai sebuah provinsi. Keberadaan Mal yang berdiri di kawasan sepi ini akhirnya mendorong pertumbuhan di sekitarnya.
Mal sendiri memiliki beberapa tempat kuliner yang lebih banyak merupakan waralaba seperti misalnya KFC atau Bakso Lapangan Tembak.
Ada satu blok kawasan yang berkembang menjadi pusat makanan yaitu di depan Gedung Bank NTT. Persis di seberang jalan gedung 7 lantai yang merupakan satu dari dua gedung tertinggi di Kupang ini berdiri ruko yang lebih banyak untuk menjual makanan.

Deretan tempat makan di sepanjang jalur Pantai Pasir Panjang juga tidak mau kalah, menu-menu ikan akan dengan segera dapat ditemui di jalur ramai sampai malam ini.

Hiburan malam pun menjadi hal yang lumrah ditemui, beberapa cafe yang tempat karaoke mudah ditemui di kota Kupang walau tak sebanyak di kota-kota besar di Jawa. Tapi setidaknya ini seolah menunjukkan kepada orang yang datang ke Kupang untuk tidak memicingkan mata di tanah Timor ini. Kata pepatah Kupang "Bae Sonde Bae Tana Timor Lebe Bae" dan semoga geliat ini bisa menunjukkan bahwa Kupang terus tumbuh menjadi lebih baik.
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 03 Juni 2011

Nyiur dan Senja




Nyiur di pantai Hading, Kawaliwu
 
Perbukitan dan nyiur di senpanjang Hading
 Angin berhembus lemah, nyiur-nyiur tinggi yang dahannya sebagian baru berganti enggan menggoyangkan daunnya. Langit begitu cerah dan dengan elok mematutkan bayangannya ke air laut yang tenang. Air laut hanya beriak-riak tak hendak ingin menghempaskan sebagian airnya ke batu-batu hitam yang sebagian menjulang besar.
Ketenangan kali ini begitu tampak sempurna, sebuah sambutan kalimat pengganti selamat datang yang menyenangkan. Batu-batu kecil yang berserakan di sepanjang pasir hitam hanya sesekali direndam buih-buih tipis air laut yang menaikinya.
Beberapa pokok nyiur tumbang melintang di sepanjang garis pantai berbatu-batu. Bulan kemarin langit memuntahkan murkanya dengan hujan lebat, deru angin yang begitu kencang dan air pasang yang tinggi. Hempasan-hempasan keras semalaman itulah yang menciptakan pokok-pokok nyiur ini. Seingatku, bulan kemarin memang kondisi bulan berada di titik terdekat dengan bumi yang biasa disebut dengan "Supermoon" dan memancing air laut pasang lebih tinggi dari biasanya.
Kondisi seperti ini kadang mengingatkanku tentang rindu yang kadang mencekam, memenjarakan ke dalam kegelapan yang begitu pekat tak teraba namun kadang hilang begitu saja tak terasakan seolah mengingat perasaan saat itupun menjadi begitu sulit.

Senja berlatar bebatuan di pantai Hading


Pasir di pantai Hading ini memang tak putih, itu lah mengapa tak terlalu menarik orang untuk datang dibanding tempat-tempat berpasir putih yang begitu berpadu dengan air laut sering memunculkan warna turquoise yang menggoda mata. Tetap tidak banyak menarik perhatian orang walaupun dari tempat ini matahari tenggelam kadang hadir begitu memukau, nyiurnya yang tinggi tumbuh di sepanjang garis-garis pantainya.
Seorang anak kecil berdiri di pinggir sumur menatapku. Mungkin kehadiranku sedikit banyak menarik perhatiannya karena mungkin tak banyak orang luar yang datang ke tempat ini. Mata kecilnya mengikuti gerakanku yang berpindah-pindah tempat mencari angle foto. Saat hendak kudekati entah kenapa dia berlari menjauh, pada saat itulah aku tahu bahwa tangannya cacat.
Lalu beberapa orang anak datang kembali membawa tempat-tempat air ke sumur itu. Seperti pernah aku tulis sebelumnya, di pantai Hading ini disepanjang pantainya banyak sumur-sumur dan airnya tawar bukan payau atau asin. Sumur-sumur ini tidak dalam malah beberapa kedalamannya tak lebih dari 1,5 meter, rupanya sumur-sumur ini digunakan untuk menangkap mata air bahkan kadang-kadang mata air yang keluar adalah air yang panas.
Tak ingin membuat penduduk sekitar yang mulai datang ke tempat ini untuk mandi aku melanjutkan perjalananku ke arah utara karena mataku tertarik dengan gugusan batuan dan ceruk dalam yang tampak di kejauhan. Aku sempat melihatnya sepertinya tempat menarik untuk didatangi. Setelah melewati garis pantai berpasir hitam aku mulai menaiki bebatuan yang berukuran besar. Namun sayangnya saat ini pantai sedang pasang sehingga langkahku terhenti beberapa puluh meter kemudian karena jalan di depanku hanya menyisakan batu-batu yang semakin terjal, sepertinya untuk menuju kesana aku harus menunggu saat laut benar-benar surut.

Nelayan yang pulang melaut
Beberapa nelayan melintas dekat kami sepertinya mereka hendak pulang. Mungkin mereka mencari ikan di bagian ceruk-ceruk dalam itu.
Akhirnya aku menikmati turunnya matahari dari tempat ini. Menikmati warna kuning yang pelahan berubah menjadi merah dan menyisakan warna kuning di garis-garis awan tipis yang berlarik-larik. Senja seperti membawa cerita sendiri, seperti menelan kisah-kisah manusia yang menceritakan pergumulan pahit-manis kehidupannya kepada matahari senja dan memuntahkan kembali kepada manusia lainnya yang datang mendengarkan alur senja. Dan kisah senja tak pernah usai untuk dilihat dan didengarkan, karena selalu ada cerita bahagia dan nestapa yang dituturkan orang-orang yang datang menghampiri senja, dimana tempat lain sepertinya tak ada yang sanggup menampungnya.
Untuk yang ingin tahu lokasi tepatnya menuju ke tempat ini bisa melihat kembali di tulisan sebelumnya: Senja di Kawaliwu

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 22 Mei 2011

Masih Banyak Asa di Ujung Mata

Baju yang lusuh, kaki-kakinya pun dipenuhi dengan tanah berkapur. Tapi kami bertiga tertawa riang saling bercanda di tepi danau kecil. Lebih tepat disebut rawa sebenarnya.
Semalaman hujan deras turun, dan pagi ini jalanan di beberapa ruas menuju kampung kami menjadi kubangan. Jalan terbaik yang pernah kami orang kampung banggakan 4 tahun yang lalu setelah ada pekerjaan perkerasan jalan dengan pemasangan batu-batu yang dilakukan oleh orang-orang tua kami. Sekarang jalan terbaik buat kerbau-kerbau kami.

Sekarang jalan ini seperti jalan untuk off-road kalau kata orang Jakarta. Seorang dokter perempuan yang pernah singgah sebentar ke kampung kami yang mengatakan begitu, kami memanggilnya dokter Ana. Ah, kata-katanya yang khas orang Jakarta begitu menarik kami untuk menirukan. Cantik sekali, sepertinya nanti kalau aku besar aku ingin menikah dengan perempuan seperti ibu Dokter itu. Ha ha ha, aku tahu siapa yang paling tertawa kencang jika Marthin bilang angan-angan begitu. Mulut Edo memang kurang ajar sekali, dia sering mengatai aku "hitam dadole' kariting" macam dia juga ada bersih macam kapur yang biasa mama makan sama pinang.
Kata dadole' entah kenapa masih sering membuat aku tersenyum geli apalagi kalau diucapkan spontan seperti saat ini misalnya. Istilah ini untuk menunjuk kata kotor yang kumuh/lusuh.
Aku tertawa mendengar candaan mereka, candaan khas anak laki-laki. Jika Franky yang bertubuh paling kecil ini lebih suka mendengar kedua temannya bercerita dan tergelak-gelak jika merasa lucu dengan tingkah mereka, maka Edo yang fisiknya seukuran dengan Marthin adalah tokoh antagonis dari Marthin yang memang kerjanya meledek dan mencemooh setiap cerita Marthin.
Akibatnya bisa diduga, pasti ada saja hal fisik yang terjadi antara mereka dalam bentuk canda tentunya. Dan bila ini terjadi pasti aku akan sering melihat ke Franky yang pasti tergelak-gelak sendirian menonton dua temannya saling kejar-kejaran atau saling lempar tanah/kerikil.

Walau Edo sering meneriaki Marthin suka omong kosong, tapi Marthin sepertinya tidak pernah sakit hati. Semangatnya bercerita tetap tinggi, kadang mata dan gerak tangannya yang berusaha meyakinkanku kalau ceritanya benar bikin yang lain ingin tertawa saja.
Kami bertiga bersekolah yang sama di SD negeri yang jauhnya sekitar 3 km dari sini atau sekitar 5 km kalau dihitung dari rumah kami. Kadang kami bawa jerigen air ke sekolah jadi sepulang kami bisa mampir di danau ini untuk ambil air.
Jangan bayangkan 3 km seperti jarak sesungguhnya, mereka menyebut kilometer seperti menyebut seberapa jauh kaki bisa melangkah. Bisa jadi 3 km menurut kami lebih jauh dari jarak sesungguhnya, tapi kami sudah terbiasa menyebutnya begitu.
Disini banyak air tapi kami tidak bisa membangun sumur karena tanahnya terlalu banyak batu. Kata dokter Ana, disini bukan tanah yang berbatu tapi batu yang bertanah.
Aku tersenyum jika dia mulai mengucapkan dokter Ana, rautnya seperti orang yang baru berdoa memohon Tuhan agar dokter itu kembali kesini. Edo seperti terkena sihir yang sama jika Marthin mulai mengucapkan kata dokter Ana, tentu saja sepanjang Marthin tidak mengumbar mimpi lagi seperti tadi.

Ah, kakak belum bertemu dia. Andai saja bertemu dia, pasti kakak akan jatuh cinta. Bahkan kalau punya tunangan pasti kakak bisa melupakannya.
Kalimat Marthin diucapkan berapi-api dengan mata agak mendelik saat aku mencoba meragukan kalau dokter Ana secantik seperti kata mereka. Kalau sudah seperti ini, jangan lihat Edo saat dia mulai menggumam: "Ah, cantiknya dokter Ana".. pasti kalian ingin tertawa melihat Edo seperti pujangga kehabisan kata dan melihat mata polosnya seolah menerawang jauh ke tempat dokter Ana sekarang.
Sambil bercerita Marthin membuka kaleng minuman yang aku sodorkan. Kulihat Edo dan Franky sudah lebih dulu minum, rasa soda yang mengelitik kerongkongan mereka seperti membuat mereka mengerenyit. "Ah, sedap", aku tersenyum saat Edo dengan gaya koboy bersandar disebatang pohon putih mengusap minuman yang meleleh di lehernya mengucapkan kata itu.
Nanti sebentar lagi kami akan ke hutan di depan mencari kayu bakar. Kami bawa ranting kayu apa saja, lebih sering kami bawa kayu ampupu atau liuboko karena itu pohon yang paling banyak di hutan ini, tapi hanya mengambil kayu-kayu yang kecil saja. Kecuali kalau kayu-kayu yang roboh karena hujan atau angin yang kencang yang bisa terjadi disini, maka kami bisa mendapatkan kayu-kayu yang lebih besar.
Kami harus sudah pulang sebelum matahari hilang, karena kalau malam disini masih gelap. Di dusun kami tidak semua rumah memiliki listrik. Rumah-rumah yang memiliki penerangan listrik itu dari berasal dari bantuan tenaga surya dulu dari program pemerintah. Tapi sayangnya sekarang sudah banyak yang rusak, dan kami tidak tahu bagaimana memperbaikinya.
Marthin menunjuk si tubuh kecil Franky yang rumahnya sudah tidak memakai listrik lagi. Franky tertawa lebar mengiyakan tapi tak ada raut beban dengan kondisinya toh ada listrik atau tidak mereka masih bisa melihat televisi dari tetangga. Bukan tetangga rumah tapi tetangga kampung yang jaraknya mungkin 10 km dari kampung kami

Yah, kami juga kadang pulang lebih larut kalau sudah keasyikan melihat televisi. Tapi itu biasanya berani kami lakukan kalau kami tahu bulan ada terang, jadi kalau kembali pulang tidak terlalu gelap, timpal si Franky.
Sambil mendengarkan cerita Marthin, Franky mengambil sebuah batang kayu kecil dan mengorek-korek lumpur-lumpur yang mengering di kakinya. Rasanya asyik melihat dia mencongkel-congkel lumpur besar yang telah kering seperti menggaruk luka yang sudah kering sambil matanya sesekali melihat Marthin yang tetap berceloteh penuh semangat.
Melihat Franky bukannya mencuci kaki malah mengorek-korek seperti itu tiba-tiba timbul keisengan Marthin. Dengan kuat, didorongnya Franky ke danau. Kontan saja si Franky terlontar ke danau, tapi dengan sigap tangan Franky menyaut baju Marthin.
Terdengarlah bunyi byur keras saat dua tubuh anak ini tercebur ke danau. Edo tertawa kencang melihat adegan itu.

Air danau ini cukup dingin, tapi udara yang cukup dingin disini membuat air ini tidak terasa dingin di tanganku. Ajakan Marthin, Franky dan Edo untuk ikut berenang disini tidak kuiyakan. Ah, mereka anak alam yang tentu kuat bertahan dengan air sedingin itu disini. Tapi aku yang terlalu lama dengan udara kota tentu harus berpikir berulang kali kalau ikut berenang bersama mereka.
Ah, dunia anak-anak di kampung. Tidak ada di mata mereka kesulitan hidup, semuanya seperti harus terjalani semestinya. Aku masih banyak menangkap asa di mata mereka, seperti asa yang kuat di mata mereka mendengar nama dokter Ana.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 17 Mei 2011

Re-visit: Oenesu dan Oehala

Tiga tingkat air terjun Oehala yang terletak sekitar 15 km dari kota Soe.

Kunjungan kembali, itulah yang kujalani. Belakangan ini jadi setengah guide yang kerjanya menemani temen-temen yang mau jalan ke tempat-tempat wisata tapi belum pernah sebelumnya.
Kali ini cerita kunjungan kembali-nya di dua tempat lama tapi sudah ada perbaikan fasilitas. Kedua tempat ini adalah air terjun di daratan Timor tapi di tempat dengan ketinggian yang berbeda: air terjun Oenesu yang terletak di dataran rendah (Kabupaten Kupang) dan air terjun Oehala yang terletak di dataran tinggi (Kabupaten Timor Tengah Selatan).


Air Terjun Oenesu


Suasana air terjun Oenesu dari bagian bawah (tingkat keempat)
 Beberapa waktu ini aku baru saja mendengar kabar tentang meninggalnya seorang anak SMA di air terjun ini. Agak terlambat mendengar berita ini karena pada waktu kejadian ini sedang ada penugasan di luar kota. Jika ingin membaca lebih lengkap cerita dan kronologis kejadian ini bisa berkunjung ke tempointeraktif.com atau di beberapa media lain.
Terus terang kejadian ini mau tidak mau akan mempengaruhi kunjungan ke tempat wisata air terjun satu-satunya di Kupang ini. Padahal pada saat ini air terjun Oenesu debit airnya lebih besar dan lebih jernih sehingga beberapa daerah yang dulu kering sekarang terkena luapan airnya.
Foto-foto di air terjun ini aku ambil sebelum ada kejadian di atas mungkin hanya berselang satu minggu sebelum ada kejadian naas itu. Rencana untuk foto model dengan konsep yang sudah dirancang jauh hari sebelumnya sekalian melakukan kunjungan kembali untuk melihat kondisi air terjun belakangan ini. Karena memang biasanya di musim-musim begini debit air terjun meningkat sehingga lebih enak dinikmati walau kadang sering naiknya debit air mengakibatkan air yang mengalir menjadi keruh.


Desi berpose di air terjun Oenesu
 Untungnya justru saat datang, debit air justru meningkat lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya dan tidak keruh. Sepertinya ada upaya pendalaman dan pembersihan di bagian atas dari sumber air terjun ini.
Lokasinya pun sudah banyak mengalami perbaikan, tempat parkir tersedia, rumah-rumah lopo dibangun, toilet pun juga sudah tersedia walaupun tampaknya petugas di sini belum bertugas optimal dan hanya bertugas kadang-kadang pada hari libur/kunjungan saja.
Dengan kondisi sekarang, tempat ini jauh lebih layak dikunjungi dibanding beberapa tahun lalu. Walaupun sebagian besar penikmat wisata air terjun ini sebagian besar warga lokal karena memang untuk wilayah-wilayah Timur Indonesia, wisata yang bisa mengundang wisatawan asing adalah wisata bahari dan wisata budaya.


Air Terjun Oehala


Dua teman duduk di atas batu di tingkat ketiga air terjun Oehala
 Re-visiting ke tempat ini diantara kesibukan tugas di tempat ini. Kondisi kabupaten Timor Tengah Selatan yang beribukota di SoE pada bulan-bulan begini memang kurang bersahabat bagi orang yang biasa tinggal di daerah panas. Sepanjang bulan Mei sampai dengan Juli hawa di kota ini begitu menusuk tulang, di samping karena berada di dataran tinggi juga karena pengaruh angin Australia yang sekarang sedang musim dingin.
Kabut tebal dan basah nyaris menjadi pemandangan sehari-hari. Kebetulan aku dan rekan kerja kesini menggunakan sepeda motor karena berharap lebih praktis dan mudah kalo mau kemana-mana dibanding kalau membawa mobil. Walhasil, begitu sampai di hotel, aku harus merasakan persediaan tangan ngilu semua gara-gara dipertengahan jalan kabut basah turun. Masih untung hari itu tidak ada hujan turun.
Perjalanan kembali ke air terjun Oehala kali ini aku lakukan bersama dua teman lain yang kebetulan belum pernah kesana sebelumnya. Rencana awal beberapa orang namun karena berbenturan jadwal sehingga hanya kita bertiga yang bisa kesana.
Perjalanan awalnya agak setengah hati karena menjelang keberangkatan tiba-tiba kabut basah turun. Akibat setengah hati ini pula makanya tripod yang sudah aku persiapkan malah tertinggal. Suhu udara turun drastis, tapi dengan pertimbangan sedikit tanpa akal sehat alias berharap kebetulan maka perjalanan dengan menggunakan dua motor kami lanjutkan.


View air terjun Oehala dari sisi seberang (view lopo untuk istirahat)
 Untungnya sampai disana justru cuaca membaik. Kabut tidak ada sama sekali di lokasi ini, padahal aku berharap ada kabut tipis disini.
Lokasi ini ternyata juga sudah dilakukan renovasi walaupun masih sebatas pemberian pagar pembatas di beberapa lokasi yang rawan orang tergelincir dan penambahan lopo-lopo untuk orang beristirahat. Kamar kecil juga telah disediakan walaupun belum pernah dicoba.
Air terjun Oehala masih bening seperti biasanya namun yang agak mengherankan debit airnya jauh berkurang padahal biasanya pada bulan-bulan begini debit air masih tinggi.
Yang juga mengherankan airnya tidak terasa dingin di kaki kami, entah memang airnya yang berubah ataukah memang cuacanya yang dingin sehingga air menjadi tidak terasa dingin.
Oehala juga masih sama, selalu sepi begitu menjelang senja entah kenapa padahal di luar bulan-bulan berkabut seperti ini mengambil gambar air terjun Oehala agak sulit karena sinar matahari yang masih menerobos ke air sehingga foto air jadi kurang pas. Hanya pada bulan begini kita aman untuk mengambil foto-foto disini karena sinar matahari nyaris tidak mampu memamerkan panasnya api miliknya.


Dua air terjun ini seperti menggambarkan bahwa daratan Timor bukanlah tanah gersang yang dipenuhi batu karang dan keberadaan air yang langka.

Jika anda mengunjungi ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur, mungkin bisa sekali waktu mengunjungi air terjun Oenesu. Tempat yang bisa membilas aroma matahari yang teriknya serasa membakar ubun-ubun.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 03 Mei 2011

Penfui: Menikmati Romantisme ala Kupang



Sepuluh tahun tinggal di Kupang, aku merasakan banyak perubahan dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur ini. Kota yang panas, yang jika sedang dalam puncak teriknya terasa membakar kepala. Selain itu Kupang juga dikenal sebagai kota karang, karena memang sebagian daratannya banyak terdiri dari karang yang makin menambah panas kota Kupang. 


Mungkin baru disini, aku mengenal namanya sekolah diliburkan antara beberapa hari sampai 2 minggu saat cuaca panas sedang di puncak-puncaknya. Mirip di luar negeri saja, ada liburan musim panas :)

Jika mendekati puncak musim panas maka wajah Kupang jika diperhatikan dari jendela pesawat tampak menghitam dan coklat karena disana sini yang terlihat adalah batu karang dan sisa-sisa rumput yang telah mengering. Bahkan asap dari pembakaran dapat mudah ditemui di tengah hari karena sisa-sisa ilalang yang terbakar ataupun dibakar oleh masyarakat. Sebagian besar pohon-pohon di Kupang pun tinggal ranting karena pohon endemik yang tumbuh di Kupang memang pohon-pohon yang akan meranggas di musim kering untuk mengurangi penguapan.

Tapi suasana akan terasa kontras di musim hujan. Tiba-tiba saja seperti sebuah paduan suara yang sangat kompak, rumput-rumput segera memenuhi tanah-tanah di seluruh penjuru Kupang. Hijau seperti menutupi setiap jengkal tanah di Kupang, kadang jadi lupa panasnya Kupang.

Dan disaat seperti ini, ada satu tempat yang beberapa tahun lalu menarik perhatianku.
Bermula dari ketertarikanku pada pohon Gamal (latin:
Gliricidia sepium) yang bunganya suka muncul saat mendekati musim kering. Bunga pohon Gamal ini bunganya mirip bunga Sakura yang tumbuh bukan di pucuk pohon tapi di batang pohon. Jika masih muda, tanaman yang masuk tumbuhan perdu dari kerabat polong-polongan ini bunganya di batang banyak memenuhi seluruh batang.

Di daerah sekitar bundaran Penfui arah menuju bandara ternyata banyak tumbuh pohon ini. Namun sayang karena umurnya yang sudah tua sehingga jumlah bunganya sudah jauh lebih sedikit. Namun yang menarik di daerah ini bukan bunganya  tapi pepohonan yang berdiri disepanjang jalan yang membentuk kanopi hidup.

Dengan bentuk yang seperti ini, jalan di sini seperti membentangkan romantisme bagi pasangan yang berjalan-jalan disini.
Walaupun ada upaya pemerintah memulai gerakan penanaman untuk penghijauan kota Kupang, namun rasanya ruas jalan ini akan tetap punya kenangan tersendiri bagi insan-insan muda ataupun tua yang pernah menikmati suasana di sini.

Beberapa fotografer juga ada yang menggunakan lokasi ini untuk pemotretan, mungkin karena terinspirasi suasana romantis tempat ini.
Makanya permintaan teman yang ingin difoto prewedding tidak aku sia-siakan, kebetulan mereka maunya konsep sederhana pas banget sama suasana romantis yang terbangun di tempat ini


Keterangan: selain foto prewedding bebas didownload dan diupload
sepanjang mencantumkan sumber penulisan, khusus foto prewedding untuk upload di tempat lain harap meminta ijin pasangan yang bersangkutan
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya