Hamparan tropis yang membentang dari sabang sampai merauke adalah mutiara yang terkandung
dalam ibu pertiwi. Mutiara inilah yang selalu di junjung dan
senantiasa dilestarikan setiap generasi. Disinilah, keragaman budaya
masing-masing daerah kerap menjadi malaikat pelindung mutiara alam
raya nusantara.
Seperti halnya suku Mbare
di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat
suku Mbare, tanah, air dan seluruh kandungan yang terdapat didalamnya
adalah warisan leluhur yang pantang untuk ditentang. Sehingga, segala
sesuatu yang berhubungan dengan alam selalu disertai dengan ritual
adat. Jadwal prosesi adat saban tahun harus dipatuhi, sebab itu
menjadi acuan untuk bercocok tanam, melaut termasuk pula berburu.
Lewat prosesi pula, etnis Mbare lebih waspada menghadapi bencana atau
malapetaka. Jika mengingkari aturan adat, mereka yakin musibah bakal
melanda. Setidaknya, hal itulah yang diwariskan nenek moyang mereka
sejak ratusan tahun silam.
Salah satu tradisi suku
Mbare yang tak lekang ditelan waktu adalah Mbela, sebuah prosesi
tinju adat sebagai luapan rasa syukur atas hasil panen mereka.
Pergelaran Mbela adalah puncak dari segala bentuk ritual adat yang
dilangsungkan dalam setahun. Jika dikaitkan dengan kelender adat,
Mbela biasanya dilaksanakan pada musim kemarau sesudah panen. Tradisi
Mbela disertai juga dengan prosesi lain yang dapat menentukan jadwal
tanam, melaut sampai berburu. Disinilah, tetua adat melihat pertanda
akan baik buruknya kondisi alam maupun keberlangsungan hidup dalam
suku dikemudian hari. Setidaknya, ini adalah rambu bagi warga Mbare
untuk lebih waspada dengan alam maupun sesamanya.
Menjelang prosesi Mbela, masyarakat suku Mbare harus meninggalkan seluruh akifitasnya. Irama gong yang dipukul bertalu-talu memecah kesunyian malam, berkumandang mengajak seluruh warga suku berkumpul dalam kampung adat.
Mbela, bukanlah
perkelahian jalanan. Ini adalah tinju murni warisan leluhur, yang
dilakukan sejumlah suku di Nagekeo secara bergiliran sesuai peredaran
bulan. Walaupun beberapa suku dikawasan kecamatan Boawae kabupaten
Nagekeo menyebut tinju adat ini dengan Etu, seluruh prosesnya tidak
jauh berbeda.
Pada setiap ajang
pertarungan, lelaki Mbare yang ditunjuk harus siap melaksanakan
perintah untuk memasuki arena. Mereka tak boleh mengelak, apalagi
sampai menolak. Demi harga diri sebagai seorang ksatria, sang lelaki
tak boleh gentar. Mereka harus menjadi lelaki sejati meski wajah
babak belur.
Lelaki yang lahir dalam suku Mbare, tak akan bisa menolak takdir sebagai petarung. Dari belia, ritual Mbela sudah begitu akrab dengan mereka. Tak heran, ksatria cilik turut hadir menguji ketangkasan dalam pentas adu fisik ini. Inilah sebuah nilai kepercayaan suku Mbare yang ditanam kepada warganya semenjak belia. Tak ada urusan dengan rasa takut, para lelaki dan bocah Mbare paham betul menghormati tradisi tanpa melahirkan amarah dan dendam berlarut-larut.
Dalam Mbela, sang
petarung menggunakan gwolet, sebagai alat meninju lawan yang terbuat
dari lilitan nilon jala ikan dan didalamnya berisi tulang batang daun
lontar. Ujung gwolet dilengkapi pula dengan butiran pasir yang
direkatkan dengan getah pohon ara. Sudah tentu yang terkena pukulan
gwolet, pasti bakal nyeri. Tapi mereka percaya, rasa sakit ataupun
darah yang mengucur demi adat adalah penghormatan pada warisan
leluhur.
Aksi petarung membakar emosi penonton diluar arena |
Arena Mbela. Disinilah aksi sang ksatria lelaki Mbare mempertahankan warisan leluhur |
Penulis: Yanto Mana Tappi
Baca keseluruhan artikel...