|
Menyapa senja dari ujung timur selatan pulau Sumba - Pantai Watu Parunu |
Tiga jam perjalanan terbayar sudah walau senja lebih dulu menghilang. Langit tinggal menyisakan warna jingga memucat tapi lekuk bebatuan di ujung samudera masih tampak elok seperti gadis yang tetap bersinar dalam lampu temaram... Watuparunu begitu khas, siapa pun yang pernah menginjak kaki di sini tak akan pernah lupa bentuknya. Lekuk-lekuk yang memberi tanda bahwa hanya dia yang memilikinya.
|
Tanaman laut untuk dijual yang dikumpulkan masyarakat |
Selembar kertas leaflet yang berukuran setengah halaman koran dari Dinas Pariwisata ini membantuku memberikan informasi bahwa Sumba Timur ternyata tak kalah keren dengan kabupaten lain di wilayah Sumba ini. Leaflet yang harus dilipat enam lipatan supaya masih tampak seperti leaflet (aku teringat peta yang biasa dibawa para pelancong asing kalau mulai cari-cari arah) ini tak sengaja aku dapatkan saat berkunjung ke Dinas. Sebenarnya aku lebih suka kalau leaflet ini dibuat bentuk buku yang pasti lebih memudahkan orang membuka-buka isinya tanpa harus di-jembreng (apa istilah Indonesia untuk dibuka lebar-lebar semua lipatan biar kelihatan semuanya) dulu untuk membacanya. Apalagi dengan ukuran font yang cukup kecil jadi sangat kontras dengan luasnya kertas. Ah biarlah urusan leaflet urusan mereka.
Dari semua informasi itu, aku sebenarnya tertarik dengan pantai Tarimbang dan danau Laputi, sayangnya kedua tempat ini sepertinya belum bisa aku datangi saat ini. Menurut mereka, jalan menuju ke Tarimbang sedang dalam perbaikan. Posisi terakhir, baru saja dipasangi batu telford, jadi kondisi bebatuannya masih mudah lepas. Mereka menyarankan menggunakan mobil dobel gardan kalau tetap mau kesana, padahal aku berencana kemana-mana dengan motor saja.
Akhirnya memang beberapa hari aku lebih banyak nongkrongin pantai di sekitar kota Waingapu. Palinng sering sih pantai Purukambera, dan terakhir pantai Walakiri. Kalau pantai Londa Lima cuma sempat aku datangi tapi batal aku nikmati senja di sana karena melihat kondisi pantai yang dipenuhi sampah. Selalu saja setiap tempat yang menjadi andalan wisatawan lokal dipenuhi sampah, artinya wisatawan lokal memang banyak yang belum punya kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan. Menyedihkan!
Untung satu hari sebelum Ayu selesai penugasan, dia berhasil aku kompori untuk cari pinjaman kendaraan. Walhasil setelah selesai solat Jum'at, sebuah mobil putih sudah tersedia di depan hotel. Berempat: aku, Trysu, Ayu dan Intan, setelah diskusi akhirnya kami putuskan untuk mengunjungi pantai Watu Parunu. Walaupun dari informasi pantai ini terletak cukup jauh (sekitar 135 km) namun jalur jalan menuju ke pantai itu cukup bagus.
Kami mulai jalan jam dua siang lewat. Perjalanan cukup mulus apalagi kondisi jalan yang cukup lebar (banyak ruas jalan yang luasnya sudah standar jalan negara). Kendaraan terus melaju menyisir sisi utara dan berlanjut ke sisi timur pulau Sumba sampai ke daerah Melolo. Mulai dari sana kami harus sering bertanya ke masyarakat karena lagi-lagi papan informasi jalan yang mulai minim. Tidak semua pertigaan jelas mengarah kemana, apalagi ditambah jawaban penduduk yang selalu bilang "masih jauh".. Lha dekat sajaa kadang-kadang masih jauh setelah dijalani apalagi ini dibilang masih jauh. Sampai warna kuning membayang di langit yang artinya jam sudah menunjukkan jam lima lewat tetap saja tak ada kepastian apakah pantai Watu Parunu dapat kami jangkau sebelum malam. Ada wajah-wajah yang mulai putus asa membayangkan bahwa perjalanan ini akan sia-sia.
|
Kondisi dalam lubang batu |
Namun akhir dari perjalanan mulai tampak saat di tikungan terakhir seorang bapak tua menunjukkan arah jalan ke Pantai Watu Parunu dan kata-kata sakti "Sudah dekat"... mak nyess rasanya apalagi jam sudah mau berkejaran ke angka setengah enam. Sempat salah mengarahkan kendaraan yang seharusnya mulai belok kiri padahal seharusnya ke kanan, untung bertemu dengan seorang bapak-bapak dan anak perempuannya yang memberitahu kalau kami salah jalan.
Akhirnya setelah kami kehabisan wajah memelas kami, pantai Watu Parunu menyambut kami. Kalau bisa kugambarkan, mungkin pantai ini wajahnya tertawa terkekeh-kekeh melihat raut bodoh kami yang berangkat terlalu sore. Seharusnya memang kami sedari jam satu siang sudah jalan duluan.
Pantai Watu Parunu ini begitu khas, di ujung pantai terdapat bukit batu menjulang dengan gurat-gurat unik batuan yang sepertinya terukir oleh laut. Dibagian bukit menjulang itulah ada batu-batu yang membentuk lubang. Sayang matahari sudah hilang di balik bukit di belakang pantai. Seharusnya kalau ingin melihat matahari di cakrawala, waktu yang paling tepat adalah pagi hari. Itu yang sebenarnya kurencanakan makanya aku dari awal sudah membawa sleeping bag, demikian juga Trysu. Mungkin lain kali aku harus menginap di sini, apalagi aku mendapat informasi bahwa sebelum dan sesudah lokasi ini masih banyak tempat bagus yang bisa dikunjungi seperti Pantai Kalala, ada juga pantai Katundu dan pantai Waihungu yang bisa dijangkau selepas pantai Watu Parunu.
Yang menjengkelkan adalah adanya rombongan anak-anak muda yang menggunakan motor dan langsung membawa motornya ke pasir sampai ke ujung batu bolong itu. Mereka pikir cara itu keren (kecuali kalau motor mereka jatuh mungkin baru gak keren), padahal seharusnya mereka memarkirkan kendaraan mereka di pinggir pantai. Yang pasti aku juga ikut kesulitan untuk memotret supaya motor-motor tak punya etika ini tidak masuk dalam frame. Tapi mungkin berbeda dengan mereka, berpose dengan motor persis di depan batu bolong akan memperlihatkan eksistensi mereka, apalagi ujung-ujungnya motor-motor itu digunakan untuk ber-selfie ria. Jiwa muda, kadang-kadang memang lebih dipenuhi emosi menunjukkan diri, sekarang saat jamannya medsos dan travelling mereka menjadi saling pongah menunjukkan diri. Katanya setelah sampai: yang penting selfie atau goupie dulu.
Belum dikelola, memang begitulah pantai ini, walaupun menurutku pantai ini bisa dikembangkan dengan potensinya yang ada. Mungkin lagi-lagi masalah jarak yang cukup jauh dari pusat kota Waingapu yang menjadikan pantai ini belum dikelola.
Masalah lain adalah tidak adanya warung makan ataupun penjual makanan dari masyarakat lokal jadi mutlak jika melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti ini siapkan bekal sendiri yang mencukupi. Kelaparan di tempat ini gak keren banget. Untung masalah satu ini sudah aku antisipasi. Menjelang malam, kami beristirahat sebentar di bawah pepohonan sambil memasak makanan. Tentu saja ritual ngopi senja tidak akan aku lewatkan. Ritual minum kopi panas sambil menikmati langit yang menarikan warna kuning, merah, biru, kamu akan merasakan suasana yang tidak ada harganya.. "Coffee and sunset is like love and passion"
|
Batu-batu bukit kala surut |
Ada satu hal yang gak aku ceritakan kepada mereka. Saat mereka duduk sambil minum, aku ke kembali ke arah batu bolong untuk memotret galaksi bima sakti yang tampak jelas malam ini. Di ujung bukit ada cahaya lampu kuat yang dipasang masyarakat untuk menerangi tanaman yang mereka jemur. Sepertinya mereka masih bekerja. Tapi menjelang mendekati ke arah batu bolong itu aku merasakan penolakan yang terasa makin kuat semakin aku mendekatinya. Semakin aku nekad maju semakin halangan itu kuat. Aku mencoba berkomunikasi bahwa aku hanya memotret sebentar tidak untuk mengganggu, tapi rupanya halangan itu tidak berhenti yang artinya tetap saja kehadiranku mengganggu. Aku coba abaikan, aku maju pelahan sambil mataku tetap menatap di layar LCD. Langkahku tiba-tiba terhenti saat tiba-tiba di layar kamera ada warna merah berkedip-kedip. Deg, sialan aku tidak memperhitungkan kejadian ini. Akhirnya aku balik badan dan menjauh pergi kembali menemui teman-teman. "Udah dapet fotonya mas Bek?" tanya Trysu. "Sialan, baterainya abis," jawabanku kesal dengan kondisi tadi, warna merah berkedip-kedip di layar tanda baterai harus diganti emang suka bikin orang keki.
Btw, aku udah usulkan sama Kepala Dinas Pariwisata supaya wilayah Sumba Timur ini cepat dikenal coba jangan cuma terpatok pada media-media resmi untuk beriklan. Aku mengusulkan untuk menggunakan kekuatan viral dari para blogger, travelblogger, photoblogger. Coba sekali-kali membuat acara yang mengundang para blogger dan sejenisnya ini ke Sumba Timur dan difasilitasi untuk melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi yang aje gile cakepnya ini. Mereka ini punya kekuatan bercerita yang ampuh terutama kekuatan viral dari cerita-cerita mereka melalui medsos. Moga-moga usulku ini diterima supaya kalian-kalian bisa menunjukkan taji kekuatan para blogger dalam beriklan tidak langsung dari cerita-cerita kalian. Suer, aku gak bilang kok kalau kalian itu gak usah dikasi fasilitas mewah asal dibayari tiket sama tiker buat bobo aman... Suer aku gak ngomong gitu, tapi kalau keterlepasan omong begitu sih mungkin aja.....
Baca keseluruhan artikel...
|
Senja dari bukit Tanjung Batu Putih |
Bola bercahaya kuning berubah oranye menjadi pemandangan senja yang menyenangkan, sayang kopi terakhir telah tandas sebelum pertunjukan ini dimulai. Kami berlima berdiri di ujung bukit menikmati moment ini. Matahari tampak jelas tak terhalang awan yang mulai menghilang di balik cakrawala berbatas lautan. Bulan-bulan seperti ini memang menjadi waktu yang pas untuk menikmati matahari tenggelam tanpa terganggu awan.
|
View bukit dari Pantai Tanjung Batu Putih |
Acara pacuan kuda ternyata telah selesai sebelum jam 4 sore. Kita tentu merasa sayang jika melewatkan waktu yang tersisa, jadi saran mas Fahrul kita mencari pantai di sekitar daerah Babau yang bisa dikunjungi. Informasi tentang pantai-pantai sekitar sini memang agak sulit ditemukan. Sambil jalan balik ke arah Kupang, Erwin Yuan dan mas Fahrul berusaha kontak dengan teman yang pernah ke sana. Aku juga mencoba menari tahu lewat google earth/map tapi tetap saja tidak ada. Sepertinya siapa pun yang pernah kesana belum ada yang share lokasi ini. Sempat kesulitan mencari jalan persimpangan menuju tempat ini akhirnya setelah sempat terlewat jalan agak jauh kita berhasil menemukan titik lokasi seperti yang digambarkan temannya Erwin. Tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar satu kilometer sudah akan sampai di ujung jalan masuk ke dalam bangunan baru. Sebuah bangunan yang belum selesai dikerjakan ini rupanya adalah tempat untuk pemotongan binatang, itu informasi dari penduduk sekitar. Untuk menuju pantai, kita harus menaiki pagar yang sudah dijebol sebagian dan diberikan tangga darurat dari kayu-kayu bekas.
Pantai berkarang dengan warna pasir keabuan menyambut kami. Pantai ini terletak persis di samping muara yang kering. Ada anak-anak cewek beberapa orang yang sedang berwisata ke tempat ini. Jumlah, siapa mereka pasti akan akurat di jawab sama temenku Eddy yang paling sigap kalau urusan beginian, walaupun secara umur itu cewek-cewek seumuran anaknya dia (mungkin). Di sebelah kanan sebelah muara tampak bukit menjulang dengan dinding berwarna putih. Mungkin itulah tempat yang menyebabkan tempat ini disebut dengan Tanjung Batu Putih.
Lagi asyik menikmati view dari pantai, tahu-tahu aku lihat mas Fahrul udah naik aja ke atas bukit. Karuan saja kita, aku, mas Joni dan Erwin menyusul mas Fahrul ke atas bukit. Dan bisa di duga, di setiap lokasi yang dirasa tepat, pasti Erwin akan melakukan selfie. Emang urusan selfie tidak ada yang mengalahkan mahluk satu ini. Untuk naik ke bukit ini ternyata harus melewati pagar kawat berduri yang mungkin dibangun oleh pemilik tanah ini. Untuknya ada titik lokasi jalan yang bisa dilewati dengan merunduk. Eddy dan temannya aku tinggalkan yang sedang asyik melakukan pemotretan dengan mahluk-mahluk betina itu.
Bukit ini tidak terlalu tinggi mungkin hanya sekitar sepuluh meteran namun bagian yang menghadap laut berupa dinding tegak curam berwarna putih. Di bagian atas bukit terdapat tanah yang cukup datar, beberapa pohon tampak tumbuh persis di pinggir jurang menjadi lokasi eksotis untuk melihat matahari terbenam.
Dari bagian utung timur tebing ini kita bisa melihat sebuah hamparan pepohonan bakau yang sebagian sudah mati sampai ke ujung teluk kupang. Di depan aku bisa melihat sebuah tanah berpasir yang menjorok ke pantai. Tempat ini cukup menarik dan belum banyak kami temukan sampah plastik. Artinya masih sedikit masyarakat Kupang yang tahu lokasi ini.
Di sinilah terjadi diskusi dengan kami, apakah kami akan membagikan lokasi ini atau tidak. Kami menganggap, semakin banyak yang tahu ini makin tidak bagus karena akan semakin banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hanya bisa berwisata tapi tidak bisa menahan tangan-tangan jahil mereka dari membuang sampah sembarangan atau mencoret-coret seenaknya. Nyatanya walau belum dishare di media sosial, aku melihat pepohonan sudah dipenuhi dengan coretan-coretan yang dipahat langsung ke batang pohon dengan pisau. Mereka yang hanya membagi-bagikan foto mungkin bisa tidak membagikan lokasi tempat ini dengan jelas namun tentu sulit bagiku untukku yang biasanya aku tuliskan. Akhirnya aku menuliskan nama lokasi ini dengan nama Tanjung Batu Putih, bukan nama umum yang dikenal masyarakat. Jika kalian menyebut nama tempat itu dengan nama di atas yakin tidak banyak yang bisa membantu memberitahu lokasinya. Tapi kalau kalian berminat ke lokasi ini bisa menanyakanku secara pribadi ancar-ancar lokasi dan nama yang familiar oleh masyarakat.
|
Nenda di atas bukit Tanjung Batu Putih |
Karena lokasinya yang bagus dan enak buat menikmati sunset, dua hari kemudian aku mengajak keluargaku ke sini sekaligus untuk belajar nenda bareng anak-anak. Ternyata perjalanan ke tempat ini juga masih sempat salah. Aku ingat kata Erwin oh ternyata jalan dari masjid. Dan ternyata tidak ada masjid di sekitar tempat itu, entah apa aku yang tidak melihat masjid itu. Ternyata sesampai di lokasi yang cukup membuat anak-anakku excited, aku menemukan rombongan muda-mudi yang telah di atas. Menikmati senja dengan botol-botol minuman keras (mungkin sejenis sopi). Ah itu urusan mereka, aku lebih memilih mengabaikan dan sibuk memasang tenda agar bisa terpasang sebelum senja.
Setelah tenda terpasang, aku harus mendengar anakku terkecil berteriak minta makan mie tujuh. Mie tujuh itu istilah dia untuk menyebut mie sedap goreng original. Mie ini yang lekat dengan lidah anakku, dan dia tidak akan mau makan mie lain selain mie tadi. Jam lima lebih tenda terpasang ternyata hanya bertahan sampai jam tujuh saja.. hahaha.. nenda apaan ya cuma 2 jam doang. Tapi akhirnya aku mengalah membereskan tenda karena kupikir ini adalah pertama mereka nenda jadi aku tidak terlalu mau memaksakan diri. Mungkin lain waktu aku akan mengajak mereka untuk nenda lebih lama.
Baca keseluruhan artikel...
|
Kuda-kuda berlomba di lintasan, saling mengejar bahkan nyaris bersenggolan |
Bagaikan peluru yang terlepas dari pistol, kuda-kuda itu langsung melesat sesaat pintu startgate terbuka meninggalkan debu-debu dan bahkan batu-batu kecil yang berterbangan oleh sentakan kaki-kaki kuda. Kuda-kuda meninggalkan jejak panjang debu yang memenuhi arena dan teriakan-teriakan penonton mendukung jagoannya masing-masing bagai koor panjang penuh gemuruh. Joki-joki seolah menempel di punggung kuda mereka yang berlari layaknya terbang untuk satu tujuan, yang pertama menerobos garis finis.
|
Perjuangan di start awal yang sangat sengit |
Tak banyak pengaman, bahkan beberapa anak kecil yang menjadi joki hanya mengenakan seragam lomba dan penyangga siku saja. Umur mereka masih sangat muda, tidak ada yang lebih dari 15 tahun dengan tubuh yang rata-rata kecil. Namun keberanian mereka menunggangi kuda-kuda pacu ini sungguh luar biasa bahkan dengan perlengkapan keamanan yang sangat minim seperti itu. Namun yang menyedihkan, ketangguhan anak-anak ini tak sebanding dengan penghargaannya. Tunggulah pengumuman dari setiap peserta perlombaan diumumkan dari pengeras suara oleh seorang host. Setiap peserta akan diumumkan nama kuda dan nama pemilik kuda yang akan bertanding. Nama peserta cilik itu? Simpan kebanggaan menjadi joki itu untuk sesama teman mereka saat mereka berkumpul bersama disekolah. Jangan pikirkan antara Valentino Rossi atau Jorge Lorenzo dengan Yamaha, nama mereka memang lebih di depan dari tunggangan nya tadi tidak dengan joki-joki ini.
Mas Joni Trisongko, dan mas Fahrul Marto yang punya hajat mengajakku menonton pacuan kuda di Babau saat ketemu di pameran Matahati. Saat itu tujuan kita sama, mau menghadiri sesi seminar dengan salah satu travel photographer yang sudah terkenal: Valentino Louis. Kalau kalian mau berkenalan dengannya bisa akses blognya di Wanderer in Wonderworld. Aku sama sekali tidak tau kalau di daerah Babau sudah dijadikan tempat penyelenggaraan pacuan kuda tahunan. Tentu saja kesempatan itu tidak aku sia-siakan, setidaknya membayar kegagalanku menonton pacuan kuda di Sumba Timur.
|
Kuda-kuda melesat begitu cepat |
Kami memilih berangkat selepas siang karena acara dimulai setelah jam dua siang. Selain mas Joni, dan mas Fahrul, juga ikut dalam rombongan mobil Erwin Yuan, dan Eddy 'Krumpeng' serta temannya. Cuaca kubayangkan pasti panas sekali, dan memang seperti itulah yang kurasakan begitu turun dari kendaraan. Hawa panas dan debu yang beterbangan langsung menyergap kami. Mobil mas Fahrul pun bahkan sebagian sudah berubah menjadi putih oleh debu. Untung aku cukup siap dengan kondisi ini. Sebuah topi ranger dan penutup hidung telah terpasang.
Sebuah tribun tunggal aku akan berpikir dua kali untuk duduk di atasnya pelahan-lahan mulai dipenuhi para penonton. Pikiranku tentang tribun penonton itu sama dengan pemikiran teman-teman lain. Walaupun baru, tapi bentuk dan material yang tampak seperti itu tidak pas untuk menjadi tribun, bahkan aku berpikir, mungkin sebuah angin dan hujan kencang beberapa kali saja akan dengan mudah merontokkan tribun yang berdiri dengan dua tiang penyangga kecil untuk atapnya. Lintasan pacuan kuda pun adalah bangunan sementara yang dibatasi dengan pagar dari bambu campur kayu. Lagi-lagi aku berpikir, seekor kuda yang keluar arena dan menabrak pagar pembatas itu pasti akan dengan mudah merusakkannya. Mas Joni pernah bilang, dulu pernah ada kejadian kuda yang saat di tikungan tidak bisa dikendalikan sehingga berlari lurus dan menabrak pagar kayu pembatas.
|
Anak-anak, menonton dari atas bak truk kuda |
Sebuah startgate ditarik masuk ke dalam arena pacuan. Satu demi satu kuda dimasukkan ke dalam startgate lewat pintu belakang. Dan setelah kuda-kuda itu masuk, maka joki-joki kecil yang sudah berdiri di samping startgate mulai menaiki kuda mereka masing-masing. Beberapa kuda tampak gelisah saat masuk ke dalam startgate yang memang memuat pas dengan tubuh mereka. Beberapa kuda harus di tahan karena berusaha mendorong pintu startgate yang masih terkunci. Entah karena mereka tidak nyaman ataukah memang naluri berlari mereka sudah demikian kuat-nya. Begitu aba-aba dimulai dan pintu startgate terbuka, serempak 6 kuda melesat bak kilat menerjang keluar. Sorak penonton langsung membahana bersamaan dengan keluarnya para kuda itu, mereka seolah tak peduli dengan debu berwarna putih yang ditinggalkan oleh kuda-kuda itu memenuhi lintasan pacuan.
|
Debu beterbangan di sepanjang arena pertandingan |
Dan memotret kuda dengan lari secepat ini juga bukan hal mudah. Baru kali ini aku memotret pacuan kuda yang bergerak dengan sangat cepat seperti ini. Beberapa settingan awal yang aku kira cukup ternyata belum cukup cepat untuk menangkap laju kuda yang melesat begitu kencang seolah terbang. Aku bahkan tak melihat apakah mereka sempat menjejakkan kaki ke tanah kecuali tanda beberapa tanah keras yang berlubang. Begitu sengit para kuda ini berlari saling mendahului, bahkan di beberapa tikungan tampak kuda-kuda mereka nyaris saling menempel saking dekatnya. Begitu kuda berlari keluar, startgate langsung dipindahkan ke samping karena lokasi startgate juga akan menjadi lokasi finis untuk 4 sesi ini. Dua sesi terakhir barulah terjadi perubahan lokasi startgate yang dipindahkan setengah lapangan ke ujung lain dari sisi tribun. Artinya dua sesi terakhir harus menempuh jarak satu setengah lap untuk memenangkan pertandingan.
Sayangnya, sepertinya pertandingan kuda tahunan ini belum berhasil banyak menarik minat penonton dari luar daerah walaupun ajang pacuan kuda ini telah dijadikan salah satu destinasi wisata bagi Pemerintah Kabupaten Kupang. Entah ketidak seriusan menggarap potensi wisata ini ataukah kurangnya promosi yang baik, karena selain penonton yang sebagian besar penduduk lokal dan penonton non lokal rata-rata mengetahui ajang pacuan kuda ini dari cerita teman lainnya yang telah terlebih dahulu tahu tentang pacuan ini. Bahkan fasilitas untuk menikmati pacuan kuda ini terbilang masih minim sekali.
Dan lagi-lagi pemandangan sampah masih menjadi pemandangan yang jamak yang aku lihat di setiap lokasi yang menjadi pusat keramaian. Botol-botol air mineral dibuang bahkan sampai ke dalam lintasan pacu oleh penonton yang tidak peduli akan kebersihan.
:: Daerah Babau adalah salah kelurahan yang masuk ke dalam kecamatan Kupang Tengah, yang berjarak kira-kira 30 km dari Kota Kupang dengan jarak tempuh tak lebih dari 30 menit jika kondisinya lancar ke arah SoE dengan kondisi jalan mulus (jalan negara). Pertigaan persis sebelum Polres Kabupaten Kupang masuk ke dalam sekitar 2 km dengan kondisi jalan tanah putih masuk ke daerah Lifu Batu.
Baca keseluruhan artikel...
|
Pemandangan air terju Ogi dari aliran sungai saat senja hari. |
Gemuruh air terjun baru terdengar saat kami mulai dekat ke arah air terjun tanda kalau air terjun Ogi saat ini sedang berkurang banyak debitnya. Walau begitu, pemandangan yang ditampakkan tetaplah menawan walau sudah ada bangunan tembok penahan.
|
Bebatuan dan rerumputan membentuk pemandangan yang menawan |
Air terjun ini masih menyimpan keindahan sama sebagaimana memory yang terekam dalam ingatanku saat mengunjungi air terjun ini 5 tahun yang lalu. Kenangan yang masih terekam di memory otakku selain keindahannya juga tingkat kesulitannya menuju kesana. Air terjun ini pernah aku tulis di sini, saat itu hanya ada satu foto yang aku bisa pajang dan berjanji suatu ketika akan datang lagi untuk memotret tempat ini kembali.
Lokasi air terjun ini tidak jauh dari kota Bajawa mungkin sekitar 6 km, tepatnya ada di desa Faobata. Perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh ditempuh tapi jarang dikenal dibanding misalnya sumber air panas Mengeruda atau kamput adat Bena misalnya. Mungkin karena lokasi-lokasi yang aku sebut tadi memang sudah ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata. Beberapa tahun yang lalu, seorang teman yang ingin memotret langsung air terjun ini malah mengalami naas. Tulang kakinya retak gara-gara terpeleset saat berjalan menyusuri parit saluran air menuju air terjun. Kasihan juga saat dia tunjukkan hasil rontgen kakinya. Aku pun pernah nyaris mengalami masalah yang sama, cuma untungnya saat itu aku terpeleset di parit yang masih berupa tanah bukan parit yang dari pasangan batu. Waktunya pun sama, saat bulan-bulan hujan. Kenapa aku dan temenku memilih jalan parit bukan jalan biasa? Karena tidak ada jalan lain menuju kesana selain melalui jalan itu.
Dulunya memang ada jalan yang sempat mengalami perkerasan di sisi pinggir tebing yang mengitari air terjun, tapi aku hanya pernah melihat sisanya tak lebih beberapa meter dari jalan. Saat itu banyak sekali longsoran, dan longsoran yang aku lihat itu bukan longsoran pertama. Artinya, jalan itu mungkin telah hilang terkena longsoran berulang kali sehingga tidak bersisa sama sekali. Mungkin, aku hanya bisa mereka-reka sendiri.
|
View air terjun Ogi dari sudut barat, uap air sampai ke sini |
Bulan Agustus ini aku berkesempatan mengunjungi air terjun. Tapi bulan Agustus juga menjadi bulan simalakama, satu sisi lokasi air terjun enak didatangi karena bukan bulan hujan sehingga kondisi lokasi pasti lebih nyaman dijangkau tapi yang menjadi masalah justru kota Bajawa tempat aku menginap. Jika pada hari Selasa (18 Agustus) saat kedatangan saja suhu pada saat mulai malam turun sampai 19°C, maka pada hari Rabu aku harus merasakan dinginnya Bajawa yang menembus suhu 15°C pada malam hari dan turun sampai 12-13°C saat dini hari (seingatku jam 3 pagi). Aku harus rela memasukkan kepalaku ke dalam topi rajut yang hanya menyisakan mulut saja. Walhasil, paginya aku harus melihat wajahku penuh dengan motif rajutan.. Bajawa pada bulan-bulan seperti ini memang bukan pilihan terutama buat kalian yang tidak terlalu suka suhu dingin. Aku juga biasanya menghindari penugasan ke tempat seperti ini pada bulan-bulan begini namun memang lagi rejeki, aku harus menikmati pekerjaan di Bajawa justru saat puncak dingin seperti ini.
Siksaan ini makin bertambah saat berkendara dengan motor pada pagi hari menuju air terjun. Stang motor kurasakan seperti es kering yang membuat tanganku terasa nyeri kaku.
Berulang-ulang aku harus mengibaskan atau meniup tangan untuk menghilangkan rasa beku. Rasanya kebas sekali. Tapi perjalanan pagi ini aku lakukan untuk membuktikan apakah ada kabut pagi hari ini di air terjun. Aku berharap bisa menemukannya pagi ini.
|
Pelangi di atas air terjun Ogi |
Perjalanan banyak terbantu karena sepanjang 3 km perjalanan ke arah Faobata telah mulus rata. Tak sampai 15 menit kami sudah sampai di pinggir kampung yang dipenuhi lahan persawahan. Persawahan di sini memanfaatkan aliran air terjun. Penduduk menyarankan aku untuk terus masuk dengan motor terus ke dalam mengikuti jalan kecil dari tanah, katanya sekarang jalan itu bisa terus dilalui motor sampai dekat air terjun. Motor sewaan yang aku sewa 120ribu untuk kemarin sore dan pagi ini akhirnya aku bawa ke dalam. Walaupun jalannya masih berupa jalan tanah namun karena kering jadi mudah dilewati. Melihat kondisi ini, sepertinya jalan ini akan tetap tak bisa dilewati jika musim hujan karena tanahnya yang berupa tanah liat akan menjadi lunak dan jalan berubah menjadi kubangan. Setelah melewati beberapa ratus meter dengan pemandangan persawahan di sebelah kiri maka pada titik akhir kita akan melihar sebuah rumah penjaga bangunan pembangkit listrik. Ya, di sini memang telah lama berdiri PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) walaupun sampai saat ini belum beroperasi. Di belakangnya terdapat sebuah tangga naik yang memiliki kemiringan cukup ekstrem yang sepertinya digunakan untuk petugas PLN memasang alat di bagian atas air terjun. Beberapa meter setelah menyusuri parit saluran air barulah sampai di tampak air terjun yang dikelilingi bukit tegak lurus.
|
Tangga terjal menuju bagian atas Ogi |
Dengan ketinggian sekitar 30 meter, air yang masih cukup deras meluncur akan menciptakan kabut air yang naik seperti uap beberapa meter. Uap air yang naik ini bahkan bisa sampai lebih jauh tergantung arah angin. Di sebelah air terjun terdapat sebuah bukit dengan batu-batuan yang dikelilingin tanaman rumput dan perdu, mungkin karena tempat ini selalu basah sehingga menjadi lokasi yang subur bagi tanaman-tanaman itu. Keberadaan bukit itu menjadikan view air terjun Ogi semakin menawan, namun tidak untuk mengambil foto dari lokasi itu. Aku harus berpikir cara mendapatkan angle yang bagus dari lokasi itu karena harus berhadapan dengan uap air yang tentu menjadikan kamera tidak tajam yang bahkan tampak di hasil foto. Setelah melewati bebatuan sungai untuk menyeberang, aku berjalan mengikuti jejak sisa menuju ke bukit kecil itu, batu-batuan itu cukup mudah untuk dinaiki namun tetaplah hati-hati karena beberapa perdu yang hijau ternyata dibawahnya berupa tanah lembut yang dengan mudah akan membuat anda terpeleset.
Walaupun tangga yang ada di samping air terjun dapat dinaiki, tapi aku tetap menyarankan untuk berhati-hati karena di beberapa titik, pegangan yang ada telah rusak. Kata bapak penjaga, kadang-kadang mereka yang kesini suka iseng menjatuhkan batu-batu dari atas, atau mereka sengaja turun melalui rail pegangan. Akibatnya bisa diduga, dari kaca bangunan gardu pembangkit listrik yang pecah, rail pegangan tangga yang patah atau justru mereka sendiri yang celaka. Itulah kenapa bapak penjaga suka melarang anak-anak muda naik ke tangga itu karena kelakuan mereka kadang agak sulit dikendalikan. Masa remaja memang masa mereka saling menyombongkan diri kan. Lihat saja aksi vandalisme yang mereka lakukan, mencoret-coret nama mereka dimana saja, di pohon, di bebatuan. Mereka bisa menggunakan pisau, cat, atau menulis dengan menggunakan semen (yang satu ini tampaknya memang niat banget).
|
Pelangi di atas air terjun |
Kalau kalian mau melihat pelangi di atas air terjun cobalah datang pada sekitar jam 7 pagi saat matahari sudah menyinari tempat ini. Kabut air yang deras akan menciptakan bayangan pelangi. Terus terang pemandangan ini asyik dinikmati mata tapi agak sulit untuk direkam dalam kamera. Entah aku yang masih bodoh cara mengambil foto situasi seperti ini. Bahkan jika mau naik ke atas bukit maka pelangi yang tampak akan berbentuk nyaris sepenuh lingkaran. Tapi itu tergantung seberapa kencang kabut terjadi dan sudut cahaya matahari. Kalian tidak akan melihat pelangi ini saat sore hari karena matahari akan tertutup perbukitan yang melingkupi bukit ini.
Kalau kalian mau kesini, jangan lupa untuk bertanya kepada penduduk setempat ya karena tidak ada papan petunjuk bahkan di pinggir jalan menuju ke sana. Mungkin karena air terjun Ogi ini belum menjadi lokasi wisata. Ya untungnya, karena belum menjadi lokasi wisata jadi tidak ada pungutan. Tapi dengar-dengar dengan bapak penjaga, mungkin sebentar lagi ada kerjasama dengan pariwisata untuk pembangunan lokasi ini. Menjadikan lokasi ini tempat wisata? Bagus sih, asal direncanakan dengan benar dan tidak asal proyek jalan saja. Tidak membuat bangunan yang justru membuat lokasi ini jadi tampak aneh.
Dan yang pasti, tempat ini bukanlah tempat kalian bebas membuang sampah. Selalu jaga kebersihan, jika tidak ada tempat sampah tak ada salahnya kalian bawa dan buang nanti di tempat yang ada sampahnya. Tidak terlalu merepotkan kan hanya membawa sampah yang kalian buat sendiri, syukur-syukur ikut membawa sebagian sampah orang lain yang tidak bertanggung jawab disini. Karena hal yang paling menjengkelkan saat sebuat tempat wisata telah dikelola justru malah membuat pengunjung makin gak bertanggung jawab. Merasa telah membayar jadi bisa seenak jidatnya membuang sampah.
Baca keseluruhan artikel...
|
Mampir menikmati pemandangan sore di jalan tanjakan baru menuju ke SoE |
Libur lebaran tahun ini rencananya ke Jakarta, maklum anak-anakku terutama di kecil gembul belum pernah jalan ke Jakarta. Kebetulan neneknya juga udah kangen liat cucunya udah segede apa. Sayang tiket yang udah dibeli dari tiga bulan sebelumnya kandas hanya karena tepat hari Hyang bersamaan dengan hari raya Idul Fitri semua penerbangan dari dan ke atau lewat Surabaya dibatalkan. Apa lagi kalau bukan karena gunung Raung yang semula cuma meler-meler ingusan sama sekali-kali bersin akhirnya meletus. Pembatalan penerbangan ini memang sudah aku ketahui malamnya saat mencoba check-in secara online dan selalu gagal.
Pagi-pagi aku bareng bini coba ke bandara untuk memastikan perubahan jadwal. Aku memang tidka berminat membatalkan penerbangan karena ribetnya proses kembali uang (pengalaman dulu bisa dua bulan baru kembali). Itu pun dari awal, pihak maskapai menyatakan kalau pengembalian bukan langsung kepada pembeli tiket tapi kepada agen tepat aku membeli tiket. Padahal aku pesen tiket juga lewat online. Karena memang ketersediaan tiket pengganti agak jauh mendekati batas akhir cuti bersama, akhirnya aku memilih memindahkan waktu yang lebih longgar, kasihan kalau anak-anak liburannya hanya sebentar saja.
|
Karena dingin pagi, air terjun malah jadi terasa hangat |
Sekarang masalahnya karena memang udah niat mau lebaran di Jakarta jadi tidak menyiapkan makanan sama sekali. Sementara kalau tetap tinggal di rumah siap-siap saja ketemu dengan tuyul-tuyul kecil yang akan menyambangi rumah untuk ikut berhari raya. Lewat pertimbangan singkat akhirnya aku dan istri memutuskan akan berlebaran di Atambua, kota kelahiran ibunya.
Gak mudah, karena pengalaman sebelumnya anak-anak mabuk berat waktu naik kendaraan bareng Abah Aswar (bapak besar-nya). Jarak tempuh Kupang-Atambua yang sekitar 300km dengan beberapa medan naik dan turun SoE yang penuh tanjakan dan kelokan tentu bukan jarak yang menyenangkan untuk dijalani anak-anak. Tapi perjalanan ini harus aku lakukan lagi terutama untuk membiasakan anak-anak, tapi penting juga membuat mereka nyaman dengan perjalanan darat. Dan hari itu aku harus bisa membuktikan ke anak-anak bahwa perjalanan darat itu tetap bisa menyenangkan. Sebenarnya abah Aswar menawarkan jalan bareng besoknya, tapi anakku yang cewe udah kasih pesan duluan, jangan jalan bareng abah ya ayah. Rupanya dia masih trauma dengan mabuk berat dulu itu.
|
Sisi lain air terjun Oehala |
Setelah packing-packing kayak orang pindahan (pindah rumah tiga hari), sekitar jam satu siang mobil merah "Baleno"-ku akhirnya meluncur ke arah SoE. Aku memilih jalan santai, di beberapa tempat aku memilih berhenti terutama jika anak-anak merasa jenuh atau agak pusing. Walhasil, jam lima seperempat sore mobilku baru sampai ditanjakan jalan baru SoE. Lumayan buat istirahat sekaligus menikmati senja. Ada beberapa mobil dan motor yang juga berhenti disana menikmati senja. Terutama tentu saja beberapa anak muda yang siap pose salam dua jari kepala miring. Jaman selfie dan medsos sekarang menjadikan setiap tempat yang menarik dengan cepat menjadi magnet para nyamuk-nyamuk muda ini untuk berkerumun dan berselfie ria.. bedo karo jamanku (jamanku kamera muahaaall, medos juga gak ada yang kenal).
Ternyata penginapan di sekitar SoE banyak yang sudah penuh, ini semua di luar perkiraanku. Setelah cek-cek hotel, akhirnya baru dapat di hotel Blessing. Hotel yang masih tergolong baru terletak di dekat pom bensin pertigaan masuk menuju Kota SoE. Cuaca SoE bulan Juli memang terasa dingin daripada bulan-bulan biasa sehingga aku dan bini memutuskan untuk tidak keluar kamar. Untung persiapan makanan komplit jadi cukup makan di kamar saja. Kebetulan pula aku mendapatkan kamar di lantai 2 yang berhadapan dengan restoran jadi bisa ambil air minum kapan saja 24jam.
Pagi-pagi setelah makan pagi, aku ajak anak-anakku mampir ke air terjun Oehala. Dengan jarak yang tidak lebih dari 15 km, aku tidak perlu bergegas meninggalkan hotel. Seperti biasa aku harus ekstra mengawasi Deva, karena si bungsu ini semangat eksplore-nya tinggi kalau melihat tempat baru. Aku harus sedikit menebalkan telinga saat mendengar teriakan-teriakan ibunya yang ibunya yang sibuk memperingatkan si bungsu.
|
Menuju gerbang masuk ke Timor Leste |
Kakaknya juga semangat sekali, dia turun lebih cepat mendahului ibunya untuk sampai ke air terjun. Dia juga yang pertama kali memasukkan kakinya dan berteriak kalau airnya hangat, padahal itu hanya efek karena cuaca SoE pagi hari yang dingin. Aku saja tidak perlu menghidupkan AC mobil sepanjang perjalanan kesini. Kakaknya yang menyelupkan kaki duluan, tapi adiknya yang semangat mandi sampai lepas baju semua alias bugil.
Baru menjelang siang aku kembali melanjutkan perjalanan ke Atambua. Perjalanan dari SoE menuju Kefamenanu memang berupa turunan tapi aku tetap berkendara lambat karena banyaknya tikungan yang cukup berbahaya. Yang agak lumayan cepat setelah melewati kota Kefamenanu karena jalur disitu tidak banyak tikungan tajam. Aku sampai di Atambua sebelum Maghrib. Walaupun kadang-kadang anak-anak minta berhenti sebentar karena sedikit pusing, namun untungnya selama perjalanan ini mereka tidak pernah mengalami mabuk. Perjalanan pun terasa lebih menyenangkan, walaupun Deva justru mulai pengen pulang saat perjalanan mulai terasa jenuh. Kota yang pernah menjadi lokasi film dari Riri Reza "Atambua 39°
Celsius" menjadi kota jarak tempuh terlama yang pernah dijalani anak-anak via jalur darat.
Perjalanan berbahaya justru dirasakan anak-anak saat kembali dari berlibur ke pantai di daerah Atapupu. Perjalanan kembali melalui jalur Haliwen yang melewati bukit-bukit terjal berbeda jauh dengan perjalanan berangkat melalui daerah pantai. Beberapa titik jalan ternyata banyak yang sudah rusak parah bahkan banyak yang telah longsor. Yang paling menegangkan tentu saat melewati bukit yang jalannya telah longsor menyisakan jalan penuh bebatuan besar dan patahan-patahan. Sedan yang memang tidak dirancang untuk kondisi jalan seperti ini terang saja menjadi kesulitan melintasinya. Beberapa kali istriku harus turun untuk membantu mengawasi saat aku harus melewati daerah jalan yang patah dan longsor. Bahkan bisa kulihat Shiva terdiam di dalam mobil dengan kondisi tegang. Saat berhenti sebentar di stadion Haliwen melihat pertandingan grass track motor, aku bisa merasakan dinginnya tangan anakku yang cewek saat aku genggam.
Meski dengan banyak kejadian, sepertinya aku berhasil membuat anak-anak mulai menikmati perjalanan liburan kali ini melalui perjalanan darat yang lumayan jauh. Lumayan juga saat di perbatasan bisa masuk ke dalam melewati perbatasan Timor Leste sehingga dua krat minuman kaleng yang gak ada di Indonesia. Sebenarnya kalau orang bisa masuk sampai ke dalam seperti ini biasanya yang diincer minuman kerasnya, mau black label sampai red label ada semua. Itu semua karena jasa pacar ponakan yang ternyata masih berdarah Timor Leste, bahkan om-nya pun masih bekerja di pabeanan Timor Leste sehingga dia lancar saja waktu minta masuk walau tak satupun dari kita yang memegang paspor.
|
Danau Supul saat siang hari |
Kondisi berbeda saat perjalanan kembali, mungkin karena lebih santai aku jadi bisa melajukan kendaraan lebih cepat. Ada dua tempat yang aku singgahi, satu untuk makan siang dan makan sore. Satu tempat untuk makan siang ada di antara Atambua-Kefamenanu hanya seperti 1/4 jalan menuju Kefamenanu. Di pinggir jalan dengan daerah berbukit, di sana ada satu tempat lapang yang nyaman untuk duduk-duduk. Sepertinya banyak yang melakukan hal seperti aku. Dari mana aku tahu? Dari jejak sampah minuman kaleng, boks bungkus nasi, dan plastik-plastik pembungkus snack yang bertebaran. Sial, selalu aku menemukan kampret-kampret seperti ini yang cuma bisa ikut liburan tapi tidak bisa menjaga kebersihan.
Aku juga berhenti di danau Supul untuk menikmati sore sekaligus makan malam di tempat itu. Bekal lengkap dari ibunya anak-anak memang jos, kita jadi gak perlu mampir-mampir di tempat makan. Danau Supul ini terletak setelah kita melewati Niki-Niki dari Kefamenanu. Danau yang terletak di pinggir jalan ini cukup luas untuk sebuah danau, sayangnya memang masih tanpa penataan dan satu lagi: sampah-sampah sisa makanan.
Selepas dari dua tempat itu, anak-anak nyaris terus menikmati tidur di dalam mobil. Bahkan istriku sampai tangannya mati rasa karena dijadikan bantal untuk tidur sama anak-anak.
Semoga perjalanan ini bisa menjadi bekal anak-anak untuk melewati perjalanan liburan ke Jawa tak lama lagi. Sepertinya aku harus lebih sering mengajak anak-anak melakukan perjalanan seperti ini.
Baca keseluruhan artikel...
|
Suasana di Telaga Warna yang terasa tenang saat pagi hari |
Pagi di telaga yang begitu tenang kalau tidak ingin kukatakan sunyi. Selain aku dan penjaga yang malas buka gerbang, cuma tinggal dua mahluk sepasang yang ikut nimbrung (atau aku yang dibilang nimbrung). Itulah kenapa aku suka mendatangi telaga di pagi hari, di saat tubuh yang menggigil mendambakan selimut untuk melanjutkan lelap, dimana tubuh enggan beranjak dari tempat tidur. Apalagi di tempat dimana jaket saja belum tentu bisa menahan dingin? Ah masa, lah itu di salah satu tempat duduk kayu duduk sepasang mahluk beda jenis yang cewe pake baju full open gitu gak kedinginan tuh. Kasian juga sih, cowonya pake jaket tapi ceweknya dibiarin bolong disana-sini.
|
Matahari mulai menyinari kabut tipis yang turun |
Sebenarnya perjalananku ke tempat ini karena kebetulan ada tugas dari kantor dan ada waktu luang aku coba manfaatin untuk mengunjungi tempat-tempat yang bisa dijangkau. Aku melemparkan pertanyaan ini di status facebookku yang mungkin memiliki referensi tertentu tentang tempat yang menarik di seputaran Ciawi. Dan rasanya referensi bu Erna Gunawan yang paling menarik perhatianku untuk mencoba ke Telaga Warna. Jadinya rekomendasi moto dari masjid di Puncak Pass deket rumah makan Rindu Alam aku batalin. Yah, kadang kita feeling aja mana yang sepertinya menarik untuk didatangi. Dan jangan tanya apakah aku akan kecewa seandainya tempat tujuan itu tidak menarik seperti yang aku duga. "For my part, I travel not to go anywhere, but to go. I travel for
travel's sake. The great affair is to move." tuh kata dari kang Robert Louis Stevenson. Jadi salah satu alasan kenapa aku gak mudah ngajak jalan orang lain, karena banyak kita yang terpatok pada lokasi tujuan sedangkan aku sendiri lebih kepada jalannya, tujuan cuma alasan untuk berhenti sesaat.
|
Sebuah perahu bambu yang tidak terpakai dipenuhi tanaman |
Sendiri, aku memilih berangkat pagi karena belum mengenal lokasinya seperti apa. Umumnya jika sebuah danau/telaga di daerah perbukitan yang agak terbuka atau tidak ada bukit tinggi yang menutupinya biasanya jika mulai siang sampai sore airnya menjadi bergelombang, namun jika pagi airnya akan tetap tenang. Jadi dengan pagi aku sudah hampir memastikan bahwa aku akan mendapatkan suasana telaga yang tenang apapun kondisi telaganya.
Berangkat selepas Subuh, aku memilih berjalan kaki dari penginapan di Ciawi karena pagi buta begini belum ada belum ada ojek yang nampang di depan penginapan.
|
Ketenangan seperti ini hanya dapat ditemui saat pagi |
Baru dari pertigaan Danamon aku bisa mendapatkan mobil angkutan ke arah puncak berbekal informasi mamang yang juga jadi sopir angkutan. Katanya sih kalau di Telaga Warna itu dingin banget jadi harus pakai jaket, mungkin dia kasian liat aku yang cuma bawa kaos dalem sama rompi yang tentu gak bisa menahan hawa adem pegunungan. Tapi mamangnya bilang jangan kuatir, di atas pasti ada yang udah buka jualan sweater atau jaket. Aku berhenti di Tugu sesuai arahan dan berganti kendaraan ke arah Cisarua, patokannya angkutan yang berwarna kuning. Kenapa musti ganti karena Telaga Warna itu sudah masuk kabupaten Cianjur jadi angkutan kota tidak bisa melewati batas. Sebenarnya ada cara paling mudah yaitu naik bis kota yang menuju Bandung atau Cianjur yang melewati Puncak Pass. Cuma karena terlalu pagi kemungkinan bisa kelamaan cuma buat nunggu bis. Tapi kalau kita browsing kok nemunya Telaga Warna, Cisarua Kabupaten Bogor ya.. jadi bingung yang bener itu masuk Kabupaten Cianjur atau Kabupaten Bogor sih?!?
|
View dari dalam perahu yang telah tak terpakai |
Setelah melewati perkebunan teh milik Argo Gunung Mas yang juga banyak dijadikan tempat wisata alam akhirnya angkutan berhenti di sebuah lokasi yang dipenuhi para pedagang. Di belakang bangunan tampak sebuah masjid kecil dan disampingnya ada pintu gebang yang menunjukkan arah menuju Telaga Warna. Gak jauh jalannya kok cuma beberapa meter nanti ketemu gerbang masuk Telaga Warna. Penjaga gerbang ogah-ogahan waktu kita mau masuk, alesannya belum buka tapi saat disodorin uang 7rebu tanpa tiket langsung ijo cepet-cepet bukain gerbang... beuhh.. kalau urusannya duit aja dimana-mana sama.
|
Persahabatan bagai kepompong, semuanya pake kepompong |
Telaga Warna ini ternyata berada di sekeliling bukit yang cukup tinggi di sisi Timur dan Selatan. Ini artinya kalau pagi sampai mungkin jam 8 suasana telaga pasti masih redup. Walaupun tetap enak untuk dinikmati namun di bawah jam 8 bisa dibilang bukan momen terbaik untuk mengambil foto. Kalau mau bersabar tunggulah sampai jam 8 ke atas karena di saat itu cahaya matahari sudah mulai memasuki celah-celah pepohonan membuat panorama Telaga Warna indah terpampang. Karena sepi asyik juga mondar-mandir disini sambil cari angle-angle yang bagus tapi asli cewe satu yang ditinggalin cowoknya sendiri dan asyik foto selfie ini agak mengganggu mata. Lah masak moto selfi bukan ke arah telaga tapi kearah dimana pahanya bisa ngangkang ke arahku.. Mau gak mau aku jadi perhatiin paha segede pentungan Mr Flintstone itu, belum lagi puser sama perutnya meluber kemana-mana akibat maksa pakai baju ukuran waktu SMP (ciri-ciri perempuan yang hemat). Duh kenapa mau moto pemandangan jadi banyak gini ya hehehe......
|
Kabut pagi di antara kebun teh yang baru dipangkas |
Tak berapa lama kemudian beberapa pengunjung mulai berdatangan, hanya beberapa sih.. dua keluarga plus sodara sama buyut cicitnya :D. Penjual sekoteng baik hati ikutan datang jadi perut yang masih belum terisi dapat diganjel sama sekoteng panas seharga 8rebu, mahal ya? Gak lah, coba kamu bikin sendiri bawa kemari aku beli 10rebu juga gak papa..
Kalau menurut catatan di depan, Telaga Warna ini masuk kawasan cagar alam yang dikelola pemerintah. Makanya saat pagi-pagi banyak terdengar bunyi burung-burung dan teriakan seperti monyet dikejauhan. Aku masih bisa melihat seekor burung kecil berbulu biru dengan paruh panjang besar terbang melintasi telaga.
Aku memutuskan kembali sekitar jam 8.19.. cieeh, kok hapal banget sih jamnya sampai menit begitu.. Sampai di jalan ternyata kendaraan arah ke Bogor antri memanjang, sepertinya ada buka-tutup jalan. Buka-tutup jalan di wilayah ini sudah biasa terjadi apalagi saat ada liburan seperti ini. Tau sendiri kan, orang Jakarta kalau libur bawaannya pengen melarikan diri aja dari Jakarta. Jadilah Bogor, Bandung dan Puncak jadi pelampiasan mereka.
|
Perkebunan teh di Puncak Pass |
Aku memutuskan jalan kaki sampai ke Tugu, tapi karena perut lapar aku mampir ke salah satu warung untuk makan. Di warung itulah aku mengenal salah lagi jenis lalapan namanya daun pohpohan. Rasanya harum-harum sengir kayak daun kemangi gitu.. sayang lagi gak pengen makan sambel banyak jadi gak bisa makan lalap sepuasnya, padahal pete yang digantung deket teteh berdiri dari tadi sudah melambai-lambai minta dicicipi. Petenya lho ya bukan tetehnya... pikiran jangan jorok nape!!! :D
Setelah selesai makan dan buang air kecil di kamar mandi masjid mulailah perjalanan dengan jalan kaki menuju Ciawi. Btw tentang kencing, entah cuacanya atau karena bawaan pengen minum, sepanjang jalan aku hitung sudah 6 kali masuk ke toilet 2rebu buat kencing.. dihitung-hitung abis 15rebu cuma buat kencing (karena yang terakhir uang 5rebu gak punya kembalian jadi dikasih aja semuanya). Ternyata jalan kaki lebih cepet daripada naik mobil. Itu mobil saking lama dapat giliran buka sampai banyak yang matiin mobil lalu istirahat sambil makan atau minum di pinggir jala. Kalau sering lama-lama ditutup gitu para pedagang di pinggir jalan jadi kecipratan rejeki. Yah, ternyata dibalik kesulitan tertentu ada kemudahan.
|
Para ibu-ibu pekerja sedang memanen daun teh |
Entah berapa jauh jarak dari Telaga Warna sampai dengan Ciawi yang pasti sampai dengan jam satu siang lebih aku baru sampai di daerah Cimory, berarti aku telah berjalan kaki 5 jam. Yah mungkin juga karena aku beberapa kali masuk ke dalam perbukitan kebun teh jika aku melihat view-view menarik. Namun berjalan menurun saat jam buka-tutup seperti ini harus berhati-hati karena jalur yang jadi sempit jadi kadang saat bis-bis yang berukuran besar lewat aku memilih minggir di tepi. Namun beberapa motor yang kadang mendesak ingin mendahului juga jadi fokus aku. Beberapa kali aku harus naik sampai ke pinggir jalan untuk menghindari motor yang mencoba melewati bis dari sisi dalam. Untungnya lagi suasana puncak yang lagi banyak awan sehingga tidak terlalu terasa menyengat walaupun berjalan dengan matahari yang telah di atas kepala.
Baca keseluruhan artikel...