Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label gunung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gunung. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Oktober 2016

Dieng: Mengitari Telaga Warna

Telaga Warna Dieng
Siapa yang tidak betah berlama-lama di telaga Warna?
Sepiring jamur goreng dan kentang goreng yang baru selesai ditiriskan menerbitkan air liurku. Tak butuh waktu lama bagiku menyelesaikan kedua makanan itu. Harga seporsi hanya lima ribu rupiah untuk sepiring jamur sangat murah menurutku. Apalagi jamur-jamur masih segar sebagaimana kentang gorengnya. Sayang tak ada 'Purwaceng' yang begitu identik dengan bumi Dieng. Tapi kopi panas mampu menggantikan 'Purwaceng' menikmati pemandangan telaga yang keren tiada duanya. Aku mereguk kopi pelan-pelan sambil membiarkan seluruh panca inderaku menangkap kesan seluruh lanskap tanah ini.

Beberapa orang berlalu lalang tapi tak terlalu ramai, itulah untungnya mengunjungi tempat-tempat wisata yang sudah sangat terkenal di saat bukan hari libur. Ibu penjual yang masih mudah itu sendiri bertutur jika hari-hari seperti ini sepi bahkan rumah makan dan penjaja makanan juga tidak banyak. Berbeda pada hari libur, telaga warna ini sangat penuh dengan wisatawan.Untung ibu muda yang aku lupa menanyakan namanya masih berjualan di hari seperti ini, sehingga aku bisa menikmati jamur goreng yang nikmat.

Telaga Warna dan Telaga Pengilon

Jembatan kayu di telaga Warna Dieng
Telaga Warna dalam kesunyian pagi
Negeri di atas awan ini menyimpan sejuta pesona dan lokasi-lokasi yang tak habis dieksplorasi sehari dan Telaga Warna ini salah satunya. Telaga warna telah menjadi bagian tak terpisahkan dari legenda yang melingkupi Dieng itu sendiri berdiri.
Jika kamu menyempatkan ke telaga warna, cobalah untuk mengitarinya. Jangan hanya mencari spot mojok seperti yang aku lihat dari pasangan-pasangan yang datang. Yang mojok pasti tidak penting lokasinya tapi kita berduanya, halah. Ciee.. ciee.. ada yang ngiri cuma jalan sendiri #keplakkepalapakesendal.


View salah satu sudut telaga Warna
Batas akhir jalan di telaga Warna
Anyway by the way, pengalaman aku selama ini orang Indonesia itu lebih suka milihnya trek yang gampang. Kayak dulu pas di pulau Komodo, gak ada orang Indonesia yang ngambil trek adventure cuma para bule yang mau ambil trek adventure. Sebagian besar ambil short trek termasuk aku #kelakuansama... ampuunn kaka, itu karena aku bareng my big bos yang agak bulat di depan jadi kalo ambil medium trek nanti ujung-ujungnya aku yang disuruh gendong hihihihi #jurusberkelit.

Kalau dari pintu masuk, sebagian besar langsung ke kanan ke arah bangunan terbuka atau sekalian lanjut ke batu pandang. Aku yang sendiri dan gak punya guide awalnya juga bingung tapi karena niatnya mau keliling jadi pilih belok kiri. Biasalah, biar dikira anti mainstream. Ternyata setelah seratusan meter jalan beton ke kiri abis dan berganti jalan tanah. Tidak ada yang lewat karena ada tumpukan tanah merah menutupi jalan, sepertinya longsoran baru.

Taman bunga di telaga Warna Dieng
Taman bunga di telaga Warna
Padahal jika mau melewati longsoran dan masuk ke jalan kecil nanti bakal ketemu sebuah bangunan kecil dan ada jembatan kayu kecil beberapa meter ke tengah danau. View dari lokasi ini tidak kalah ikonik dibandingkan melihat dari batu pandang. Aku beruntung karena cuma sendiri di jembatan kayu, jadi bisa agak lama bersantai. Apalagi saat ini cuaca jauh lebih cerah dibanding kemarin. Hawa dingin sudah jauh berkurang, cuaca juga jauh lebih terang dibanding kemarin yang hampir dipenuhi kabut dan hujan seharian. Warna hijau telaga warna memang sepertinya berasal dari belerang, aku masih bisa sama mencium bau belerang diairnya. Dalam kondisi seperti ini, telaga warna juara banget. Telaga hijau terang yang airnya tenang, duduk sendirian di jembatan kayu dengan angin sepoi-sepoi.. yang kurang cuma kopi.. hah!! Kopi mana kopiii!!!  sialan, suasana begini tanpa kopi memang rasanya kurang.

Waktu menyusuri jalan kecil sempat bertemu salah seorang penduduk naik motor bebek dengan kaki bersepatu bot, mungkin dari kebun. Waktu aku bertanya arah malah menawariku mampir ke desanya. Rupanya desanya masuk desa wisata, aku lupa namanya. Udah aku ubek-ubek semua koleksi foto gak nemu satupun foto papan petunjuk padahal aku inget banget waktu itu sempat memfotonya. Ah, sudahlah. 

View telaga Pengilon Dieng
View salah satu sudut telaga Pengilon, Dieng
Memutari telaga Warna ternyata juga harus memutari telaga Pengilon. Telaga yang warnanya berbeda dengan telaga Warna ini memang terpisah namun tidak benar-benar terputus ada sedikit bagian yang masih sedikit terhubung walaupun lebih banyak ditumbuhi rumput tinggi, namun tetap tidak bisa dilewati. Ada sisa jembatan yang dulu pernah dibangun tapi sekarang sudah rusak. Itu juga mungkin salah satu alasan kebun bunga kelihatannya sepi, mungkin karena jarak yang harus ditempuh jadi jauh tanpa jembatan itu.

Berbeda dengan telaga Warna yang berwarna hijau kadang tosca (tergantung terang dan posisi cahaya matahari), telaga Pengilon ini warnanya cenderung pucat gelap. Tanahnya yang lebih terasa berlumpur sempat sukses membenamkan salah satu kakiku ke dalamnya. Warna gelap inilah yang jika airnya sedang tenang dengan mudah akan menciptakan bayangan layaknya kaca.

Bukit Sidengkeng 
Penampakang telaga Warna dan telaga Pengilon dari bukit Batu Pandang
Nama itu yang tertera di papan petunjuk, tapi akan lebih dikenal dengan nama kerennya bukit Batu Pandang dan Batu Ratapan Angin. Dari atas bukit ini memang tempat yang paling pas untuk melihat jelas kedua telaga.
Ternyata untuk naik ke bukit Sidengkeng harus membayar karcis retribusi lagi. Rupanya lokasi bukit ini dikelola sendiri oleh desa (BUM Desa), berbeda dengan retribusi di pintu masuk telaga Warna yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Seingatku tiket masuknya 20ribu. Untung waktu itu masih cukup sepi sehingga aku bisa berlama-lama di tempat itu.

Ada satu batu menonjol dan sebuah bangunan berdiri untuk melihat kedua telaga. Aku membayangkan jika sedang ramai tentu akan sulit untuk berlama-lama di sini kecuali kamu mau dipelototi sama pengunjung lain. Ya, risiko lokasi pandang yang terbatas.
Di bagian samping ada jembatan merah putih yang biasanya jadi lokasi favorit uji nyali karena kayunya tidak rapat dan hanya terikat pada tali. Sayang aku sendiri tidak mencoba kesana, sayang sih udah keluar duit cuma nongkrong di batu pandang doang. Katanya sih hari begini gak ada yang jaga jadi belum bisa dipakai.

Gua-gua Tempat Persemedian
Jalan menuju ke gua-gua semedi
Nah ternyata di bagian tengah daratan pemisah antara telaga Warna dan telaga Pengilon itulah terdapat beberapa gua yang dulu katanya sering digunakan untuk bersemedi. Ada tiga gua di sana: gua Jaran, gua Semar dan gua Sumur. Gua-gua ini menyimpan cerita mistis sendiri-sendiri.
Yang pertama gua Jaran (kuda), yang katanya menjadi tempat pertapaan Resi Kendalisodo. Di sini ada legenda yang menceritakan bahwa pada suatu hari saat hujan sangat deras ada seekor kuda yang kebingungan mencari tempat berteduh. Dia berlari kesana kemari sampai akhirnya menemukan lubang besar lalu masuk ke dalamnya, Anehnya saat keluar keesokan harinya sudah dalam keadaan bunting. Dari legenda itu sekarang ada sebagian orang percaya bahwa gua ini bisa membantu wanita yang ingin mempunyai keturunan dengan cara bersemedi di tempat ini. Entah kalau yang bersemedi laki-laki, mungkin jadi bunting juga. #dikeplakpenjagadanau

Kalau gua Sumur ini di dalamnya ada kolam kecil yang airnya sangat jernih dan dingin. Air ini dikenal dengan nama Tirta Prawitasari. Air ini sering dimanfaatkan umat Hindu dari pulau Bali untuk upacara Muspe atau Mabakti. Gua ini yang punya kaitan erat dengan keberadaan telaga Warna dan telaga Pengilon. Suasana di tempat yang dipenuhi rerimbunan pepohonan ini terasa mistis. Andai saja ada kabut tipis turun, pasti tempat ini akan terasa lebih mistis.

Sayang aku tidak bisa masuk ke dalam karena pintu masuknya masih digembok. Nah ini ruginya saat datang di waktu sepi seperti ini. Di satu sisi memang jadi bebas menikmati tanpa melihat hiruk pikuk orang berlalu lalang, jeleknya kadang-kadang penjaga lokasi juga enggan datang. Mungkin juga gajinya kurang.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 08 September 2016

Matahari Pagi dari Puncak Sikunir

Puluhan orang berjubel menunggu matahari terbit
Seperti pertaruhan menunggu matahari apakah akan terbit atau tertutup awan di puncak Sikunir hari ini. Sementara jam sudah menunjukkan jam enam lewat sepuluh menit, namun matahari tak kunjung muncul dari balik kabut yang justru makin tebal.Kemarin memang hampir seharian lebih sering gerimis dan hujan, hanya beberapa jam saja matahari muncul itu pun saat telah siang hari. Wajar saja jika aku masih diselumuti keraguan akan cuaca hari ini. Tapi keraguan itu langsung terpatahkan saat cahaya kuning memerah yang muncul diantara kabut benar-benar berubah menjadi bulatan kuning terang di balik selimut kabut.

Seakan berlomba, serangkaian bunyi tombol kamera saling bersahutan berlomba mengabadikan matahari pertama pagi ini. Beberapa cahaya blitz dari belakang tampak menyala. Itu masih ditingkahi dengan suara-suara 'centil' yang berteriak minta segera difoto. 

Dengan bertonggak batang bambu sebagai pengganti tripod, pengambilan foto dari puncak Sikunir pagi ini jadi agak merepotkan. Aku harus berjongkok setengah memiringkan kepala untuk menjangkau lubang bidik. Tak ada cara untuk mengatur ketinggian bambu sebagaimana jika aku menggunakan tripod.Untung posisiku dari awal sudah berada di pinggir tebing sehingga tidak mungkin diganggu mahluk-mahluk centil yang begitu 'heboh' berpose dan lalu lalang penuh semangat. Aku harus mengalah pada semangat muda mereka, merekalah produk 'kekinian' itu.

Saat Lokasi Wisata Menjadi 'Kekinian'

"Hei aku Wanda, dan mereka temen-temenku," sambil memutar tongkat selfie ke arah teman-temannya. Beberapa anak muda yang baru sampai di atas langsung mengerumuni 'Wanda' ini. Ada yang mengangkat tangan mengacungkan jari membentuk V sambil memajukan bibir, ada yang menyipitkan mata dengan mulut yang sama. Setelah itu aku mendengar celoteh 'Wanda' dengan segala cerita serunya perjuangan mereka menuju kesini layaknya host acara petualangan yang berhasil menaklukkan salah satu tantangan. Keriuhan itu berlanjut dengan rombongan lain yang dipenuhi suara teriakan-teriakan untuk foto selfie. Wabah tahun ini sejak hape yang menjadi 'smart' lengkap dengan kamera yang diklaim hasilnya jago. Tak berapa lama lampu kilat dari semua jenis kamera menyala untuk menerangi 'obyek centil' dalam foto.

Hilang sudah kesyahduan menikmati matahari terbit. Sikunir tetap menawarkan warna pagi yang luar biasa. Namun keheningan, ketertegunan karena rasa takjub, dan rasa kecil menjadi bagian dari semesta seakan hilang ditelan keriuhan suara-suara nan 'centil'. Entah mereka sedang membanggakan pencapaian mereka naik ke puncak Sikunir, atau sekedar kebanggaan karena bakalan bisa memajang foto diri entah di mana saja dengan wajah yang sama hanya berganti latar belakangnya.

Aku mungkin terlalu tua untuk pesta-pesta penuh teriakan seperti ini, aku juga mungkin datang di waktu yang tidak tepat karena Sikunir sekarang telah berubah menjadi tempat 'kekinian' yang didatangi untuk ajang pembuktian seperti kalimat sakti para host MTMA. Aku sendiri bukan mau mengkritik acara yang sudah kadung digandrungi banyak anak muda di negeri ini. Itulah 'kekinian' saat ini yang tidak dapat dipungkiri. Mungkin aku yang harus sedikit mengalah memberi ruang kegembiraan mereka yang 'kekinian' itu.

Perjuangan di Pagi Yang Beku
Menembus pagi menggunakan motor sungguh membuat jari-jari tanganku serasa membeku, apalagi aku hanya bersarung tangan kain. Sebenarnya Gita sudah menawarkan tumpangan aku dengan mobilnya hanya saja SMS yang dia kirim jam empat pagi tidak terbaca. Tidak mudah untuk bangun sepagi ini apalagi semalaman suhu udara di Dieng benar-benar dingin sekali. Aku bahkan selepas Maghrib sudah masuk ke dalam sleeping bag sebelum berlapis selimut di atas tempat tidur. Hawa bulan Juli memang membuat malas, untuk sekedar cuci muka saja.

Mengendarai motor pagi buta menembus kabut membuat gigiku bergemeretak. Stang motor serasa baru keluar dari freezer membuat sendi jari tanganku terasa ngilu saat memegangnya terlalu lama. Walhasil dalam perjalananku menuju desa Sembungan, aku harus berhenti tak kurang dari lima kali untuk melepaskan rasa dingin ngilu di tangan.
Untung jalan yang aku lewati mulus walau tidak lebar. Jarak dari Dieng Plateau Homestay (tempat aku menginap) sampai ke desa Sembungan memakan waktu hampir setengah jam dengan jarak tak lebih dari 9 km (kalau menurut peta sih cuma 8,1 km).


Untungnya kondisi jalan masih sepi, ada beberapa kendaraan yang searah. Aku pikir yang sedang berkendara saat ini satu tujuan denganku untuk ke desa Sembungan.
Desa Sembungan adalah desa terakhir dan start point untuk naik ke puncak Sikunir. Menurut informasi, desa Sembungan adalah desa tertinggi di pulau Jawa. Suhunya? Jangan ditanya deh. Kedatanganku di bulan Juli memang tergolong salah waktu karena saat ini memang lagi puncak dinginnya kawasan Dieng.


Di pelataran parkir Telaga Cebongan, aku melihat mobil Gita. Mungkin mereka telah naik terlebih dahulu. Di pintu masuk, aku tertarik dengan kentang kecil-kecil yang mengepul di atas meja. Ternyata kentang rebus itu dijual 5 ribu saja per bungkus. Cukuplah untuk mengisi tenaga sebelum naik ke atas. Ternyata baru beberapa meter aku berjalan selepas gerbang masuk, aku berpapasan dengan Gita CS yang lagi asyik makan di dalam warung.
Just info, rombongan Gita ini ada 3 orang termasuk dia. Gita ini teman yang baru temui karena kebetulan menginap di tempat yang sama. Gita barengan 2 orang cewek, satu istrinya yang baru dinikahinya (ceritanya mereka penganti baru) dan satunya temen dia waktu kerja di Batam.


Akhirnya aku bareng mereka berjalan menuju puncak Sikunir. Sayang si Tiara (istri Gita) ini ternyata punya riwayat asma sehingga baru di pertengahan jalan dia kepayahan. Hawa pagi yang sangat dingin dan medan menanjak membuat dia kesulitan bernafas. Sayangnya dia justru menggunakan celana jeans yang membuat hawa dingin tembus ke badan. Dia mencoba tetep bertahan untuk terus naik walaupun aku sendiri kasihan melihatnya. Jalanan dari tanah dengan sekat-sekat kayu memang tidak mudah dilewati apalagi kalau sedang basah. Apalagi saat itu kabut tebal basah seperti gerimis membuat kita harus lebih hati-hati melangkah.
Akhirnya Gita dan istrinya memilih berhenti di titik pandang pertama. Aku sendiri memilih naik terus sampai di titik pandang kedua. Temannya Gita sendiri memilih ikut aku naik sampai ke puncak kedua.


Golden Sunrise
Berbeda dengan titik pandang pertama yang sempit sehingga tidak dapat menampung orang banyak, di puncak pandang kedua kondisinya lebih lapang. Banyak orang yang telah berdiri di atas puncak bukit menunggu pagelaran matahari terbit.

Sikunir ini memang salah satu tempat terkenal untuk melihat matahari terbit yang terkenal dengan warnanya keemasannya. Cerita tentang warna dramatis matahari terbit itulah yang mungkin menarik mereka untuk mendatanginya. Deretan pegunungan dari Sindoro, Merbabu, Merapi, Ungaran, Telomoyo, Pakuwaja dan deretan pegunungan Nganjir berjajar menunggu panggilan sang matahari.

Seandainya aku tidak mendengar celoteh para 'centil' ini, mungkin keindahan puncak Sikunir makin lengkap. Suara burung-burung yang berciut nyaring pun harus berkelahi dengan teriakan-teriakan mereka.
Untung ada beberapa perbukitan lain yang tidak segaduh di puncak yang ada bangunan pandang itu. Di titik itulah aku lebih nyaman karena tidak lagi mendengar suara-suara 'centil. Walaupun di sana ada beberapa tenda yang dipasang, namun mereka cenderung tidak ramai. Penjelajah sungguhan memang lebih bisa menyatu dengan alam.


Aku sempat berkenalan dengan dua orang bule kakak dan adik dari Selandia Baru saat minta bantuan aku memotretnya. Yang besar punya nama Satria dan satunya Nanggala. Nah lho, ternyata mereka berdua itu bule namun bapaknya masih asli Indonesia.

Waktu kembali aku sudah tidak bertemu lagi dengan Gita cs, mungkin mereka telah turun terlebih dahulu. Aku menyempatkan mampir di sebuah kedai terbuka yang menjual kopi dan mie rebus. Bapak tua penjual makanan itu memang setiap pagi berjualan ke sini. Hari ini dia datang tidak terlalu pagi. Hanya kalau pas hari libur beliau biasa datang lebih pagi karena antrian yang mau naik lebih banyak. Sebenarnya aku berharap mendapatkan secangkir purwaceng panas, pasti akan sanggup mengusir dinginnya udara Sikunir. 

Banyak yang sudah turun, aku mungkin termasuk rombongan terakhir yang turun. Lucunya justru saat turun aku bertemu rombongan beberapa orang tua dan keluarganya yang baru mau naik. Mereka tentu kesulitan mengajak anak-anak datang pagi-pagi buat sehingga mengalah mendatangi Sikunir saat matahari sudah terang benderang.

Sampai di bawah, aku baru menyadari jika motor yang aku parkir ada di dekat sebuah telaga. Namanya telaga Cebongan. Ada beberapa tenda yang terpasang di pinggir danau. Aku menyempatkan memutari danau Cebongan beberapa saat sebelum kembali.

Catatan:
  1. Puncak Sikunir adalah spot favorit di Dieng untuk melihat matahari terbit. Jika ingin mendapatkan tempat datangnya pagi-pagi sekali. Sebaiknya sudah sampai di lokasi ini pagi sebelum jam setengah lima atau kurang. Hindari datang saat liburan panjang karena sangat mungkin terjadi antrian panjang.
  2. Jika memungkinkan naiklah sampai ke puncak kedua karena tempatnya lebih lapang untuk menikmati matahari terbit. Jika di puncak pertama, daerah untuk bisa melihat matahari terbatas.
  3. Jika tidak menggunakan jaket yang tahan air, sebaiknya membawa persediaan jas ponco atau sejenis. Kadang-kadang kabut yang tebal membawa air yang membuat pakaian kita basah tidak terasa. Di Dieng, hujan tidak dapat diprediksi. Kalau bisa hindari menggunakan celana berbahan jeans karena lebih mudah menyerap dingin.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 04 April 2016

Fatu Nausus: Bukit yang Terpotong

Bukit Anjaf di Fatu Nausus
Bukit batu Anjaf, salah satu bukit Fatu Nausus yang telah terpotong
Bukit batu karst yang menjulang ini masih menampakkan sisa-sisa kemistisannya. Bukit Nausus masih tampak utuh dari tempatku berdiri. Nampak sedikit ada bekas batu terpotong di bagian bawah yang sebagian tertutup longsoran batu-batu dari atas. Sementara bukit Anjaf tempatku berdiri sebagian besar bukitnya telah terpotong sehingga sekarang menyisakan bukit terjal dengan dinding tegak lurus licin dari marmer. Bahkan lantai yang kupijak ini bukan lantai semen tapi dari batu marmer. Karenanya pagi yang dingin semakin terasa dingin jika menginjak lantai ini tanpa alas kaki.

Aku meletakkan tas ranselku di ujung bukit yang terasa makin berat oleh medan jalan yang harus kulewati untuk mencapai tempat ini. Ada perasaan lega telah mencapai tempat ini karena sepanjang jalan aku harus terus sibuk bertanya kepada setiap orang yang kutemui untuk menyakinkan arah lokasi yang mau aku tuju.
Dari kejauhan kedua bukit batu yang dikenal dengan nama Anjaf dan Nausus memang sudah tampak dari daerah Kapan, ibukota kecamatan Mollo Utara karena memang kedua bukit ini paling menonjol. Namun untuk mencapainya ternyata tidak segampang kita melihatnya.


Menyusuri Pagi Buta yang Sepi
Jam tiga aku keluar dari rumah dengan motor matic 'Trondol' yang sudah kuganti rodanya dengan jenis dosser tipe roda semi trail. Kupang yang siang hari ternyata terasa dingin jika pagi begini. Di sepanjang jalan tampak obor-obor dari botol berjajar di sepanjang jalan. Hari ini adalah paskah. Di beberapa titik tampak tanda salib tiga buah di pasang para warga, kadang tampak beberapa pemuda bergerombol duduk sambil mendengarkan musik yang berbunyi sepanjang malam. Namun selebihnya jalanan sepi.

Hutan cemara di Fatu Nausus
Tanaman perdu menghijau menghiasi perbukitan Cemara
Beberapa kali aku berjalan pelan di pinggir karena berpapasan rombongan yang beriringan dengan obor di tangan melantunkan pujian-pujian menuju gereja. Aku baru tahu jika paskah begini justru ada acara jalan salib sepagi ini.Setelah itu jalanan bisa dibilang sepi, hanya kadang bertemu satu dua motor yang berboncengan. Jika melihat perlengkapannya, sepertinya mereka juga melakukan perjalanan luar kota.

Sampai di hutan Camplong cuaca masih tampak cerah walaupun terasa lebih dingin di banding kota Kupang. Justru saat mulai memasuki Takari aku harus menurunkan kecepatan motorku karena kabut nyaris dimana-mana membuat jarak pandangku terbatas. Apalagi kabutnya juga disertai air gerimis tipis. Beberapa kali aku harus berhenti untuk membersihkan kaca helm memudar oleh kabut membuat bias cahaya tampak bergaris mengganggu pandangan.

Sekitar jam setengah enam pagi aku sudah sampai di pom bensin di pinggiran kota SoE yang masih tutup. Untungnya ada celah sehingga aku bisa memarkirkan kendaraanku sebentar, berharap toilet di pom bensin ini bisa aku gunakan dan istirahat sedikit melepas sisa kantuk yang masih ada. Setelah menambah bensin satu liter di warung sebelah pom bensin aku kembali melanjutkan kembali perjalanan. 

Keindahan yang Tidak Ditopang Infrastruktur
Hutan Fatu Nausus
Matahari bersinar dari balik pepohonan cemara, hutan Fatumnasi
Perjalananku dari SoE menuju Kapan masih cukup lancar, walaupun beberapa ruas menuju kapan sudah mulai mengalami kerusakan. Selepas Kapan, dipertigaan aku mengambil ke arah kiri. Di papan petunjuk tertera tulisan arah menuju Fatumnasi, sebagaimana petunjuk yang diberikan penduduk desa yang aku tanyai dari di percabangan. Selepas satu km yang masih mulus (sepertinya proyek rehabilitasi jalan baru-baru ini) akhirnya kembali melewati yang ruas jalannya mulai rusak parah. Bahkan masih ada ruas yang longsor parah dan menyisakan sisa selebar setengah meter. Cukup untuk satu motor saja.

Perbukitan di Fatu Nausus
Hamparan perbukitan menghijau di Fatu Nausus
Kapan yang ketinggiannya sekitar 900 mdl (sedikit lebih tinggi dari SoE) memiliki banyak potensi yang menjadi andalan Kabupaten Timor Tengah Selatan, salah satunya jeruk. Konon katanya di sini juga pernah menjadi sentra dari buah apel yang khas dari Timor, sayang sekarang tidak ada jejak sama sekali dari buah apel ini.

Selepas tugu pertigaan itulah jalur yang lumayan cukup sulit karena jalan nyaris tidak menyisakan lagi aspal. Dengan jalur menanjak dan banyak kelokan, batu-batu bulat yang licin jika hujan membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Pada kondisi seperti ini, motor memang menjadi lebih fleksibel, kalau pun dengan kendaraan maka lebih pas jika menggunakan kendaraan jenis off road (penggerak empat roda).

Dengan kondisi jalan yang rusak, namun pemandangan yang ditawarkan mampu mengimbangi. Sepanjang kelokan menanjak, view pohon cemara yang telah berlumut dengan tanah yang menghijau mampu menyihir mata yang memandang.
Apalagi dengan eloknya cahaya matahari menyeruak di antara jajaran batang cemara, menerobos dingin yang berusaha kulawan dengan meniup-niupkan hawa panas ke tanganku. Sendirian tak membuatku tergugu, sendirian saat seperti ini seperti sebuah kesempatan untuk menghirup kesegaran dan keindahan yang ada sepenuhnya. Di sini hawa pegunungan yang dingin nyaris belum berpolusi, kalau pun polusi itu tak lebih dari tai sapi yang sering hangat tergeletak di sepanjang pinggir jalan.


Kuda-kuda di hutan Fatu Nausus
Kuda-kuda merumput di hutan cemara Fatu Nausus
Sapi-sapi banyak bersliweran di perbukitan dan di lembah. Mereka beruntung tinggal dan besar di sini, walau tahu akan tetap berakhir di tempat pemotongan sapi hehehe. Kadang-kadang tampak serombongan kuda muncul tiba-tiba dari antara semak mengejutkanku. Awalnya kupikir kuda-kuda ini adalah kuda liar karena aku melihat kuda-kuda ini surainya panjang tak terpotong. Ternyata aku salah, saat bincang-bincang dengan penduduk kampung, ternyata mereka memang membiarkan kuda-kuda ini lepas begitu saja tak dimasukkan kandang.

Bunyi binatang-binatang malam masih berderik juga padahal matahari sudah keluar dari tadi. Entah karena mendung yang masih mengelayut di langit, ataukah dingin yang masih menyergap. Memang walaupun matahari sudah keluar sedari aku sampai di turunan pertigaan tugu di kapan, namun dengan ketinggian 1.160 mdl suhu di atas sini masih terasa dingin. Aku sesekali masih harus meniupkan udara panas ke telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin di jari-jari.

Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto
Bayangan Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto
Jalan yang harus dilewati pelan makin pelan karena aku sering harus berhenti. Di bukit atas terdapat percabangan jalan, di situlah aku harus kembali belok kiri karena jalan lurus berarti ke arah Fatumnasi. Jalanan menurun ini tak terlalu lama sampai aku bertemu dengan perkampungan. Salah satu dusun dari desa Fatukoto.

Ternyata sebelum perkampungan ada jalan ke kiri lagi itu yang harus kuikuti. Persis di depan percabangan itu terdapat sebuah cek dam yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menjadi daerah wisata. Memang bukan danau sehingga airnya pun tidak berwarna bening namun suasana tempat ini lumayan menyenangkan apalagi pepohonan banyak berjajar di sepanjang jalan lokasi ini. Dari sini pemandangan bukit batu Nausus tampak menarik terpantul di air  di sela-sela bayangan pohon ampupu yang masih muda di sekitar lokasi cek dam. Hanya ada seorang pria yang duduk menggelung kaki sedang memancing di salah satu ujung batu. Udara dingin begini memang tidak menarik orang untuk keluar sekedar memancing. Apalagi jika rumah hangat masih menyala apinya.

Kendaraanku kembali masuk ke kiri menyusuri jalan tanah berbatu yang adak licin, mungkin sisa embun semalam. Jika sebelumnya pemandangannya adalah pepohonan cemara sekarang pemandangannya didominasi pepohonan Ampupu.

Bukit Batu Karst yang Menjulang: Anugerah dan Bencana
Bukit terpotong Fatu Nausus
Pepohonan mulai tumbuh di bekas potongan batu
Pintu gerbang kawasan wisata Fatu Nausus masih tertutup, aku menarik pintu dari potongan-potongan kayu ini agar cukup untuk masuk motor. Pagar yang menutup kawasan ini hanya dibuat secara sederhana dari potongan batang-batang pohon sekitar kawasan ini. Beberapa puluh meter selepas masuk gerbang terdapat bangunan panjang yang saat ini digunakan penjuga dari lokasi ini. Hanya ada satu orang penjaga dan seorang anak kecil yang menjaga tempat ini. Karena aku hanya sendiri dan belum ada orang lain, mereka mempersilahkan aku menggunakan motor sampai ke dalam sampai persis di bawah bukit.

Mataku langsung tertambat pada pemandangan bukit yang dindingnya tegak lurus licin, dinding ini lurus licin bukan dibentuk oleh alam tapi oleh tangan manusia melalui teknologi yang dimilikinya. Ya, bukit yang terpotong tegak lurus ini hasil dari eksplorasi perusahaan tambang marmer. Bukit-bukit karst yang menjulang ini dipuja danb dijaga masyarakat karena dianggap keberadaannya memberikan kehidupan bagi sekitarnya juga dipuja oleh para pebisnis.  Bukan oleh karena kemistisannya namun lebih kepada nilai ekonominya. Dibalik batu-batu terjal inilah tersimpan potensi batu marmer yang katanya berkualitas nomor dua di dunia.

Longsoran Fatu Nausus
Longsoran batu di bukit Anjaf
Dulu tempat ini dulunya digunakan oleh masyarakat Mollo untuk melakukan upacara-upacara adat. Tempat ini memang layak dipuja karena dengan hutan disekitarnya mampu menjadi penopang kehidupan. Air-air hujan yang tertahan dan mampu menghasilkan kehidupan dengan adanya mata air bagi daerah yang dibawahnya.

“Seperti manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini. Seperti itulah keindahan di sini dulunya. Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, salah seorang tokoh adat dari desa Lelobatan. 

Pintu masuk lokasi wisata Naususu (Fatu Nausus)
Kudengar, bukit yang menonjol paling menonjol di kawasan Mollo ini berubah menjadi bencana saat masyarakat terpecah menjadi dua, yang pro tambang dan menolak tambang. Akhirnya memang kawasan ini telah ditinggalkan perusahaan tambang namun bukan dengan cara yang mudah. Ada perjuangan yang cukup lama dan keberanian yang harus terus dikobarkan agar masyarakat mau saling bahu membahu dalam satu suara menolak pertambangan ini.

Di bagian dekat rumah panjang bekas bangunan perusahaan masih terdapat beberapa balok yang ditinggalkan, ada juga beberapa yang masih tersisa tertutup semak belukar. Bahkan bukit Anjaf yang telah terpotong juga sudah mulai hidup beberapa pohon termasuk pohon beringin didindingnya. Alam sedang berusaha mengembalikan tempat ini.

Potongan marmer di Fatu Nausus
Sisa potongan batu milik perusahaan tambang yang belum diangkut
Di balik dari bukit Anjaf, beberapa batu yang terpecah-pecah lebih kecil tampak longsor sehingga aku tidak berani menaikinya. Hanya dua pasang kambing coklat dan hitam yang telah nangkring di atas entah lewat mana.

Sayang aku tidak bertemu kera putih yang menjadi legenda tempat ini. Katanya kera putih itu memang tidak mudah ditemui, hanya orang yang beruntung saja yang bisa bertemu dengan kera putih itu. Kemunculan kera putih itu dianggap pertanda baik. Ah, cerita mistis dari tempat-tempat seperti ini memang menarik bagiku. Walaupun aku tidak mempercayainya, tapi akan menghormati dan menghargainya. Karena bagiku, cerita-cerita mistis yang melingkupi tempat ini adalah cara agar manusia yang sebenarnya bergantung dengan keberadaan tempat ini tetap menghormatinya.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 11 Desember 2013

Pecicilan di Kawah Putih

Danau yang berasal dari kawah berwarna kuning kehijauan: Kawah Putih
Gerimis mulai turun saat aku keluar dari gerbang Situ Patengang, kumasukkan tanganku ke saku sweater hijau kutarik lebih dalam sambil melangkah lebih cepat. Dari tadi tak satu pun ada angkutan yang berjalan balik ke arah Ciwedey. Jika sial, berarti aku harus berjalan kaki tak kurang dari lima km untuk sampai ke Kawah Putih. Sebenarnya ke dua tempat, Kawah Putih dan Situ Patengang, sempat membuatku bimbang. Dimanakah di antara keduanya yang ingin kunikmati saat kabut pagi masih tebal. Akhirnya aku memang memilih Situ Patengang karena lebih mudah dijangkau dengan angkutan umum, sedangkan ke Kawah Putih hanya bisa dijangkau dengan angkutan dari pengelola yang pasti belum ada pagi-pagi begini. Dengan jarak tempuh sekitar lima km, paling sedikit aku membutuhkan waktu setengah jam dan bisa jadi aku kehilangan momen kabut pagi.

Tangga menurun menuju Kawah Putih
Untung sampai di pertigaan ada seorang pengendara motor melintas. Karena arah yang sama mau ke Kawah Putih akhirnya aku ikut dengannya. Melintasi jalan sepanjang jalur Situ Patengang sampai ke Kawah Putih ternyata cukup membuat aku kedinginan. Apalagi di daerah Rancawalini sempat ada kabut berair yang membuat sweater-ku basah sehingga terasa lembab. Untung juga aku tak membawa dua lensa, sehingga tak iseng gonta ganti lensa yang dalam situasi seperti ini punya kans buat kamera cepet almarhum. Perjalanan seperti ini memang biasanya aku lebih suka membawa satu lensa Tamron 17-55mm f/2.8 supaya aku tidak ribet dengan alat-alat fotografi. Termasuk tripod yang biasanya selalu aku bawa, kali ini absen. Bukan karena aku gak mau, tapi karena hilang hehehe. Wal hasil aku memang harus menghindari penggunaan kecepatan rendah.
Dibelakang view ini terdapat gua Belanda
Sekitar sepuluh menit kemudian aku sampai ke area Kawah Putih. Tak ingin terburu-buru jalan, aku memilih mampir dulu ke sebuah warung yang ada disekitaran gerbang masuk Kawah Putih. Warung masih tampak sepi, mungkin belum lama buka sehingga permintaan semangkuk soto ayam dan teh panas segera tersaji beberapa menit kemudian. Sambil makan, aku mengamati suasana sekitar
Suasana sudah tampak ramai, beberapa bis wisata mulai masuk ke area. Ada juga rombongan motor yang datang, kalau gak salah sih motor Honda CBR. Sebenarnya aku salah tas ransel, seharusnya aku membawa tas ransel yang lebih kecil. Namun entah kenapa, kemarin aku justru memilih tas ransel yang agak besar untuk kubawa dan menitipkan tas yang lebih kecil ke Rey untuk dibawa pulang. Padahal aku hanya membawa sedikit barang.
Batang pohon santigi yang mati mengering
Tiga puluh ribu rupiah, itu biaya yang harus dibayar per orang untuk masuk ke Kawah Putih. Gak mahal lho, karena itu sudah termasuk harga ontang-anting (angkutan khusus untuk mengangkut pengunjung ke dan dari Kawah Putih). Tapi bagi yang hendak foto pre-wedding disini, tercantum biaya sebesar 500ribu rupiah, cukup mahal atau sangat mahal?
Aturan di sini, selain mobil pribadi semua pengunjung harus menggunakan jasa ontang-anting untuk naik ke atas termasuk juga bis-bis wisata harus menggunakan jasa ini. Ontang-anting ini sepertinya angkutan dengan tiga lajur tempat duduk plus satu penumpang di bagian depan. Masing-masing lajur punya bisa diisi sampai dengan tiga orang, jadi jumlah penumpang penuhnya sekitar 10 orang. Yang berbeda, ontang-anting ini tidak punya pintu seperti halnya bajaj kecuali untuk penumpang yang di depan (sebelah sopir).
Rupanya naik ontang-anting menjadi sensasi tersendiri, dengan kondisi jalan yang naik turun berliuk-liuk justru sopir sering dengan sengaja melarikan kencang sehingga di beberapa tikungan dan turunan yang tiba-tiba beberapa penumpang menjerit, antara ketakutan dan senang. Tapi jangan tanya penumpang yang duduk di persis pintu, mereka akan mencengkeram kuat besi pegangan bahkan saat ontang-anting melaju di tempat yang lurus. Saranku bagi yang takut, sebaiknya jangan duduk di ujung pintu. Bisa-bisa perjalanan menyenangkan itu malah menjadi trauma. Jaraknya memang tidak jauh, seperti lain kali aku bisa memilih untuk berjalan kaki.
Kumpulan pohon santigi di dekat Kawah Putih yang mati terbakar
Akhirnya ontang-anting sampai di pelataran luas, ujung dari perjalanan naik ke Kawah Putih. Pengunjung sudah sangat banyak sehingga aku cukup mengikuti arah jalan mereka. Papan penunjuk sebenarnya cukup jelas terbaca tapi kadang kita malas membacanya. Padahal sebenarnya itu diperlukan sekali, apalagi di tempat-tempat yang punya potensi bahaya seperti disini. Aku lihat ada papan petunjuk bertuliskan arah "Evakuasi", papan ini menjadi urgen sekali untuk diketahui karena memang ada kondisi tertentu dimana kawasan Kawah Putih menjadi sangat berbahaya terutama jika ada aktivitas berlebihan dari kawah Gunung Patuha ini. Yang paling umum adalah naiknya kandungan kadar belerang di udara yang dapat menyebabkan rasa pusing, mual bahkan jika dalam kandungan berlebihan dan tidak segera ditangani bisa mengakibatkan kematian. Sebaiknya baca papan petunjuk jalur evakuasi, ini akan bermanfaat jika tiba-tiba Kawah Putih iseng menjadi tidak bersahabat sehingga bisa menolong diri sendiri atau orang-orang disekitarnya.
Hanya beberapa meter setelah melewati tangga menurun, telaga kawah berwarna kuning pucat kehijauan menyapaku. Itulah warna dari telaga Kawah Putih ini. Tidak ada warna putih saat itu, warnanya lebih ke warna belerang, sementara warna kebiruan lebih karena pantulan warna langit. Bau belerang telah muncul saat mulai turun tangga. Banyak orang telah datang ke tempat ini, dengan lokasi yang mudah dicapai seperti ini tentu banyak orang yang ingin mengujungi tempat ini.
Selain pohon-pohon mengering, longsor juga rawan terjadi
Aku memilih berbelok ke kiri setelah melewati ujung tangga karena memang tidak banyak orang yang menuju ke arah itu. Beberapa pohon santigi yang dekat telaga telah menjadi onggokan batang kering. Batang-batang kering ini bahkan bukan hanya di tempat yang dekat dengan kawah, bahkan di tanah-tanah tinggi beberapa meter dari telaga juga tidak luput dari sergapan belerang sehingga juga menjadi mati meninggalkan kayu kering yang menghitam. Hanya ada dua rombongan lain yang mengikuti arah kesini, sementara banyakan yang lain lebih memilih berada di kawasan di dekat tangga turun, setidaknya mereka cepat untuk dievakuasi. Mungkin hanya aku pejalan sendirian disini, sementara yang lain berombongan atau paling tidak berpasangan. Beberapa pakis baru tumbuh di areal bekas pohon-pohon santigi yang terbakar, pertanda beberapa waktu tidak ada aktivitas kawah yang terlalu berbahaya. 
Sayangnya selain kabut yang sudah tidak ada lagi, matahari juga lebih sering bersembunyi di balik awan kelabu. Ini lah risiko datang di bulan-bulan saat hujan mulai datang. Sepertinya memang datang ke tempat ini pagi hari menjadi pilihan tepat, tentunya jika menggunakan kendaraan pribadi atau kalau rela mau berjalan kaki. Karena menurut informasi, kawasan wisata Kawah Putih mulai dibuka setelah jam tujuh, kadang juga lebih. Tentu saja belum ada ontang-anting yang bisa kita gunakan, entah kalau kita sewa.

Narsis menjadi hal yang tidak pernah dilupakan para pelancong
Satu jam kemudian aku kembali ke arah tangga turun dan coba melihat ke sisi kanan tangga. Beberapa meter baru melangkah aku melihat gua belanda, begitu yang tertulis di papan petunjuk. Bau menyengat belerang keluar dari gua itu, sangat menyengat. Pantas saja di depan gua terdapat petunjuk agar tidak berlama-lama di depan gua. Sebenarnya dari areal ini dapat melakukan trekking hutan namun aku memutuskan menunda untuk kesempatan lain karena berburu dengan waktu.
Keindahan danau Kawah Putih memang tidak diragukan, pantas saja walau biaya untuk foto prewedding di tempat ini cukup mahal namun banyak yang menginginkan bisa foto prewedding di tempat ini. Kalau kata teman, bahkan sang calon mempelai wanita bisa berpose dengan baju dengan bahu terbuka dipagi hari. Padahal yang menggunakan jaket dengan dua lapisa baju di dalamnya saja masih merasa kedinginan. Untung foto, kalau video pasti ketahuan kalau setelah pemotretan mereka bakalan menggigil ketakutan.
Kembali dari Kawah Putih, aku sempetin beli buah strawberry yang ada di tempat ini, katanya lebih manis walau ukurannya lebih kecil. Tapi setelah mencoba, menurutku strawberry yang pernah aku beli di SoE, NTT jauh lebih manis.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 28 November 2013

Ciwedey dan Situ Patenggang

Situ Patenggang yang lenggang pagi itu, hanya kesibukan kru-kru film
Sore itu aku ditemani segelas teh panas, setongkol jagung bakar, dan kesendirian. Kulipat satu kakiku sementara kaki satunya bergantung diatas kursi panjang dari bambu. Rancaupas meremang, bayangan pohon-pohon tinggi memudar seiring warna langit yang menggelap. Kabut tipis pelahan-lahan turun menyelimuti tanah urang Sunda ini. Beberapa kali aku harus merapatkan sweater yang aku pakai untuk mengusir dingin. Dengan ketinggian 1.703 mdpl pastilah dingin di Ciwedey menjadi hawa yang sudah biasa dinikmati warga disini. Di depan warung, pemilik warung, teh Rina sibuk mengipasi bara api dari potongan kayu untuk membakar jagung pesanan sepasang muda-mudi yang baru datang, tampaknya dari Jakarta. Teh Rina melakukannya sambil mengendong anaknya yang baru berumur dua tahun karena adiknya yang paling bungsu - Lita sedang disuruh ke warung membeli mie instan yang telah habis.
Suasana pagi di Bandung: berselimut kabut
Suhu makin dingin, bahkan teh pun dengan segera kehilangan panasnya tapi aku masih enggan beranjak dari tempatku duduk. Dingin namun masih banyak suasana yang bisa kunikmati. Tidak ada suara tivi, tidak juga radio, hanya celoteh Sunda kental dari beberapa orang yang saling bertegur sapa, suara-suara yang mengingatkan pada tanah lama yang begitu bersahaja. Dua orang bapak-bapak datang, mereka duduk ngobrol dan memesan kopi di warung sebelah saat aku memutuskan masuk ke kamar istirahat melepas lelah, mengurangi beban dingin yang makin tak tertahankan. Rasa capek akhirnya membawa saya pulas melupakan rasa dingin di luar.

Sweater Baru dari Ciwidey
Aku belum memutuskan hendak kemana saat selesai mengantar Rey ke Bandara Husein Sastranegara. Perjalanan ke Bandung untuk tugas menyisakan gerutu yang belum habis sampai sekarang. Hari ini, aku dan Rey harus check out dari hotel karena ternyata dari kantor pusat mengatakan kalau jadwal kami hanya dua hari. Preet, tanpa pemberitahuan yang jelas kami harus kehilangan sehari dan itu harus ditanggung kami sendiri. Rey lebih beruntung karena waktu reschedule tiket pesawat ternyata masih ada, sayangnya masih tersisa satu saja.
Selesai dari ATM mengambil uang secukupnya aku memutuskan berjalan kaki keluar dari bandara. Masih belum jelas mau kemana hari ini, apakah mau muter semalaman di kota Bandung dilanjutkan tidur dimana saja ataukah ada tempat yang bisa aku tuju. Untung aku sudah menitipkan tas komputer ke Rey sehingga aku cuma bawa tas ransel satu tipis saja, satu tas kamera yang ukurannya kecil hanya cukup satu body + lensa.
Cemara di daerah Rancawalini (perkebunan teh)
Satu dua tawaran ojek aku tolak sambil terus berjalan. Saat seorang tukang ojeg menawarkan jasa hendak mengantar, tiba-tiba aku iseng tanya kalau mau ke Kawah Putih lewat mana? Mang ojeg tadi bilang kalau kesana berarti harus ke Ciwedey, dan itu bisa naik travel yang biasanya lewat di Kalapa atau terminal Leuy Panjang. Kalau turun ke Kalapa dia tawari dengan biaya 40rebu. Namun dia menyarankan menggunakan jasanya sekalian sampai ke Ciwedey dengan biaya 150rebu dengan alasan saat ini hari Sabtu pasti jalur ke Ciwedey sibuk banget sehingga bisa dipastikan untuk sampai kesana butuh waktu bisa sampai 3 jam lebih. Setelah kupikir-pikir dengan waktu sekarang yang sudah mendekati jam empat sore, akhirnya aku setuju naik ojek sampai ke Ciwedey.
Ternyata benar, perjalanan ke Ciwedey udah dipenuhi dengan antrian kemacetan di beberapa titik. Untungnya dengan motor kami mudah saja masuk dari celah-celah kendaraan lain sebagaimana motor-motor lainnya. Memang kadang-kadang agak ngeri saat masuk di celah kendaraan-kendaraan berat macam truk atau bis besar, rasanya kayak kena gencet aja.
Ternyata untuk ke Ciwedey harus masuk ke Kabupaten Bandung. Setelah masuk ke Soreang, perjalanan mulai terasa menanjak dan berbelok-belok. Walaupun jalanan ke arah Ciwedey seperti itu dan bukan jalan besar namun bis-bis yang lewat daerah sini adalah bis-bis pariwisata yang berukuran besar.
Perkebunan teh di Situ Patenggang
Aku minta mang ojeg berhenti di sebuah toko baju apapun selewat daerah Soreang karena aku mulai merasakan dingin sementara jam tanganku menunjukkan ketinggian 700 mdpl. Rupanya Ciwedey berada di ketinggian makanya suhu udara semakin terasa dingin sementara aku cuma memakai rompi yang tentu saja tak bisa menahan dingin. Di sebuah toko, aku berhasil mendapatkan sebuah sweater dengan harga 80rebu warna hijau. Lumayan setelah aku memakai sweater ini, perjalanan dengan motor tidak terlalu terasa dingin. Sekitar satu jam lebih sedikit, akhirnya kami memasuki daerah Ciwedey. 
Aku berhenti di depan pintu masuk kawasan wisata Kawah Putih. Begitu turun dari ojek, beberapa orang langsung datang menawarkan jasa penginapan. Ternyata pada hari Sabtu seperti ini, kamar-kamar hotel, villa dan penginapan rata-rata harganya naik dua kali lipat lebih. Dengan harga setidaknya  menguras kantorng 400rebu, itu pun banyak yang hampir penuh. Aku memutuskan mampir di warung memesan kopi dan jagung bakar supaya punya waktu menimbang-nimbang apakah perjalanan sekali ataukah menginap di sini.
Perahu melintasi bukit Cinta di Situ Patenggang
Dari pemilik warung, ternyata ada beberapa tempat wisata yang cukup menarik perhatianku untuk aku datangi. Kalau untuk ke Kawah Putih, aku disarankan besok pagi saja karena biasanya kawasan itu sudah tutup jam lima sore. Lagian kalau sudah sore sering kali sudah tertutup kabut. Segelas kopi panas dan sweater hijau ini lumayan membantuku berfikir dari otak yang membeku akibat suhu di tempat ini. Setelah cari-cari informasi penginapan murah (camping aku coret karena jelas aku gak punya tenda), akhirnya aku ikut seorang tukang ojeg yang menawarkan tempat tidur disebuah warung. Aku dibawa tukang ojeg ke kawasan warung di depan kawasan wisata hutan Cimanggu. 
Setelah tawar menawar, akhirnya aku sepakat dengan harga 175rebu semalam. Sebenarnya kalau hari-hari biasa sih dengan 100rebu udah pasti dapet, tapi karena hari libur begini harga segitu sudah susah untuk ditawar lagi. Warung ini tidak punya kamar sendiri, jadi kalau kita mau nginep mereka baru siapkan bagian belakang menjadi tempat menginap. Yah hanya sebuah tempat tidur dan selimut panas sih, tapi lumayan lah, toh kita juga cuma numpang tidur doang.
Dinginnya Ciwedey baru terasa saat malam, walaupun selimut sudah aku gulung ke seluruh tubuh plus sweater yang tetep membalut tutup dari sore tadi tetep saja aku berjuang untuk melawan dingin supaya bisa tidur. Untungnya aku bisa tertidur beberapa jam, namun mulai terbangun lagi saat tengah malam karena keramaian di luar. 
Akhirnya aku keluar lagi ke teras warung. Sambil duduk santati aku memesan secangkir kecil kopi panas ke teh Rina (inilah kesalahan yang aku sesali belakangan, karena gara-gara kopi itu akhirnya aku tidak bisa tidur lagi semalaman). Teh Rina masih sibuk bakar jagung, karena beberapa orang dari Jakarta malah justru baru sampai. Kata teh Rina, kalau hari Sabtu-Minggu begini memang biasa buka sampai pagi.
Di depan kawasan wisata Cimanggu malahan beberapa bis baru masuk ke dalam selain juga motor. Kata orang di sini, mereka ke Cimanggu untuk mandi air panas (rupanya selain hutan wisata juga ada sumber air panas). Waduh, malam-malam begini mandi air panas. Enak sih enak, cuma sepertinya bukan hal baru yang ingin aku lakukan. Masih aneh saja mandi air panas di tengah malam seperti ini. Tapi siapa peduli, mereka jauh-jauh dari Jakarta untuk menikmati tempat ini kan.
Segelas kopi panas pun dengan segera menjadi dingin, ampun dah. Mau nambah lagi tapi aku malah takut gak bisa tidur. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur lagi, walaupun akhirnya cuma bolak-balik doang gak bisa tidur lagi.

Situ Patenggang, Pagi yang Sunyi
Jam setengah lima aku bangun. Asli aku gak ingin mandi sama sekali walaupun tadi sore pun belum mandi. Air di bak dingin sekali, sehingga aku cuma bisa sikat gigi dan cuci muka. Selesai beres-beres, aku rencana langsung mau jalan sekalian bawa tas ransel jadi gak perlu bolak-balik sini.
Para kru film telah mempersiapkan properti
Ternyata pagi masih terasa sepi, sementara suhu pagi terasa dingin menggigit jari-jari. Dengan jarak sekitar lima kilometer dari sini, aku mencoba berjalan turun ke bawah sambil menunggu siapa tahu ada ojeg atau mobil angkutan yang lewat.
Beberapa ratus meter aku berjalan sampai di Rancawalini, ada sebuah mobil angkutan warna kuning yang lewat. Aku cegat dan naik, walaupun menurut akang yang nyetir hanya sampai di pintu masuk saja tidak sampai ke dalam. Aku sih oke-oke saja, lumayan menghemat waktuku karena hari ini aku selain ke Situ Patenggang juga harus bis sampai ke Kawah Putih.
Setelah tak berapa lama angkutan kuning ini meliuk-liuk melintasi kawasan perkebunan teh akhirnya sampai aku di depan gerbang masuk Situ Patenggang. 
Ternyata Situ Patenggang kalau di papan petunjuk aslinya bernama Situ Patengan, yang asal katanya dari pateangan-teangan yang artinya mencari-cari. Kalau mau tahu asal muasal dan dongeng cinta yang melingkupi situ itu silahkan goggling sendiri aja ya.
Ternyata petugas jaga tempat ini tidak ada, karena rupanya mereka baru mulai berjaga di atas jam setengah delapan. Lumayan lah, bisa menghemat lima ribu rupiah. Yee, sebenarnya bukan karena ingin berhemat sih, tapi karena pengalamanku memotret danau biasanya paling mengambil saat pagi sekali atau sore sekalian karena ada kemungkinan mendapatkan view yang tidak biasa dilihat oleh pengunjung biasa yang seringnya datang jika sudah siang.
Ternyata masuk ke dalam kawasan situ, di kanan kiri jalan dipenuhi perkebunan teh milik PTP Nusantara, perusahaan BUMN di Indonesia.
Pagi yang sepi dan tenang di Situ Patenggang
Hijau teh yang sekarang keluar pucuknya, hawa dingin, dan kabut tipis yang sesekali turun ke bawah menjadi sebuah perjalanan yang menyenangkan. Dada dipenuhi kelegaan menghirup udara yang masih sangat segar ini.
Alih-alih lewat jalan masuk, aku memilih masuk ke situ Patenggang lewat jalan-jalan sela yang dibuat para petani teh. Cukup licin sebenarnya dan karenanya aku beberapa kali tergelincir olah daun-daun kering yang membasah oleh embun. Untung batang-batang teh masih sanggup menahan berat tubuhku sehingga tidak tergelincir jauh turun ke bawah. 
Situ Patenggang masih sepi, hanya ada beberapa orang yang datang itu pun tampaknya karena mereka ada pembuatan film, entah film apa (aku jarang nonton sinetron Indonesia sih). Semoga saja mereka tidak sedang membuat film horor seronok ya hehehe.
Keberadaan mereka sebenarnya keuntungan tersendiri bagiku. Saat mereka menyewa perahu-perahu itu aku punya kesempatan untuk mengabadikan momen itu. Selebihnya aku lebih membiarkan kakiku melangkah kemana aku suka, menyusuri pinggir situ, meliuk diantara batang-batang cemara yang enggan merunduk.
View salah satu sudut Situ: jajaran cemara
Banyak warung yang ada disekitar situ, namun pagi itu sebagian masih tutup. Hanya ada beberapa warung yang sigap menjemput rejeki sehingga pagi-pagi buta begini sudah mulai buka. Perahu-perahu teronggok tanpa ada pemiliknya, mungkin sedang lelap dibuai hangat kain sarung dan selimut tebal.
Siapapun yang datang pada pagi ini tak akan menemukan keramaian khas tempat wisata, namun menemukan lebih daripada itu. Rasa tenang, sunyi yang begitu melegakan. Air situ pun seperti malas beriak, membiarkan bayangan-bayangan pepohonan menjadi sempurna tergambar di airnya. Kabut tipis bergerak pelan di atas permukaan air seperti membentuk uap tipis di permukaan.
Satu demi satu orang mulai berdatangan, di tengah ada beberapa pulau kecil yang biasa ditawarkan pemilik perahu untuk didatangi. Saat jam sudah menunjuk angka setengah delapan aku bergegas naik kembali ke atas. Sekarang saatnya mereka yang ingin berwisata dengan segala keriuhannya.
Aku memilih naik dari kebun teh seperti sebelumnya tanpa perlu melihat apakah ada angkutan kuning yang bisa aku tumpangi. Di depan gerbang mulai ada dua petugas jaga, aku pura-pura gak tau dan lewat begitu saja. 
Setelah ini waktunya mengunjungi Kawah Putih.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 01 April 2013

Menatap Pagi di Bromo

Semburat warna pagi dari penanjakan: view gunung Bromo dan Semeru
Menunggu pagi memancarkan sinar matahari membuat jari-jari tangan kananku yang memakai sarung tangan terasa kaku dan dingin. Serba salah, jika aku memakai sarung tangan terus terang aku kesulitan untuk mengoperasikan tombol-tombol dan tuas kamera Canon EOS 550D. Suhu di Penanjakan memang masih belasan derajat, masih terbilang suhu biasa saja bagi penduduk di sini tapi tetap terlalu dingin bagiku meski telah menggunakan penutup kepala dan sarung tangan. Untung aku bisa menaruh tripod dan kamera persis di depan pagar walaupun di bagian bawah, di bagian atas orang sudah ramai berkerumun menunggu matahari pagi muncul dari sisi Timur. Beberapa kali setelah menjepretkan kamera aku mengibas-kibaskan tangan yang serasa kaku mengusir rasa kejang  dan beku.

Perjalanan yang tak kurencanakan pada awalnya, karena memang awalnya aku malah merencanakan untuk melakukan backpacking antar kota keliling Jawa dalam beberapa hari. Karenanya aku tidak membawa banyak pakaian toh pertimbanganku aku bisa beli beberapa baju di tempat yang aku singgahi. Namun karena perhitungan waktu yang bergeser sehingga akhirnya aku tidak jadi backpacking-an. Tapi ada sisa waktu yang jika kuperhitungkan bisa untuk mengunjungi Bromo.

Menunggu di stasiun Senin, cukup nyaman
Perjalanan dimulai dari rumah adikku di Cibubur, Jakarta Timur. Aku berangkat jam dua siang karena belum membeli tiket kereta api karena ternyata tiket kereta api tidak bisa dipesan setelah H-2, jadi harus dibeli langsung di stasiun. Dengan pertimbangan arus sore yang macet,  kakakku menyarankan untuk naik dengan commuter dari stasiun Depok.

Sekitar jam setengah lima aku sudah sampai di stasiun. Situasi stasiun Senin agak membuatku kaget karena walaupun gedung-gedungnya masih sama namun situasinya sudah berubah banyak banget. Aku buru-buru saja antri di bagian pembelian tiket namun setelah sampai depan baru tahu kalau harus menulis di lembar pemesanan tiket. Haduh, akhirnya aku balik ulang cari tempat mengambil lembar pemesanan tiket. Begitu dapet kertasnya gantian aku celingukan cari ballpoint... Ternyata beli tiket sekarang lebih ribet, cuma lebih aman juga sih jadi gak ada calo yang mondar-mandir tawarin tiket. 

Akhirnya jam enam aku bisa duduk di kursi nomor 7 di bagian Ekonomi AC. Awalnya aku mau ambil yang bisnis, tapi ibu yang menjual ballpoint dan membantuku menulis malah menuliskan kelas kereta api Ekonomi AC bukan Bisnis seperti mauku. Ternyata dia benar, walaupun suasana tempat duduk sama dengan kelas Ekonomi namun  lebih nyaman karena ada AC di dalamnya, dibanding dengan kelas Bisnis yang hanya mendapatkan kipas angin.

Setelah melewati 12 jam perjalanan dengan kereta api, paginya kereta api sampai juga di stasiun Pasar Turi, Surabaya. Setelah minum kopi dan sarapan pagi, aku melanjutkan perjalanan ke terminal Terboyo. Dari terminal Terboyo aku mengambil bis Patas AC jurusan ke Malang. Aku sebenarnya mengambil jurusan yang kurang pas, tapi jalur ini aku ikuti berdasarkan hasil pencarianku diinternet tentang rute perjalanan ke Bromo. Sekitar tiga perjalanan, sampailah aku di terminal Arjosari, Malang. Cuaca sampai di Malang mulai menunjukkan mendung. 

Setelah mengisi perut lagi di terminal Arjosari, aku mencari informasi ke orang-orang. Dari mereka aku mendapatkan arahan supaya naik bis jurusan Malang-Probolinggo. Kembali perjalanan hampir tiga jam aku lalui di atas bis untuk sampai ke Probolinggo. Hujan turun deras sekali waktu bis melewati daerah Lawang, sebenarnya cukup mengkhawatirkan karena aku saat itu belum tahu sejauh mana Probolinggo.

Setengah empat, bis masuk ke terminal Probolinggo. Dari terminal Probolinggo, aku keluar dan berjalan beberapa meter ke sebelah kiri terminal. Di depan warung makan ada mobil angkutan jenis Colt warna biru jurusan terminal Probolinggo-Bromo. Karena menurut penjelasan mas Suhan yang menyupiri, baru enam orang yang siap ke Bromo. Semangkuk bakso dan kopi kedua kembali mengisi perutku menunggu penumpang lain.

Tunggu punya tunggu, baru tambah satu orang yang datang. Karena sudah sore, aku coba tanya mas Suhan gimana caranya supaya kita bisa berangkat lebih cepat. Mas Suhan menawarkan alternatif, angkutan miliknya bisa muat sampai dengan 15 orang dengan biaya 25ribu  per orang. Kalau mau berangkat sekarang mas Suhan mau kalau tiap orang mau bayar lebih menjadi 50ribu per orang. Aku coba sampaikan hal ini ke teman-teman baru seperjalanan, namun ada sedikit kendala satu orang bule cewek yang keberatan membayar 50ribu. Dia sendiri tetap menolak meskipun yang lain bersepakat membayar lebih untuk selisih lebih sehingga bule itu tetap membayar normal 25ribu. Menurutnya itu gak fair. Dia bahkan lebih memilih untuk ditinggal dan berangkat besok. Setelah merayu sekitar sepuluh menit (asli yang ini ngarang, gak ada orang lihat jam cuma buat tahu berapa lama proses merayu hihihi) akhirnya si bule cewek itu mau juga ikut dan dia mau bayar 50ribu. Nah lho, giliran mau ikut maunya harganya tidak dibedakan... (icon bingung)

Ternyata setelah dihitung ada tambahan satu orang bule lagi. Wah mas Suhan lagi beruntung, artinya mas Suhan dapat 350ribu untuk keberangkatan hari ini.

Cemoro Lawang berselimut kabut
Colt yang dikendarai mas Suhan akhirnya melaju menyusuri Probolinggo sampai kemudian masuk ke kanan. Jalan yang semula datar mulai berubah menanjak, penunjuk ketinggian di jam tanganku menunjukkan kenaikan ketinggian yang begitu cepat. Di kendaraan, kami mulai saling berkenalan. Ada Sarah yang datang sendiri, rencana awalnya dia mau ke Bromo bersama teman-temannya. Katanya, dua orang temannya nanti datang menyusul menggunakan kendaraan sendiri. Ada pasangan yang awalnya kukira keduanya peranakan China, apalagi yang pria mengaku dengan nama Achlung (siapa yang tidak mengira kalau nama Achlung itu peranakan China?) dengan teman perempuannya bernama Dinda. Yang bule terus terang aku lupa namanya, karena yang paling sering ngobrol sama bule itu ya si Sarah. Jarak sejauh kurang lebih 65km ditempuh dalam waktu hampir satu setengah jam. Jalan sempit dan berkelok-kelok dengan jurang-jurang yang dalam tampak di depan mata menuju ke Cemoro Lawang. Itu adalah tempat tujuan kami, yang merupakan desa terakhir yang berhadapan langsung dengan gunung Bromo.

Setengah enam kami sampai di Cemoro Lawang. Memasuki beberapa desa terakhir ke arah Bromo, mata kami disambut pemandangan sawah-sawah yang ditanami kol, wortel dan beberapa tanaman khas daerah ketinggian. Masyarakat yang berjalan rata-rata menggunakan jaket tebal dan bertopi rajut. 

Sesuai dengan arahan mas Suhan dan cocok dengan informasi yang kuterima, maka kami menuju ke Wisma Yog. Ternyata sewa di Wisma ini sudah naik dari informasi terakhir yang aku terima. Namun pak Yogi yang sendiri menyambut kami menunjukkan kami bangunan baru di bagian belakang yang ada kamar mandi di dalam. Kalau di bagian depan yang tidak punya kamar mandi di dalam harganya 125ribu sifatnya sharing kamar mandi. Kalau di bangunan belakang harganya 200ribu yang ada air panasnya.

Hamparan pasir dan Bromo di senja  hari
Cemoro Lawang suhunya terasa dingin, walaupun perkiraanku masih di sekitar belasan derajat. Namun ketinggian desa ini telah menunjukkan 2200 meter dpl. Untungnya jika datang pada bulan-bulan seperti ini suhunya tidak terlalu dingin hanya hujan sering terjadi. dari Cemoro Lawang, gunung Bromo telah nampak karena memang Cemoro Lawang tepat berada di pinggi jurang dari kawasan Bromo. Karena kabut belum turun, tanah berpasir tampak jelas mengelilingi gunung Bromo. Dari sini tampak sebuah bangunan di kejauhan yang kata pak Suhan adalah sebuah pura.

Untuk perjalanan esok hari kita sepakat akan menyewa Jeep yang memang biasa digunakan untuk mengunjungi Bromo. Namun terjadi sedikit permalahan karena jumlah orang yang akan ikut angkanya tidak genap hanya sembilan orang. Satu buah Jeep dapat digunakan maksimal untuk enam orang, dua di depan dan empat di belakang. Biaya sewa Jeep dipatok 450ribu untuk dua lokasi yaitu Penanjakan dan Bromo. Kalau ingin menambah lokasi harus menambah biaya langsung ke sopir Jeep-nya, menurut mas Suhan sekitar 100ribu per lokasi tambahan. Akhirnya aku sepakat dengan Achlung, Dinda dan Sarah untuk menyewa Jeep karena kami rencana akan sampai ke dua lokasi tambahan selain Penanjakan dan Bromo yaitu lautan pasir dan padang savannah.

Di sepanjang jalan menuju kesini sudah banyak berdiri wisma dan hotel, demikian di daerah Cemoro Lawang sehingga fasilitas-fasilitas tambahan dengan mudah ditemui seperti jika lupa membawa jaket tebal bisa menyewa di sini dengan sewa sekitar 25ribu. Topi rajut dan kaos tangan juga barang harus disiapkan. Topi-topi ini banyak dijajakan oleh masyarakat sekitar dengan harga 10ribu per topi, sedangkan kaos tangan seharga 5ribu.

Hari ini kami berangkat tidur lebih awal karena rencananya kami berangkat setengah empat pagi untuk melihat sunrise. Jam setengah empat saat kami bangun sudah banyak aktifitas dari Wisma ini dan beberapa wisma di sebelahnya. Achlung dan Dinda bersiap dengan sebuah tas kecil di belakang. Aku sendiri menebak-nebak apa isi tas backpack kecil itu. Sementara yang lain tidak membawa tas lain kecuali tas kamera termasuk aku. Setelah perlengkapan seluruh siap kami mulai meluncur. Dari Wisma Yog, Jeep kami berputar ke kanan menuju jalan ke arah bawah. Setelah melewati pos penjagaan, kendaraan kami mulai menurun tajam melewati jalan yang sebagian telah di beton. Dalam suasana yang terasa gelap, Jeep menderu membelah lautan pasir, beberapa kerlip lampu yang bergerak menunjukkan ada kendaraan jeep lain yang telah berjalan di depan kami. Setelah melewati lautan pasir, kendaraan kembali naik menanjak ke arah perbukitan dengan jalanan yang sempit dan berkelok-kelok tajam. Setengah jam sampailah kami di ujung Penanjakan. Suasana sudah ramai sekali, banyak Jeep yang telah terparkir. Sepanjang jalan menuju ke atas juga sudah banyak warung-warung makan dan souvenir yang dibuka. Semangkuk mie dan segelas kopi kembali mengisi perutku sebelum kami naik ke atas, lumayan untuk mengusir hawa dingin. Maklum dengan ketinggian yang lebih dari 2250 meter dpl dan sepagi ini, suhu yang mungkin sudah di bawah belasan membuat tangan kaku jika tak bersarung tangan.

View Bromo saat matahari pagi tertutup awan
Sesampai di atas, suasana masih tampak gelap. Namun rupanya sudah banyak orang yang berdiri menunggu matahari terbit. Aku lihat beberapa fotografer ada yang sudah mencoba memotret mungkin ingin mengabadikan suasana malam. Ruangan terbuka mulai penuh sesak terutama di bagian pinggir pagar. Nyaris tak mungkin aku bisa mendapatkan spot jika disini. Aku coba berkeliling melihat-lihat apakah ada lokasi nyaman untuk memotret pemandangan berlatar Bromo. Aku berjalan ke samping kiri ke arah sebuah menara pemancar. Dari samping  terdapat jalan menurun ke bawah, dan ternyata tak ada seorang pun yang berdiri di situ, entah alasannya apa. Akhirnya aku putuskan turun ke sana sehingga bisa memasang tripod dan kamera tepat di pinggir pagar. Tapi ternyata itu tak lama, melihat aku berdiri sendirian di bawah, beberapa orang mulai ikut turun tapi tetap tak berani dekat dengan kameraku. Beberapa fotografer bahkan ada yang keluar pagar agar tidak terhalang oleh adanya pagar.

View Bromo saat matahari mulai meninggi
Akhirnya pagi yang ditunggu pelahan mulai datang, sayang awan masih ingin bermanja-manja tak menghilang. Dikejauhan di hamparan pasir Bromo, kabut putih mulai datang menutupi dataran. Tanganku yang tidak bersarung tangan membuat rasa kebas, dingin seperti makin parang menjelang pagi. Bromo mungkin hari ini tidak memberikan pertunjukan terbaik, namun tetaplah rasanya menyenangkan sekali bisa berdiri di Penanjakan memperhatikan sang surya mau berbaik hati menampakkan sinarnya membasuh lekuk-lekuk Bromo dan Semeru di kejauhan menjadi prasasti gambar yang menawan. Sebenarnya posisi matahari terbit kurang terlalu pas di atas Penanjakan karena pada posisi ini Bromo ada di sebelah Selatan sehingga posisi matahari terbit dan Bromo sekitar 90 derajat, artinya tak memungkinkan mendapatkan gambar kedua obyek itu bahkan dengan lensa 11mm sekalipun (17mm kalau di kamera bersensor APS-C). Mungkin kalau aku ke Bromo lagi aku akan mencari lokasi dimana Bromo dan matahari bisa berdampingan.

Seorang penunggang kuda berlatar Pura Luhur Poten Bromo
Sekitar jam tujuh kami mulai turun ke bawah. Jeep kembali menderu membelah jalan menuju ke bawah. Achlung menawari kue, dan ini sudah yang ketiga. Artinya tas backpack kecil mereka rupanya isinya makanan semua. Pantas saja mereka berdua subur hahaha... Sesuai urutan track, setelah dari Penanjakan kami akan menuju ke kaldera Bromo. Karena matahari sudah muncul, kami sekarang bisa melihat dengan jelas kepulan debu yang ditinggalkan Jeep saat melintasi pasir Bromo. Paduan yang eksotis, hamparan pasir yang tampak menggambarkan suasana panas berpadu dengan kabut tipis yang turun menutupi bukit-bukit sebagai gambaran hawa dingin. Kami berhenti beberapa ratus meter dari tangga menuju ke puncak Bromo. Beberapa orang dengan sigap menawari kami untuk naik kuda. Karena terus terang aku ingin menikmati suasana begini aku memilih untuk berjalan kaki. Beberapa wanita tampak memilih naik kuda, cukup menyenangkan sebenarnya. Dari titik pemberhentian sampai ke depan tangga Bromo dan mengantar kembali mereka biasanya meminta harga 100ribu. Perjalanan ke puncak Bromo melewati pura yang tampak di kejauhan dari Bromo. Pura yang disebut dengan Pura Luhur Poten Bromo inilah yang menjadi pusat lokasi waktu acara Kasada yang biasanya diselenggaran pada hari ke-14 bulan Kasada dalam kalender masyarakat Hindu Tengger. Jelas saat ini aku tak bisa mengikutinya karena kemungkinan Kasada tahun ini jatuh pada bulan Agustus-September. 

Jalan menanjak menuju Kaldera
Cukup capek juga untuk bisa sampai di bawah tangga gunung, dari sini terdapat anak tangga naik menuju kaldera bromo, jumlahnya sekitar 250 anak tangga dengan bentuk yang curam. Perjalanan ke atas cukup menguras tenaga tapi bukankah itu bagian dari perjalanan? Sesampainya di atas, aku disuguhi pemandangan lubang kaldera yang tertutup asap putih yang keluar terus menerus. Di sisi lain sebuah bendera Malaysia sedang berkibar di pegang dua ibu-ibu gemuk yang rupanya bangga bisa sampai di atas Bromo. Perjalanan kembali, aku dan teman-teman mampir lagi ke  tempat ibu-ibu yang sedang menjajakan makanan. Sebungkus mie lagi-lagi bersemayam di perut kami. 

Acara turun semuanya bersepakat naik kuda, tentunya setelah acara tawar harga disepakati. Sepertinya harga 20ribu untuk turun dengan kuda cukup masuk akal. Wal hasil, hanya akulah satu-satunya yang berjalan kaki bolak-balik. Hehehe... lumayan hemat 20ribu. Lagian sayang kan kalau bisa naik jalan kaki masak turun gak kuat jalan kaki (pembenaran atau irit ya?.. )

Dari puncak Bromo, Jeep kembali meluncur menyusuri pasir mengantar kami ke track berikutnya, Pasir Berbisik. Ternyata lokasi lautan pasir yang sekarang dikenal dengan nama pasir berbisik ini berada di sebelah selatan Bromo. Lokasi ini terkenal dengan sebutan itu sesuai dengan film yang pernah dibuat berlatar Bromo dengan judul yang sama, Pasir Berbisik. Sesampai disana kami disuguhi view lautan pasir yang luas sekali, yang cocok untuk dibuat set film padang pasir. 

Kepulan debu dari Jeep di lautan pasir Bromo
Tak lama kemudian kami di antar ke track terakhir: Padang Savanna. Jika sebelum kami disuguhi pasir maka di padang Savannah ini kami disuguhi pemandangan hamparan rumput dan bunga-bunga khas daerah dingin yang sedang berbunga. Warna-warna putih bunga rumput, bunga kuning dan ungu tampak mendominasi pandangan termasuk beberapa perdu yang telah mati berwarna coklat.

Seharusnya sesuai dengan perhitungan, kami sudah harus menyelesaikan semua track sebelum jam setengah sepuluh agar bisa menuju ke satu lokasi lagi yang dari kemarin sudah diincar oleh Achlung, namanya air terjun Madakaripura. Tapi ternyata perhitungan kami meleset karena kami baru selesai dan mau kembali ke Cemoro Lawang jam 10 lewat. Saat kami kembali, cuaca yang semula cerah mulai tampak mendung. Kabut mulai turun pelahan sehingga jalan menjadi temaram.

Sesampainya di Wisma Yog kami kembali berunding apakah akan melanjutkan ke air terjun Madakaripura ataukah langsung kembali ke Probolinggo. Mas Suhan yang mau mengantar kami sebenarnya mengingatkan kondisi yang tidak tentu dari Madakaripura terutama jika cuaca sedang hujan dan berkabut terus menerus seperti ini. Selesai berkemas-kemas dengan semua barang, dengan Colt yang dikendarai mas Suhan kami meluncur turun. Kami sepakat jika cuaca seperti sekarang ini terus menerus kami akan langsung kembali ke Probolinggo, namun jika di percabangan arah Surabaya dan Probolinggo cuaca cerah kami akan melanjutkan ke lokasi Madakaripura.

Achlung dan Dinda di Pasir Berbisik
Ternyata sepanjang jalan cuaca makin pekat, tak lama kabut yang makin gelap berubah menjadi hujan sehingga nyaris aku hampir membatalkan perjalanan ini. Apalagi setelah melewati pasar Sukapura dan mendekati ke arah cabang pertigaan hujan masih juga turun walau kabut mulai berkurang. Namun ternyata di pertigaan cuaca justru cerah sehingga walau ada kemungkinan tak bisa sampai ke Madakaripura kami mencobanya. Dari percabangan, kami turun ke arah jalur ke Pasuruan/Surabaya. Kami turun terus ke bawah sampai bertemu papan petunjuk bertulis arah ke Madakaripura. Dari percabangan kendaraan kami masuk ke dalam sekitar empat kilometer ke dalam sampai bertemu di pintu masuk bertuliskan nama lokasi air terjun Madakaripura. Di depan tampak patung Gajah Mada sedang dalam posisi semedi. Menurut cerita, di bawah air terjun Madakaripura terdapat sebuah gua yang menjadi tempat pertapaan maha patih Gajah Maja. Sayang cuaca gerimis. Karena sudah merasa tanggung kami dengan menyewa jas hujan dengan ditemani guide tetap masuk ke dalam lokasi air terjun yang jaraknya sekitar satu kilometer ke dalam. Perjalanan ke dalam tidak mudah karena jalan setapak yang pernah dibangun telah banyak yang hancur diterpa banjir bandang yang kerap datang. Itu lah kenapa saat kondisi cuaca tidak bagus, lokasi air terjun ini sering kali ditutup untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan seperti kejadian beberapa hari lalu. 

Kalau aku hitung lebih dari delapan kali kami harus bolak balik menyeberangin sungai yang penuh batuan. Kadang-kadang kami berjalan di sisa jalan setapak yang masih bagus namun pada jalan yang telah hancur dan tidka menyisakan apapun mau tidak mau kami harus melintasi sungai kembali. Cukup melelahkan, sementara hujan gerimis terus membasahi jas hujan. Beberapa orang mulai menunjukkan keputusasaan karena rasanya sudah jauh berjalan namun tidak bertemu dengan air terjun yang dimaksud. Sampai kemudian kami melihat puncak dari air terjun yang begitu tinggi hingga semangat kami kembali. setelah melewati sungai terakhir yang agak dalam yang membuat celanaku basang sampai di atas lutut maka di tepi batu besar kami disambut air terjun kecil-kecil yang turun seperti gerimis. Ternyata untuk sampai ke air terjun kami harus melewati beberapa air terjun yang jatuh. Akhirnya kami sampai di depan air terjun Madakaripura. Kelelahan kami terbayar.... namun sayang kamera tetap harus diam tenang di dalam ransel, tempias air yang terbentur di tanah terlalu kuat apalagi dengan kondisi gerimis seperti ini. Pantas saja setiap orang yang telah sampai ke air terjun ini pasti pulang dengan kondisi basah kuyup. Sepertinya payung menjadi properti yang tidak boleh tidak harus dibawa jika ingin datang dan memotret disini, syukur-syukur jika kamera dan lensa yang dibawa berbodi tahan cuaca (weather seal) karena sepertinya tempias air yang halus rawan merusak kamera yang tidak didesain di kondisi seperti ini.



Sebelum pulang, kami mampir di satu-satunya warung yang buka tak jauh dari air terjun. Lagi-lagi mie rebus kembali kami santap, tapi sekarang tersedia gorengan yang baru selesai diangkat dari penggorengan. Madakaripura sepertinya harus aku kunjungi lagi lain waktu tentu dengan persiapan yang lebih matang.

Akhirnya kami kembali kembali untuk melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Rencana Achlung dan Dinda akan sehari menginap ke Malang sebelum kembali ke Jakarta. Sedangkan Sarah akan kembali ke Jakarta dengan penerbangan malam hari ini sehingga aku dan Sarah sepakat kembali ke Surabaya.

Ini adalah jejak pertamaku memulai petualangan ke tanah Jawa dengan catatan perjalanan yang melibatkan foto... semoga jejak pertama ini akan berlanjut ke jejak selanjutnya.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya