|
Air terjun yang keluar dari balik bebatuan |
Perahu melaju pelan membelah perairan Pangabatang menuju ke Tanjung Darat. Inilah daratan terdekat yang paling mungkin kucapai dengan perahu nelayan kecil seperti ini. Pak Sartono sengaja memutar perahunya supaya memudahkan aku mengambil gambar kondisi perairan yang bening dan dipenuhi koral dan ikan warna-warni. Tak berapa lama perahu kami memasuki kawasan bakau dan mendarat di sebuah cerukan dalam di antara bakau. Saat di laut aku sendiri tidak bisa mengenali dimana kita bisa mendarat karena sepanjang pantai yang tampak adalah bakau saja. Selepas di darat, aku memutuskan naik ojek ke arah Likong.
|
Air terjunnya mengalir kecil di musim panas |
Sesuai dengan informasi yang aku terima dari salah seorang kerabat pak Sartono yang sekarang bekerja di Dinas Pendidikan di daerah Nangahale terdapat satu air terjun yang menurut mereka menarik. Mereka sendiri tidak tahu nama air terjun itu namun mereka menyebut nama pak Blasius yang biasa menjadi pengantar tamu jika ingin ke air terjun itu. Dan sekarang nama pak Blasius di dusun Likong menjadi arah tujuanku.
Sekitar sepuluh jam di atas motor melintasi jalur jalan yang lebih banyak berupa tanah, akhirnya ojek bisa mencapai jalan raya. Sepuluh menit berikutnya ojek yang aku tumpangin sampai ke daerah Likong. Ingat ya bacangnya Likong bukan Lekong, beda banget gitchuu... *keselek biji duren*.. Berbekal informasi nama Blasius, aku diantar seorang anak kecil masuk ke gang kecil hingga ke sebuah rumah sederhana. Saat menyebutkan namaku, pak Blasius masih tampak kebingungan namun menjadi jelas saat aku menyebutkan nama pak Aswadi yang pernah bekerja menjadi guru di sini. Sayangnya hari Minggu ini beliau sedang ada keperluan keluarga sehingga tidak mungkin mengantarku. Saat aku minta dia menunjukkan arahnya saja, dia katakan kalau jalurnya baru saja dibuka dan tidak mudah untuk dilalui. Dia takut aku tersesat karena belum ada jalan ke sana, baru saja ada jalan dibuka tapi sebatas untuk pekerjaan pembangunan reservoir oleh PDAM yang akan menggunakan air terjun di situ. Untungnya pak Blasius menawarkan agar anaknya Rikardus yang akan membantu mengantarku ke air terjun. Aku setuju karena anaknya juga yang membantu saat ada obeservasi lapangan oleh sebuah tim beberapa kali. Aku sempatkan membeli pisang molen goreng dan minuman karena memang aku belum makan dari pagi selain kue-kue kering saat di Pangabatang.
|
Trap-trap air terjunnya cantik apalagi jika pas airnya banyak |
Sambil berjalan, aku mendengarkan cerita Rikardus tentang awal mula air terjun ini ditemukan dan kondisi asli ke lokasi itu. Katanya, air terjun ini ditemukan oleh orang kampung Likong Gethe yang sedang gila. Dia lah yang memberitahu penduduk kalau ada air terjun disana. Katanya pulau, orang gila itu akhirnya sembuh. Mereka menamai air terjun ini Bekor (ingat Bekor, jangan salah lagi mengeja Boker... beda bangeetttt). Rikardus sendiri beberapa kali menemani orang-orang yang melakukan survei ke air terjun ini yang katanya mau dibuat sebagai sumber air bersih. Dia juga sering menemani rombongan tamu yang ingin ke air terjun. Dulu katanya hampir tiap minggu dia bisa bolak balik mengantar tamu ke air terjun, namun entah kenapa tahun ini belum ada lagi orang yang mau mengunjungi air terjun ini.
|
Jalur sungai dengan tebing curam |
Dari Likong, Rikardus memilih mengajakku mengunakan jalan potong melalui kebun jagung dan kelapa milik penduduk. Menurutnya jarak dari Likong Gethe (itu nama lengkap kampungnya) ke air terjun Bekor sekitar 4,5 km. Entah apakah itu jarak betul atau kira-kira. Di sini kalau orang sudah mengatakan 1 km kadang-kadang kalau ditempuh 3 km juga belum sampai hahaha jadi jangan senang dulu kalau mendengar jaraknya dekat kecuali sudah mengalaminya sendiri.
Perjalanan sendiri seperti yang aku duga tidak mulus karena harus melewati sungai. Artinya jika musim hujan, air terjun ini sangat sulit dilalui. Di beberapa tempat aku melihat pipa-pipa yang terpasang di sepanjang pinggir sungai tapi masih belum terhubung semuanya. Pemasangan pipa ini juga menguntungkanku karena beberapa jalan jadi tidak terlalu menanjak. Menurut Rikardus, sebelum dibuat jalan ini, kondisi menuju air terjun tergolong jauh lebih sulit. Bahkan ada beberapa titik yang kita harus melewati bukit sambil berjalan merambat karena tidak ada jalan hanya berupa bekas jalan yang kondisinya tanahnya miring. Tak terhitung berapa kali aku dan Rikardus melewati sungai. Untung aliran airnya kecil jadi mudah kami lewati. Namun dari aliran airnya aku justru curiga kalau air terjun Bekor ini seperti air terjunnya umumnya di NTT yang debitnya di waktu musim hujan dan musim kering sangat jauh.
|
Aliran air terjun yang turun banyak di musim kemarau |
Entah berapa jam aku berjalan aku sendiri sudah lupa, bahkan aku tak pernah menengok jam tanganku. Perjalanan yang harus menembus hutan ini melenakanku. Beberapa kali aku harus masuk ke dalam hutan yang katanya merupakan hutan yang hampir tidak pernah dijamah masyarakat. Jalan menuju air terjun memang naik turun bukit, namun arahnya makin menanjak. Di kilometer terakhir kami tidak bisa lagi melewati sungai karena sungai lebih dipenuhi batu-batu besar yang akan sulit untuk dilewati. Untungnya jalan terakhir yang dulunya paling sulit berupa jalan miring dengan bergerak merayapi bukit sudah tidak ada menjadi jalan tanah yang baru dibuat. Tapi kondisi jalan ini hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, jika dengan motor trail mungkin masih bisa walau juga tidak mungkin sampai ke air terjun juga.
Sebenarnya sebelum sampai di air terjun kami juga melewati sungai yang mengalir sumber air panas. Sumber air panas ini tidak besar hanya berupa 2 pipa bambu yang menancap di dinding. Air dari bambu ini mengalirkan air panas. Di titik kelokan terakhir juga ada tebing batu kering yang katanya juga kalau musim hujan berubah menjadi air terjun. Artinya jika musim hujan banyak air terjun di daerah ini walau aku gak membayangkan bagaimana bisa kesana jika musim hujan.
|
Rikardus duduk di bawah pohon yang tumbang |
Dari pinggir sungai tak tampak air terjun hanya terlihat trap-trap air mengalir karena air terjunnya sendiri terhalang oleh pepohonan. Setelah turun melewati sungai dan naik ke atas trap-trap air mengalirnya barulah tampak pemandangan air terjun yang tingginya mungkin sekitar 30 meteran. Dari dinding batu kapur yang ada tampaknya air terjun di sini pada waktu musim hujan cukup lebar, namun saat ini hanya ada 2 titik air terjun itu pun air terjunnya tidak deras sedangkan tiga dinding batu di sekitarnya sudah mengering.
Suasana sekitar air terjun terasa sejuk apalagi pepohonan rindang disekelilingnya. Aku sempat mampir mandi disumber air panasnya. Sekitar jam 2 siang aku sudah kembali ke dusun Likong. Aku hanya berhenti sebentar di batas terakhir hutan untuk sejenak minum dan makan gorengan walaupun sebenarnya kaki sudah terasa kebal.
Dari Likong aku naik ojek dengan biaya 50rebu walaupun setelah sampai tukang ojeknya minta tambah untuk uang bensin karena setelah sampai kota baru sadar kalau ternyata jauh... hahaha ada-ada saja, mereka yang orang asli masak gak tau jarak dari Likong ke kota Maumere. Akhirnya aku tambah uang 7rebu karena cuma itu uang kecil yang tersisa di kantongku.
Sebenarnya pada waktu yang sama, teman-teman dari Mofers Photography juga sedang melakukan perjalanan ke air terjun Murusobe yang jauh lebih besar debitnya dan lebih tinggi. Namun sayang aku memang ingin ke Pangabatang sehingga ajakan ke Murusobe terlewatkan. Tak apalah, yang penting suatu ketika nanti aku juga bisa mampir ke Murusobe.
Baca keseluruhan artikel...
|
Dua anak pulau Pangabatang menatap matahari terbit |
Aku berangkat jam setengah tiga setelah memastikan kalau pak Agus tidak bisa ikut, tentu persoalannya masalah transportasi dan penginapan. Jadilah aku berangkat sendiri. Mempertimbangkan waktu akhirnya aku memilih naik ojek yang setelah tawar menawar sepakat harga 50ribu. Perjalanan dengan ojek lebih cepat sehingga tak sampai 45 menit kemudian aku telah sampai di desa Nangahale. Inilah desa yang terletak di teluk Maumere dan merupakan jarak terdekat untuk menyeberang ke pulau-pulau sekitar, dan menjadi tempat tujuan penduduk pulau untuk ke darat. Nangahale juga menjadi lokasi perumahan yang dibangun pemerintah untuk menampung korban tsunami tahun 1992 dari pulau-pulau sekitar. Sesampai di Nangahale, aku masuk ke dermaga perikanan karena disanalah biasanya perahu penumpang bersandar. Untung hari ini aku masih mendapatkan perahu terakhir yang akan ke pulau Parumaan. Saat kutanya apakah bisa singgah ke pulau Pangabatang, pemilik perahu mengiyakan.
|
Perkampungan di pulau Parumaan |
Aku duduk di belakang tepat di depan kemudi sambil memperhatikan penumpang dibantu pemilik perahu menaikan barang-barang seperti semen, cat, minuman kaleng, makanan kecil, beras dan banyak yang lain. Mungkin itu adalah barang-barang jualan. Cuaca cerah dan lautpun tampak tenang saat perahu mulai melaju meninggalkan desa Nangahale. Aku duduk santai sambil menikmati percakapan yang tak kumengerti, entah mereka menggunakan bahasa setempat atau bahasa lain karena kudengar penduduk pulau kebanyakan adalah pendatang dari Buton, Bajo, Bugis yang tentu juga berbeda bahasanya.
|
Galaksi Bima Sakti |
Semuanya masih biasa sampai cuaca berubah tiba-tiba, awan yang semua hanya mengitari tanah di sekeliling pulau mengepung kami. Warna gelap di depan menutup pandangan kami, menghalangi kami melihat pulau arah tujuan. Rupanya jauh di depan telah terjadi hujan disertai angin kencang yang menciptakan air di lautan menjadi bergelombang agak besar. Terpal yang terpasang tidak bisa menahan kami dari basah karena air hujan datang dari sisi kanan. Segera beberapa perempuan berpindah ke sisi kiri menghindari hujan dan terpaan gelombang, yang justru mengakibatkan perahu menjadi oleng ke kiri. Di tengah angin yang terus menderu, tukang perahu berteriak “Jangan ke kiri.. jangan ke kiri.” Dia memperingatkan kami agar bertahan sisi di kanan. Aku dan berada penumpang terpaksa bertahan di sisi kanan untuk menyeimbangkan perahu. Dadaku berdegup kencang seperti hujan badai ini yang membuat kami sama sekali tidak bisa melihat kedua pulau yang kami tuju. Untungnya hujan kencang ini tidak berlangsung lama, hanya seperempat jam saja. Walaupun hujan badai itu tidak membuat perahu terbalik tapi sukses membuat seisi perahu basah kuyup termasuk barang-barang dagangan yang penumpang bawa. Tukang perahu mengatakan padaku kalau tidak bisa singgah di Pangabatang. Aku mengiyakan saja dengan kondisi seperti ini, di samping kiri, aku hanya melihat pulau Pangabatang samar-sama tertelan badai yang rupanya masih turun di sana
|
Suasana pagi di Pangabatang |
Setelah seperempat jam terhempas badai, seperempat jam kemudian perahu mulai memasuki perairan pulau Parumaan yang tampak tenang. Rumah-rumah panggung mendominasi penampakan perkampungan ini. Kondisi perairan sedang surut membuat perahu bersandar di bagian rumah penduduk yang lebih landai. Penumpang mulai turun lewat samping perahu tetapi tetap harus loncat ke air karena tidak ada jalan langsung ke darat.
Mas Joko orang Solo yang baru kukenal mengajakku menginap di rumahnya supaya besok pagi aku bisa jalan ke Pangabatang. Sebenarnya bukan rumahnya tapi rumah temannya karena dia sendiri hanya mampir tiga bulan sekali, katanya sih pekerjaannya mengumpulkan besi bekas. Hebat ternyata di pulau-pulau seperti ini, masih bisa mengais rejeki dari besi bekas. Jadi ingat perjalananku pertama empat tahun lalu ke sini dan bertemu seorang pria dari Surabaya yang pekerjaannya mampir ke pulau-pulau untuk mencari rumput laut. Katanya kualitas rumput laut di pulau-pulau seperti ini lebih bagus kualitasnya, ternyata rejeki bisa dari mana saja jika mau berusaha dan mencarinya.
|
Perahu bersiap meninggalkan Pangabatang |
Aku meloncat ke air mendahului mas Joko dan menunggunya di bawah salah satu rumah panggung milih penduduk seperti ini. Sebagian besar rumah di Parumaan berbentuk rumah panggung. Aku sempat berjalan-jalan sebentar menyusuri jalan beton kecil tapi tampaknya tak ada tempat untuk menginap tersendiri. Namun sebenarnya mudah saja kalau ingin menginap karena rata-rata mereka akan dengan senang hati menerima kita menginap di rumahnya. Tapi jika tidak mau bisa juga menginap di mesjid yang ada di tengah kampung.
Saat hujan sudah reda akhirnya aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Pangabatang sebuah sebuah perahu kecil bermesin. Bukan perahu penumpang namun hanyalah perahu nelayan biasa untuk mencari ikan, sehingga aku harus bersedia duduk di atas tumpukan jaring. Masih lumayan perahu ini menggunakan motor, 4 tahun lalu saat kesini aku malahan hanya menggunakan perahu lesung yang didayung.
|
Mesjid kecil di Pangabatang |
Pangabatang tidak banyak berubah, hanya ada beberapa rumah baru yang dibangun namun juga ada beberapa rumah yang ditinggal penghuninya. Aku sempat mampir ke rumah pak Ba'ding yang menjadi kepala dusun di kampung Pangabatang ini. Sebagai gambaran, pulau Pangabatang (dari bahasa Bugis yang airnya Pembatas) adalah sebuah pulau kecil dari sederetan pulau di Kabupaten Sikka. Saat ini jumlah rumah yang ada sudah sekitar 60 rumah dengan 85 kepala keluarga, bertambah 20 rumah dari kedatanganku empat tahun lalu yang hanya sekitar 40 rumah. Berbeda dengan desa pusat di Parumaan (bahasan Bugis artinya Perumahan) yang merupakan etnik Bajo, maka di Pangabatang sebagian besar masyarakatnya beretnik Buton. Penduduk hanya menempati sepertiga pulau, dan sisanya adalah kawasan kosong yang belum dihuni. Menurut pak Ba'ding, pulau ini milik seorang haji yang tinggal di pulau Pamana. Pantainya berpasir putih dan lautnya yang bening masih kaya akan terumbu karang yang masih terjaga terutama di perairan antara pulau Pangabatang dan pulau Babi.
|
Pohon khas di Pangabatang yang sekarang sudah patah batangnya |
Dengan pak Ba'ding aku minta ijin akan menginap sehari disini. Meskipun pak Ba'ding menawarkan agar aku menginap di rumahnya aku bersikeras mau menginap di mesjid saja. Seperti biasa juga, begitu melihat aku beberapa anak langsung mengikutiku sehingga bisa menjadi teman mengobrol. Mereka sepertinya antusias sekali setiap melihat orang baru yang datang kesini. Ada sebuah pohon yang khas tumbuh sendiri di pinggir pantai, pohon itu pulalah yang ingin pertama kutuju. Namun sayang pohon itu sekarang sudah tinggal pendek karena batang-batang bagian atasnya sudah patah katanya belum lama ini patahnya. Duduk-duduk di pasir bersama anak-anak aku mengeluarkan satu kotak sosis yang langsung menjadi rebutan dengan mereka. Aku selalu ingat untuk membawa makanan-makanan seperti ini setiap ke pulau, kadang permen atau coklat seperti saat datang kesini pertama kali empat tahun yang lalu. Namun tak berapa lama aku mendengar lamat-lamat suara perempuan yang memanggil anak-anak ini.
|
View bawah laut Pangabatang (dari perahu berjalan) |
Sebenarnya aku juga berencana membuat api unggun di sini, namun sayang karena habis hujan jadi semua kayu-kayu kering yang teronggok di sepanjang pantai menjadi basah tidak bisa digunakan untuk membuat api unggun. Sambil memotret dan ngobrol bareng anak-anak tak terasa langit berubah menjadi gelap. Tak berapa lama selepas azan Maghrib, beberapa pria dewasa menggunakan pakaian gamis mendekati aku, sepertinya mereka habis pulang dari sholat Maghrib berjamaah di mesjid. Mereka meminta aku untuk mampir ke kampung. Mereka juga menyarankan agar aku menginap saja di salah satu rumah mereka karena beberap waktu ini banyak sekali nyamuk yang datang menjelang senja, hal yang tak mereka temui selama ini. Memang aku sendiri merasakan jumlah nyamuk yang sangat banyak saat memotret di pinggir pantai. Dari mereka aku juga baru tahu, saat ini ibu-ibu suka kuatir jika ada tamu dari luar karena sekarang mereka sering melihat berita tentang pencabulan anak-anak. Wah, untung mukaku bukan tampang kriminil karena bisa-bisa aku kena tuduh bisa panjang urusannya.
|
Terumbu karang di perairan agak dalam |
Rupanya pak Sartono punya andil menjelaskan ke penduduk kalau aku ini fotografer (ngaku iya ajalah walau sebenarnya aku biasanya menolak disebut fotografer) sehingga membuat mereka bisa menerima keberadaanku. Pak Sartono menawariku ke rumahnya, sebuah rumah panggung juga untuk bersantap malam. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan mereka namun aku tidak kuasa menolak ketulusan mereka sehingga memutuskan mengiyakan ajakan mereka.
Pak Ba'ding yang rumahnya berseberangan dengan pak Sartono ikut menemani sehingga malam itu kami ngobrol lama tentang banyak hal terutama hal-hal yang berbeda dari yang ketemui empat tahun lalu. Seperti mengapa sekarang masyarakat di sini tidak lagi menanam rumput laut seperti yang mereka lakukan dulu, termasuk suara genset yang tidak lagi terdengar saat menjelang malam. Setahuku dulu di sini adalah sebuah genset umum yang digunakan bersama-sama yang dihidupkan dari jam enam sore Ternyata pak Sartono lah yang mengoperasikan genset itu, namun sekarang tidak beroperasi lagi dan sudah rusak. Masyakat sekarang menggunakan fasilitas penerangan dari PLN yang berupa listrik tenaga surya. Beberapa masyarakat juga memilih memakai genset masing-masing untuk tambahan pemakaian listrik.
|
Bukit batu yang pernah menyelamatkan penduduk waktu tsunami 1992 |
Pantas saja suasana sekarang jauh lebih tenang. Kalau dulu setelah selesai acara tivi barulah menjadi tenang karena saat itulah genset dimatikan dan suasana menjadi gelap. Pak Sartono memaksaku supaya menginap di rumahnya karena menurutnya di mesjid pun masih terlalu banyak nyamuk. Aku akhirnya menerima permintaannya namun tetap meminta agar dibolehkan tidur di balai teras. Walaupun hanya teras di rumah panggung, namun lantai bambu membuat suasana rumah tetap enak untuk tidur. Bahkan karena di teras, saat bulan menghilang aku bisa dengan mudah melihat gugusan bintang di galaksi Milky Way. Suasana inilah yang membuat aku selalu rindu melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti ini.
Suasana tenang dan nyaman seperti ini membuatku dengan cepat tertidur. Galaksi bergerak merangkak di langit timur, bunyi malam yang begitu tenang seperti mengayunku pelan dalam buaian mimpi.
Setengah empat pagi aku sudah terbangun dan bersiap turun untuk memotret galaksi karena bulan sekarang sudah menghilang. Sebenarnya aku mau cuci muka namun aku urungkan karena air tidak tersedia banyak disini. Di Pangabatang tidak ada sumber air tawar sehingga masyarakat harus mengambil dari pulau Besar di sebelahnya atau mengambil dari daratan, biasanya jalur paling dekat mengambil ke Tanjung Darat. Terus terang di teras rumah ada beberapa jerigen air namun itu biasanya persediaan untuk seminggu. Untuk mandi dan aktivitas cuci biasanya masyarakat menggunakan sumur yang terletak di tengah pulau yang airnya payau. Letaknya di belakang batu-batu besar yang membelah pulau. Pulau ini terdapat dua bukit batu yang membelah pulau, bukit batu inilah yang menjadi penduduk Pangabatang menyelamatkan diri saat terjadi bencana tsunami. Pak Sartono menceritakan betapa keanehan pernah terjadi saat itu, karena saat bencana tsunami tidak mencapai lebih dari pertengahan bukit padahal saat itu gelombang bahnya tinggi melebihi pohon kelapa. Karena itulah penduduk sering mengadakan syukuran tiap tahun di batu ini. Sayang menurutnya, kebiasaan ini sekarang sudah ditanggalkan dengan alasan syirik. Banyak cerita dari bibir pak Sartono tentang bagaimana kisah mereka saat tsunami 1992 waktu itu.
|
Memasuki kawasan bakau di Tanjung darat |
Karena tak ada perahu yang datang hari ini (menurut mereka memang tidak ada perahu penumpang yang jalan hari Minggu kecuali ada permintaan), pak Sartono menawarkan untuk mengantarkan aku kembali dengan perahunya. Sekitar jam delapan aku kembali ke darat ke Tanjung Darat karena itu jarak terdekat dari pulau ini. Perahu pak Sartono sendiri perahu kecil yang terlalu berisiko kalau harus ke Nangahale. Menurutnya walau kelihatannya tenang namun sebenarnya ada waktu-waktu tertentu arus yang ada di perairan ini sangat kuat dan itu sangat membahayakan.
Aku sebenarnya mau mampir ke pulau Koja Doi dan Koja Gethe karena di sanalah ada jembatan batu yang menghubungkan kedua pulau namun sayang karena tidak ada perahu besar jadi aku harus mengurungkan perjalanan kesana kali ini.
Perjalanan ke Pangabatang kali ini menorehkan banyak kenangan, aku berjanji kalau suatu ketika jika mereka telah membangun pondok di Pangabatang aku akan membantu mempromosikan tempat ini. Aku berharap pariwisata dapat menaikkan taraf hidup mereka, juga masyarakat bisa lebih terbuka dengan pariwisata. Aku juga tentu berharap bahwa pariwisata akan membuat terumbu disini menjadi terjaga.
Baca keseluruhan artikel...
|
Pantai Liman sisi Utara, tampak gunung Liman di kejauhan yang membagi pantai ini menjadi dua |
Dini hari masih tampak gelap mencekat. Aku tergagap bangun oleh suara dengingan nyamuk di telinga. Aku coba menarik kain ke atas menutupi muka berharap dengingan itu pergi. Saat aku mendengar gemeretak pelan kayu yang merapuh oleh sisa api aku baru sadar mengapa nyamuk-nyamuk ini tiba-tiba datang.
|
Terlelap dibawah bima sakti |
Dengan malas aku bangun dan berjalan di sisi lain tenda mengumpulkan sisa kayu yang telah dikumpulkan tadi sore. Sementara di dalam tenda, empat mahluk kucel masih tidak bergerak, dininabobokkan oleh sejuknya udara malam. Setelah beberapa kayu terkumpul aku mencoba memasukkan beberapa daun pandan kering untuk memancing api membesar. Sementara menunggu api membesar mataku memandang sekeliling yang hanya menyisakan bayangan-bayangan hitam pepohonan, sementara suara air gelombang laut terdengar sayup.
Dan saat mataku memandang ke atas, voilaaaa, aku melihat di atas langit sebuah awan putih tipis menghampar miring dari sisi utara ke selatan. Rupanya sang Bima Sakti baru muncul sekarang. Aku telah keliru waktu melihat bintang tadi malam dan tak menemukan satu pun bentuk awan padahal memang belum waktunya datang. Api kembali membesar dan mengusir mahluk-mahluk kecil yang tadi bersliweran di atas kepalaku. Api unggun juga kembali menghangatkan kepala dan badanku walaupun udara yang mendingin sudah membuat basah sebagian kain parasut untuk hammock telah membasah.
Malam sedang bertafakur, dan bintang-bintang di sekeliling seperti menari-nari mengikuti tarian para musafir di persinggahan memutari pusat semesta. Api unggun pun tak mau kalah bergoyang seantara angin meniupnya pelan. Alam sepi, dan aku tenggelam di sini, dalam kedamaian yang selalu ingin kuulangi.
Malaikat itu adalah Penemu Kulkas
Setelah beberapa saat beristirahat dan menikmati keindahan pantai Uih Make, tiga buah motor yang kami tunggangi kembali melaju ke arah selatan. Kondisi jalan di sini banyak yang sudah tinggal jalan tanah, untungnya sekarang tidak ada hujan sehingga tidak susah di lewati.
|
Pantai Uitiuhtuan, tampak jejeran cemara air |
Rasa kering dan keinginan meneguk air dingin kembali menyala saat melihat toko di daerah Uitiuhtuan yang agak besar terbuka pintunya. Sebuah lemari es yang teronggok di belakang tampak gagah perkasa layaknya super hero yang akan menolong kami dari kehausan.
Ardi yang membuka pintu lemari es pertama kali dan mendapati hanya ada satu kaleng minuman soda fuihh.... Dua plastik es batu telah kembali menjadi cair, tapi masih dingin walau di dalamnya warna putih kapur menari-nari liar. Aku tidak peduli lagi, kepalang tidak mendapatkan minuman soda, air dingin itu pun segera memenuhi tenggorokanku. Jangan tanya rasanya, serasa itu adalah kenikmatan kedua selain menikmati indahnya pantai di Semau. Hari itu aku benar-benar bersyukur ada orang yang menemukan mesin kulkas. Dari bincang-bincang pemilik toko, rupanya listrik di desa ini dan banyak desa disekitarnya hanya menyala di malam hari jadi kulkas tidka hidup saat ini sehingga semua minuman yang masuk kulkas sudah mencair lagi. Karena kondisi itu, kami minta pemilik toko untuk menyimpan minuman-minuman itu ke dalam kulkas agar kami bisa menikmati minuman dingin esok harinya. Tentu saja kami berjanji akan mampir kemari.
Perjalanan Menuju Liman
Berdasarkan informasi pemilik toko, kami terus menuju ke selatan sampai bertemu dengan pertigaan besar (ukuran Semau) yang sudah beraspal. Dari sana kami masuk ke sebelah kanan menuju ke arah barat. Sampai kami mulai masuk ke dalam daerah yang lebih banyak dipenuhi daerah terbuka berkarang dengan kondisi jalan tanah keras berwarna putih. Agak ragu sebenarnya karena sepertinya ini bukan jalan mudah tapi informasi kalau Liman dulu sering didatangi wisatawan asing meyakinkan kami. Bule biasanya kan doyan lokasi yang susah dijangkau.
|
Ardi dan Augus di bawah pohon Santigi di pantai Liman sisi Utara |
Sempat mampir sebentar di daerah pantai yang mungkin masih masuk desa Uitiuhtuan yang tampak gersang namun sebenarnya juga memiliki pantai yang apik. Selain pasir putih yang terapit di antara karang-karang, di pinggir pantai juga berjajar pohon cemara air. Di samping kami menghentikan motor, puluhan kulit kerang berukuran besar tampak kosong terbuka. Biasanya kerang-kerang ini dijadikan alat untuk membuat garam sehingga garam disini pasti berwarna putih bersih tanpa perlu dicuci dahulu seperti garam di produksi pulau Jawa.
Setelah sejenak menikmati pantai ini kami bergegas berangkat kembali karena kami punya target untuk tidak sampai kemalaman sampai di Liman.
Separuh perjalanan berikutnya kami harus berjuang karena di beberapa titik jalan yang kami lewati adalah pasir putih menghampar batuan karang yang kadang masih tampak meruncing.
|
Bukit Liman di kejauhan berlatar pantai berpasir putih |
Beberapa kali motor sulit dikendalikan Augus walaupun dengan dengan kecepatan pelan sehingga aku memilih turun dan membantunya mendorong. Sehingga akhirnya kami berhenti di sebuah belokan menanjak dimana tampak sebuah pohon Santigi berdiri sendiri di antara karang menantang lautan.
Sebuah pemandangan pantai yang berpasir luas terbentang dengan warna laut yang sangat menawan. Bukit Liman tampak dikejauhan yang menjadi target kami. Rupanya ini adalah pantai Liman dari sisi Utara. Menurut informasi, bukit Liman yang membagi pantai ini menjadi dua sisi Utara dan Selatan. Dan sisi Selatan yang paling sering didatangi bule karena lebih sulit dijangkau orang.
Tak lama kami kembali meneruskan perjalanan yang kali ini bisa terbilang yang paling sulit karena benar-benar melewati jalan berpasir. Roda-roda motor dengan mudahnya terbenam walau untungnya tak terlalu dalam.
Setelah semakin mendekati Liman, selain pasir putih kami juga harus melewati deretan pepohonan Lontar dan pohon-pohon khas daerah dataran rendah yang telah rimbun. Bahkan dari batang-batang pohon yang baru kami ragu jika daerah ini pernah dilewati orang beberapa bulan ini.
Liman, True Journey
|
Berpose di atas bukit Liman sekaligus tempat parkir motor |
Setelah berjuang melewati jalanan dari pasir putih dan rimbunan pepohonan sampailah kami di bawah bukit Liman yang ternyata adalah sebuah sungai. Itu memberikan jawaban jelas kenapa daerah ini sulit dijangkau apalagi jika musim hujan.
Untungnya beberap minggu ini kondisi Semau kering tanpa hujan sehingga sungai juga telah kering walaupun masih ada beberapa daerah yang tanahnya masih empuk yang akan membuat motor amblas jika melewatinya. Aku dan Imam turun dari motor dan berjalan melintasi sungai dengan berjalan kaki sementara Ardi, Augus dan Ucil mengendari motor memutar agak jauh mencari tanah yang bisa dilewati.
Sebenarnya aku mengusulkan agar motor diparkir di bawah bukit Liman tapi entah ide gila dari mana akhirnya justru mereka nekad naik ke atas bukit Liman dengan sepeda motornya. Padahal kondisi bukan Liman bukan tanah mulus yang mudah dilewati karena merupakan bukit karang walau tidak tajam, lagian motor yang kami pakai semuanya motor bebek. Tapi untungnya semua motor kondisi remnya masih bagus setidaknya mengurangi kekuatiran untuk turun kembali ke bawah.
|
View pantai Liman sisi selatan (atas) dan sisi Utara (bawah) |
Bukit Liman juga menjadi tempat parkir motor kami semalam ini. Aman karena bisa dilihat dari bawah kata Ardi. Ide bagus sih walau pun sebenarnya aneh.
Dari bukit Liman, kami bisa melihat sisi kanan dan kiri yang memang membagi pantai menjadi dua. Dan memang benar pada jam tertentu view yang tampak dari pantai sisi Utara dan sisi Selatan berbeda warna pasir putihnya, tapi menurutku hanya karena perbedaan cahaya saja karena sisi utara dan selatan tidak benar lurus namun serong sehingga cahaya matahari yang jatuh pada pagi atau sore hari berbeda dilihat dari puncak Liman.
Kami berlima turun ke bawah menuju ke sisi pantai Liman sebelah Selatan karena di sanalah rencana kami mendirikan tenda. Sebenarnya dengan kondisi tanah yang ada tidak sulit mencari lokasi untuk mendirikan tenda apalagi kondisi angin saat ini bisa dibilang tenang. Hanya saja, karena banyaknya ternak yang dilepaskan begitu saja menjadikan tanah-tanah disini selalu saja ada tai sapi. Kami tidak memilih mendirikan tenda di tepi pantai walaupun tampaknya ide itu asyik sekali karena kami kuatir angin yang keras sehingga kami mencari lokasi di daerah pepohonan.
Selesai memasang tenda maka hal yang selanjutnya kami lakukan tentu saja berenang. Air laut hari ini sangat bersahabat, gelombang hanya layaknya riak. Pantai ini sekarang serasa menjadi pantai pribadi kami.
|
Obrolan sampah sebelum tidur adalah wajib hukumnya |
Malam hari selepas makan mie dan sarden yang kami masak, kami membuat api unggun di pinggir pantai. Tidak usah memotong pohon karena sebenarnya di sepanjang pantai banyak sekali kayu-kayu yang telah mati kering sehingga kita tinggal membawanya saja. Bersama mereka aku jadi tidak merasa tua padahal selisih umurku dari mereka tak kurang dari sepuluh tahun. Apalah arti umur yang memang akan berulang tiap tahunnya. Yang penting kami punya satu kesamaan, kesukaan kami berpetualang. Bagiku itu hal yang sangat menyenangkan karena biasanya aku sering pergi sendiri karena tidak adanya teman (mungkin aku yang tidak tahu) yang menyukai berpetualang.
Obrolan ringan kami sambil mengelilingi api unggun tanpa terasa sampai membuat kami lupa waktu. Imam yang mungkin kecapean bahkan sudah tertidur di pasir yang terasa dingin di kakiku. Aku pun akhirnya ikutan tidur di pasir tak peduli pasirnya akan menempel di seluruh badan. Langit sangat cerah dan bintang-bintang tampak jelas.
Jam sebelas kami masuk ke tenda. Tentu saja kami harus berdempetan untuk bisa tidur di dalam, tentu saja setelah kami mengeluarkan semua tas kami di bagian luar tenda sisi dalam. Tapi karena sempitnya akhirnya tengah malam aku bangun dan memilih tidur di pinggir api unggun dengan berasalkan hammock. Setelah mengumpulkan cadangan kayu untuk api unggun akhirnya aku terlelap tidur di luar. Bintang malam menjadi teman penjaga setia sementara bunyi beberapa binatang malam seperti simponi pengantar tidur. Besok entah apa yang terjadi terjadilah....
Semau, 30 Maret 2014
Nb: untuk mencapai sisi Utara dari pelabuhan Onanbatu (Hansisi) ambil ke arah Kecamatan Semau, dari sana informasi ke arah pantai Otan mudah di dapat. Dari Otan jika ingin ke pantai Liman ambil sebelah kanan dari Otan, terus sampai ke Uih Make, Onanbalu sampai ke Uittiuhtuan. Selalu pakai GPS (Gunakan Penduduk Setempat).
Baca keseluruhan artikel...
|
Pantai Uih Make yang berada di cekungan terjepit karang-karang. Entah ada berapa pantai indah seperti ini di Semau
yang pasti ini salah satu view pantai yang memukau kami. Dan pantai ini masih bersih. |
Duduk di belakang motor yang dikendarai Augus, aku merasakan rasa haus yang teramat. Tapi bukan air yang ada di dalam pikiran dan kepalaku juga mungkin yang lain, tapi air dingin atau air kelapa muda yang terus bermain-main menggodaku.
Aku tidak sampai mengigau dan meracau, tadi rasanya otakku tak bisa melepaskan diri dari dua benda itu enyah dari pikiranku. Tapi di sepanjang perjalanan menuju Liman, aku tidak kuasa membuat bibirku diam menyebut dua benda sialan yang bersarang diotakku ini.
Perjalanan Tak Terencanakan
|
Para mahluk kucel berteduh di dalam perahu |
Semuanya tiba-tiba tanpa perencanaan sebelumnya. Berawal dari adanya libur sehari perayaan Nyepi tanggal 1 April yang jatuh hari Senin. Jadi kalau dihitung, ada libur tiga hari. Rupanya liburan ini mau dimanfaatkan Ardi, Imam, sama Ucil buat jalan-jalan dan ngemping. Aku yang biasanya suka jalan sendiri ikut, lumayan kalau bisa jalan bareng temen-temen yang hobinya sama-sama suka jalan. Awalnya sih mereka mau ke Rote. Karena sering kali ke Rote, tiba-tiba aku menawarkan jalan ke pulau Semau. Eh tanpa pertimbangan ba bi bu Ardi mau saja terima tawaranku. Pulau Semau adalah salah satu tempat yang belum pernah aku injak padahal berada tidak jauh dari Kupang. Terus terang, kemungkinan aku sedikit banyak terprovokasi dengan tulisan Tinae Siringoringo di blog dia: Hunting Paradise 8 Pantai dan 2 Kolam di Pulau Semau. Lha kok bisa-bisanya, kita berlima yang mau jalan tinggal bareng di satu kompleks. Aku curiga memang sepertinya para backpacker dan pecinta jalan pada ngumpul semua di kompleks hahaha.
Besoknya pagi-pagi kita bersiap-siap dengan tiga motor. Agak telat sih, apalagi kalau bukan masalah si Imam, Ucil sama August yang emang ditakdirkan susah bangun pagi. Wal hasil, dari rencana jam enam mau jalan jadinya jam tujuh baru bergerak dari kompleks.
|
Depan dermaga Semau di Hansisi, bawah laut banyak terumbu karang |
Dari Kupang, kita mengambil arah ke bawah menyusuri pantai lewat Namosain. Aku sebenarnya sempat salah mau ke arah pelabuhan perikanan di daerah Bolok karena setauku ada kapal pengangkut disana. Untung Ardi ngingetin aku, dan hasil konfirmasiku ke mas Eko emang diarahkan ke Tenau saja.
Masuk ke Tenau kami langsung menuju ke sisi paling Utara yang berbatasan dengan dermaga baru yang belum selesai dibangun. Ada sekitar empat perahu yang sedang merapat. Laut pagi sedang pasang sehingga perahu bisa sampai ke pinggir. Dengan cekatan tiga motor kami telah berpindah ke dalam perahu. Dua perahu lainnya telah berjalan terlebih dahulu mengangkut penumpang lainnya, sepertinya yang satu perahu diambil oleh satu rombongan yang mungkin sedang berjalan-jalan seperti kami. Setelah menunggu beberapa saat di pinggir dermaga kami akhirnya memutuskan masuk ke bagian dalam perahu yang terlindungi karena hawa panas pagi sudah terasa menyengat.
Tak lama kemudian setelah ada tambahan empat motor lagi, perahu mulai berangkat. Dari Tenau, pulau Semau tampak jelas karena memang tidak terlalu jauh. Makanya biaya menyeberang ke Semau gak mahal, jika kesana sendiri biaya per orang hanya 10ribu saja. Sedang kalau membawa motor dihitung sebesar 50ribu saja itu tidak dihitung lagi penumpangnya (2 orang). Jadi kami membayar 150ribu untuk 3 motor. Laut yang cerah membuat perahu masuk ke pelabuhan batu Hansisi yang berada di cekungan. Memang bukan dermaga betulan tapi lebih mudah untuk menaikturunkan motor.
Perjalanan Tanpa Arah
|
Suasana pantai Otan, disini ada tempat budidaya kerang mutiara |
Turun dari perahu aku dan mulai bertanya ke orang lain pantai yang dekat disini.
"Kita ke arah mana ya enaknya?", tanyaku.
Ardi: "Pak Beck ajalah, gimana enaknya"
"Lho aku juga gak tahu, aku juga baru pertama kali kesini. Aku cuma tahu dari tulisane si Tinae"
Ardi: "Tak pikir pak Beck pernah kesini."
Dari situlah Ardi baru tahu kalau aku juga belum pernah kesini. Jadi benar-benar perjalanan ini tanpa guide yang tahu lokasi Semau. Sempat salah arah ke arah dermaga Hansisi yang baru, aku akhirnya mendapatkan petunjuk dari salah satu orang tua yang aku temui di pinggir jalan. Dia menyarankan aku menuju ke Kecamatan Semau, dan dari sana bertanya ke orang sekitar arah ke pantai Otan.
Akhirnya kami mengarahkan perjalanan ke Kecamata Semau. FYI, di Semau ini ada dua kecamatan yaitu: Kecamatan Semau dan Semau Selatan. Jalan mulus hanya sedikit saja, sisanya lebih banyak jalan aspal yang telah terkelupas disana-sini dan jalan tanah kapur berwarna putih. Suasana di pulau ini relatif masih sepi, jarak antar rumah masih jauh. Disepanjang jalan menuju kecamatan kami lebih banyak menemukan semak belukar dengan pohon-pohon yang tidak tinggi. Sebenarnya mereka semua lapar, tapi memutuskan diri makan nanti setelah sampai di pantai pertama tujuan kami: Otan. Kami perkirakan jarak ke Kecamatan tidak jauh, tapi karena belum benar-benar tahu kami tetep mencoba bertanya kepada penduduk setempat. GPS (Gunakan Penduduk Setempat) tetep menjadi cara ampuh untuk menjelajahi daerah baru. Jangan terburu-buru pakai alat GPS asli, ada informasi tertentu yang bisa jadi keliru. Misal di map tergambar jalan putih lebar, ternyata itu adalah jalan pasir putih yang sulit dilewati.
Sampai di perempatan setelah lewat kantor camat Semau kami berbelok ke kanan. Hanya saja, kalau yang di kecamatan Semau ini jalan aspalnya sedikit lebih baik. Sekitar setengah jam dari dermaga kami berangkat akhirnya kami sampai di sebuah jalan percabangan yang terpampang jelas desa Otan.
Tapi sebenarnya tidak berhenti di situ, selepas pantai Otan pun kami masih kebingungan yang akhirnya membawa kami bertemu anak-anak SMA yang mengarahkan kami ke pantai Liman. Benar-benar perjalanan kami hanya berbekal informasi-informasi sepenggal.
Tak heran, bahkan besoknya kami harus mengalami perjalanan yang salah arah cukup jauh yang akan aku ceritakan di tulisan kedua.
Pantai Otan, Pasir Putih Memanjang
|
Rumah apung yang sedang dibuat |
Pantai Otan memiliki pasir putih memanjang, karena bersambung dengan beberapa pantai lain. Warna lautnya yang jernih semakin tampak cantik saat suasana terik, karena air laut akan tampak berwarna tosca. Kondisi sampah juga masih minim, kecuali sampah-sampah. Kami sampai di pantai Otan jam 11, panas matahari yang terasa menyengat sekali. Di pantai ini tidak kami temui pohon kelapa. Untungnya banyak tumbuh tanaman pandan laut yang cukup tinggi sehingga bisa menjadi berteduh kami. Ada beberapa perahu berjejer yang ditinggalkan pemiliknya. Kami memilih salah satu yang nyaman untuk berteduh. Nasi bungkus yang berisi nasi kuning buatan istriku menjadi menu pembuka perut yang kosong kami dari pagi. Rasanya nikmat, apalagi karena perut yang sudah kelaparan ditambah sambil menikmati view pantai Otan.
|
Cuaca terik, namun keindahan pantai Otan tetap tampak |
Di pinggir pantai tampak beberapa orang sedang membuat sesuatu seperti rumah namun dibagian bawahnya dipasang sejenis pelampung berwarna kuning. Tiang-tiang dan rangka terbuat dari batang bambu yang mereka sambungkan dengan ikatan tanpa paku. Menurut para pekerja, mereka sedang membangun rumah apung untuk mengawasi keramba tempat budidaya kerang mutiara. Katanya sih perusahaan dari kupang yang menggunakan lokasi ini. Jadi lokasi ini hanya digunakan untuk pengembangan kerangnya saja, nanti jika sudah cukup umur baru dipindahkan ke Kupang untuk digunakan dalam budidaya mutiara.
Mungkin karena memang masih mengantuk atau lelah, angin yang bertiup sejuk membuat mata kami mengantuk, satu demi satu jatuh tertidur. Kebetulan ada tempat bersantai dari papan-papan yang diikat dengan tali yang dibuat oleh para pekerja pembudidaya kerang mutiara. Sebenarnya ada beberapa bangunan di pantai Otan namun kondisinya sudah banyak yang rusak dan juga sudah dipenuhi peralatan-peralatan untuk budidaya mutiara seperti bekas-bekas keramba, bola-bola pengapung dan tali-tali.
Sayang ada banyak binatang kecil berwarna putih yang suka beterbangan banyak sekali yang sangat mengganggu tidur siang. Cukup lama juga kami disini, karena cuaca yang sangat terasa menyengat sehingga membuat kami memutuskan jalan setelah lepas jam dua siang.
Kesejukan Pantai Onanbalu
Sekitar jam dua siang, kami bersiap-siap berangkat. Berangkat ke arah mana? Nah itu dia, harus mencoba mengontak beberapa kali ke mas Eko untuk tahu jalur menuju pantai lain setelah dari Otan. Sebenarnya aku diarahkan untuk ke arah pantai yang katanya memiliki warna pasir pink yang berada di daerah Letbaun
|
Pantai Onanbalu, sayang di pantai ini terdapat satu tempat yang banyak tumpukan sampah. |
Tapi belum seberapa jauh berjalan kami merasakan haus yang cukup kuat. Bukan haus untuk minum karena kami masih punya persediaan tapi tiba-tiba kami menginginkan air dingin atau es membasahi tenggorokan kami. Sialnya lagi, beberapa toko yang kami temui di jalan tidak menjual air/minuman dingin. Karuan saja rasa haus yang kami rasakan makin kuat terasa. Air dari botol yang diminum pun tidak sanggup menghalau rasa haus ini.
Perjalanan terasa melambat karena rasa haus semakin menyengat padahal aku sendiri cuma duduk di belakang motor yang dikendarai. Untung kami menemukan sebuah daerah yang banyak ditumbuhi pepohonan asam dan beberapa pohon yang tinggi sehingga membuat suasana di sekitar pantai terasa sejuk. Kami berhenti sejenak disana dan menggelar kain jas hujan punya Augus untuk jadi alas. Aku sendiri nyaman tiduran tanpa kain terpal karena dibagian banyak banyak ditumbuhi tanaman perdu kecil (bukan rumput)yang biasanya tanda daerah itu cukup air. Dari penduduk yang sedang lewat, kami mendapat informasi kalau daerah ini namanya Onanbalu. Mereka juga menyarankan kami agar terus ke Selatan sampai mendapatkan pertigaan jalan besar untuk mendapatkan arah ke pantai Liman.
Pantai Uih Make, Sebuah Surga Lain
Diantara rasa haus yang mendera kami mendapatkan sebuah view yang tampaknya menarik terhalang pepohonan. Kami memutuskan berhenti untuk memastikan seperti apa tempatnya. Dan sungguh luar biasa saat kami melewati barisan pepohonan kami melihat sebuah pantai berpasir putih yang terjepit diantara batuan karang (lihat foto paling atas).
Keberadaan pantai Uih Make ini layaknya sebuah pantai yang tersembunyi. Kami harus turun diantara bebatuan yang berumput untuk sampai ke bawah. Ucil dan Imam yang paling bersemangat turun ke bawah, tentunya setelah acara narsis (entah siapa diantara empat orang ini yang paling narsis).
|
Mereka berdua yang masih kecil: Imam dan Ucil |
Pantai ini masih bersih, nyaris tidak ada kotoran yang kami temukan. Letaknya yang tersembunyi di antara karang juga menjadi poin plus untuk bisa menjadi pantai yang tersembunyi. Warna-warna tosca air laut mendominasi, khas warna pantai-pantai di sini. Warna pasirnya juga putih dan halus.
Beberapa saat, kami bermain di pantai ini dan melupakan rasa haus yang sebenarnya masih terus mengerogoti semangat kami. Untung pantai-pantai ini belum banyak tereksplore, setidaknya menghindarkan ekplorasi wisatawan-wisatawan yang cuma bisa menikmati tapi bisa menjaga. Itu pula yang kami tanamkan dalam kelompok kecil ini. Tidak membuat sampah yang kami buat, hal kecil yang jika dilakukan olah setiap wisatawan tentu akan membuat tempat-tempat wisata terjaga tidak kotor.
Selesai dari pantai Uih Make, mungkin sudah sekitar jam tiga lebih sehingga sekarang kami konsentrasi untuk menjangkau pantai Liman yang tidak kami ketahui persis jaraknya. Setiap orang yang kami ketahui selalu bilang masih jauh. Tapi seberapa jauh?
Dan apakah kami harus merindukan air dingin sementara kami makin ragu ada toko yang buka saat waktu makin sore. Keindahan yang kami temui sepanjang perjalanan di pulau Semau berlawanan dengan rasa haus yang makin menyiksa. Keindahan dan rasa haus kami sama maksimalnya.
Baca keseluruhan artikel...
|
Danau Weekuri, danau yang airnya asin dengan warna tosca-nya |
Tempat ini menjadi lokasi yang aku incar untuk didatangi setelah mendapatkan kompor sebuah foto dari teman dengan judul yang sangat sangat provokatif: Pantai Weekuri, sebuah surga hanya bidadari yang tidak ada. Untuk menghormati betapa kompornya sangat dahsyat menyentil naluri hewani-ku maka itulah judul yang aku taruh di tulisan kali ini. Lebih pendek tentu saja karena siapa juga yang enak menulis judul sepanjang itu. Semoga tulisan ini juga ikut menyumbang provokasi untuk teman-teman lain yang tersesat mampir ke tulisan ini. Selamat membaca sambil bobo' (yang pake tab/smartphone tapi tolong jangan yang pakai notebook).
Malu Bertanya Sesat di Jalan
Lagi-lagi mengandalkan penugasan dari kantor, tapi bukan berarti aku gak kerja lho ya. Haram kalau mau nerima duitnya tapi gak mau kerjanya. Tentu saja hari Minggu adalah alasan paling masuk akal kalau jalan. Itu sudah aku rencanakan awal sampai disini dan tentu saja sudah ada teman disini yang siap mengantar perjalanan untuk membuktikan kebenaran kompor itu.
Tapi Minggu pagi saat aku konfirmasi ternyata ada kendala dengan kendaraan teman yang mau menemani karena katanya sedang bermasalah dan masih masuk bengkel. Untung masih ada alternatif lain, yaitu menyewa motor dari hotel.
|
Menyusuri Pantai Mananga Aba pada suatu sore |
Pagi-pagi tanya ke manajer hotel ada gak dua motor untuk kami sewa, dan untung jawabannya melegakan tapi juga menyesakkan. Pertama, dua motor yang kami minta memang ada tapi kedua: tidak ada helm. Duh, puyeng nih. Masalahnya perjalanan kali ini bukan perjalanan jarak pendek seperti halnya kita mengunjungi Pantai Mananga Aba (baca: Pantai Kita) yang berjarak tak lebih dari 15 km dari kota Weetabula. Aku butuh helm bukan karena ditangkap polisi (walau kuakui berurusan tilang menilang dengan polisi juga mengjengkelkan) tapi lebih karena risiko jika harus naik motor tanpa helm. Aku terus terang kurang tahu perilaku berkendara orang-orang di Sumba Barat Daya. Memang sepengalamanku jarang aku temui orang yang naik motor ngebut tapi masih ada tukang ojek yang masih meragukan kemampuan mengendari motornya. Yang pasti aku harus antisipasi kemungkinan terburuk, lagian dengan jarak perjalanan satu jam lebih tentu lebih nyaman jika pakai helm. Stopppp..... kenapa aku bahas helm ya. Intinya aku mau pinjam tapi minta disiapkan helm, terserah mau helm sepeda atau helm becak (ada gak ya?!?). Untungnya menjelang siang manajer hotel bilang kalau helm udah ada. Sip, akhirnya aku dan temanku bisa memutuskan untuk jalan dan kupikir jam sebelas siang kita bisa start jalan. Sebenarnya bukan waktu yang tepat karena tentu saja masih sangat puanas dengan matahari yang berada tepat di ubun-ubun. Tapi kami logis aja, dengan kondisi jalan tanpa tau persis lokasi kami tak tau sampai jam berapa bisa sampai lokasi. Kami cuma tahu satu hal, Weekuri terletak di wilayah Kodi. Aku sendiri awalnya sempat tanya yang pernah kesini jalur menuju Weekuri sayang sinyal lebih dulu hilang sebelum ada jawaban.
Perjalanan awal lumayan lancar, aku dan Putra tinggal mengikuti rambu-rambu yang terpasang yang mengarahkan jalan ke Kodi dan itu artinya kami menuju ke ruas jalan menuju kantor bupati dan itu lanjut terus. Permasalahannya adalah ketika kami memasuki wilayah Kori, sebenarnya kami seharusnya berbelok ke kanan dari percabangan Kori namun kami justru terus. Tentu saja aku menggunakan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) hehehehe.. dan itu memang efektif walau kami harus melewati jalan-jalan tanah dan berbatu. Jangan sombong walau anda punya GPS digital, karena GPS manual jauh lebih membantu karena memang sinyal bukan hal mudah akan diterima di sepanjang jalan. Jika di perkotaan saja masalah sinyal sering aku temui, tidak mengherankan jika itu juga terjadi dalam perjalanan kami. Jadilah setiap pertigaan yang meragukan kami harus bertanya, pokoknya kalau dihitung kami bertanya tak kurang dari 10 kali, lebih malah. Kondisi jalan walau tanah sebenarnya tidak jelek karena rata-rata tanahnya keras, hanya mungkin ada beberapa titik yang ada genangan air. Apalagi dengan menggunakan jalan potong hasil bertanya ke penduduk maka jalan yang kami lewati tentu saja lebih jelek dari jalan normal.
Pantai Karoso, Kesasar ke Pantai yang Menawan
|
Pantai Karoso, salah satu pantai yang cantik di Sumba |
Sampai akhirnya kami sampai di pertigaan dimana yang dua sisi telah beraspal sedangkan yang sisi kami tanpa aspal (jalan potong). Dari jalan aspal kami terus lurus ke arah barat sesuai papan petunjuk yang bunyinya juga gak bilang itu pantai apa cuma tertulis "Dilarang mengambil bahan/material pasir di pantai". Dengan pede-nya kami anggap itu adalah pantai yang dimaksud. Jadilah aku terus melaju lurus walau seharusnya di persimpangan ada jalan perkerasan seharusnya aku berbelok ke arah itu.
Akhirnya aku sampai ke sebuah pantai yang namanya tertulis pantai Karoso. Pantai berpasir putih dengan warna tosca. Pantai yang kalau saja bukan di Sumba tapi di Jawa mungkin sudah diserbu orang-orang untuk berwisata.
Ada sebuah gubug pendek terbuka beratap daun alang-alang di pinggir pantai, di dalamnya berkumpul beberapa lelaki tua-muda sedang duduk disekitar bara api yang tinggal menyisakan asap. Seorang bapak tua menemui dan berbincang-bincang dengan kami. Ternyata api itu berasal dari kegiatan bakar ikan yang mereka lakukan. Pantai Karoso ini juga rupanya menjadi tempat penjualan ikan.
Suasana pantai ini cukup teduh karena di sepanjang pantai banyak ditumbuhi Bakau dan pohon Ketapang. Ombaknya juga cukup tenang, padahal seharusnya ombak dari daerah selatan selalu keras terutama karena memang menghadap ke laut lepas Samudera Hindia Selatan.
Dari bapak tua itu aku ditunjukkan kalau kami terlewat, seharusnya sudah belok dari percabangan yang ada jalan perkerasan. Setelah kami memberi uang sedikit untuk membeli sirih pinang kami melanjutkan kembali. Kami kesasar tapi rasanya tempat kami kesasar juga tidak mengecewakan untuk dikunjungi.
Danau Weekuri: Tosca Everywhere
Sekitar tiga kilometer setelah kami menyusuri jalan perkerasan, akhirnya kami sampai di gerbang masuk danau Weekuri. Lima meter jalan di belakang kami sebenarnya terdapat percabangan masuk menuju lokasi Pantai Watu Mandorak. Sial banget, ternyata baru aku tahu kalau kedua tempat menawan ini sebenarnya bersebelahan. Padahal dulu aku pernah mampir ke Pantai Watu Mandorak yang sudah aku tuliskan di blog berjudul: Eksotika Alam Sumba dan Marapu.
|
Siapa bisa menolak untuk masuk ke airnya dengan air seperti ini |
Ada sebuah pos jaga yang menyatakan jika semua tamu diharap lapor, sayang lagi kosong ditinggal penghuninya. Tempat masuknya sendiri masih alami hanya ada beberapa tugu penanda kalau kita sudah sampai di Weekuri, tapi belum ada tugu yang menjelaskan bagaimana danau weekuri ini terbentuk juga jika ada legendanya. Biasanya danau-danau seperti ini suka ada legenda yang menyelimutinya. Entahlah, setidaknya aku tidak mendengar legenda itu dari seorangpun yang tinggal di tempat ini.
|
Anak-anak kampung asyik berenang |
Kedatanganku disambut oleh pemandangan beberapa penduduk kampung yang duduk bergerombol. Menyapa mereka menjadi salah satu kebiasaanku, selain untuk berakrab ria dan beramah tamah kadang dari mereka kita bisa tahu lebih dalam suatu lokasi yang kita kunjungi. Bagi seorang yang memang pecinta jalan-jalan, wajib hukumnya untuk selalu GPS (Gunakan Penduduk Setempat) hehehehe.....
Beberapa anak kecil dengan hanya bercelana pendek tengah asik bermain di air danau. Dan air danaunya....... busyettt.... tosca yang begitu bening sangat menggoda imanku untuk ikut nyemplung dan bermain bersama mereka. Batu-batuan di dasar danau yang tidak terlalu dalam tampak jelas dari permukaan. Pepohonan hampir seluruhnya menutupi area ini kecuali beberapa daerah di ujung yang menjadi pembatas antara danau ini dengan laut lepas.
Jangan tanya aku apakah indah atau tidak? Mulutku saja sampai keluar kata-kata makian yang tidak sopan aku tulis disini. Tiada kata yang pantas kuucapkan, lebih aku bengong sebentar daripada maki lagi kan. Keinginanku untuk nyemplung tentu saja aku tahan dulu. Aku bahkan turun sebentar dan mencoba rasa airnya untuk meyakinkanku bahwa airnya asin.
Aku dan Putra mencoba berjalan memutari kawasan yang tidak terlalu luas ini. Mendekati ke arah ujung batas laut dan danau terdengar debur keras ombak yang menghantam karang dan masuk ke celah-celah karang. Ternyata karang-karang yang aku pijak ini tidak benar-benar utuh tapi ada retakan. Aku dengan mudah bisa melihat dari celah retakan air yang mengalir masuk ke rongga karang di bawah kakiku.
|
Putra berdiri di atas karang pembatas danau dan laut lepas |
Batu-batu karang yang mengumpul membentuk blokade ini bentuknya runcing-runcing sekali mengingatkanku pada batu karang yang ada di pulau Rote: Pantai Tiang Bendera. Aku yang hanya memakai sendal dari bahan empuk tentu saja harus rela merasakan sakit saat dengan tidak bersahabatnya karang itu menembus sendalku sampai ke kulit telapak kaki dan seenaknya meninggalkan rasa sakit disana. Lebih untung Putra yang memakai sendal berbahan bawah lebih keras sehingga lebih tahan untuk memijak karang. Namun itu setimpal, pemandangan dari karang pembatas paling menarik untuk mengabadikan keindahan danau Weekuri.
Diujung pembatas ada beberapa orang yang berdiri di karang-karang yang sangat terjal itu untuk memancing. Entah apakah mudah memancing ikan di tempat air yang gelombang keras seperti itu. Catatan, hati-hati melewati batu karang pembatas laut dan danau ini karena di beberapa tempat aku lihat batu karangnya bisa bergeser. Walaupun tidak bergeser yang mengakibatkan longsor namun kondisi karang yang sangat tajam akan mudah membuat kalian terluka bahkan hanya karena salah menginjak saja. Aku pernah mengalami kejadian seperti ini beberapa waktu lalu di lokasi seperti ini.
Eh, ingat ya Weekuri itu bacanya Waikuri. Ini khusus untuk orang-orang yang tidak terbiasa dengan cara mengucapkan kata seperti itu khas orang-orang Sumba Barat Daya. Makanya kalau kota Weetabula pasti terbacanya Waitabula.
Selesai memutari lokasi ini yang membuat kulitku sempurna gosong (tapi belum kurasakan perihnya) akhirnya kami bisa beristirahat sedikit di bangku yang dibuat dari susunan kayu. Sekantung plastik kacang seharga lima ribu rupiah yang kami beli dari penduduk yang menjual kacang disini mengisi perut kami selain pisang-pisang yang kami bawa dari kota.
Tak tahan melihat anak-anak mandi, aku yang lupa membawa celana renang tetap saja nekad masuk ke danau. Gobloknya, aku lupa melepas baju hanya melepas rompi yang memang berisi barang-barang yang tidak tahan masuk di air. Masuk ke airnya yang bening memang sedap sekali. Aku bahkan dengan mudah membiarkan badanku telentang mengapung sendiri. Mungkin jika aku mengantuk, aku juga bisa tertidur telentang di air tanpa takut tenggelam. Danau yang tanpa gelombang ini bener-bener speechless untuk diungkapkan. Aku harus akui kalau foto provokatif temanku itu benar, hanya bidadari yang gak ada. Karena bidadaripun bisa jadi hangus terbakar kalau disini karena mungkin akan berenang keasyikan siang-siang hahahaha.........
|
Warna tosca yang sangat jernih menjadi pemandangan yang tiada duanya di Weekuri |
Selain pepohonan untuk berteduh, batu-batu yang melingkari sepanjang danau juga terdapat celah-celah berongga yang bisa digunakan untuk berteduh. Yang penting dimanapun anda berada di lokasi ini, jangan buang apapun termasuk sampah sembarangan. Jangan buat tempat yang begitu indah ini akhirnya menjadi tempat jorok.
Dari beberapa referensi ada yang menyebut bahwa danau Weekuri ini laguna karena merupakan wilayah perairan laut yang terjebak. Namun setauku biasanya laguna masih memiliki hubungan entah berupa rongga besar atau celah sempit yang terhubung ke laut sementara di danau ini celah itu tidak tampak selain dari celah sempit. Bisa dibilang tidak ada penghubung terbuka antara danau ini dengan laut.
Tambahan: Pantai Watu Mandorak
Sebenarnya informasi dari penduduk, ada jalan lain dengan langsung masuk terus yang nanti akan ketemu dengan jalan potong menuju Kori. Tapi karena ingin melihat kembali Pantai Watu Mandorak aku akhirnya memutuskan jalan balik.
|
Silahkan buktikan sendiri pantai pribadi ini, view Watu Mandorak dari sisi tebing sebelah utara |
Oh iya, suasana di sepanjang jalan lebih banyak dipenuhi tanah-tanah kosong berumput alang-alang. Hanya satu dua rumah yang dibangun di pinggir jalan, sisanya tak lebih dari pemandangan kosong seperti itu.
Watu Mandorak tetap dengan pesonanya, tapi kiranya aku gak perlu menuliskan kembali panjang lebar tentang lokasi yang indah ini. Sebagai rangkuman, aku akan lebih senang menyebut Pantai Watu Mandorak ini seperti memiliki pantai pribadi.
Aku sebenarnya mau berenang kesini tapi karena takut basah di badan akan menjalar ke perangkat kameraku akhirnya aku memutuskan hanya berjalan-jalan saja.
Kedua tempat indah ini masih jarang didatangi orang meskipun hari Minggu mungkin karena akses yang tidak mudah. Kalau menurut perhitunganku jarak antara kota Waitabula sampai ke tempat ini tak kurang dari 60 km, dengan kondisi jalan yang tidak semuanya cukup mulus dilewati walau pun tidak juga terlalu buruk untuk dicapai.
Perjalanan balik, kami mencoba mengikuti jalan besar dan itu ternyata tidak sulit tapi memang terasa berputar-putar jauh lebih mudah menggunakan jalan potong. Tetap memanfaatkan GPS membantu kami tidak tersesat. Jangan takut bertanya, umumnya masyarakat sangat welcome memberitahu arah ke sana walau tidak semua tahu dimana Weekuri atau Watu Mandorak.
Baca keseluruhan artikel...