Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 08 Oktober 2015

Watu Parunu: di Ujung Timur Sumba

Sunset di pantai Watu Parunu
Menyapa senja dari ujung timur selatan pulau Sumba - Pantai Watu Parunu
Tiga jam perjalanan terbayar sudah walau senja lebih dulu menghilang. Langit tinggal menyisakan warna jingga memucat tapi lekuk bebatuan di ujung samudera masih tampak elok seperti gadis yang tetap bersinar dalam lampu temaram... Watuparunu begitu khas, siapa pun yang pernah menginjak kaki di sini tak akan pernah lupa bentuknya. Lekuk-lekuk yang memberi tanda bahwa hanya dia yang memilikinya.


Tanaman laut dijual masyarakat pantai Watu Parunu
Tanaman laut untuk dijual yang dikumpulkan masyarakat
Selembar kertas leaflet yang berukuran setengah halaman koran dari Dinas Pariwisata ini membantuku memberikan informasi bahwa Sumba Timur ternyata tak kalah keren dengan kabupaten lain di wilayah Sumba ini. Leaflet yang harus dilipat enam lipatan supaya masih tampak seperti leaflet (aku teringat peta yang biasa dibawa para pelancong asing kalau mulai cari-cari arah) ini tak sengaja aku dapatkan saat berkunjung ke Dinas. Sebenarnya aku lebih suka kalau leaflet ini dibuat bentuk buku yang pasti lebih memudahkan orang membuka-buka isinya tanpa harus di-jembreng (apa istilah Indonesia untuk dibuka lebar-lebar semua lipatan biar kelihatan semuanya) dulu untuk membacanya. Apalagi dengan ukuran font yang cukup kecil jadi sangat kontras dengan luasnya kertas. Ah biarlah urusan leaflet urusan mereka.
Dari semua informasi itu, aku sebenarnya tertarik dengan pantai Tarimbang dan danau Laputi, sayangnya kedua tempat ini sepertinya belum bisa aku datangi saat ini. Menurut mereka, jalan menuju ke Tarimbang sedang dalam perbaikan. Posisi terakhir, baru saja dipasangi batu telford, jadi kondisi bebatuannya masih mudah lepas. Mereka menyarankan menggunakan mobil  dobel gardan kalau tetap mau kesana, padahal aku berencana kemana-mana dengan motor saja.

Akhirnya memang beberapa hari aku lebih banyak nongkrongin pantai di sekitar kota Waingapu. Palinng sering sih pantai Purukambera, dan terakhir pantai Walakiri. Kalau pantai Londa Lima cuma sempat aku datangi tapi batal aku nikmati senja di sana karena melihat kondisi pantai yang dipenuhi sampah. Selalu saja setiap tempat yang menjadi andalan wisatawan lokal dipenuhi sampah, artinya wisatawan lokal memang banyak yang belum punya kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan. Menyedihkan!
Untung satu hari sebelum Ayu selesai penugasan, dia berhasil aku kompori untuk cari pinjaman kendaraan. Walhasil setelah selesai solat Jum'at, sebuah mobil putih sudah tersedia di depan hotel. Berempat: aku, Trysu, Ayu dan Intan, setelah diskusi akhirnya kami putuskan untuk mengunjungi pantai Watu Parunu. Walaupun dari informasi pantai ini terletak cukup jauh (sekitar 135 km) namun jalur jalan menuju ke pantai itu cukup bagus.
Kami mulai jalan jam dua siang lewat. Perjalanan cukup mulus apalagi kondisi jalan yang cukup lebar (banyak ruas jalan yang luasnya sudah standar jalan negara). Kendaraan terus melaju menyisir sisi utara dan berlanjut ke sisi timur pulau Sumba sampai ke daerah Melolo. Mulai dari sana kami harus sering bertanya ke masyarakat karena lagi-lagi papan informasi jalan yang mulai minim. Tidak semua pertigaan jelas mengarah kemana, apalagi ditambah jawaban penduduk yang selalu bilang "masih jauh".. Lha dekat sajaa kadang-kadang masih jauh setelah dijalani apalagi ini dibilang masih jauh. Sampai warna kuning membayang di langit yang artinya jam sudah menunjukkan jam lima lewat tetap saja tak ada kepastian apakah pantai Watu Parunu dapat kami jangkau sebelum malam. Ada wajah-wajah yang mulai putus asa membayangkan bahwa perjalanan ini akan sia-sia. 

Lubang pantai Watu Parunu
Kondisi dalam lubang batu
Namun akhir dari perjalanan mulai tampak saat di tikungan terakhir seorang bapak tua menunjukkan arah jalan ke Pantai Watu Parunu dan kata-kata sakti "Sudah dekat"... mak nyess rasanya apalagi jam sudah mau berkejaran ke angka setengah enam. Sempat salah mengarahkan kendaraan yang seharusnya mulai belok kiri padahal seharusnya ke kanan, untung bertemu dengan seorang bapak-bapak dan anak perempuannya yang memberitahu kalau kami salah jalan.
Akhirnya setelah kami kehabisan wajah memelas kami, pantai Watu Parunu menyambut kami. Kalau bisa kugambarkan, mungkin pantai ini wajahnya tertawa terkekeh-kekeh melihat raut bodoh kami yang berangkat terlalu sore. Seharusnya memang kami sedari jam satu siang sudah jalan duluan.

Pantai Watu Parunu ini begitu khas, di ujung pantai terdapat bukit batu menjulang dengan gurat-gurat unik batuan yang sepertinya terukir oleh laut. Dibagian bukit menjulang itulah ada batu-batu yang membentuk lubang. Sayang matahari sudah hilang di balik bukit di belakang pantai. Seharusnya kalau ingin melihat matahari di cakrawala, waktu yang paling tepat adalah pagi hari. Itu yang sebenarnya kurencanakan makanya aku dari awal sudah membawa sleeping bag, demikian juga Trysu. Mungkin lain kali aku harus menginap di sini, apalagi aku mendapat informasi bahwa sebelum dan sesudah lokasi ini masih banyak tempat bagus yang bisa dikunjungi seperti Pantai Kalala, ada juga pantai Katundu dan pantai Waihungu yang bisa dijangkau selepas pantai Watu Parunu.
Bayangan senja di pantai Watu Parunu
Yang menjengkelkan adalah adanya rombongan anak-anak muda yang menggunakan motor dan langsung membawa motornya ke pasir sampai ke ujung batu bolong itu. Mereka pikir cara itu keren (kecuali kalau motor mereka jatuh mungkin baru gak keren), padahal seharusnya mereka memarkirkan kendaraan mereka di pinggir pantai. Yang pasti aku juga ikut kesulitan untuk memotret supaya motor-motor tak punya etika ini tidak masuk dalam frame. Tapi mungkin berbeda dengan mereka, berpose dengan motor persis di depan batu bolong akan memperlihatkan eksistensi mereka, apalagi ujung-ujungnya motor-motor itu digunakan untuk ber-selfie ria. Jiwa muda, kadang-kadang memang lebih dipenuhi emosi menunjukkan diri, sekarang saat jamannya medsos dan travelling mereka menjadi saling pongah menunjukkan diri. Katanya setelah sampai: yang penting selfie atau goupie dulu.
Belum dikelola, memang begitulah pantai ini, walaupun menurutku pantai ini bisa dikembangkan dengan potensinya yang ada. Mungkin lagi-lagi masalah jarak yang cukup jauh dari pusat kota Waingapu yang menjadikan pantai ini belum dikelola.
Masalah lain adalah tidak adanya warung makan ataupun penjual makanan dari masyarakat lokal jadi mutlak jika melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti ini siapkan bekal sendiri yang mencukupi. Kelaparan di tempat ini gak keren banget. Untung masalah satu ini sudah aku antisipasi. Menjelang malam, kami beristirahat sebentar di bawah pepohonan sambil memasak makanan. Tentu saja ritual ngopi senja tidak akan aku lewatkan. Ritual minum kopi panas sambil menikmati langit yang menarikan warna kuning, merah, biru, kamu akan merasakan suasana yang tidak ada harganya.. "Coffee and sunset is like love and passion"

Sunset di Pantai Watu Parunu
Batu-batu bukit kala surut
Ada satu hal yang gak aku ceritakan kepada mereka. Saat mereka duduk sambil minum, aku ke kembali ke arah batu bolong untuk memotret galaksi bima sakti yang tampak jelas malam ini.  Di ujung bukit ada cahaya lampu kuat yang dipasang masyarakat untuk menerangi tanaman yang mereka jemur. Sepertinya mereka masih bekerja. Tapi menjelang mendekati ke arah batu bolong itu aku merasakan penolakan yang terasa makin kuat semakin aku mendekatinya. Semakin aku nekad maju semakin halangan itu kuat. Aku mencoba berkomunikasi bahwa aku hanya memotret sebentar tidak untuk mengganggu, tapi rupanya halangan itu tidak berhenti yang artinya tetap saja kehadiranku mengganggu. Aku coba abaikan, aku maju pelahan sambil mataku tetap menatap di layar LCD. Langkahku tiba-tiba terhenti saat tiba-tiba di layar kamera ada warna merah berkedip-kedip. Deg, sialan aku tidak memperhitungkan kejadian ini. Akhirnya aku balik badan dan menjauh pergi kembali menemui teman-teman. "Udah dapet fotonya mas Bek?" tanya Trysu. "Sialan, baterainya abis," jawabanku kesal dengan kondisi tadi, warna merah berkedip-kedip di layar tanda baterai harus diganti emang suka bikin orang keki. 

Btw, aku udah usulkan sama Kepala Dinas Pariwisata supaya wilayah Sumba Timur ini cepat dikenal coba jangan cuma terpatok pada media-media resmi untuk beriklan. Aku mengusulkan untuk menggunakan kekuatan viral dari para blogger, travelblogger, photoblogger. Coba sekali-kali membuat acara yang mengundang para blogger dan sejenisnya ini ke Sumba Timur dan difasilitasi untuk melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi yang aje gile cakepnya ini. Mereka ini punya kekuatan bercerita yang ampuh terutama kekuatan viral dari cerita-cerita mereka melalui medsos. Moga-moga usulku ini diterima supaya kalian-kalian bisa menunjukkan taji kekuatan para blogger dalam beriklan tidak langsung dari cerita-cerita kalian. Suer, aku gak bilang kok kalau kalian itu gak usah dikasi fasilitas mewah asal dibayari tiket sama tiker buat bobo aman... Suer aku gak ngomong gitu, tapi kalau keterlepasan omong begitu sih mungkin aja.....
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 24 September 2015

Senja di Tanjung Batu Putih

senja di Pantai Panmuti
Senja dari bukit Tanjung Batu Putih
Bola bercahaya kuning berubah oranye menjadi pemandangan senja yang menyenangkan, sayang kopi terakhir telah tandas sebelum pertunjukan ini dimulai. Kami berlima berdiri di ujung bukit menikmati moment ini. Matahari tampak jelas tak terhalang awan yang mulai menghilang di balik cakrawala berbatas lautan. Bulan-bulan seperti ini memang menjadi waktu yang pas untuk menikmati matahari tenggelam tanpa terganggu awan.
Pantai Panmuti
View bukit dari Pantai Tanjung Batu Putih
Acara pacuan kuda ternyata telah selesai sebelum jam 4 sore. Kita tentu merasa sayang jika melewatkan waktu yang tersisa, jadi saran mas Fahrul kita mencari pantai di sekitar daerah Babau yang bisa dikunjungi. Informasi tentang pantai-pantai sekitar sini memang agak sulit ditemukan. Sambil jalan balik ke arah Kupang, Erwin Yuan dan mas Fahrul berusaha kontak dengan teman yang pernah ke sana. Aku juga mencoba menari tahu lewat google earth/map tapi tetap saja tidak ada. Sepertinya siapa pun yang pernah kesana belum ada yang share lokasi ini. Sempat kesulitan mencari jalan persimpangan menuju tempat ini akhirnya setelah sempat terlewat jalan agak jauh kita berhasil menemukan titik lokasi seperti yang digambarkan temannya Erwin. Tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar satu kilometer sudah akan sampai di ujung jalan masuk ke dalam bangunan baru. Sebuah bangunan yang belum selesai dikerjakan ini rupanya adalah tempat untuk pemotongan binatang, itu informasi dari penduduk sekitar. Untuk menuju pantai, kita harus menaiki pagar yang sudah dijebol sebagian dan diberikan tangga darurat dari kayu-kayu bekas.

Bukit di Pantai Panmuti
Pantai berkarang dengan warna pasir keabuan menyambut kami. Pantai ini terletak persis di samping muara yang kering. Ada anak-anak cewek beberapa orang yang sedang berwisata ke tempat ini. Jumlah, siapa mereka pasti akan akurat di jawab sama temenku Eddy yang paling sigap kalau urusan beginian, walaupun secara umur itu cewek-cewek seumuran anaknya dia (mungkin). Di sebelah kanan sebelah muara tampak bukit menjulang dengan dinding berwarna putih. Mungkin itulah tempat yang menyebabkan tempat ini disebut dengan Tanjung Batu Putih.
Lagi asyik menikmati view dari pantai, tahu-tahu aku lihat mas Fahrul udah naik aja ke atas bukit. Karuan saja kita, aku, mas Joni dan Erwin menyusul mas Fahrul ke atas bukit. Dan bisa di duga, di setiap lokasi yang dirasa tepat, pasti Erwin akan melakukan selfie. Emang urusan selfie tidak ada yang mengalahkan mahluk satu ini. Untuk naik ke bukit ini ternyata harus melewati pagar kawat berduri yang mungkin dibangun oleh pemilik tanah ini. Untuknya ada titik lokasi jalan yang bisa dilewati dengan merunduk. Eddy dan temannya aku tinggalkan yang sedang asyik melakukan pemotretan dengan mahluk-mahluk betina itu. 
Bukit ini tidak terlalu tinggi mungkin hanya sekitar sepuluh meteran namun bagian yang menghadap laut berupa dinding tegak curam berwarna putih. Di bagian atas bukit terdapat tanah yang cukup datar, beberapa pohon tampak tumbuh persis di pinggir jurang menjadi lokasi eksotis untuk melihat matahari terbenam.

Senja di Pantai Panmuti Senja di Pantai Panmuti
Dari bagian utung timur tebing ini kita bisa melihat sebuah hamparan pepohonan bakau yang sebagian sudah mati sampai ke ujung teluk kupang. Di depan aku bisa melihat sebuah tanah berpasir yang menjorok ke pantai. Tempat ini cukup menarik dan belum banyak kami temukan sampah plastik. Artinya masih sedikit masyarakat Kupang yang tahu lokasi ini. 
Di sinilah terjadi diskusi dengan kami, apakah kami akan membagikan lokasi ini atau tidak. Kami menganggap, semakin banyak yang tahu ini makin tidak bagus karena akan semakin banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hanya bisa berwisata tapi tidak bisa menahan tangan-tangan jahil mereka dari membuang sampah sembarangan atau mencoret-coret seenaknya. Nyatanya walau belum dishare di media sosial, aku melihat pepohonan sudah dipenuhi dengan coretan-coretan yang dipahat langsung ke batang pohon dengan pisau. Mereka yang hanya membagi-bagikan foto mungkin bisa tidak membagikan lokasi tempat ini dengan jelas namun tentu sulit bagiku untukku yang biasanya aku tuliskan. Akhirnya aku menuliskan nama lokasi ini dengan nama Tanjung Batu Putih, bukan nama umum yang dikenal masyarakat. Jika kalian menyebut nama tempat itu dengan nama di atas yakin tidak banyak yang bisa membantu memberitahu lokasinya. Tapi kalau kalian berminat ke lokasi ini bisa menanyakanku secara pribadi ancar-ancar lokasi dan nama yang familiar oleh masyarakat.
Malam di Pantai Panmuti
Nenda di atas bukit Tanjung Batu Putih
Karena lokasinya yang bagus dan enak buat menikmati sunset, dua hari kemudian aku mengajak keluargaku ke sini sekaligus untuk belajar nenda bareng anak-anak. Ternyata perjalanan ke tempat ini juga masih sempat salah. Aku ingat kata Erwin oh ternyata jalan dari masjid. Dan ternyata tidak ada masjid di sekitar tempat itu, entah apa aku yang tidak melihat masjid itu. Ternyata sesampai di lokasi yang cukup membuat anak-anakku excited, aku menemukan rombongan muda-mudi yang telah di atas. Menikmati senja dengan botol-botol minuman keras (mungkin sejenis sopi). Ah itu urusan mereka, aku lebih memilih mengabaikan dan sibuk memasang tenda agar bisa terpasang sebelum senja.
Setelah tenda terpasang, aku harus mendengar anakku terkecil berteriak minta makan mie tujuh. Mie tujuh itu istilah dia untuk menyebut mie sedap goreng original. Mie ini yang lekat dengan lidah anakku, dan dia tidak akan mau makan mie lain selain mie tadi. Jam lima lebih tenda terpasang ternyata hanya bertahan sampai jam tujuh saja.. hahaha.. nenda apaan ya cuma 2 jam doang. Tapi akhirnya aku mengalah membereskan tenda karena kupikir ini adalah pertama mereka nenda jadi aku tidak terlalu mau memaksakan diri. Mungkin lain waktu aku akan mengajak mereka untuk nenda lebih lama.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 21 September 2015

Menonton Pacuan Kuda di Baubau

Pacuan kuda NTT
Kuda-kuda berlomba di lintasan, saling mengejar bahkan nyaris bersenggolan
Bagaikan peluru yang terlepas dari pistol, kuda-kuda itu langsung melesat sesaat pintu startgate terbuka meninggalkan debu-debu dan bahkan batu-batu kecil yang berterbangan oleh sentakan kaki-kaki kuda. Kuda-kuda meninggalkan jejak panjang debu yang memenuhi arena dan teriakan-teriakan penonton mendukung jagoannya masing-masing bagai koor panjang penuh gemuruh. Joki-joki seolah menempel di punggung kuda mereka yang berlari layaknya terbang untuk satu tujuan, yang pertama menerobos garis finis.

Pacuan kuda NTT
Perjuangan di start awal yang sangat sengit
Tak banyak pengaman, bahkan beberapa anak kecil yang menjadi joki hanya mengenakan seragam lomba dan penyangga siku saja. Umur mereka masih sangat muda, tidak ada yang lebih dari 15 tahun dengan tubuh yang rata-rata kecil. Namun keberanian mereka menunggangi kuda-kuda pacu ini sungguh luar biasa bahkan dengan perlengkapan keamanan yang sangat minim seperti itu. Namun yang menyedihkan, ketangguhan anak-anak ini tak sebanding dengan penghargaannya. Tunggulah pengumuman dari setiap peserta perlombaan diumumkan dari pengeras suara oleh seorang host. Setiap peserta akan diumumkan nama kuda dan nama pemilik kuda yang akan bertanding. Nama peserta cilik itu? Simpan kebanggaan menjadi joki itu untuk sesama teman mereka saat mereka berkumpul bersama disekolah. Jangan pikirkan antara Valentino Rossi atau Jorge Lorenzo dengan Yamaha, nama mereka memang lebih di depan dari tunggangan nya tadi tidak dengan joki-joki ini.
Mas Joni Trisongko, dan mas Fahrul Marto yang punya hajat mengajakku menonton pacuan kuda di Babau saat ketemu di pameran Matahati. Saat itu tujuan kita sama, mau menghadiri sesi seminar dengan salah satu travel photographer yang sudah terkenal: Valentino Louis. Kalau kalian mau berkenalan dengannya bisa akses blognya di Wanderer in Wonderworld. Aku sama sekali tidak tau kalau di daerah Babau sudah dijadikan tempat penyelenggaraan pacuan kuda tahunan. Tentu saja kesempatan itu tidak aku sia-siakan, setidaknya membayar kegagalanku menonton pacuan kuda di Sumba Timur.
Pacuan kuda NTT
Kuda-kuda melesat begitu cepat
Kami memilih berangkat selepas siang karena acara dimulai setelah jam dua siang. Selain mas Joni, dan mas Fahrul, juga ikut dalam rombongan mobil Erwin Yuan, dan Eddy 'Krumpeng' serta temannya. Cuaca kubayangkan pasti panas sekali, dan memang seperti itulah yang kurasakan begitu turun dari kendaraan. Hawa panas dan debu yang beterbangan langsung menyergap kami. Mobil mas Fahrul pun bahkan sebagian sudah berubah menjadi putih oleh debu. Untung aku cukup siap dengan kondisi ini. Sebuah topi ranger dan penutup hidung telah terpasang.
Sebuah tribun tunggal aku akan berpikir dua kali untuk duduk di atasnya pelahan-lahan mulai dipenuhi para penonton. Pikiranku tentang tribun penonton itu sama dengan pemikiran teman-teman lain. Walaupun baru, tapi bentuk dan material yang tampak seperti itu tidak pas untuk menjadi tribun, bahkan aku berpikir, mungkin sebuah angin dan hujan kencang beberapa kali saja akan dengan mudah merontokkan tribun yang berdiri dengan dua tiang penyangga kecil untuk atapnya. Lintasan pacuan kuda pun adalah bangunan sementara yang dibatasi dengan pagar dari bambu campur kayu. Lagi-lagi aku berpikir, seekor kuda yang keluar arena dan menabrak pagar pembatas itu pasti akan dengan mudah merusakkannya. Mas Joni pernah bilang, dulu pernah ada kejadian kuda yang saat di tikungan tidak bisa dikendalikan sehingga berlari lurus dan menabrak pagar kayu pembatas.
Anak-anak di pacuan kuda
Anak-anak, menonton dari atas bak truk kuda
Sebuah startgate ditarik masuk ke dalam arena pacuan. Satu demi satu kuda dimasukkan ke dalam startgate lewat pintu belakang. Dan setelah kuda-kuda itu masuk, maka joki-joki kecil yang sudah berdiri di samping startgate mulai menaiki kuda mereka masing-masing. Beberapa kuda tampak gelisah saat masuk ke dalam startgate yang memang memuat pas dengan tubuh mereka. Beberapa kuda harus di tahan karena berusaha mendorong pintu startgate yang masih terkunci. Entah karena mereka tidak nyaman ataukah memang naluri berlari mereka sudah demikian kuat-nya. Begitu aba-aba dimulai dan pintu startgate terbuka, serempak 6 kuda melesat bak kilat menerjang keluar. Sorak penonton langsung membahana bersamaan dengan keluarnya para kuda itu, mereka seolah tak peduli dengan debu berwarna putih yang ditinggalkan oleh kuda-kuda itu memenuhi lintasan pacuan.
pacuan kuda NTT
Debu beterbangan di sepanjang arena pertandingan
Dan memotret kuda dengan lari secepat ini juga bukan hal mudah. Baru kali ini aku memotret pacuan kuda yang bergerak dengan sangat cepat seperti ini. Beberapa settingan awal yang aku kira cukup ternyata belum cukup cepat untuk menangkap laju kuda yang melesat begitu kencang seolah terbang. Aku bahkan tak melihat apakah mereka sempat menjejakkan kaki ke tanah kecuali tanda beberapa tanah keras yang berlubang. Begitu sengit para kuda ini berlari saling mendahului, bahkan di beberapa tikungan tampak kuda-kuda mereka nyaris saling menempel saking dekatnya.  Begitu kuda berlari keluar, startgate langsung dipindahkan ke samping karena lokasi startgate juga akan menjadi lokasi finis untuk 4 sesi ini. Dua sesi terakhir barulah terjadi perubahan lokasi startgate yang dipindahkan setengah lapangan ke ujung lain dari sisi tribun. Artinya dua sesi terakhir harus menempuh jarak satu setengah lap untuk memenangkan pertandingan.
Sayangnya, sepertinya pertandingan kuda tahunan ini belum berhasil banyak menarik minat penonton dari luar daerah walaupun ajang pacuan kuda ini telah dijadikan salah satu destinasi wisata bagi Pemerintah Kabupaten Kupang. Entah ketidak seriusan menggarap potensi wisata ini ataukah kurangnya promosi yang baik, karena selain penonton yang sebagian besar penduduk lokal dan penonton non lokal rata-rata mengetahui ajang pacuan kuda ini dari cerita teman lainnya yang telah terlebih dahulu tahu tentang pacuan ini. Bahkan fasilitas untuk menikmati pacuan kuda ini terbilang masih minim sekali. 
Dan lagi-lagi pemandangan sampah masih menjadi pemandangan yang jamak yang aku lihat di setiap lokasi yang menjadi pusat keramaian. Botol-botol air mineral dibuang bahkan sampai ke dalam lintasan pacu oleh penonton yang tidak peduli akan kebersihan.

:: Daerah Babau adalah salah kelurahan yang masuk ke dalam kecamatan Kupang Tengah, yang berjarak kira-kira 30 km dari Kota Kupang dengan jarak tempuh tak lebih dari 30 menit jika kondisinya lancar ke arah SoE dengan kondisi jalan mulus (jalan negara). Pertigaan persis sebelum Polres Kabupaten Kupang masuk ke dalam sekitar 2 km dengan kondisi jalan tanah putih masuk ke daerah Lifu Batu.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya