Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 08 November 2015

Tosca di Pantai Ina Bura

Pemandangan pantai Ina Bura berlatar gunung Ile Boleng

Diapit karang-karang terjal berwarna hitam, pasir putih yang berada di pantai Ina Bura tampak kontras dengan warna hijau tosca dari air laut. Di depan pantai Ina Bura adalah pulau Lembata. Sementara, di belakang pantai Ina Bura tampak gunung Ile Boleng yang mengeluarkan asap. Bukan asap dari kawah gunung tapi dari masyarakat yang membakar pepohonan dan rumput kering di gunung. Ile Boleng adalah satu-satunya gunung yang aktif di pulau Adonara.Ina Bura, artinya arus kuat. Kamu bisa melihatnya jelas saat berdiri di bebatuan karangnya, arus itu berasal dari pertemuan arus yang melewati selat ini. 

Karang-karang di sekitar pantai Ina Bura
Pasir putih di pantai Ina Bura memang tak luas namun letaknya yang terjepit bebatuan karang justru menambah eksotisnya pantai ini. Pantai Ina Bura memang bukanlah semuanya pasir putih saja, ada beberapa karang terjal selain yang mengapit di sekeliling pantai, namun justru itu menguntungkan membuat ombak besar tidak langsung menghantam pantai ini. Namun untuk berenang memang harus lebih hati-hati terutama saat terjadi pergerakan arus air pasang surut. Sama seperti kondisi di selat antara Larantuka-Adonara, pantai Ina Bura juga terletak di selat antara Adonara-Lembata. Yang pernah aku lihat, kadang siang hari tampak pusaran-pusaran air yang cukup ditakuti nelayan karena jika masuk ke perangkap pusaran itu bisa-bisa perahu hilang tenggelam terbawa arus. Tapi jika waktunya tenang, memang bisa jadi lautnya bisa tenang sekali seperti kolam yang nyaris tidak beriak. Saat-saat tenang seperti itulah waktu terbaik untuk dikunjungi.

View Larantuka dari pantai Palo, Adonara Barat
Pantai Ina Bura ini sebenarnya di luar perencanaanku, bahkan aku tidak memiliki preferensi apapun tentang pulau Adonara. Perjalanan ke tempat ini bermula saat aku mau tugas mengecek pekerjaan irigasi dan bendungan di lokasi Waiua Tanah Merah. Waktu itu cuma mikir, sampai di sana pokoknya mau cari salah satu pantai yang bisa dikunjungi
Jam sembilan aku dijemput di hotel sama pak Alfon. Kirain mau ke dermaga pelabuhan Larantuka tapi ternyata di bawa ke dermaga kecil di Pantai Palo. Ternyata ada beberapa lokasi untuk menyeberang ke Adonara. Kalau berangkat dengan rombongan (lebih dari satu motor), maka lokasi penyeberangan biasanya tetep di dermaga Larantuka karena di sana perahunya berukuran besar jadi muat beberapa motor bahkan mobil juga bisa. Cuma karena daya tampungnya lebih banyak jadi harus menunggu jumlah penumpang cukup baru jalan.
Kalau hanya sendiri atau berdua dengan satu motor lebih enak lewat dermaga kecil di Pantai Palo. Satu perahu hanya muat paling banyak dua motor untuk sekali jalan. Sebenarnya bisa lebih sih cuma mereka berbagi penumpang jadi dibatasi sampai dua motor saja, malahan kadang cuma satu motor kalau lagi sepi. Jadi walau pendapatan mereka tidak besar mereka ternyata akur berbagi rejeki gak main mentang-mentang.



Menuju ke pantai Ina Bura
Jarak dari Larantuka ke Adonara Barat paling banter hanya sepuluh menit sudah akan sampai di dermaga Adonara Barat, tepatnya di Pantai Tanah Merah. Keberadaan dermaga ini membantu terutama warga Adonara Barat yang membuat perjalanan dari dan ke Larantuka jadi lebih mudah. Kondisi ini belum lama lho, sebelumnya masyarakat pulau Adonara harus menunggu kapal feri yang hanya singgah sekali dari Larantuka ke Lembata dan singgah di Waiwerang (Adonara Timur). Dermaga-dermaga baru ini memang jadi sangat membantu, waktu aku berangkat barengan sama rombongan orang yang baru selesai menjenguk saudara mereka yang sakit dan rawat inap di RSUD Larantuka. Dengan kondisi sekarang, gampang saja kalau mereka tidak ingin menginap di Larantuka karena perahu-perahu ini selalu tersedia. Sayangnya aku lupa bertanya, perahu ini ada sampai jam berapa. Tapi sepertinya mereka juga tidka masalah kalau kita minta mengantar malam-malam asal penumpangnya cukup.


Sayangnya aku gagal mengecek irigasi di Tanah Merah sehingga aku langsung ke Waiwuring yang masuk Kecamatan Witihama. Melewati Adonara hampir dua jam perjalanan darat menembus jalur tengah pulau Adonara dari ujung Timur ke Barat sukses membayar kulit dan jidatku menjadi hitam. Belum lagi banyak jalan yang sedang dalam kondisi perbaikan sehingga jalan dipenuhi dengan debu. Bahkan jalurnya pun tergolong sulit karena dibeberapa titik jalan ada yang menurun tajam, sempit dan batuannya mudah terlepas. Kondisi jalan seperti ini bagi orang di kota besar pasti cepat menimbulkan stress, tapi beda dengan pak Alfon yang memang aslinya dari Adonara. Menurut pak Alfon, dulu jalur dari Waiwerang ke Tanah Merah bisa dibilang parah banget, itu pun ditambah dengan tidak banyak alternatif kendaraan yang tersedia.
Siang setelah diajak makan dan bersantai di rumah pak Irsyad salah satu penduduk di Waiwuring, barulah waktuku agak longgar. Rencananya aku akan balik dengan menumpang kapal feri lewat pelabuhan Waiwerang yang akan singgah jam dua siang. Perjalanan dari Waiwuring ke Waiwerang sendiri sekitar satu jam, dengan syarat tidak lewat jalan umum tapi by pass melewati perkebunan kelapa. Sebenarnya ada satu lokasi bagus untuk dikunjungi yaitu di Meko, di sana ada pulau pasir yang terjepit di antara dua pulau. Sayang perjalanan ke Meko pasti lama karena kondisi jalannya yang cukup parah, padahal jarak dari Waiwuring ke Meko sebenarnya tidak jauh.

Pak Alfon akhirnya menyarankan aku agar mengunjungi pantai Watotena yang menjadi salah satu daerah tujuan wisata masyarakat lokal Adonara karena setujuan ke arah Waiwuring. Aku sih mengiyakan saja karena memang tidak tahu kondisi Adonara. Apalagi kapal feri ini hanya satu kali saja sehari, jadi sekali kami ketinggalan kapan terpaksa harus menginap sehari di Waiwerang.Balik lagi ke Tanah Merah?? Ogah banget, waktu ke sini aja udah ngeri aja liat jalan rusak menurun seperti itu apalagi nanti kalo ke sana yang artinya jalan naik.
Setelah jalan sekitar satu jam melewati sungai dan perkebunan, pak Alfon justru akhirnya membawa aku ke pantai Ina Bura, bukan pantai Watotena yang dia janjikan semula. Waktu aku tanya lokasi Watotena, dia menunjuk kiri ke arah perbukitan karang yang mengelilingi pantai Ina Bura ini. Jadi, pantai Ina Bura dan pantai Watotena ini letaknya bersebelahan dan hanya dipisahkan dengan tebing perbukitan karang.

Air biru tosca adalah salah satu daya tariknya
Suasana pantai sepi dan juga masih cukup bersih. Setidaknya sampah yang ada di sekitar pantai adalah sampah dedaunan bukan sampah plastik. Ada satu lopo agak besar yang dibangun di pinggir pantai. Pantai ini rupanya belum masuk pengelolaan pemerintah daerah sehingga masih dikelola sendiri oleh desa. Sepertinya pantai-pantai seperti ini lebih baik dikelola sendiri oleh desa, karena cenderung masyarakat yang berjaga cenderung lebih memperhatikan kondisinya. Pengalamanku, kawasan wisata yang dikelola oleh pemerintah daerah justru sering kurang terawat. Banyak hal, salah satunya ya masyarakat jadi kurang aware karena merasa bukan mereka yang punya kewajiban. Tetapi sepertinya tempat ini hanya di jaga di hari Minggu saja. Tadi waktu masuk ke sini ada kayu penghalang jalan cuma tidak ada yang berjaga sama sekali. Untung kami pakai motor sehingga mudah saja lewat dari jalan samping yang sudah terbentuk jalan darurat (mungkin sudah banyak yang lewat jalan ini terutama kalau jalan sedang ditutup begini).

Suasana di pelabuhan Waiwerang
Aku sendiri tidak lama di tempat ini sehingga tidak jadi mampir ke pantai Watotena lagi. Sekitar setengah jam baru lah motor kami sampai ke Waiwerang namun ternyata kapal, dan kapal baru berlayar jam setengah empat. Di atas kapal, aku sempat menikmati makanan kecil yang dijajakan anak-anak kecil yaitu manisan buah kom. Buat yang belum familiar, buah kom itu berasal dari pohon Bidara yang biasanya tumbuh di pinggir pantai. Pohon yang dibagian batang mudanya suka ada duri ini ini buahnya berukuran kecil-kecil yang jika matang berwarna merah dengan rasa manis sepat bertepung. Ternyata buah kom ini kalau dibuat manisan rasanya enak, terutama bagian kulit dan rasa bertepungnya. Murah sih, satu plastik cuma seribu rupiah.
Sebenarnya aku ada saudara yang tinggal di pulau Adonara ini, tepatnya di kampung Lamahala yang tampak jelas dari pinggir pelabuhan Waiwerang. Cuma memang dengan waktu semepet ini, aku jelas tidak dapat mampir ke tempat mereka. Tapi sepertinya lain kali aku harus mencoba lagi ke Adonara karena sepertinya masih banyak tempat menarik lebih banyak daripada yang aku pikirkan.

9 komentar:

  1. whoaaa, speechless liatin foto air laut pantai ina bura yang beniing kayak kaca gitu XD pengen kesiniii!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini masih agak bergelombang, kalo pas lagi tenang bener-bener tenang banget...

      Hapus
  2. Ah adonara, temen ku lahir dan besar disana.Kapan lalu ngajakin mudik tapi tiket mahal hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tiket ke daerah Timur emang rata-rata masih mahal.. pasti om cumi bakal nyampe sini, yakin...

      Hapus
    2. Bismillah semoga bisa terlaksana

      Hapus
  3. saya semakin gak sabaran pengen jelajah Indonesia timur tiap disuguhkan postingan seperti ini.
    Bikin Envy banget ngeliatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo mas segera dijelajahi.. aku dukung 200% dah hihihi

      Hapus
  4. Balasan
    1. Ayo segera dikunjungi mumpung masih belum dieksplorasi abis2an

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya