Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 29 Maret 2020

Segelas Kopi dan Alunan "La Valse d'Amélie"

Injak gas, motor hidup sebentar lalu mati, injak lagi hidup sebentar mati lagi. Setelah beberapa kali dan tahan gas motor barulah motor bisa hidup. Lagi-lagi begini nih motor yang diseting hemat keparat, dibanyakin anginnya kurangi bensinnya akhirnya motor lebih sering kentut.
Kali ini aku tetap ingin menjadi yang membonceng saja, apalagi kalau bukan karena helm pinjaman punya aroma yang tidak mengenakkan.. maaf ya saya terlalu jujur untuk ini. Kalau rambutku gondrong mungkin cuma bau di rambut tinggal disampo habis perkara, tapi karena kepalaku botak bisa-bisa terpaksa cuci pake sabu deterjen untuk kasih hilang baunya hahahaha. 
Golongan darah B memang dikaruniai lebih tahan makan daging, tapi mungkin itu pula pemilik darah B kadang agak emosional. Tidak heran kalau begitu motor hidup Kadek maunya lari saja. Agak malas mendebat kali ini, aku biarkan saja dia sama kelakuannya. Untungnya kita segolongan walaupun beda tampang. Kadek tampan, kalo aku? parah hahahahaha....... (parah pangkal pandai)
Rencana hari ini mengunjungi pohon rindang satu biji di tengah padang lapang sabana di jalur jalan Mbay-Ende. Bukan mau bakar kemenyan buat minta rejeki tapi mau moto, apa lagi. Pohon itu lumayan bertuah, terbukti cukup banyak menyelamatkan orang dari panasnya Mbay seperti sekarang ini.
Sayangnya kondisi perbukitan lagi aneh, banyak rumput kering berwarna kuning pucat tapi sebagian masih nongol warna hijau. Asli, sebenarnya aku maunya cuma rumput berwarna kuning pucat seperti minggu kemarin, rasanya rumput-rumput hijau ini malah menggangu saja.Tak apa lah, masih ada kesempatan berikutnya. Rumput di sabana ini luar biasa, biar dikeringin sampai hitam, tapi begitu ada hujan dengan ajaib bakalan hijau kembali.Pasti gara-gara hujan kemarin.


Roda motor "Megapro" menggilas batuan yang berserakan di beberapa ruas jalur Aeramo. Ini berasal dari tumpukan batu-batu dan pasir yang banyak ditimbun di pinggir sepanjang jalan. Jalur jalan yang diapit kiri kanan dengan kawasan persawahan terluas di Nusa Tenggara Timur ini rupanya sedang direhabilitasi untuk pelebaran jalan. Suasana persawahan yang sebagian besar masih menghijau ini tampak asri, tampak rumah-rumah dibangun tidak di pinggir jalan tapi agak menjorok ke dalam. Jalan kecil menuju rumah berdiri berjajar pohon kelapa kiri-kanan selang seling.  Tempat menarik yang sepertinya sudah kumasukkan dalam memori untuk nanti aku jelajahi. selain areal persawahan yang asri, Kadek yang menjadi tulang ojek kali ini menunjukkan tempat-tempat lapang yang ditumbuhi pohon-pohon asam yang rindang, dia terkesan tempat ini untuk menjadi tempat foto prewedding atau model. 
Setengah jam berikutnya aku sudah sampai di pinggir pantai Marapokot. Bingung mau kemana, akhirnya motor aku arahkan masuk kembali ke daerah pantai melewati kawasan perkampungan nelayan sebelah dermaga TPI Marapokot. Di perjalanan aku bertemu dengan orang-orang yang mondar-mandir di suatu jalan. Berbincang-bincang dengan orang tua yang sedang bertelanjang dada dan membawa handuk berjalan ke timur aku mendapatkan informasi bahwa di pinggir pantai ini terdapat sumber air panas. Dan orang tua ini mau ke sumber air panas untuk mandi.
Tertarik untuk tahu seperti apa sumber air panas disini aku mengikuti bapak tua itu. Sekitar 200 meter setelah melewati sebuah muara kecil akhirnya aku sampai disebuah kubangan air dikelilingi pohon bakau. Bau lumpur dan belerang langsung menyergap hidung. Sayang sekali sumber air panas di sini berada di rawa lumpur tidak seperti di Pantai Hading di Flores Timur yang ada di pasir sehingga warnanya bening dan tidak berbau lumpur.
Walaupun airnya berbau lumpur tapi kalau sore atau pagi hari rupanya tempat ini ramai orang yang datang untuk mandi, sepertinya mereka tidak terganggu dengan aroma lumpur campur belerang ini. Beberapa orang sempat menanyakan kalau aku hendak mandi, tapi aku mengeleng dan menolak halus. Sempat aku mencelupkan tanganku untuk memastikan bahwa air disini panas. Wah, aku lupa khasiat air panas disini, siapa tahu bisa untuk pengganti luluran lumpur hehehe.
Dari pantai Marapokot, aku dan Kadek langsung mau pulang tapi ternyata tertahan karena beberapa kali mata Kadek terkena serangga-serangga yang biasanya beterbangan menjelang malam. Aku lupa kalau daerah ini daerah persawahan yang tentu saja bukan waktu baik untuk berjalan senja menjelang malam begini. Aku masih lumayan, setidaknya serangga tidak mungkin langsung mengenai mataku karena aku berkaca mata (kadang berkaca mata harus disyukuri juga).
Akhirnya Kadek membelokkan motor ke arah pelabuhan Marapokot sesuai arahanku. Pemilik warung seorang bapak tua berambut putih yang ditutupi peci menyapaku dengan ramah menawarkan minuman. Ini kali kedua aku mengunjungi warung ini, jika kemarin aku mendapatkan ubi goreng yang enak, kali ini di atas meja yang terhidang adalah mangga. Nagekeo memang lagi musim mangga, saking banyaknya mangga bahkan minta satu mangga bisa dapat satu tas besar mangga, manis-manis pula lagi. Jadi acara kali ini no mangga
Tak lama kemudian secangkir kopi jahe panas mampir ke meja dan semangkuk mie rebus. Kadek tidak makan mie waktu aku tawari, kemungkinan dia takut rambutnya yang sudah seperti sarang burung akan tumbuh seperti mie goreng kalau terlalu banyak makan mie. Seandainya alasannya itu tentu aku memaklumi walaupun agak tidak masuk akal. (lagi berpikir bikin penelitian hubungan rambut keriting dan mie instan)
Beberapa orang tertarik dengan gaya penampilan aku yang mirip wartawan "Comberan", hanya karena melihat rompi dan tentengan kamera yang seperti orang mau transmigrasi. Walaupun setengah ngotot akhirnya mereka percaya kalau aku bukan wartawan. Akhirnya acara di warung menjadi ramai setelah mereka ingin mencoba kamera DSLR yang aku punya. Ramai karena aku pastikan hasil fotonya gagal semua karena kamera aku masih set manual semua yang tentu saja tidak bisa dibuat moto begitu saja layaknya kamera poket (pelajaran hari ini: ternyata kamera poket lebih enak dan gampang). Sepertinya setelah ini mereka bakalan berpikir bahwa orang yang menggunakan kamera DSLR kurang kerjaan dan cuma buat menghabiskan uang saja. Seorang lagi yang kebetulan sering menyopiri mobil rental untuk mengantar tamu-tamu berwisata di Flores juga menambah suasana makin ramai. Ada satu cerita lokasi yang tampaknya membuat Kadek tertarik untuk melihatnya. Lewat senja baru aku dan Kadek kembali ke hotel.


Besoknya acara hunting foto kembali di mulai, apalagi setelah seorang teman dari NPC yang merupakan musisi handal Eddy Kribo eh bukan Eddy Due Woi protes gara-gara ke hotel tidak menemukan kami. Tentu saja tidak ketemu, kita sedang bahagia terdampar di Marapokot.
Kembali ke tempat yang sama di sabana Mbay, kali ini kita mencoba naik lebih tinggi. Di jam tanganku ketinggian tempat ini menunjuk ke angka 220 meter. 


Ternyata dari tempat ini saat ini adalah spot terbaik untuk menikmati perbukitan Mbay, perbukitan tampak bertumpuk-tumpuk dengan dibatasi warna kabut yang turun menjelang malam. Sayangnya matahari lebih dulu menghilang sebelum sampai ke tempat ini, spot terbaik namun belum menjadi momen senja terbaik.


Di balik punggungku ternyata bulan pucat sedang menggantung tertutup awan tipis putih. Aku baru menyadarinya benar-benar setelah mengemasi peralatan dan berbalik untuk mencari Kadek dan Eddy yang sudah menghilang entah kemana. Beberapa saat dua pertunjukan senja berlatar tumpukan perbukitan yang dipenuhi kabut-kabut tipis dan purnama yang muncul dari balik awan membuat kita duduk terpesona dengan suasana ini.
Otak cerdas dari rambut mirip mie dengan sigap memutarkan sebuah musik orkestra lembut yang menggambarkan suasana perjalanan hati yang sendiri.   "La Valse d'Amélie" seolah melontarkan imajinasi masing-masing menikmati spot terbaik di sabana ini. Semua yang direncanakan menjadi tidak terencana. Seolah-olah kita disini karena dilontarkan waktu untuk menikmati rumput-rumput berwarna putih kekuningan yang makin memucat disinari cahaya bulan purnama yang juga pucat. Nyamuk-nyamuk sukses berpesta menggigiti kaki dengan antusias tapi tidak berhasil menarik kita untuk pulang. Rasa gatal di kaki terlalu kecil dibanding  menikmati alunan langsung  "La Valse d'Amélie" dari sabana ini. Awan kelabu dan awan terang bergantian datang, kadang diam kadang bergerak cepat.
Ternyata lewat jam 9 malam barulah kita sadar kalau kita lapar, bahkan kita lupa ancaman pulang dengan tahi-tahi kerbau yang tampak sore hari, entahlah apakah kita akan sukses melewatinya saat malam begini. Orkestra "La Valse d'Amélie" terus mengalun mengiringi langkah-langkah kaki yang hati-hati melangkah menyusuri sabana yang diterangi bulan purnama. Ada jiwa yang sama yang mendendangkannya, begitu halus namun terasakan, seperti jarum yang begitu halus pelan menghujam. 


Mbay, 11 November 2011 (saat orang-orang demen pada nikah dan orok-orok pada dipaksa lahir lewat caesar, sungguh kasihan)

6 komentar:

  1. Wah perjalanannya asyik. Foto2nya juga keren. Mohon ijin link-nya dipasang di blog Blogger NTT ya... makasih :)

    BalasHapus
  2. Makasih buat kunjungannya, link Flobamora Community udah dipasang juga....

    BalasHapus
  3. wah Mbay,, aku belum pernah ke sana masbek.. semoga bisa berkunjung ke sana dalam rangka jalan2, maksimal ST lah, gak usah SK hihi..

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sk juga gak papa kok Bar.. jiwa jalan-jalanmu kayaknya gak masalah sengan SK maraton hahahaha

      Hapus
  4. Ih bagus ya pemandanga nya , kalo baca manga di mangafast.net sambil minum kopi disana pasti nikmat ini hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul pasti jos banget tahu-tahu udah malem aja..

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya