Sunyi dan sepi kesan pertama ketika aku dan keponakanku, Sekar memasuki komplek museum ini. Museum Sasana Wiratama atau lebih dikenal sebagai Monumen Diponegoro. Berlokasi di Jl. H.O.S Cokroaminoto TR III/430, Tegalrejo, Yogyakarta. Di depan gerbang gedung diletakkan patung tokoh pahlawan nasional, Jendral Oerip Soemohardjo dan Jendral Soedirman.
Setelah aku melewati gerbang terlihat sebuah bangunan yang dindingnya terdapat relief pertempuran Pangeran Diponegoro dan Belanda. Di depan gedung terdapat canon meriam. Gedung inilah yang disebut Museum Monumen Diponegoro. Setelah aku mengisi buku tamu, kami memasuki ruangan tempat koleksi museum terpajang.
Menapaki selasar melihat display sisi kanan beberapa koleksi senjata perang berupa bedil senapan, pedang, perisai. Sebuah kereta kepangeranan di letakkan di tengah ruangan bersama seperangkat alat musik gamelan peninggalan Sultan Hamengkubuwono II dan patung Loroblonyo. Dibawahnya ada display senjata Kujang, Patrem (keris kecil), Candrasa, senjata berupa tusuk konde telik sandi (mata-mata) perempuan, batu akik/batu permata, koin kuno. Foto-foto Goa Selarong, Alibasyah Sentot Pawirodirjo, Kyai Mojo juga terpajang disini.
Paling ujung kiri ruangan diletakkan lukisan ilustrasi serangan Belanda di rumah Tegalrejo. Di sisi kiri display senjata tombak, sangkur, trisula, golok, pedang, beberapa keris yang berwarangka dan tidak berwarangka. Beberapa peninggalan rumah Tegalrejo yang terdiri dari tempat sirih, kecohan tempat ludah setelah menyirih, kacip alat pembelah pinang, cangkir, alat dupa ratus, kendi, vas bunga, bokor dan Dakon atau Congklak terbuat dari kayu berbentuk ular naga (alat permainan tradisional untuk anak-anak dengan mengisi cangkang kerang/keong laut dilubang kayu). Sekar wajahnya serius memperhatikan benda-benda peninggalan rumah Tegalrejo. Disebelahnya display senjata-senjata seperti keris, tombak, patrem. Ketika di bagian display senjata-senjata itu, aku mencium bau harum bunga. Padahal tidak ada bunga atau pengharum ruangan disini. Aku mencari-cari asal bau wangi itu tapi tak kutemukan.
Aku bergegas ke bagian belakang komplek museum ini. Di sisi kiri lokasi tembok jebol berada. Pangeran Diponegoro menendang dan kudanya menyepak tembok tersebut hingga jebol untuk melarikan diri dari kepungan Belanda. Ketika aku berada di lokasi tembok jebol, lagi-lagi aku mencium bau harum bunga. Bau wangi ini dari manakah asalnya?
Dari lokasi tembok jebol aku menuju pendopo. Di depan pendopo ada Padasan, tempat wudhu keluarga. Di samping pendopo ada Batu Comboran, tempat makan kuda-kuda yang terbuat dari batu. Dalam Pendopo ada dua lukisan Pangeran Diponegoro mengapit prasasti yang ditandatangani Mayjen Surono. Satu lukisan pangeran dengan kudanya dan satu lukisan koyak pada bagian wajah pangeran. Aku melihat ada panggung tempat pelaminan pengantin, kursi-kursi lipat di sini. Sangat disayangkan bila Pendopo saat ini digunakan sebagai function hall yang disewakan untuk acara pernikahan. Aku takut bila situs sejarah ini menjadi rusak. Ketika aku sibuk memotret, tiba-tiba Sekar mengambil sapu yang tersandar di tiang Pendopo. Seperti di rumah sendiri, bocah perempuan itu tampak rajin membersihkan lantai Pendopo hehehe. Biarpun baru pertama kali aku menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi aku merasa familiar alias tidak asing berada di sini. Hhmmm sebuah perasaan yang aneh.
Pangeran Diponegoro adalah putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III, Raja Yogyakarta. Terlahir dengan nama Bendara Raden Mas Mustahar pada tanggal 11 Nopember 1785. Setelah menikah berganti nama menjadi Bendara Raden Mas Antawirya/Ontowiryo. Ketika ayahandanya menjadi raja, beliau berganti nama menjadi Pangeran Dipanagara/Diponegoro. Sang Pangeran memiliki sembilan istri. Salah satunya bernama Ratnaningsih yang setia menemani hingga akhir hayat. Selain perempuan Jawa, pangeran juga menikahi perempuan yang berasal dari Wajo bernama Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husein (bernasab dengan Husein Jalaludin Akbar sampai Fathimah Azzahra binti Muhammad SAW) yang dinikahinya selama menjalani pengasingan di Makassar.
Di rumah inilah awal Perang Jawa/ Perang Diponegoro bermula tepatnya tahun 1825. Dimulai dengan serangan pihak Belanda ke kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo sebagai reaksi karena pangeran membuang patok-patok untuk membuat jalan oleh Belanda yang kebetulan melewati tanah milik pangeran. Pangeran Diponegoro bersama keluarga besarnya melarikan diri dari rumah yang telah terkepung dengan menjebol tembok pagar samping rumah. Mengetahui Pangeran telah pergi, pihak Belanda geram dan membakar rumah pangeran. Perang selama lima tahun yang membuat banyak kerugian di pihak Belanda. Pada tahun 1830 dengan taktik licik Belanda mengajak Pangeran Diponegoro berunding di Magelang, tetapi kemudian menangkapnya dan mengasingkannya ke Manado dan Makassar. Beliau pun wafat dalam pengasingan di Makassar 8 Januari tahun 1855.
Ketertarikan aku dengan kisah Pangeran Diponegoro berawal dari mimpi yang aku alami berturut-turut saat masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Saat aku tinggal bersama orang tua menempati rumah peninggalan mbah buyut di Purworejo, Jawa Tengah. Dalam mimpi itu beberapa orang berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kain hitam, berbadan tegap, gagah dengan kumis tipis layaknya pendekar silat datang menghampiriku. Mereka mengucap "Assalamualaikum!" dengan membungkukkan badannya padaku sambil memberi hormat. Mereka pun mengatakan beberapa hal yang tidak kumengerti. Setelah itu mereka pamit, mengucap salam dan membungkukkan badannya lagi, kemudian menghilang dari pandanganku. Dan esok malamnya mimpi itu terulang kembali. Siapakah mereka? Lalu siapakah aku? Pertanyaan demi pertanyaan menghantui pikiranku.
Di malam-malam tertentu aku kadang mendengar suara derap langkah pasukan yang berbaris layaknya defile pasukan diselingi suara ringkik kuda dan gemerincing senjata logam seperti persiapan upacara atau hendak pergi berperang. Suara itu kadang samar terdengar bersama angin malam dari arah persawahan yang terletak di depan rumah. Waktu aku ceritakan mimpiku dan pendengaranku di malam hari itu kepada Mbah, beliau hanya bilang mungkin itu adalah Pasukan Pangeran Diponegoro yang makamnya ada dibelakang rumahku. Ternyata residual energy perang masih tersisa di sini.
Sejak itulah aku mulai mencari tahu kisah tentang Pangeran Diponegoro dan Pasukannya. Dimulai dengan membeli Buku Strategi menjinakkan Diponegoro karya Saleh A. Djamhari. Aku pun mengunjungi Benteng Rotterdam dan sempat ziarah ke makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan. Entah mengapa aku menangis terharu saat mengunjungi makamnya. Mungkinkah aku sebagai pembawa pesan dari pasukan itu kepada Pangeran Diponegoro sebagai salam terakhir?
Foto dan tulisan oleh: Arum Mangkudisastro
jalan-jalan ga pake ribet klik aja http://befreetour.com/id?reff=X3KRF