Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 08 Juni 2020

Gunung Fatuleu, Nyaris Vertikal

Senja di gunung Fatuleu
Menatap langit senja dari puncak gunung Fatule'u
Jam lima, kami baru mencapai dua pertiga perjalanan. Bisa dibilang, dua pertiga perjalanan menuju puncak Gunung Fatule'u ini kami tempuh dalam waktu satu jam. Aku bisa melihat sorot mata penuh kegamangan dua orang temanku yang menatap dinding nyaris vertikal di depannya. "Nanti gimana turunnya?" Pertanyaan ini terlontar dari bibir Adis, satu-satunya cewek yang ikut di rombongan kami. Dan jawaban bahwa tempat kita naik inilah tempat kita turun nantinya membuat kami belum beranjak juga. Puncak Fatule'u dengan angkuhnya berdiri tegak seakan menantang nyali kami, akankah kami lanjutkan atau kembali dan membawa cerita gunung ini sampai di titik ini.

Istirahat di gunung Fatuleu
Istirahat di pemberhentian pertama gunung Fatule'u
Belakangan ini cerita tentang gunung Fatule'u menjadi hal umum di kalangan anak muda Kupang. Sampai-sampai muncul sebuah jargon "Jangan ngaku sudah pernah ke Kupang kalau belum ke Fatule'u". Beberapa teman yang lebih dulu kesana pun memposting foto-foto mereka, dari yang cuma memposting selfie berlatar gunung Fatule'u sampai yang berselfie berdiri di pucuk tertinggi. Untuk yang terakhir itu bagiku sangat konyol. Kalau kalian mau berpose di tempat berbahaya, coba minta orang lain yang memotret kalian jangan selfie karena posisi memotret selfie itu sangat tidak nyaman dan tidak aman. Jangan tambah potret-potret kekonyolan para selfiers yang berakhir di depan malaikat maut.

Entah gerangan apa yang membuat Fatule'u menjadi tempat anak muda menantang jiwa muda mereka sampai kemudian aku membuktikannya. Gunung itu indah, iya memang gunung itu indah dan bukan cuma gunung itu sendiri yang indah demikian pemandangan yang akan kamu lihat saat di atasnya. Dan gunung Fatule'u bukan cuma indah tapi begitu angkuh menantang nyali para pendakinya dengan dinding yang nyaris vertikal. Ketinggian puncak gunung sekitar 1.100 mdl, artinya sekitar 300 meter dari titik start pendakian bukan berarti itu sebuah perjalanan naik sederhana. Tidak ada start awal menanjak landai baru pelahan-lahan menanjak terjal sebagaimana kalau kita naik gunung. 

Dari awal perjalanan, kami langsung disuguhi perjalanan cukup ekstrim. Setelah kita berjalan sekitar dua ratus meter ke dalam pepohonan, maka kita akan langsung berhadapan dengan tebing batu yang harus didaki. Aku bisa melihat kegamangan di sinar mata kedua temanku yang baru pertama kali melakukan perjalanan dengan kondisi seperti ini. Mereka bukan takut untuk menaikinya namun gamang bagaimana nanti mereka turunnya. Mungkin karena efek awal jalur yang langsung memanjat tebing membuat mereka dengan segera merasakan capek yang luar biasa.Di sini, aku melihat seorang Imam yang bisa tampil menjadi penyemangat. Dia dengan sabar mengajak Adis dan Rei istirahat dulu dan tidak memaksakan diri. 

Menuju puncak gunung Fatuleu
Berhenti di setengah pendakian menuju puncak
Setelah mendaki satu kali lagi barulah kami memasuki hutan. Lebih landai memang tapi tetap menanjak dan beberapa titik tetap harus dipanjat. Jadi walaupun tampak dari kejauhan agak landai, jalan sesungguhnya tetap naik turun karena nyaris seluruh gunung ini adalah dari batuan karang. Untungnya memang batuan di sini tidak mudah bergeser sehingga meski ada tonjolan kecil kami berani jadikan pegangan kala mendaki.

Hengki, seorang anak muda yang umurnya mungkin tidak lebih dari 17 tahun menjadi guide kami dengan cekatan memanjat terlebih dahulu dengan sendal jepitnya. Jalur yang dilalui di banyak titik tidak memiliki jalur jelas untuk dilewati. Beberapa kali kami kecele waktu melihat jalur yang landai tapi diperingatkan oleh Hengki pada di ujung jalan itu justru menunggu jurang. Jadi memang peran Hengki untuk menjadi guide kami sangat berarti, aku bahkan belum berani kesini lagi tanpa guide. Karena Rei sudah kepayahan akhirnya Hengki yang membawakan tas milik Rei sekaligus tas tripod-ku. Kami berpapasan dengan beberapa orang yang telah selesai dan hendak turun ke bawah. Dengan jalur tunggal seperti ini, mereka mengalah menunggu kami semua selesai naik ke atas baru gantian mereka. Inilah kesulitan berikutnya jika gunung Fatule'u didaki ramai-ramai, bisa-bisa antriannya ngalahin kemacetan Jakarta.

Puncak pertama gunung Fatuleu
Akhirnya sampai di puncak pertama
Akhirnya sampailah aku pada titik dimana orang-orang muda suka menyombongkan diri jika sudah berhasil mencapai ke atas. Tebing tegak dengan kemiringan antara 70º sampai dengan 80º setinggi 200 meter berdiri di depan kami membuat kami terhenti. Ada kegamangan akankah kami berhenti disini atau melanjutkan perjalanan menuju puncaknya yang tampak angkuh menantang siapapun yang ingin menggapainya. Aku juga sempat memberikan pilihan jika mau berhenti di sini saja karena perhitunganku pastilah perjalanan kembali akan sampai malam hari. "Kita naik saja pak, sudah tanggung nih," kata Rei. Aku salut dengan mereka berdua yang tetap bertekad untuk tetap menyelesaikan pendakian ini sampai ke puncak. 

Dan dimulailah pendakian yang sungguh menegangkan. Hengki meminta kami merambat naik melalui patahan-patahan dinding batu. Pelan-pelan kami naik ke atas. Hengki yang terlebih dahulu naik terus membimbing Rei dan Adis, sementara Imam naik dari sisi lain sambil mengamati mereka berdua. Aku sendiri naik paling terakhir untuk mengabadikan perjalanan ini dalam rana kamera. Setelah aku mengemasi kamera, aku mulai ikut naik menyusul mereka. Namun karena aku terganggu dengan sendalku, akhirnya aku memutuskan melepas sendal dan mendaki dengan kaki kosong. Justru dengan cara ini aku dengan mudah bisa menapak di dindingnya dengan cepat. Beberapa orang yang mau turun heran melihat aku yang justru naik tanpa sendal. Hehehe, mereka belum tahu kalau kakiku ini masih kaki orang kampung paling udik yang lebih nyaman jalan nyeker daripada pakai sendal. Ini kulit kaki tebelnya aja ngalahin kulit badak (untung mukanya kagak muka badak).

Bersantai menikmati senja dari puncak kedua
Pelahan tapi pasti akhirnya satu demi satu kami berhasil mencapai puncak pertama. Di atas telah menunggu rombongan terakhir yang mau turun. Jadilah saat ini kami menjadi rombongan terakhir di puncak. Dan terbayarkan perjuangan di puncak dengan pemandangan sekitar yang memukau kami, apalagi kami di puncak tepat saat matahari tidak terik karena telah menjelang tenggelam di ufuk barat. Dari puncak pertama, kami bisa melihat laut Kupang di kejauhan dan beberapa bukit lain yang menantang untuk kami datangi lain waktu. Angin dingin langsung menerpa wajahku. Maklum dengan ketinggian sekitar 1.100 mdl yang artinya lebih tinggi dari SoE, makin mendekati malam tentu akan semakin dingin. Dua botol minuman kopi panas yang disiapkan istriku terasa nikmat sekali saat diminum di suasana seperti ini. Mungkin lain kali aku bisa membawa kompor gas ke atas sini. Masak mie instan sepertinya akan menjadi kenikamatan yang tiada duanya.

Tak seperti yang kami duga, ternyata di puncak tak ada tempat landai yang datar. Walau dari bawah, penampakan gunung bagian atas seperti rata ternyata itu merupakan tonjolan-tonjolan batuan yang formasinya sekilas seperti batu utuh. Akhirnya kami duduk seadanya di puncak di batu yang miring. Ada beberapa puncak yang untuk dicapai satu sama lain tetap harus berjuang menelusuri, seperti di bagian utara tampak bendera merah putih dan bendera lain seperti bendera pramuka terpasang. Juga di sebelah timur-nya ada bendera BRI yang juga terpasang. Sayang kami tidak membawa bendera supaya bisa ikutan nampang.


Berpose dengan latar belakang gunung Fatule'u


Tapi ada satu kejadian yang membuat aku sempat marah karena salah satu temanku tanpa babibu tiba-tiba membuang begitu saja botol bekas minuman. Saat aku marah dan memberitahunya justru Hengki membuat pernyataan yang mengejutkan. "Oh tidak apa-apa pak, pengunjung lain juga udah biasa kok membuang sampah ke bawah." Gantian aku yang langsung menceramahi Hengki supaya sebagai guide dia justru harus memperingatkan pengunjung lain supaya tidak membuang sampah sembarangan, jangan justru membiarkan seperti itu. 

Aku sengaja menceritakan kelakuan temanku bukan untuk mengolok, tapi biarkan ini menjadi kesalahan pertama dan terakhir dia. Aku berharap kejadian ini diingatnya, dan bahkan bisa ikut terlibat untuk memberikan kesadaran ke orang lain agar tidak sembarangan membuang sampah. Jika setiap orang yang naik ke atas gunung Fatule'u ini kita biarkan membuang sampah begitu saja, maka dalam 5 tahun ke depan mungkin gunung Fatule'u bukan hanya menjadi gunung batu tapi juga gunung sampah. 

View gunung Fatuleu
Hengki berlatar view gunung Fatule'u dari jalan masuk
Apakah saat pengunjung dipungut 5ribu per motor (2.500 rupiah per kepala), terus pengunjung punya hak untuk membuang seenaknya dan menjadi penanggung jawab petugas di sini sepenuhnya? Ingatlah, gunung, bukit, danau dan tempat wisata lain bukanlah tempat sampah, bawalah sampah yang anda buat, syukur-syukur kalau mau ikutan membawa sampah yang dibuang orang goblok lain.

Perjalanan kembali lebih menegangkan daripada saat naik, karena kami kembali jam tujuh kurang seperempat. Dari puncak memang warna langit masih tampak tapi di bawah sudah mulai tampak gelap. Rei sempat mengalami kram kaki mungkin karena secara mental dia kurang siap. Aku harus membantunya pelan-pelan melewati puncak vertikal itu untuk turun ke bawah dibantu Imam. Aku meminjamkan senter kepala pada Rei supaya dia bisa melihat jelas, untungnya selain senter kepala aku juga membawa senter tangan 2 buah lagi. Hengki sendiri sepertinya tidak kesulitan berjalan diantara bebatuan menembus gelap. 

Berpose di atas gunung Fatuleu
Berpose sebelum melanjutkan perjalanan naik vertikal
Kami bergerak turun pelan, apabila melihat mereka kecapekan maka kami minta mereka istirahat dulu. Kami tidak mempedulikan lagi waktu yang penting semuanya dapat selamat. Mungkin kecapean, Adis sempat tergelincir dua kali. Untungnya dia tergelincir saat berjalan di jalan tanah menurun bukan saat menuruni tebing. Malam ini angin sangat membantu kami, sepanjang perjalanan turun kami tidak merasakan hembusan angin yang kuat, padahal hal yang berbeda kami rasakan saat berada di puncak. Aku hari berhati-hati saat berdiri di tebing karena hembusan angin bisa membuatku tergelincir.

Jam delapan malam akhirnya kami sampai turun di bawah. Bapak penjaga helm terpaksa tidak bisa pulang karena menunggu kami kembali. Untungnya ada sebuah warung yang pemiliknya tinggal disitu jadi kami bisa memesan kopi. Sekitar jam setengah jam setengah sembilan barulah kami mulai berangkat kembali, menelusuri jalan yang terus menurun. 



Catatan: Naik gunung ini bukan lagi sekedar mendaki tapi sudah kategori rock climbing (memanjat tebing) sehingga disarankan untuk benar-benar berhati-hati. Jangan menantang teman kecuali mereka memang berniat untuk menaikinya. Walaupun bukan lokasi yang sulit dipanjat tapi kesalahan kecil yang diabaikan bisa berakibat fatal, persiapkan fisik dengan benar. Jangan sampai anda berangkat utuh, pulang tinggal nama. Jika lokasi ini dikelola betul, saya yakin tidak akan dibolehkan orang naik tanpa pengaman/tali. Tapi bukan karena tidak ada pengaman/tali artinya tempat itu bisa sembarangan didaki.

16 komentar:

  1. omg...kyknya aku ga cocok naik beginian mas :D hahahaha... bisa ga selamat sampe atas ;p.. salut ama org2 yg jago rock climbing gitu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya gak sulit kok cuma emang mental yang harus kuat... dicoba dulu, sekali coba biasanya malah ketagihan

      Hapus
  2. otomu selalu juara dan mencuri hatiku, jadi pingin belajar motret. Duch yg jadi guide masih brondong yeee hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Walah merendah atas gunung Rinjani ya begini nih... eh, kalo kesini nanti aku cariin guide yang bukan cuma brondong tapi masih bonggol jagung hahahaha

      Hapus
  3. Ahhh Fatuleu ini sempat jadi pilihan kedua setelah pulang dari Fatumnasi kemarin, tapi urung karena menurut cerita kawan medannya lebih berat. Betulkah? Kalau salah berarti next time balik ke Kupang mesti mlipir ke Fatuleu biar dianggap sah udah ke Kupang hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beda medan, yang Fatumnasi jalannya yang panjang (butuh stamina) yang di Fatuleu medan vertikal tapi gak jauh lebih ke mental.. hayo next time ke Fatuleu

      Hapus
  4. Ini klo dikaltim mirip kaya bukit batu dinding di Samboja dan bukit sembinai di perbatasan kaltim kalsel om.. tpi emank fotonya juara bgt om, pengen bsa ambil foto kek gitu.. *ngiler*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu lokasi yang diambil untuk iklan indomie yang dibintangi Nicholas Saputra bukan?

      Hapus
  5. nampaknya butuh perjuangan untuk bisa naik ke atas
    asyik banget kaliatannya buat liat sunset dan sunrise yah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Butuh mental yang pasti dan hati2 karena memang tidak ada pengamanan yang memadai di lokasi

      Hapus
  6. Bagiamana kalau di banding gunung agung, bali ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah beda pak, Fatuleu itu sebenarnya bukit batu marmer cuma karena tinggi jadi disebut gunung.. dan itu bukit memang batu karang/marmer besar beda dengan gunung Agung yang memang gunung.

      Hapus
  7. masbek, aku blm pernah ke sini, kenapa dulu blm terkenal yaa?? T_T


    -traveler paruh waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya pas jamanmu dulu jalurnya masih lewat sungai jadi belum bisa ditempuh pake motor biasa cuma bisa motor trail atau mobil 4x4 aja

      Hapus
    2. coba terkenal dari dulu-dulu huwaaaa.. sumba juga, padahal udh ke sumba timur sampai SBD, tapi dulu blm terkenal tempat2 yg skrg hits T_T

      Hapus
    3. Bukan saja belum terkenal tapi memang kebanyakan jalurnya waktu itu belum ada, sampai sekarang juga masih banyak lokasi yang sebenarnya bagus tapi jalurnya belum ada karena masih tanah milik keluarga/adat.

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya