Semburat warna pagi dari penanjakan: view gunung Bromo dan Semeru |
Perjalanan yang tak kurencanakan pada awalnya, karena memang awalnya aku malah merencanakan untuk melakukan backpacking antar kota keliling Jawa dalam beberapa hari. Karenanya aku tidak membawa banyak pakaian toh pertimbanganku aku bisa beli beberapa baju di tempat yang aku singgahi. Namun karena perhitungan waktu yang bergeser sehingga akhirnya aku tidak jadi backpacking-an. Tapi ada sisa waktu yang jika kuperhitungkan bisa untuk mengunjungi Bromo.
Menunggu di stasiun Senin, cukup nyaman |
Sekitar jam setengah lima aku sudah sampai di stasiun. Situasi stasiun Senin agak membuatku kaget karena walaupun gedung-gedungnya masih sama namun situasinya sudah berubah banyak banget. Aku buru-buru saja antri di bagian pembelian tiket namun setelah sampai depan baru tahu kalau harus menulis di lembar pemesanan tiket. Haduh, akhirnya aku balik ulang cari tempat mengambil lembar pemesanan tiket. Begitu dapet kertasnya gantian aku celingukan cari ballpoint... Ternyata beli tiket sekarang lebih ribet, cuma lebih aman juga sih jadi gak ada calo yang mondar-mandir tawarin tiket.
Akhirnya jam enam aku bisa duduk di kursi nomor 7 di bagian Ekonomi AC. Awalnya aku mau ambil yang bisnis, tapi ibu yang menjual ballpoint dan membantuku menulis malah menuliskan kelas kereta api Ekonomi AC bukan Bisnis seperti mauku. Ternyata dia benar, walaupun suasana tempat duduk sama dengan kelas Ekonomi namun lebih nyaman karena ada AC di dalamnya, dibanding dengan kelas Bisnis yang hanya mendapatkan kipas angin.
Setelah melewati 12 jam perjalanan dengan kereta api, paginya kereta api sampai juga di stasiun Pasar Turi, Surabaya. Setelah minum kopi dan sarapan pagi, aku melanjutkan perjalanan ke terminal Terboyo. Dari terminal Terboyo aku mengambil bis Patas AC jurusan ke Malang. Aku sebenarnya mengambil jurusan yang kurang pas, tapi jalur ini aku ikuti berdasarkan hasil pencarianku diinternet tentang rute perjalanan ke Bromo. Sekitar tiga perjalanan, sampailah aku di terminal Arjosari, Malang. Cuaca sampai di Malang mulai menunjukkan mendung.
Setelah mengisi perut lagi di terminal Arjosari, aku mencari informasi ke orang-orang. Dari mereka aku mendapatkan arahan supaya naik bis jurusan Malang-Probolinggo. Kembali perjalanan hampir tiga jam aku lalui di atas bis untuk sampai ke Probolinggo. Hujan turun deras sekali waktu bis melewati daerah Lawang, sebenarnya cukup mengkhawatirkan karena aku saat itu belum tahu sejauh mana Probolinggo.
Setengah empat, bis masuk ke terminal Probolinggo. Dari terminal Probolinggo, aku keluar dan berjalan beberapa meter ke sebelah kiri terminal. Di depan warung makan ada mobil angkutan jenis Colt warna biru jurusan terminal Probolinggo-Bromo. Karena menurut penjelasan mas Suhan yang menyupiri, baru enam orang yang siap ke Bromo. Semangkuk bakso dan kopi kedua kembali mengisi perutku menunggu penumpang lain.
Tunggu punya tunggu, baru tambah satu orang yang datang. Karena sudah sore, aku coba tanya mas Suhan gimana caranya supaya kita bisa berangkat lebih cepat. Mas Suhan menawarkan alternatif, angkutan miliknya bisa muat sampai dengan 15 orang dengan biaya 25ribu per orang. Kalau mau berangkat sekarang mas Suhan mau kalau tiap orang mau bayar lebih menjadi 50ribu per orang. Aku coba sampaikan hal ini ke teman-teman baru seperjalanan, namun ada sedikit kendala satu orang bule cewek yang keberatan membayar 50ribu. Dia sendiri tetap menolak meskipun yang lain bersepakat membayar lebih untuk selisih lebih sehingga bule itu tetap membayar normal 25ribu. Menurutnya itu gak fair. Dia bahkan lebih memilih untuk ditinggal dan berangkat besok. Setelah merayu sekitar sepuluh menit (asli yang ini ngarang, gak ada orang lihat jam cuma buat tahu berapa lama proses merayu hihihi) akhirnya si bule cewek itu mau juga ikut dan dia mau bayar 50ribu. Nah lho, giliran mau ikut maunya harganya tidak dibedakan... (icon bingung)
Ternyata setelah dihitung ada tambahan satu orang bule lagi. Wah mas Suhan lagi beruntung, artinya mas Suhan dapat 350ribu untuk keberangkatan hari ini.
Cemoro Lawang berselimut kabut |
Setengah enam kami sampai di Cemoro Lawang. Memasuki beberapa desa terakhir ke arah Bromo, mata kami disambut pemandangan sawah-sawah yang ditanami kol, wortel dan beberapa tanaman khas daerah ketinggian. Masyarakat yang berjalan rata-rata menggunakan jaket tebal dan bertopi rajut.
Sesuai dengan arahan mas Suhan dan cocok dengan informasi yang kuterima, maka kami menuju ke Wisma Yog. Ternyata sewa di Wisma ini sudah naik dari informasi terakhir yang aku terima. Namun pak Yogi yang sendiri menyambut kami menunjukkan kami bangunan baru di bagian belakang yang ada kamar mandi di dalam. Kalau di bagian depan yang tidak punya kamar mandi di dalam harganya 125ribu sifatnya sharing kamar mandi. Kalau di bangunan belakang harganya 200ribu yang ada air panasnya.
Hamparan pasir dan Bromo di senja hari |
Untuk perjalanan esok hari kita sepakat akan menyewa Jeep yang memang biasa digunakan untuk mengunjungi Bromo. Namun terjadi sedikit permalahan karena jumlah orang yang akan ikut angkanya tidak genap hanya sembilan orang. Satu buah Jeep dapat digunakan maksimal untuk enam orang, dua di depan dan empat di belakang. Biaya sewa Jeep dipatok 450ribu untuk dua lokasi yaitu Penanjakan dan Bromo. Kalau ingin menambah lokasi harus menambah biaya langsung ke sopir Jeep-nya, menurut mas Suhan sekitar 100ribu per lokasi tambahan. Akhirnya aku sepakat dengan Achlung, Dinda dan Sarah untuk menyewa Jeep karena kami rencana akan sampai ke dua lokasi tambahan selain Penanjakan dan Bromo yaitu lautan pasir dan padang savannah.
Di sepanjang jalan menuju kesini sudah banyak berdiri wisma dan hotel, demikian di daerah Cemoro Lawang sehingga fasilitas-fasilitas tambahan dengan mudah ditemui seperti jika lupa membawa jaket tebal bisa menyewa di sini dengan sewa sekitar 25ribu. Topi rajut dan kaos tangan juga barang harus disiapkan. Topi-topi ini banyak dijajakan oleh masyarakat sekitar dengan harga 10ribu per topi, sedangkan kaos tangan seharga 5ribu.
Hari ini kami berangkat tidur lebih awal karena rencananya kami berangkat setengah empat pagi untuk melihat sunrise. Jam setengah empat saat kami bangun sudah banyak aktifitas dari Wisma ini dan beberapa wisma di sebelahnya. Achlung dan Dinda bersiap dengan sebuah tas kecil di belakang. Aku sendiri menebak-nebak apa isi tas backpack kecil itu. Sementara yang lain tidak membawa tas lain kecuali tas kamera termasuk aku. Setelah perlengkapan seluruh siap kami mulai meluncur. Dari Wisma Yog, Jeep kami berputar ke kanan menuju jalan ke arah bawah. Setelah melewati pos penjagaan, kendaraan kami mulai menurun tajam melewati jalan yang sebagian telah di beton. Dalam suasana yang terasa gelap, Jeep menderu membelah lautan pasir, beberapa kerlip lampu yang bergerak menunjukkan ada kendaraan jeep lain yang telah berjalan di depan kami. Setelah melewati lautan pasir, kendaraan kembali naik menanjak ke arah perbukitan dengan jalanan yang sempit dan berkelok-kelok tajam. Setengah jam sampailah kami di ujung Penanjakan. Suasana sudah ramai sekali, banyak Jeep yang telah terparkir. Sepanjang jalan menuju ke atas juga sudah banyak warung-warung makan dan souvenir yang dibuka. Semangkuk mie dan segelas kopi kembali mengisi perutku sebelum kami naik ke atas, lumayan untuk mengusir hawa dingin. Maklum dengan ketinggian yang lebih dari 2250 meter dpl dan sepagi ini, suhu yang mungkin sudah di bawah belasan membuat tangan kaku jika tak bersarung tangan.
View Bromo saat matahari pagi tertutup awan |
View Bromo saat matahari mulai meninggi |
Seorang penunggang kuda berlatar Pura Luhur Poten Bromo |
Jalan menanjak menuju Kaldera |
Acara turun semuanya bersepakat naik kuda, tentunya setelah acara tawar harga disepakati. Sepertinya harga 20ribu untuk turun dengan kuda cukup masuk akal. Wal hasil, hanya akulah satu-satunya yang berjalan kaki bolak-balik. Hehehe... lumayan hemat 20ribu. Lagian sayang kan kalau bisa naik jalan kaki masak turun gak kuat jalan kaki (pembenaran atau irit ya?.. )
Dari puncak Bromo, Jeep kembali meluncur menyusuri pasir mengantar kami ke track berikutnya, Pasir Berbisik. Ternyata lokasi lautan pasir yang sekarang dikenal dengan nama pasir berbisik ini berada di sebelah selatan Bromo. Lokasi ini terkenal dengan sebutan itu sesuai dengan film yang pernah dibuat berlatar Bromo dengan judul yang sama, Pasir Berbisik. Sesampai disana kami disuguhi view lautan pasir yang luas sekali, yang cocok untuk dibuat set film padang pasir.
Kepulan debu dari Jeep di lautan pasir Bromo |
Seharusnya sesuai dengan perhitungan, kami sudah harus menyelesaikan semua track sebelum jam setengah sepuluh agar bisa menuju ke satu lokasi lagi yang dari kemarin sudah diincar oleh Achlung, namanya air terjun Madakaripura. Tapi ternyata perhitungan kami meleset karena kami baru selesai dan mau kembali ke Cemoro Lawang jam 10 lewat. Saat kami kembali, cuaca yang semula cerah mulai tampak mendung. Kabut mulai turun pelahan sehingga jalan menjadi temaram.
Sesampainya di Wisma Yog kami kembali berunding apakah akan melanjutkan ke air terjun Madakaripura ataukah langsung kembali ke Probolinggo. Mas Suhan yang mau mengantar kami sebenarnya mengingatkan kondisi yang tidak tentu dari Madakaripura terutama jika cuaca sedang hujan dan berkabut terus menerus seperti ini. Selesai berkemas-kemas dengan semua barang, dengan Colt yang dikendarai mas Suhan kami meluncur turun. Kami sepakat jika cuaca seperti sekarang ini terus menerus kami akan langsung kembali ke Probolinggo, namun jika di percabangan arah Surabaya dan Probolinggo cuaca cerah kami akan melanjutkan ke lokasi Madakaripura.
Achlung dan Dinda di Pasir Berbisik |
Kalau aku hitung lebih dari delapan kali kami harus bolak balik menyeberangin sungai yang penuh batuan. Kadang-kadang kami berjalan di sisa jalan setapak yang masih bagus namun pada jalan yang telah hancur dan tidka menyisakan apapun mau tidak mau kami harus melintasi sungai kembali. Cukup melelahkan, sementara hujan gerimis terus membasahi jas hujan. Beberapa orang mulai menunjukkan keputusasaan karena rasanya sudah jauh berjalan namun tidak bertemu dengan air terjun yang dimaksud. Sampai kemudian kami melihat puncak dari air terjun yang begitu tinggi hingga semangat kami kembali. setelah melewati sungai terakhir yang agak dalam yang membuat celanaku basang sampai di atas lutut maka di tepi batu besar kami disambut air terjun kecil-kecil yang turun seperti gerimis. Ternyata untuk sampai ke air terjun kami harus melewati beberapa air terjun yang jatuh. Akhirnya kami sampai di depan air terjun Madakaripura. Kelelahan kami terbayar.... namun sayang kamera tetap harus diam tenang di dalam ransel, tempias air yang terbentur di tanah terlalu kuat apalagi dengan kondisi gerimis seperti ini. Pantas saja setiap orang yang telah sampai ke air terjun ini pasti pulang dengan kondisi basah kuyup. Sepertinya payung menjadi properti yang tidak boleh tidak harus dibawa jika ingin datang dan memotret disini, syukur-syukur jika kamera dan lensa yang dibawa berbodi tahan cuaca (weather seal) karena sepertinya tempias air yang halus rawan merusak kamera yang tidak didesain di kondisi seperti ini.
Sebelum pulang, kami mampir di satu-satunya warung yang buka tak jauh dari air terjun. Lagi-lagi mie rebus kembali kami santap, tapi sekarang tersedia gorengan yang baru selesai diangkat dari penggorengan. Madakaripura sepertinya harus aku kunjungi lagi lain waktu tentu dengan persiapan yang lebih matang.
Akhirnya kami kembali kembali untuk melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Rencana Achlung dan Dinda akan sehari menginap ke Malang sebelum kembali ke Jakarta. Sedangkan Sarah akan kembali ke Jakarta dengan penerbangan malam hari ini sehingga aku dan Sarah sepakat kembali ke Surabaya.
Ini adalah jejak pertamaku memulai petualangan ke tanah Jawa dengan catatan perjalanan yang melibatkan foto... semoga jejak pertama ini akan berlanjut ke jejak selanjutnya.
Om tiar, gak puna cita2 untuk menghibahkan EOS 550D kepadaku tah.. :D
BalasHapusHahaha boleh juga.... tapi aku Gantian dapet hibah eos 6d ya Hahaha.... *siap2 packing kamera 550*
Hapusnice pictures...
BalasHapusMakasih Zilla buat kunjungannya
HapusBromo memang selalu eksotis, belum sempat ke sana :)
BalasHapusKalau begitu ayo segera kesana mumpung belum meletus hehehe
Hapusmantap nih luar biasa
HapusKalo bawa anak, pas mau naik ke pananjakan pasti diikutin orang yg nawarin jasa gendong anak..pengalaman waktu ke Bromo dulu :)
BalasHapusTapi Bromo memang ajaib...
Hahaha... wah lumayan tuh coba kalau jasa nawarin gendong anak di kaldera bromo-nya... kemarin kasian liat ibu bawa anak, pas turun ngambek minta gendong pas turun tangga, kebayang tuh turun tangga curam gendong anak hehehehe
Hapusaku benar-benar cinta Indonesia, suatu saat pengen ke bromo. thanks for sharing.
BalasHapusSemoga bisa segera sampai ke Bromo.....
Hapuskalo liat fotonya jadi pengen ke bromo, tunggu selesai UN aja,
BalasHapusSemoga bisa segera sampai di Bromo....
HapusSubhanallaah, sungguh takjub saya melihat kawahnya. selain indah kaya juga tentunya, tapi sayang masih kurang tereksplore oleh putra/putri bangsa sendiri. masih banyak dimanfaatkan orang luar hehe
BalasHapusBromo memang menawan, tak bosan dikunjungi..... masih banyak lokasi di Indonesia yang justru sudah dieksplorasi orang luar terlebih dahulu
Hapusbagi saya pribadi bromo memang tempat yang selalu bikin ketagihan untuk dikunjungi mas.
BalasHapusthanks udah share, artikel yang bermanfaat
Iya, tempatnya tenang sekali... alamnya banyak yang bisa dieksplore, masyarakatnya juga menyenangkan
Hapusingin rasanya berwisata di bromo gan :)
BalasHapusSemoga bisa segera sampai kesana pak..
Hapuswaaah semakin keren bromo lama ga main kesini lagi
BalasHapusPerlu direncanakan perjalanan ulangan lagi :D
Hapusnice story! saya juga baru ke sana dua bulan lalu ;)
BalasHapusPasti kangen pengen kesini lagi ya... aku pengen kesini lagi tapi di lokasi yang berbeda
Hapusjadi rindu sama Bromo,
BalasHapusbagus-bagus gambarnya (maklum ga jago moto hehe)
Terima kasih... modal waktu yang tepat bisa dapet foto bagus kok... berarti harus coba lagi tuh :D
Hapusmantap jaya cerita dan foto Bromo yang "View Bromo saat matahari mulai meninggi" itu saya suka. BTW, mungkin ada untungnya juga posisi sunrise nggak tepat di atas Penanjakan jadi foto Bromo nggak jadi backlight. Sip deh! Bikin ngiler untuk ke Bromo.
BalasHapusWalaupun tidak tepat di atas Bromo tetep rawan bocor dan terjadi backlight... sepertinya penggunaan filter penghadang light tetep harus ada..
Hapussayang batal ke bromo kemaren :(
BalasHapusBerarti harus balik lagi gan :D
Hapusbang mau tanya.kemarin kira2 habis berapa bang biaya ke bromo dr jakarta? *laginabung* :)
BalasHapusGak ngitung sih cuma kira2 biaya yang keluar ini: Transportasi tiket Pasar Senen-Pasar Turi 280ribuan (mahal..:D), Pasar Turi-Terminal Terboyo, Terminal Terboyo-Probolinggo. Dari terminal Probolinggo naik L300 ke Cemoro Lawang 25ribu (kemarin kurang jadi biar jalan cepet kena 50ribu), nginep di wisma Yog antar 125rebu-200rebu, carter Jeep sekitar 450rebu (bisa diisi 6-7orang) untuk 2 lokasi Penanjakan dan Kaldera kalau tambah per lokasi sekitar 100rebu.
Hapuskeren mas bek...kapan saya yang sering ke malang ini bisa ke bromo...oh ya mau tanya gimana caranya setiap tulisan ada link terkait tulisan tersebut seperti punya mas bek misale "Anda mungkin juga meminati:",....ajarin
BalasHapusBanyak kok der cara pembuatan seperti itu, coba ketik kata kunci "membuat read more di wordpress" kan beda2 antara blogspot dan wordpress... jadi belum ke bromo
HapusWah seru bgt nich kaya'ny.
BalasHapusTAPI sayang ak sudah hampir 5x GAGAL tdk jadi kesana
1.Dulu Tdk diIjinkan ortu,
2-5 semua teman {dr tmn skul,kerja,tmn maen}ngajak gk prnh bisa ikut cz ak kerja,sdgkn pda saat ak pengeeen bgt kesana{mreka yg tdk bisa}begitu sebaliknya.. butuh kesabaran selama hampir 4th blm keturutan ke BROMO, syg bgt.
PADAHAL jiwaku suka bgt dg keindahan alam n suka jalan". tapi syg ak tak bisa mengalahkan waktu cz kerjaan..{utk MD}hehe.
kapan ya ak bisa kesana,???
Belum rejekinya.. tapi kenapa gak naik sendiri, teman di jalan selalu ada kok yang penting mental dikuatin aja
HapusJadi pengen ke Bromo lagi...
BalasHapusTetep ngangenin ya suasananya... aku juga pengen ke bromo lagi
Hapus