Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label baktiar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label baktiar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Agustus 2021

Senja di Tanjung Kajuwulu

Tanjung Kajuwulu
Sebuah salib besar berlapis keramik putih berdiri di atas puncak bukit tampak kontras dengan pemandangan galaksi Milkyway yang masih malu-malu keluar dari ufuk timur. Pemandangan galaksi langit di bukit ini memang tidak terlalu jelas, namun warna putih memanjang selaksa awan putih bercahaya masih bisa terlihat mata. Pemandangan langit itu sudah cukup membekas bagi Arju yang baru kali ini bisa melihat dengan jelas galaksi, rumah bagi tata surya kita.

Tanjung Kajuwulu
Sekian lama aku bepergian ke Maumere, tempat ini selalu terlewati. Baru bulan Juni kemarin aku sempat datang melihat lokasi ini. Karena aku datang bukan pas di hari libur, jadi tempat ini masih sepi. Biasa memang tempat seperti ini ramai saat di hari libur, mungkin karena jaraknya yang lumayan jauh dari Kota Maumere.

Karena sudah sore tentu saja aku langsung naik ke atas bukit salib setelah memarkirkan kendaraan di area bawah tanpa mengunjungi pantai di bawah. Mungkin lain kali kalau kesini aku akan mencoba pantai di Tanjung Kajuwulu sekaligus mencoba snorkling. Kata orang dari Dinas Pariwisata, kawasan Tanjung Kajuwulu ini punya tempat snorkling yang bagus.

Senja di Tanjung Kajuwulu
Ada anak tangga naik dari beton menuju ke atas dengan pegangan besi yang menurutku dibangun ala kadarnya. Untungnya di jalur itu ada tiang-tiang lampu yang dipasang yang lumayan bermanfaat untuk pengunjung yang mau pulang lebih larut.

Tanjung Kajuwulu

Aku, Adis, dan Arju sendiri akhirnya pulang agak larut. Awalnya tentu karena ingin melihat matahari terbenam, terus lanjut ingin difoto langit senja dengan latar salib, terus lanjut lagi ingin melihat Milkyway. Dan ternyata lampu-lampu yang dipasang disepanjang jalan tidak menyala. Untunglah hape sekarang ada lampu yang bisa berfungsi sebagai senter.

Aku sendiri tidak merekomendasikan tempat ini untuk memotret bintang karena polusi cahaya di lokasi ini masih cukup kuat. Namun jika mau bersusah payah sedikit untuk naik lebih tinggi ke arah formasi batu tebing, sepertinya masih banyak spot untuk memotret langit malam menilik dari kontur perbukitannya. Rasanya bakal banyak tempat yang cukup terlindungi dari paparan cahaya sehingga bagus untuk memotret maupun mengamati galaksi Milkyway.

Atas Bukit Bawah Laut

Tanjung Kajuwulu
Tanjung Kajuwulu berada sekitar 26 km sebelah TImur Kota Maumere atau sekitar 30-40 menit perjalanan darat. Berada di sisi Utara pulau Flores, Tanjung Kajuwulu awalnya dikenal oleh masyarakat karena area perbukitannya. Memang di tanjung Kajuwulu ini, bukit dengan pemandangan hamparan padang rumput ini bisa menjadi salah satu tempat untuk melihat matahari terbit maupun matahari tenggelam yang keren. Karena selain padang rumputnya, perbukitan di wilayah ini memiliki formasi batuan alam yang juga menarik.

Namun sebenarnya, Tanjung Kajuwulu memiliki potensi alam lain yang juga gak kalah menarik. Ada hamparan pasir putih memanjang di area bawah tebing yang sekarang mulai dikembangkan pemerintah dengan membangun jalan setapak beton dan lopo-lopo. Kegiatan bersantai dan berenang bisa menjadi alternatif lain saat menikmati keindahan alam di Tanjung Kajuwulu.

Tanjung Kajuwulu
Juga yang sering luput dari perhatian adalah kawasan terumbu karang di wilayah ini yang masih lumayan terjaga. Hanya memang untuk dapat menikmati keindahan kawasan terumbu karang ini butuh sedikit usaha lebih, minimal peralatan snorkeling. Tentu akan lebih memuaskan jika menikmati kawasan terumbu karang ini dengan menggunakan peralatan diving. Tentu saja semua itu baru informasi yang aku dengar, belum afdol rasanya kalau belum mencoba sendiri melihat langsung terumbu karang disana.

Kawasan perairan Tanjung Kajuwulu ini sekarang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Penetapan kawasan ini menjadi daerah korservasi tentu sebuah upaya yang baik, karena tentu akan membuat kawasan ini akan terus terjaga kelestariannya. Walaupun telah menjadi kawasan konservasi, bukan berarti kegiatan penangkapan ikan dilarang sepenuhnya. Penangkapan ikan di kawasan ini tetap diperbolehkan hanya sebatas menggunakan alat pancing saja. Jadi kalian yang memiliki hobi memancing, masih dapat melaksanakan kesenangan ini di perairan Tanjung Kajuwulu.

Apa Yang Bisa Dikembangkan

Tanjung Kajuwulu
Pengembangan pariwisata di Tanjung Kajuwulu tampaknya masih ditujukan untuk menarik wisatawan lokal. Beberapa bangunan gazebo yang di letakkan di sepanjang jalur pendakian ke bukit salib (bukit tanjung kolisia), dan area bawah di tebing bagian atas dari kawasan pantai pasir putih. Bangunan ini pun masih apa adanya, tidak ada kesan kuat dari yang melihat tentang apa yang dijual di tempat ini. 

Akses jalan ke puncak bukit hanya berhenti sampai di tugu salib, selepas itu hanya ada jalan tanah yang mungkin sudah ada sebelumnya. Formasi tebing batu belum ada akses jalan yang terhubung dengan area ini, walaupun masih memungkinkan untuk didaki dengan menggunakan jalur jalan lama yang dulu dilewati penduduk yang menggembalakan ternaknya di tempat ini.

Di lokasi Tanjung Kajuwulu sendiri sebenarnya terkoneksi dengan beberapa area wisata yang masih dapat dikembangkan dan dihubungkan seperti kawasan wisata pantai Mangrove Ndete, mungkin pengembangan pariwisata ke depan akan mulai menghubungkan semua destinasi ini.

Supaya gak kelihatan ketinggalan banget, bolehlah aku sekali-kali membuat video lokasi ini. Silahkan cek videonya:

Catatan:

  1. Di sepanjang jalan menuju ke bukit dan beberapa area lain, masih ada sampah-sampah yang bertebaran. Hal ini menunjukkan masih banyak pengunjung yang belum memiliki attitude baik. Menurutku ini bukan masalah keberadaan tempat sampah, namun memang masyarakat belum teredukasi cukup baik tentang kebersihan.
  2. Aku pribadi melihat salib dengan keramik kurang menarik, coba seandainya dibangun dengan menggunakan kayu atau baru tanpa keramik mungkin akan lebih natural dengan jenis pariwisata yang ditawarkan.
  3. Di tempat ini belum ada lokasi penyewaan untuk peralatan berenang, snorkling, ataupun diving. Juga tidak ada tambatan perahu untuk disewakan saat snorkling atau diving. Sebenarnya di kota Maumere ada komunitas diving Maumere Divers COmmunity dan Maumere Freedive yang bisa menyewakan alat-alat seperti itu. Namun informasi itu masih terbatas sehingga hanya diketahui orang-orang yang sudah paham. Mungkin di pengelola perlu bekerja sama dengan mereka untuk menfasilitasi peminjaman alat seperti ini.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 22 Maret 2021

Surga Tersembunyi: Pantai Nawen

pemandangan pantai Nawen dari tebing

Duduk di pinggir tebing seperti ini mengingatkanku pada suatu tempat yang masih dapat samar-samar kuingat. Dia duduk di bawah pohon pandan laut dengan dua temanku yang lain, tersenyum manis di bawah arahan seorang tukang foto keliling dengan kamera polaroid. Aku bisa mendengar derai tawanya saat melihat hasil fotonya, lalu ia minta difoto kembali oleh sang tukang foto. Lalu dimana aku dengan kamera yang katanya suka moto-moto? Mengapa kubiarkan obyek seindah ini direkam gambarnya oleh seorang tukang foto keliling, bukan olehku? Lupakan kamera, itu adalah waktu baju putih dan celana pendek biru adalah cerita kebanggaan masa muda. Masa tertawa dan menangis sepenuh hati, tapi kamera masih analog dan bukan barang murah. Dari seluruh rombongan wisata, mungkin hanya ada dua kamera film saku yang dibawa. Satu dimiliki oleh seorang guru, satu lagi oleh seorang murid terkaya di sekolah.

pantai pertama dari pantai Nawen
Gelombang menderu-deru di bagian bawah karang membuyarkan lamunanku. Bunyi gelegak air laut yang menyusup dirongga karang yang membentuk lubang susuran bagaikan suara kerongkongan naga besar meminum air. Karang-karang tinggi di pantai ini memiliki beberapa celah lubang yang memanjang di bawah karang, dari sanalah bunyi gelegak air itu berasal terutama saat ombak besar datang.

Pantai ini disebut dengan nama Pantai Nawen. Nawen dalam bahasa Timor artinya penyu, jadi pantai Nawen bisa diartikan pantai penyu. Disebut pantai Nawen karena masyarakat sekitar pada waktu-waktu tertentu bisa melihat penyu yang datang berenang di sekitaran pantai kawasan itu. Pantai Nawen terletak di desa Poto, Kecamatan Batare, Kabupaten Kupang.

Perjalanan Seru Menuju Pantai Nawen

pantai Nawen pertama

Pantai Nawen ini jaraknya kurang lebih 90km dari Kota Kupang. Dari kota Kupang, kita mengikuti jalan trans Timor arah ke Soe. Selepas Oelamasi akan bertemu pertigaan jalan besar, ambil ke kiri arah ke Sulamu. Nanti setelah sampai desa Pantai Beringin akan bertemu pertigaan, lurus ke arah Sulamu, kekanan ke arah Barate. Ambil ke kanan ke arah Barate. Ikuti jalan sampai ke desa Poto, nanti dalam perjalanan kalian akan melihat sebuah bukit batu seperti Fatuleu. Nama bukit batu itu dikenal dengan nama Bukit Sonu. Sesampainya di desa Potu, sebelum kantor desa ada pertigaan, ambillah belokan ke kiri ke arah Puskesmas Poto.

pantai nawen batu berwarna
Dari kota Kupang sampai ke pantai Nawen, ada 3 sungai tanpa jembatan yang harus dilewati. Satu sungai besar ke arah desa Poto, satu sungai kecil ada di desa Poto karena jembatannya ambruk, dan satu lagi sungai besar dari Poto-pantai Nawen. Berbeda dengan dua sungai lainnya yang kering saat memasuki musim kemarau, sungai terakhir  menuju masih ada aliran airnya ada terus. Karena kendaraan harus turun melewati sungai, jadi tidak disarankan ke lokasi saat musim hujan. Bila terjadi hujan lebat dan sungai meluap, sungai jadi sulit dilewati kendaraan.

Dari Poto, sebagian jalan masih berupa tanah putih. Sebagian besar jalan tanahnya masih aman dilewati walaupun ada hujan. Tapi memang ada ruas tertentu yang masih berupa tanah liat yang saat bisa berubah jadi lumpur. Untungnya aku kesana pas masih musim hujan sudah lewat masanya. Walau kadang masih ada hujan turun tapi tidak terlalu deras jadi tidak kuatir sungai meluap.

Aku cuma berdua dengan Sani, jadi cukup berboncengan dengan satu motor saja. Untuk berangkatnya, Sani-lah yang mengendarai motor sedangkan aku cukup jadi pemboncengnya. Pulang nanti baru giliranku yang mengendarai, dengan pertimbangan kalau sampai harus pulang malam hari. Karena Sani ini bermata minus dengan silinder cukup besar jadi bermasalah jika harus melihat sorot lampu dari depan. Jadi lebih aman jika aku yang dibagian depan jika malam hari.

Dengan pengalaman nol ke lokasi ini, Google Maps sangat membantu. Yang pasti karena sinyal 'telkomsel' cukup kuat jadi posisi GPS masih akurat untuk menunjukkan lokasi. Namun untuk lebih amannya, aku dari awal sudah mendownload dulu petanya sehingga tetap bisa terbaca dalam kondisi off-line. Untuk informasi, banyak daerah blank spot di pulau Timor terutama di daerah pedalaman. Jika kalian tidak tahu lokasinya dan mengandalkan GPS, tidak ada salahnya mendownload peta terlebih dahulu. Berjaga-jaga jika ada lokasi yang kurang bagus sinyal komunikasinya.

Tiga Pantai

Ada tiga pantai berjajar di pantai ini yang masing-masing dibatasi dengan karang terjal. Pantai Nawen sendiri adalah pantai ketiga yang dijangkau dengan jalan kaki. Aku sendiri pernah bertanya langsung kepada salah satu penduduk yang lewat di tempat itu. Dia sempat menyebutkan sebuah nama tapi akun sendiri sudah lupa.

Masing-masing pantai punya keindahan dan pemandangan berbeda-beda. Jika dilihat dari atas, pantai-pantai di sepanjang tempat ini didominasi oleh tebing-tebing karang. Karena antara satu pantai ke pantai lain dipisahkan oleh batuan karang terjal, akses satu-satunya antar pantai hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki. Untungnya ada akses jalan setapak yang terbentuk yang biasa digunakan masyarakat untuk beraktivitas berladang atau mencari ikan.

Pantai pertama, adalah lokasi satu-satunya lokasi yang dapat kita gunakan untuk memarkir kendaraan. Tidak ada akses lain ke pantai Nawen tanpa melalui pantai pertama. Itulah kenapa aku menyebut pantai pertama, karena memang itu akses utama untuk ke lokasi ini.

Kelebihan pantai ini di area sekitar parkiran tempatnya teduh karena banyak pepohonan, dan memiliki permukaan tanah yang cukup rata dibanding tempat lain. Jika ada aktivitas sampai malam hari, tentu saja ini adalah pantai yang paling disarankan untuk memasang tenda atau menginap. Area karangnya cukup tinggi sehingga aman untuk dijangkau pasang air laut. Pasir lautnya berwarna keputihan dengan sedikit warna merah bata di garis pantainya akibat keberadaan batu-batu merah.

Dari pantai pertama kita bisa menyusuri pantai dan menaiki bukit karang kecil untuk menjangkau pantai kedua. Pantai kedua ini tidak terlalu luas dan pasir pantainya berwarna putih dan didominasi batuan kecil. Sebenarnya pasir pantainya sendiri berwarna putih, hanya mungkin lebih banyak tertutup dengan batuan-batuan kecil.

Untuk menuju pantai ketiga kembali harus naik ke karang dan menyusuri jalan setapak yang membelah hutan terbuka dengan tanaman kayu putih atau dikenal dengan nama ampupu (Eucalyptus urophylla). Pantai ketigalah yang sebenarnya disebut pantai Nawen. Pantai ini memiliki pasir putih yang lembut dengan pemandangan indah batu karang yang mengapit kiri dan kanan. Warna air lautnya berwarna hijau kebiruan cenderung tosca, terutama saat siang hari. Di bagian tebing batu masih banyak tumbuh pohon santigi laut. Sementara Sani memilih berlindung di bawah salah satu karang, aku memutuskan naik ke salah satu tebing karang ke arah rerimbunan pohon santigi. Karena dari tebing ini pemandangan pantai Nawen lebih tampak indah.

Ngomongin jalan kaki untuk sampai di pantai Nawen ini, bagi Sani seperti sebuah perjalanan penuh penderitaan. Dengan jarak jangkau hanya sekitar 15-menitan aku harus membiarkan Sani beberapa kali berhenti untuk beristirahat karena sudah tampak ngos-ngosan. Kalau untuk urusan jalan, temanku satu ini memang payah sekali. Memang dari awal dia sudah mikir diajak jalan sampai ke pantai ketiga. Setelah ini pasti kalau ke pantai Nawen lagi, dia ogah jalan dan milih bersantai di pantai pertama.

Sambil menunggu matahari yang mau tenggelam, aku memasak air untuk membuat kopi. Sani dari tadi sudah hilang di dalam hammock yang sudah terpasang sedari tadi. Tak berapa lama, kopi panas dengan baunya yang harus telah tersaji di depanku sementara matahari mulai menguningkan langit. Ah, suasana seperti ini tidak pernah menjemukanku. Saat langit senja memerah, dan semerbak harum secangkir kopi panas di tangan, nikmat apalagi yang kamu dustakan?

Catatan:

  1. Jaga kebersihan! Bawalah tempat untuk menyimpan kembali sampah yang kamu buat. Di tempat pertama, sudah banyak sampah yang ditinggalkan pengunjung tak bertanggung jawab di tempat ini. Jika bisa bantu angkut sebagian sampah yang tercecer di tempat ini.
  2. Jangan menebang pohon! Jika membutuhkan kayu bakar untuk membuat perapian coba turun sebentar ke pantai. Di pantai pertama ada sebuah muara kering yang banyak meninggalkan kayu-kayu kering yang bisa digunakan untuk kayu bakar.
  3. Pertimbangkan baik-baik jika kesini pada saat musim hujan. Selain kondisi jalan yang masih berupa tanah putih juga masalah sungai yang rawan sewaktu-waktu terjadi luapan air dari daerah hulu.
  4. Mari jaga sama-sama menjaga lokasi-lokasi seperti ini tetap indah dengan tidak melakukan hal-hal yang justru merusaknya seperti: vandalisme dengan mencoret-coret bebatuan atau pepohonan dengan cat atau pisau, tidak mengambil tanaman sembarangan, tidak meninggalkan sampah.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 21 Desember 2020

Kala Senja Kalamata


Seorang bapak berbaju putih sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Daun-daun kering yang jatuh dari pohon berserakan di halaman rumput juga di sepanjang paving block jalan setapak.
"Pak loket tiket masuk dimana?" Tanyaku.
"Silahkan langsung masuk, Isi buku tamu saja!" Jawabnya.
Aku segera menuju komplek Benteng. Di ujung jalan setapak seorang pria memakai topi coklat, berbaju biru sibuk memotret sekeliling benteng. Wah keduluan, gumamku. 

Yowes aku langsung masuk ke dalam benteng motret-motret juga. Hhmm aku agak bingung memotret sudutnya karena dari segi arsitektur benteng ini berbentuk segi empat yang tidak beraturan (triangulasi) dengan 4 sudut yang ujungnya meruncing dan memiliki ceruk bidik (embrasure) di masing-masing bastion. Ketebalan dinding benteng 60 centimeter dan tingginya 3 meter. Dindingnya tersusun dari batu andesit dan batu karang yang direkatkan dengan memakai Kalero, sejenis kapur yang dihasilkan dari pembakaran batu karang. Kapur tersebut dicampur dengan pasir dan air rendaman kulit pohon Lubiri. 

Aku memanjat dinding benteng untuk melihat lebih jelas sekelilingnya. Benar juga Benteng ini berbentuk penyu kalau dilihat dari atas dan sekilas mirip benteng yang ada di Pulau Bandaneira. Dua bastion yang menjorok ke laut untuk menghalau serangan laut dari kapal musuh. Sementara dua bastion yang lain untuk menghadang serangan dari darat. Ujung bastion yang didarat ini lebih tinggi daripada yang menjorok laut jadi pemandangannya lebih jelas. Pulau Maitara dan Pulau Tidore terlihat sebagai latar belakang yang menawan. Suasana disini tidak seramai Benteng Tolukko, aku jadi lebih tenang memotret. Tidak lupa foto-foto narsis di sini. Mumpung background cakep hehehe. 

Ternate Pulau kecil yang dipenuhi benteng. Pulau ini di masa lalu sebagai pusat rempah-rempah yang menjadi incaran bangsa Eropa. Benteng Kalamata adalah benteng ketiga yang aku kunjungi. Berlokasi di Kayu Merah, Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara. 

Benteng Kalamata dikenal juga sebagai Benteng Kayu Merah karena terletak di daerah Kayu Merah. Benteng ini pertama kali dibangun oleh bangsa Portugis bernama Fransisco Serao atas gagasan Antonio Pigafeta tahun 1540 dan diberi nama Benteng Santa Lucia. Keinginan Portugis meluaskan kekuasaannya dan monopoli perdagangan mengalami benturan dengan Sultan Baabullah. Pada tahun 1575 Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keadaan tersebut dimanfaatkan Spanyol, Benteng Santa Lucia dikuasai dan dijadikan sebagai pos perdagangan dan pos pertahanan. 

Namun itu tidak berlangsung lama, pada tanggal 29 April 1798 Benteng berhasil direbut Kaicil Nuku, Sultan Tidore ke-19 dibantu armada Inggris. Kaicil Nuku dikhianati Inggris sehingga benteng itu berhasil dikuasai dari tahun 1801 sampai tahun 1810 saat Belanda mengambil alih. Belanda mengganti namanya dari Santa Lucia menjadi Kalamata, mengambil nama dari Kaicil Kalamata seorang Pangeran Ternate, kakak Sultan Mandarsyah dan paman dari Sultan Kaicil Sibori Amsterdam. Kaicil Kalamata disebutkan dalam sejarah mengabdi pada Sultan Hasanuddin di Kerajaan Gowa. 


 

Perlahan matahari mulai condong ke barat dan aku harus pergi meninggalkan senja di Kalamata. 

Well, wherever you go becomes a part of you somehow - Anita Desai. 

Foto/tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 10 Desember 2020

Tebing Karang Fautusi

"Hati-hati pak," Nelis berteriak dari atas, bersamaan dengan itu beberapa batu jatuh dari atas. Jatuh tak seberapa jauh dariku, untuk aku sempat memiringkan tubuh. Huft, adegan batu yang jatuh diantara dinding tebing yang sempit ini nyaris menimpaku. Jantungku berdetak kencang. Aku melepaskan sulur-sulur akar pepohonan dan terdiam beberapa saat untuk menenangkan diri. Setelah merasa lebih tenang, aku mulai memanjat lagi pelahan dengan memilih menggunakan tanganku untuk bergantung pada sulur batang pohon daripada menggunakan pijakan kaki. Untung banyak batang pohon menjalar semacam sulur di sepanjang dinding tebing. Aku juga terbantu karena Nelis telah mengambil dulu tas kameraku sehingga tidak mengganggu aku memanjat di dinding yang cukup sempit.

Fautusi, Dinding Batu di Selatan Timor
Lega setelah berhasil naik ke atas. Sebenarnya saat kita 'agak' kesasar lebih mudah kalau mengambil jalan kembali daripada memaksa menaiki tebing. Tapi rupanya jiwa Momon sebagai orang yang pernah masuk kelompok pecinta alam di kampus masih ada, jadi lebih melanjutkan jalan dengan menaiki tebing daripada kembali.

Saat berada di salah satu tebing tertinggi, barulah aku bisa melihat pemandangan keseluruhan di Fautusi. Ada tiga tebing yang menjorok ke laut di Fautusi. Dua tebing bagian atasnya datar dan tidak terlalu tinggi, tapi cukup dibandingnya dengan posisi laut. Kedua tebing itu cocok kalau untuk dijadikan tempat camping. Sedangkan tebing bagian tengah tempat yang aku jangkau ini berbentuk runcing di kiri dan kanan, hanya menyisakan jalan setapak yang sedikit miring. Harus hati-hati, melihat dinding tebing di kiri dan kanan berwarna putih menandakan dinding ini belum berumur lama. Kemungkinan tebing ini pernah longsor.

Untuk informasi, tebing kapur itu walaupun awalnya berwarna putih tapi jika terkena panas lama-lama akan menghitam. Jadi dia melihat tebing kapur berwarna putih sebaiknya berhati-hati karena itu menunjukkan tebing itu baru terbuka, sangat mungkin karena batuan sebelumnya mengalami longsor.

Tebing karang yang tinggi di pinggir pantai mengingatku pada pantai-pantai di Pacitan. Tidak banyak pemandangan tebing seperti ini di pulau Timor. Justru pemandangan tebing seperti ini aku lebih sering aku dapatkan saat mengunjungi pulau Sumba sisi selatan.  Dengan ketinggian tebing lebih dari 30 meter, jelas tanjung ini lebih menonjol daripada pantai berpasir putih di bawahnya. Ada pantai dengan pasir putih? Ada dan sebenarnya juga indah pemandangannya. Mungkin lain kali aku kalau kembali kesini akan menyempatkan diri menikmatinya pantainya.

Perjalanan 3 jam Plus-plus
Aku sudah mengirimkan rencanaku ke 'Tanjung Fautusi' kepada teman-temanku di grup WA "Mlaku-mlaku" beberapa hari sebelumnya namun tidak banyak yang menjawab. Giliran ada yang menjawab pun semua mengatakan tidak bisa karena bla..bla..bla... yang artinya satu: tidak yang ada berminat. Justru sebuah mention WA datang dari seorang teman cewek yang berminat ikut, cuma di WA itu ada tambahan kata-kata "kalau diijinkan ortu". Wah kalau ada kata-kata sakti begini mendingan 'dicoret' dulu dari daftar. Bukan diskrimatif atau apa, masalahnya aku sendiri tidak tahu persis lokasi dan kondisi jalannya. Aku gak berani mengambil risiko bikin nyasar anak perempuan orang, apalagi kalau ada suatu kondisi yang kita tidak tahu yang bisa jadi membuat kita menghabiskan malam di jalan.

Akhirnya, pada hari-H hanya 3 orang yang akan jalan yaitu aku, Momon, dan Nelis. Menggunakan dua motor, aku sendiri dengan motor ADV dan Momon yang membonceng Nelis mengunakan motor Vixion (kalau gak salah). Karena tidak ada rencana menginap, jadi tidak mempersiapkan banyak bekal, untuk makan siang rencana akan membeli nasi kuning yang banyak di seputaran kota Kupang. Walaupun akhirnya beli nasi campur biasa di tengah perjalanan di daerah Oesao.

Sesuai dengan petunjuk Maps, untuk menuju ke Fautusi harus berbelok ke kanan di pertigaan Oesao. Ada dua pilihan jalan yang bisa dipilih, tidak masalah mau yang mana karena keduanya akan mengarah ke desa Tesbatan.

Tiga jam duduk di atas motor tanpa berhenti dari Kota Kupang sampai ke Tanjung Fautusi dengan jalan yang 'sebagian besar' berupa aspal tak mulus jelas sebuah rekor tersendiri buatku. Yang pasti perjalanan itu telah berhasil membuat pantatku terasa kebas dan panas, bahkan aku merasakan sedikit rasa nyeri di tulang ekor. Padahal aku cuma duduk sendiri di atas motor yang tentu lebih leluasa dibanding Momon yang duduk diboncengan bareng Nelis.

Sisa akhir perjalanan ke Fautusi adalah melewati jalan kebun sampai turun ke sungai dan menyusuri jalur sungai sejauh tiga kilometer. Perjalanan dengan menyusuri jalur sungai inilah yang aku kuatirkan dari awal perjalanan. Selain kondisi sungai yang berupa pasir dan bebatuan, sungai ini juga rawan karena sewaktu-waktu bisa diluapkan oleh air. Apalagi jika sampai ada turun hujan di daerah hulu sungai.

Kendaraan berhenti di sebuah perkampungan kecil yang berisi beberapa rumah di pinggir pantai. Disitulah akhir jalan. Setelah kami minta ijin memarkirkan kendaraan, kami meneruskan perjalanan dengan menaiki bukit yang di belakang rumah warga. Kata salah seorang warga, ikuti saja jalan di sana karena tebing itu sudah pernah didatangi orang termasuk pernah digunakan untuk kegiatan off-road. Karena berpikir jalur jalannya sudah jelas, kami memutuskan untuk berjalan sendiri tanpa minta bantuan warga untuk mengantar.

Kejutan Tak Disangka
Ternyata perjalanan masuk tidak seperti yang kami duga, awalnya memang mudah mengikuti jalan hingga akhirnya semakin ke dalam jalan semakin tidak jelas. Bahkan kami benar-benar bingung saat jalan terhalang dengan sulur batang. Jika memang itu jalur jalannya seharusnya tidak ada batang sulur melintang di jalan. Jenis hutan terbuka seperti yang ada di pulau Timor memang kadang agak menyulitkan karena antara jalan dan bukan jalan kadang berbeda tipis.

Ini belum termasuk percabangan jalan yang tidak jelas. Kadang kami tinggal mengikuti jalur yang lebih terbuka jika antara dua cabang jelas terlihat perbedaannya. Tapi lebih sering kami harus menebak arah yang benar. Sampai akhirnya jalan makin tidak jelas sehingga aku dan teman-teman memutuskan naik ke salah satu bukit untuk memastikan keberadaan kami. Dan ternyata benar, kami salah jalan!

Pengalaman naik ke atas dengan memanjat tebing batu yang aku ceritakan di awal sebenarnya bukan salah satu kejadian tak terduga yang harus aku alami.

Saat pertama kali aku sampai di salah satu tebing, dikejutkan dengan badai yang tiba-tiba datang. Saat itu disisi utara langit langit masih cerah, namun sebaliknya di sisi selatan justru gulungan awan tampak menghitam. Dan benar saja, dari laut menderu angin yang sangat kencang. Bukan cuma menerbangkan pasir, ternyata angin juga menerbangkan batu-batu kecil. Kita bertiga bahkan berlari terhuyung-huyung saat lari kembali ke dalam hutan berharap pepohonan akan mengurangi kekuatan angin dibanding di tebing yang kering hanya ada pohon Lontar dan rumput kering.

Akhirnya kami berteduh disebuah bangunan kecil dari pohon lontar yang sudah lapuk dan ditinggalkan pemiliknya. Setelah memasang flysheet untuk menutup bagian atap yang bocor besar, hujan ternyata datang. Hujan di bulan begini? Ya, pada saat yang bahkan Kupang pun tak pernah terkena gerimis. Siapa yang menyangka bahwa di Fautusi akan turun hujan disertai angin kencang seperti ini. Sungguh aneh, dan sungguh suasana yang ada pada saat di tebing waktu itu terasa menyeramkan. Menunggu hujan reda, sambil beristirahat kami membuka bekal makan siang kami. Nasi kucing yang ternyata berisi nasi lebih banyak daripada lauknya terasa nikmat mengisi lambung. Dalam kondisi begini, makanan apapun akan terasa nikmat bukan?

Bahkan saat kembali hujan yang turun lebih kencang, walhasil kami berjalan beriringan dengan menggunakan flysheet untuk pengganti payung. Kami harus berjibaku dengan tanah liat yang memenuhi sepatu yang membuat langkah kaki menjadi lebih berat. Aku harus beberapa kali berhenti untuk membersihkan sol sepatu dari lumpur saking tebalnya lumpur yang menempel.

Informasi Lokasi
Tanjung Fautusi terletak di sisi Selatan pulau Timor yang letaknya berdekatan dengan Pulau Menipo (Kabupaten Kupang) yang berbatasan dengan Oetune (Kabupaten Timor Tengah Selatan) dengan jarak tempuh tiga jam. Waktu tempuh ini bukan karena faktor jauh, tapi lebih karena kondisi jalan yang membuat kecepatan kendaraan lebih rendah. Termasuk juga karena harus menyusuri alur sungai sejauh 3 km untuk ke lokasi.

Untuk menuju ke lokasi, dari perkampungan hanya bisa ditempuh jalan kaki melewati hujan terbuka dengan pepohonan yang tidak tertutup. Tidak ada papan petunjuk, setidaknya hingga saat ini. Untungnya aku mendengar dari teman yang sudah kesana baru-baru ini kalau jalan sudah dibangun sampai di pinggir hutan, jadi kita tidak perlu harus turun ke sungai untuk sampai Fautusi.

Meskipun begitu jika semua rombongan masih awam dengan lokasi ini, aku menyarankan menggunakan jasa pemandu dari warga sekitar yang sudah terbiasa kesini. Jangan hanya mengandalkan GPS, karena menurutku GPS tidak dapat diandalkan di tempat ini.

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 16 November 2020

Nyanyian Senja Padang Humon


Berdiri di padang yang berada di ketinggian, jajaran tanah Timor tampak seperti lapisan-lapisan roti yang dihamparkan di atas sana dan dituangkan selai lemon berwarna kuning oranye di atasnya. Tanah Timor masih belum selesai mengejutkanku dengan tempat-tempat barunya. Fuiihh, tempat yang baru mulai dikenal yang memiliki pemandangan indah seperti ini kadang membuatku heran. Bagaimana bisa tidak ada yang memberitahu ada tempat seperti ini?  Apalagi tempat ini memiliki jarak yang jauh lebih dekat dari Kupang dibandingkan tempat lain, misalnya Fatumnasi. Apa yang membuat tempat-tempat indah seperti ini tersembunyi selama ini?

Berada di ketinggian di atas 1100 mdl seperti ini, aku harus berdebat dengan Sani tentang warna silau terang memanjang di atas layer-layer perbukitan. Apa kesimpulannya? Tidak penting.. Sungguh, lebih baik kalian tidak usah penasaran apa yang aku perdebatkan waktu itu. Bahkan perdebatan itu lebih absurd daripada mimpi, sangat absurd. Tidak masalah, toh tergila-gila dengan pemandangan seperti ini juga sebenarnya berasal dari pikiran absud. Namun semua perdebatan absurd itu terjawab begitu ada warna kuning memantul dari bawah. Ternyata itu adalah garis laut, whattt!?!!

Ternyata mataku sudah tertipu, aku kira dengan ketinggian seperti ini dan pemandangan layer-layer perbukitan tidak mungkin bisa melihat horison laut. Tapi nyatanya itu adalah horison laut. Ternyata di bukit ini kita masih bisa melihat matahari tenggelam di horison laut. Yeayy!!!!

Nama yang Salah

Kuperkenalkan kalian pada kalian nama bukit ini: Padang Humon. Eh, bukannya seharusnya Fatu Monas? Bukannya di Google Maps tercatat dengan nama Fatu Monas? Sabar-sabar.. aku coba jelaskan bagaimana Padang Humon ini sekarang justru dikenal dengan nama Fatu Monas.

Nama yang dikenal masyarakat tentang perbukitan ini adalah Padang Humon. Karena luas, jadi padang ini dikenal dengan dua nama. Padang Humon Besar yang lokasinya dari pinggir jalan sampai dengan turun entah ke berapa aku lupa menghitung. Sedang di sisi Barat yang ada yang disebut dengan Padang Humon Kecil. Nama itu aku dapatkan dari seorang bapak tua yang sedang duduk di bawah pohon bersama dua anak kecil yang masih SMP. Mereka akan mengambil hasil panen yang berada di seberang bukit lain, cukup jauh menurutku waktu mereka mengarahkan telunjuk mereka ke utara jauh di bawah perbukitan.

Padang Humon sendiri dari dulu lebih sering digunakan masyarakat untuk menggembalakan ternaknya. Dengan cuaca di tempat ini yang sejuk ditambah dengan rumput yang selalu ada tentu melepaskan ternak di tempat ini cara mudah untuk menggembalakan ternak tanpa takut hewan ternak kelaparan. Satu-satunya permasalahan adalah air, karena sepanjang mata memandang tidak ada embung atau danau kecil untuk tempat ternak mencari air untuk minum.

Lalu Fatu Monas sendiri asalnya dari mana? Nah itu yang jadi pertanyaanku awalnya. Aku sendiri tidak tahu nama Fatu Monas sampai kemudian aku mencoba check-in di Maps namun tidak menemukan nama Padang Humon namun justru nama Fatumonas. Aku baru tahu setelah perjalanan berikutnya ke Timau, dan Fatumonas sebenarnya adalah nama desa. Iya, beberapa kilometer setelah melewati Padang Humon aku sampai di kawasan pemukiman dan itulah desa Fatumonas. Artinya jelas nama Fatumonas untuk padang sabana itu salah. Mungkin aku nanti akan coba perbaiki kesalahan nama itu di Google Map jika memungkinkan.

Maps Ngaco!
Lagi-lagi ini adalah perjalanan yang secara tidak disengaja telah membuatku nyasar sampai ke Padang Humon. Aku sendiri bahkan tidak tahu bagaimana memberitahu google mencapai lokasi ini. Jadi dari awal perjalanan, aku men-set lokasi tujuan di Google Maps itu Lelogama. Lelogama yang adalah wilayah kecamatan menjadi tujuanku? Bagaimana Maps akan mengarahkan? Nah itulah awal masalahnya.

Karena aku men-set tujuanku bukanlah titik namun wilayah jadi perkiraan waktunya benar-benar menjadi kacau. Lihat saja, mendekati lokasi Maps menunjukkan waktu perkiraan tiba kurang dari 5 menit. Beberapa saat setelah kembali berjalan aku kembali berjalan tiba-tiba waktu bertambah menjadi 15 menit, lho kok bisa?!? Aku coba berpikir mungkin masalah akurasi GPS. Sialnya semakin aku berjalan waktu seperti mundur, terakhir aku lihat jarak tempuh masih kurang setengah jam. Dari situ akhirnya aku memilih mengabaikan perkiraan waktu yang ada di Maps dan terus berjalan mengikuti jalan.

Setelah Maps dengan segala kekacauannya akhirnya memang berhasil memperbaiki perhitungan waktunya. Setelah melewati hutan dengan pepohonan Ampupu aku semakin yakin mendekati wilayah Lelogama. Dan di akhir Maps telah membawaku ke perkampungan yang masih sepi dengan kontur perbukitan sabana berwarna hijau kekuningan dengan ternak-ternak yang dilepaskan begitu saja.

Seandainya saja aku men-set lokasi tujuanku ke Fatumonas mungkin lebih Maps bisa menunjukkan lokasi lebih akurat. Ah sudah terjadi, ya sudahlah!

Padang Humon: Senja dan Milkyway

Padang Humon ini punya view sabana dengan jarak pandang yang cukup luas karena posisinya lebih tinggi dari sekitarnya. Setidaknya pemandangan ke arah barat tidak terganggu sama sekali. Walhasil, dari tempat ini kita bisa leluasa melihat matahari tenggelam di garis horison laut (jika cuaca cerah). Rerumputan di padang ini khas daerah pegunungan yang tidak tinggi jadi menarik enak untuk duduk di atas rumputnya. Tapi hati-hati, jangan sampai menduduki ranjau.. ranjau di tempat ini adalah tai sapi atau tai kuda. Begitu banyaknya tai sapi di bukit ini, benar-benar harus hati-hati melangkah apalagi menjelang gelap. Padang Humon bukanlah satu-satunya padang di tempat ini, namun mungkin salah satu lokasi yang strategis untuk menikmati senja.

Aku sudah setidaknya tiga kali ke tempat ini, dan selama 3 kali itu beruntung mendapatkan momen saat matahari tenggelam di ufuk barat. Padahal 2 kali selalu di awali dengan kondisi langit yang mendung, membuat pada saat itu aku pasrah jika tidak bisa melihat sunset karena matahari terhalang awan.

Perjalanan pertamaku justru sekitar bulan Juli yang pada saat itu masih musim kemarau jadi langit cenderung bersih. Pada waktu itu mungkin Padang Humon baru mulai dikenal masyarakat sehingga tiap akhir pekan selalu dengan masyarakat yang datang dengan segala jenis kendaraan. Aku sengaja datang menjelang sore namun tetap banyak yang bertahan menunggu sunset. Setelah matahari menghilang satu demi satu pengunjung mulai pulang. Bahkan sebelum gelap suasana sudah kembali sepi, kecuali 2 buah tenda yang berdiri di bagian atas bukit. Rupanya ada rombongan muda-mudi yang merencanakan bermalam di tempat ini.

Karena langit cerah, aku mencoba peruntungan dengan tetap di padang sampai gelap. Walaupun dekat dengan perkampungan namun ternyata malam di sini masih gelap pekat tidak ada polusi cahaya. Mungkin karena perkampungan berada jauh di bawah bukit jadi terhalang pepohonan dan perbukitan.

Dan benar, sekitar jam 7 malam galaksi Milkyway tampak semakin jelas di langit membentang dari utara ke selatan. Benar-benar tampak jelas karena atmosfer di tempat ini yang masih bersih. Mungkin satu dua truk pengangkut material yang akan kembali kadang mengganggu pandangan. Selebihnya aku benar-benar leluasa menikmati langit malam sebelum nanti jam 10 bulan mulai keluar.

Catatan untuk ke lokasi Padang Humon:

  1. Jarak tempuh dari Kota Kupang sampai ke Padang Humon sekitar 3 jam lebih 15 menit dengan kecepatan rata-rata. Perjalanan pulang mungkin bisa lebih cepat karena jalan cenderung terus menurun. Persiapkan kendaraan (motor/mobil) dengan baik terutama rem-nya. Dengan ketinggian 1.100 mdl, jalur ke Lelogama lebih banyak dipenuhi perbukitan sehingga banyak jalur tanjakan agak ekstrem dan belokan tajam.
  2. Kondisi jalan saat ini bagus walaupun jalan tidak terlalu lebar. Hanya ada 2 titik jalan yang belum beraspal masih berupa jalan tanah putih berbatu, namun tidak bermasalah walaupun dilewati saat musim hujan. Namun jika ban kendaraan bagus setidaknya menghindari masalah slip di dua titik ini. Masih ada 1 jembatan kayu, walaupun masih kuat untuk dilewati kendaraan bahkan sekelas truk besar, sebaiknya tetap berhati-hati.
  3. Pada bulan-bulan tertentu (terutama saat musim hujan) daerah Lelogama sering berkabut. Pastikan lampu kendaraan tidak bermasalah karena kadang kabut sangat tebal yang membuat jarak pandang sangat terbatas. Lampu kendaraan yang menyala membantu kendaraan lain mengenali ada kendaaran di depannya.
  4. Jangan paksakan untuk menaikkan kendaraan di atas bukit. Saat ini memang memungkinkan menaikkan kendaraan sampai ke atas bukit karena tidak ada penjaga. Namun jika hal itu sering dilakukan lama-lama rumput akan rusak.
  5. Belum ada bangunan untuk urusan kencing atau buang air besar. Jadi pertimbangkan untuk mengatur jumlah minuman yang harus dikonsumsi. Tapi tetap agak sulit untuk tidak kencing disini, dengan kondisi hawa yang dingin seringkali membuat keinginan kencing tak tertahankan.
  6. Jaga kebersihan! Semenjak Padan Humon ini dikenal oleh masyarakat dan banyak dikunjungi selalu menyisakan persoalan sampah. Bawa kembali semua sampah, jangan ditinggalkan di lokasi ini. Cukup tinggalkan kenangan indah saja.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 22 September 2020

Sunset di Tanjung Toda


Aku tak sanggup beranjak dalam takjub, malam bergerak dengan ditutup pertunjukan senja yang memukau. Awan jingga menyaput biru kelam langit. Sebuah pelepasan yang begitu manis meski segelas kopi panas tak ada dalam genggaman tanganku, sudah tandas beberapa menit yang lalu. Ah senja dan kopi tidak selalu bersama ternyata.

Dua Jam 'Tanpa Arah'

Tak ada niatan sama sekali ke tempat ini, waktu itu cuma terpikirkan mau jalan saja. Terus mikir mau ngajak siapa yang bisa diajak jalan 'dadakan' tanpa perlu direncanakan dulu. Jalan seperti ini memang biasa bagiku karena beberapa kali perjalanan yang direncanakan malah berakhir batal atau tertunda lama. Apalagi kalau merencanakan perjalanan dengan teman yang tidak biasa jalan, duh dari awal emang harus siap untuk batal. 

Berdua sama temanku, Sani - orang Yogya yang hobinya juga jalan gak jelas- kami berdua berboncengan ke arah Timur. Kemana? Masih belum jelas. Ada beberapa rencana tempat seperti ke Fatuleu, atau ke Lelogama, atau sekedar ke Bendungan Raknamo. Entah, semua ide bersliweran tapi seperti gak 'nyantol' sampai selepas Oelamasi baru kepikiran untuk coba menjelajahi wilayah Sulamu.

Aku sendiri lupa-lupa ingat apakah pernah pergi ke Sulamu atau tidak, karena kalaupun pernah mungkin itu tahun 2000-an dimana kondisi jalannya masih ampun-ampunan. Sekarang sih sudah jauh lumayan bagus. Jadi aku bisa sampai ke sebuah kawasan yang penduduknya sangat padat yang berada di ujung utara teluk Kupang. Sebuah dermaga rakyat dengan mercusuar menjadi penanda kawasan itu. Tempat ini mengingatkanku pada kampung orang Bajo atau Buton cenderung rumahnya berdiri rapat.

Di depan dermaga tampak sebuah pulau kecil yang diberi nama pulau Tikus. Kalian mungkin sudah tahu kenapa pulau itu diberi nama pulau Tikus, ya karena jika dilihat dari atas tampak seperti tikus dengan ekor putih. Ekor putih itu sebenarnya adalah pasir putih, cuma itu adalah gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah daratan berpasir yang hanya muncul saat laut surut. Pulau Tikus itu sebenarnya menarik perhatianku, bahkan seorang nelayan tua menawarkan untuk mengantarkanku ke pulau itu. Tapi dari kejauhan aku melihat pasir putih yang merupakan ekor pulau Tikus sedang tidak ada, yang artinya air sedang tidak surut. Dan satu lagi yang mengganggu, sepanjang pantai sampai ke pulau itu banyak botol mengambang yang artinya ada tanaman rumput laut. Artinya untuk pulau itu harus memutar perahu dulu tidak bisa tembak lurus langsung dari dermaga.

Karena tidak ada tempat yang tepat untuk melihat matahari terbenam, aku dan Sani meneruskan perjalanan ke arah barat melewati jalan kecil diapit rumah-rumah yang bersesakan. Membingungkan, aku bahkan harus bertanya beberapa kali untuk keluar dari kampung kecil ini. Jalan terakhir melewati jalan tanah di pinggir pantai, itu pun harus melewati lorong antar rumah yang sebenarnya bukan untuk motor.

Tanjung di Kecamatan Sulamu

Tanjung Toda, itu nama yang disebutkan oleh John. Pria berbadan kecil yang lebih sering menghabiskan hari-harinya di tempat ini mengurus rumput lautnya. Sebuah rumah beratap alang-alang pendek adalah tempatnya bermalam selama tinggal di sini. Kebetulan hari ini cukup banyak masyarakat yang berprofesi sebagai petani pembudidaya rumput laut yang memilih bermalam disini, bekerja sekaligus bersantai di hari libur.

Tanjung Toda ini namanya belum ada dalam pencairan google maps mungkin karena tak dianggap sebagai tempat wisata. Memang mungkin kurang cocok untuk menjadi tempat wisata karena sepanjang pinggir pantainya berupa batu karang. Ada pasir putih, hanya tidak lebar dan sebagian besar hanya muncul saat laut sedang surut saja seperti sekarang. Saat itu, pantai dapat digunakan untuk untuk mandi dan bersantai.

Di sepanjang jalur pantai Tanjung Toda banyak bangunan kecil beratap alang-alang yang digunakan oleh petani pembudidaya rumput laut, salah satunya John. Benar, sepanjang pinggir laut Tanjung Toda memang dipenuhi benda plastik minuman botol yang digunakan masyarakat untuk mengikat tali-tali yang dipasang rumput laut agar tetap mengambang di permukaan.

Sepanjang sore itu, beberapa pria dewasa tampak berjalan hilir mudik di laut yang airnya setinggi dada mereka. Mereka tampak menarik-narik sesuatu dari tali yang digunakan untuk mengikat rumput laut. Mungkin mereka sedang membersihkan rumput laut dari gulma/tanaman pengganggu. Sementara anak-anak yang kecil lebih banyak bermain di pinggir laut.

Rumput laut memang tampaknya telah menjadi mata pencaharian masyarakat Sulamu. Tanaman ini dibudidayakan di sepanjang pantai mulai dari dermaga perikanan Sulamu sampai ke Tanjung Toda ini. Alhasil, pemandangan botol-botol plastik mengambang menjadi pemandangan setiap hari di sini.

Sebuah Tempat Dimana Matahari Mengucapkan Selamat Malam

Ada daerah yang memiliki pantai dengan pasir putih yang tidak berada jauh dari tanjung Toda, tapi aku memilih tidak melihat sunset dari sana karena matahari tidak tenggelam di horison laut. Beda dengan tanjung Toda, karena matahari benar-benar tenggelam di horison laut. Di tanjung Toda ini, matahari selalu jatuh di horison laut apapun bulannya.

Siapa yang menyangka, tempat ini adalah tempat dimana matahari terbenam di laut yang akan selalu menyapamu. Tak banyak hiruk pikuk, karena hanya mereka petani rumput laut dan keluarganya yang menyapamu. Tak ada wisatawan yang suka memenuhi laut untuk menikmati senja yang kadang berisik dengan musik berdentam-dentam, dengan suara bass yang nyaris bikin copot jantungmu. Tidak, semua keriuhan semacam itu tidak ada saat ini. Hanya pekik teriakan anak-anak yang disahut oleh lengkingan balik burung-burung laut.


Kadang tempat yang tidak memiliki pasir pantai bisa begitu menyenangkan apalagi dengan begitu aku tak akan dipusingkan bahwa tempat ini akan didatangi banyak orang. Kupikir tidak, tempat ini tidak terlalu menarik untuk didatangi apalagi untuk wisata. Tapi bagi kalian yang ingin menikmati sunset, tempat ini bolehlah kalian kunjungi. Jangan lupa membawa kopi.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 07 Juli 2020

Bukit Pandang Oemasi

Beberapa tanaman perdu mengering berubah menjadi berwarna putih


When traveling for an extended period of time, desirable changes - increased openness to experience, emotional stability, agreeableness, and creativity - emerge. Jaime Kurtz, The Happy Traveler

Bukit Pandang Oemasi, mungkin nama itu cocok aku sematkan  untuk nama tempat ini. Karena memang saat ini di Google Maps belum ada nama untuk tempat ini. Titik pandang ini adalah salah satu titik puncak perbukitan yang lebih dari dari perbukitan yang ada di kawasan ini. Kontur dari tempat ini mengingatkanku pada Ikan Foti yang juga tidak berada jauh dari tempat ini, mungkin saja keduanya berada di jalur yang sama.

Setelah jam setelah melewati pertigaan, ada sebuah jalan kecil berbelok ke sebuah tempat yang lebih tinggi daripada yang lain. Ada jajaran pohon cemara yang beberapa dahannya ditumbuhi tanaman parasit sejenis tanduk rusa. Beberapa batuan besar tampak mencuat ditutupi sekelilingnya oleh rerumputan yang pendek dan tampak rapi. Dari tempat ini, angin terasa sejuk walaupun matahari sedang garang-garangnya bersinar tanpa terhalang awan. Entah karena pengaruh bulan Juni, atau hawa di bukit kecil memang seperti ini. Hawa seperti ini memang racun. Angin yang berdesau seperti nyanyian Nina Bobo paling indah, lalu bisikan-bisikan untuk meletakkan sebentar kepala di rerumputan. Sesapan kopi hitam bahkan tak mampu melawan jika sudah di posisi seperti ini. Namun bunyi angin keras yang menabrak pepohonan cemara membuyarkan kantuk, suara seperti deru mobil truk terdengar keras memantul di bawah bukit. Ah iya, masih musim angin di bulan ini.

Y

ang sedikit mengganggu dari pemandangan di sini adalah batu-batu besar yang ada di tempat ini sudah dicoret-coret dengan cat biru oleh mahluk 'brengsek yang pengen eksis tapi tidak tahu cara yang benar'. Bahkan beberapa pohon cemara juga tidak luput aksi vandalisme mereka. Sekarang aku lagi berpikir cara untuk membuat mereka kapok melakukan vandalisme semacam itu, ada saran?

Karena siang ini adalah hari Sabtu, tidak ada seorangpun yang datang ke tempat ini. Hanya lalu lalang beberapa kendaraan roda dua dan pickup yang mereka sebut 'bis kampung' yang mengangkut penumpang dari desa sebelah ke Baun (ibukota Kecamatan Amarasi Barat). Tapi kedatangan mereka kadang-kadang tidak tidak terdengar, kalah dengan suara deru angin yang mirip suara truk tadi.

Bonusnya pada bulan begini adalah rerumputannya sering kali tidak hanya berwarna hijau tapi mulai kecoklatan (coklat terang agak kekuningan). Beberapa gerumbul tanaman liar juga mulai berubah warna memutih yang menjadikan bukit tampak berbeda.

Ada insiden yang cukup menyedihkan di lokasi ini, aku kehilangan lensa "Fujinon FX 50mm f2.0" yang belum lama aku beli. Ini gara-gara aku salah tidak memberitahu temenku Sani cara membawa tas kamera. Karena tas kameraku berbentuk slingbag, seharusnya cuma ada satu arah untuk membawanya, tapi Sani dengan enteng memutar dari depan ke belakang. Alhasil, resleting kamera jadi menghadap ke belakang. Entah resleting kurang kuat atau memang lupa tidak ditutup tapi itu yang mengbuat lensa terjatuh dan hilang dari tas tanpa kita sadari. Hiks, kalau memang rezeki anak soleh InsyaAllah itu lensa akan kembali lebih banyak.. hahaha...  ngarep. Boleh dong ah, daripada sedih bikin gak asyik.

Pas hari Minggu setelah kita jalan-jalan, aku sempat kembali ke tempat ini bareng istriku dan berharap masih akan menemukan lensa itu walaupun dengan harapan tipis. Apa daya waktu kembali ke sana ternyata tempat ini ramai waktu Minggu menjelang sore. Akhirnya aku tahu kalau tempat ini tidak sesepi yang aku kira. Rupanya banyak orang yang telah menjadikan tempat ini untuk berlibur terutama sih untuk mengambil foto walaupun belum ada nama tempat untuk bukit ini. Akhirnya aku coba mendaftarkan nama tempat ini ke Google Maps dengan nama "Bukit Pandang Oemasi", walaupun sampai dengan saat ini belum disetujui oleh Google.

Perjalanan Pertama Selama "Pandemi Corona"
Hari-hari ini akan menjadi kenangan yang tidak pernah hilang dari banyak benak orang. Ketika hari-hari tidak sama seperti yang sebelumnya kita alami. Dari yang biasa tiap malam pasti keluar walau cuma satu jam dua jam untuk belanja sekalian dengan cuci mata. Tiba-tiba tiap malam kita cuma bisa di rumah, karena jam malam tiba-tiba diberlakukan. Lampu-lampu kota yang biasanya menyala dimatikan, jam-jam tertentu mobile polisi dengan lampu biru berputar-putar patroli tiap beberapa jam. Beberapa tempat nongkrong di pinggir jalan langsung dibubarkan begitu tampak beberapa orang berkumpul. Tidak boleh, katanya.

Nama 'Corona' begitu menghebohkan dunia, virus yang konon katanya bermula dari sebuah pasar di Wuhan yang menjual daging kelelawar. Banyak kematian yang disebabkan olehnya, suatu saat hari-hari ini akan dikenang orang karena telah mengubah banyak wajah dunia.
Namun setidaknya kita harus bisa berdamai dengannya, begitu pesan pakde Jokowi padaku tempo hari. Tidak buatku sendiri sih, kamu juga.. kamu juga, kamu yang disana juga iya.
Stress juga kan kalau tiap hari terus kuatir memikirkan virus yang namanya sama dengan bentuknya ini. Udah bikin ekonomi jeblok ditambah lagi bahaya stress akut. Cukuplah petugas kesehatan rumah sakit yang kewalahan dipenuhi pasien Corona, jangan rumah sakit jiwa ikut penuh. Iya nggak gaess?? Salah satu obatnya ya jalan-jalan, tapi tetap dengan protokol kesehatan ya.

Catatan Kecil
Sebenarnya bukit pandang ini bukannya tempat tujuan, hanyalah sebuah rest area atau tempat singgah sementara dari kepenatan pantat dalam perjalanan dari Kupang menuju Pantai Nimtuka, yang mungkin akan aku ceritakan lain kali.

Tidak ada google maps sementara ini karena sampai saat ini tidak ada penanda lokasi. Aku sudah coba menambahkan tempat ini sebagai missing place namun sampai dengan saat ini masuk dalam status "review". Baru kali ini aku mendapatkan sebuah review yang cukup lama, rupanya efek corona sampai mempengaruhi di kecepatan google menambahkan lokasi baru.
Jika permintaanku menambah tempat ini sudah disetujui google maps akan langsung aku update lokasinya disini.
*update: Yeay... akhirnya google menyetujui penambahan lokasi ini.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya