Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 02 Februari 2012

Ende-Nagekeo Part III



Segelas Kopi di Tengah Rintik Gerimis
"Tidak sedang terburu-buru kan? Kita mampir minum kopi ya", ucapan yang tak usah diulang dua kali kukira. Siapa akan menolak ajakan ini. Gerimis lebih sering menemani sepanjang jalan namun di pertengahan tanjakan melewati Nangaroro tiba-tiba titik air mulai bertambah banyak. Untung kami lebih dulu sampai di kedai sebelum hujan datang lebih lebat.
Kopi panas segera memenuhi meja yang kami duduki. Aku yang biasanya tidak minum kopi melupakan kebiasaan itu. Segelas kopi di tengah rintik gerimis seperti ini terlalu sayang dilewatkan. Posisi kedai ini cukup menyenangkan, sayang sekarang tidak ada jagung rebus padahal aku berharap sekali itu menjadi teman minum kopi.
Kopi yang disajikan agak terlalu manis, tapi tak mengapa. Aku tiba-tiba teringat suguhan kopi di rumah pak Ndus waktu mampir rumahnya setelah foto-foto. Kopinya yang nikmat membuat aku lupa telah duduk di kursinya lebih dari tiga jam.
Masing-masing larut dengan cerita masing-masing, tapi diseberang sana seorang laki-laki nenghisap sebatang rokok dengan asyiknya. Peminum kopi yang tahu cara menikmati kopi, tangannya sendiri lincah berpindah-pindah dari sebuah handphone dan ipad. Sepanjang jalan aku memang sempat memperhatikan matanya yang gelisah mencari sinyal karena di sepanjang jalan sering terjadi blank spot. Sekarang dia baru menikmati kegembiraannya, lelaki yang tak bisa sejenak melepaskan informasi. Aku tidak sedang menilainya tapi sedang mengamati caranya menikmati kopi dan hidupnya.
Aku tak perlu menilainya lebih jauh karena kopi terlalu sayang dibiarkan. Beberapa pohon Cendana yang berbuah telah matang buah-buahnya berwarna hitam kecil memenuhi seluruh ujung ranting. Kupikir aku bisa mencoba menanamnya saat kakiku sigap menuruni turunan di bawah bangunan kedai.
Segelas kopi hari ini kehilangan teman setianya: jagung rebus dan ubi goreng.


Nangateke Masih Sama
Hujan hampir saban hari mengguyur kota Mbay, menyisakan pantulan-pantulan kala malam. Hari pertama, hari kedua dan hari ketiga masih sama semua punya alasan yang sama untuk tidak keluar atau dengan kata lain tak ada alasan untuk keluar. 
Rumput-rumput di perbukitan Mbay memang sudah hijau tapi belum cukup rata hijau seperti biasanya. Tapi tampaknya bukit-bukit itu akan segera berubah. Pagar-pagar kayu yang biasanya tidak sekarang mulai ditanam mengelilingi bukit-bukit itu. Ah, seandainya bukit-bukit itu tidak ada yang punya.
Mungkin masih ada bukit yang lama baru akan dipikirkan pemiliknya untuk menambahkan pagar. Dan sekarang arah tujuanku dan Eddy melesatkan motor, Nangateke. 
Ini hari ke empat untukku, mendung masih tampak setia memenuhi langit. Tapi kata para maestro foto, siapa yang bisa menebak senja bahkan pada 10 detik berikutnya. 
Motor melewati kawasan hutan bakau yang makin terbuka, sepertinya bakal diubah menjadi tambak. Tampak menyedihkan seolah tak ada tempat lain yang bisa mengantikan. Motor terus melaju melewatkan jembatan batu di pantai Nangateke. Jembatan batu memang bisa sangat menarik apalagi untuk memotret orang tapi bukan itu tujuanku sekarang.
Di arah ujung tanjakan yang menikung aku dan Eddy memarkirkan motor. Langit belum berubah masih setia kelabu dengan sedikit aksen alur awan akibat angin namun binatang-binatang kecil yang hinggap di semak-semak memancing mata.
Benar perbukitan ini belum berubah, rumputnya pun masih sombong tegak menghijau entah kapan akan memudar kuning memanjang dan menunduk. Aku bahkan terkesan saat rumputnya mengering bukan coklat tapi memutih, hanya kadang harus adu cepat karena saat itu padang-padang rumput seperti ini sering kali dibakar. Supaya tumbuh rumput baru lebih cepat, katanya.
Langit tidak seperti kata maestro masih dengan warna yang sama, tidak juga 10 detik atau 10 menit. Jika ada nyala merah sesaat itupun hanya tersisa sesaput angin untuk memberitahukanku malam mulai merangkak. Nyamuk-nyamuk berpesta pora memenuhi kakiku yang bercelana pendek.


It's an Accident or Something: Bola
Bulan-bulan begini ombak sedang kencang, di beberapa tempat kadang tak menyisakan jeda tenang. Tidak mengherankan di wilayah timur seperti ini, BMKG dengan mudah bisa mengeluarkan peringatan badai dan larangan melakukan pelayaran. Aku jadi ingat Pantai Nangapanda, karang yang menjorok ke daratan itu menarik perhatianku. Sepertinya saat ini waktu yang tepat untuk melihat ombak yang terhempas tinggi membentuk karang.
Aku dan Eddy memulai perjalanan kembali ke Ende dengan motor sekaligus menjadikan suatu memori yang tak pernah hilang.
Selepas tikungan belum lebih dari sepertiga perjalanan saat lepas dari tanjakan aku melewati jalan di samping lapangan. Saat itu Eddy agak melambatkan motor karena di sepanjang jalan banyak kendaraan. Tampaknya bakal ada keramaian sebuah gereja di seberang lapangan.  Tiba-tiba seorang anak menendang bola dan terlepas ke tengah jalan. 
Entah apa hubungannya aku sama bola tapi aku cuma berharap roda kami tidak mengenai bola atau jika harus kena maka bola yang kami lindas tak lebih dari bola plastik.
Saat aku merasakan perasaan menekan sesuatu yang lunak dan berikutnya terasa melampung aku menyadari bahwa semua harapanku salah. Semua sudah terjadi, motor terbanting setelah sesaat menyentuh tanah.
Aku masih sadar sepenuhnya bahkan saat dunia tampak berputar-putar dan aku terhenti di seberang jalan sementara aku melihat Eddy jatuh tertelungkup di bawah motor. Tangan dan lututku terasa kebas tapi aku tidak terluka sedikitpun. Eddy yang harus rela mendapat luka di lutut dan tangan. Tas kamera pun tergores panjang tapi justru membantu dia terhindar dari luka yang lebih banyak. Orang-orang mengerumuni kami tapi sayang tak ada satupun memiliki apa saja untuk membantu luka Eddy, akhirnya seseorang yang dikenal Eddy membantu mengurangi lukanya dengan menyiramkan bensin di tangan dan lututnya.
Sekarang giliran aku di depan, menerobos hujan menuju ke rumah bapak kecil Eddy yang rumahnya ada di kampung sebelah. Aku dan Eddy sampai di rumah dalam kondisi cukup basah. Untung ada tanaman Pinahong di depan rumah, aku membantunya menggerus daun-daun merambat itu untuk di tempel di lukanya.
Sekarang aku di antara dua pilihan menunggu kendaraan untuk menjemput (menunggu sampai malam) atau meneruskan perjalanan. Karena langit sudah berubah menjadi gerimis kecil akhirnya aku dan Eddy memutuskan melanjutkan perjalanan. Sekarang luka-luka itu menjadi lengkap: bensin, pinahong, air hujan dan angin.
Sampai sekarang ada yang mengganjal di benak Eddy, kenapa kami jatuh karena bola. Apa hubungannya dengan bola? Satu-satunya yang jelas sampai saat ini adalah kami berdua bukan maniak bola.


Pantai Nangapenda: Ini Seharusnya
Kenekatan aku dan Eddy ternyata masih membawa hasil. Belum terlalu gelap sampai di Nangapenda walaupun dalam perjalanan sebenarnya masih banyak was-was mengingat motor habis jatuh dan medan jalan sedang ada pekerjaan sehingga jalan penuh dengan lumpur. Gak keren kalau aku dan Eddy harus jatuh kedua kali.
Aku dan Eddy sampai sekitar jam enam sore lewat sepuluh menit, posisi matahari yang sedang condong ke selatan memang membuat bulan-bulan ini siang lebih panjang. Jalan menuju ke bawah yang sangat curam biasanya membuat kami harus turun pelan-pelan tapi sekarang harus jauh lebih hati-hati karena Eddy tidak memungkinkan memegang tanaman di sekitarnya untuk berpegangan.
Langit memang masih menyisakan mendung yang cukup menghalangi matahari untuk sedikit berbagi sinar terakhirnya ke kami. Jadi aku harus merela mendapatkan sisa sinar yang masih cukup terang di ujung barat.
Cuaca tidak sedang badai namun tinggi ombak lumayan, beberapa kali hempasan ombak melenting melampaui kepala mungkin lebih dari 4 meter.
Memotret dalam kondisi ombak besar memang menyenangkan sekaligus menegangkan, walaupun perhitungan awal ombak tidak akan naik setinggi itu tiba-tiba saja bisa muncul ombak yang datangnya hampir dua kali lipat. Saat itu aku harus merelakan tripod terkena air laut, hanya kamera yang harus segera dilindungi.
Dengan tangan terluka dan dibalut kain, Eddy juga tetep mencoba memotret padahal memegang kamera saja tampaknya setengah mati. 
Hanya beberapa jepretan karena memotret ombak memang butuh waktu menunggu antar satu shot dengan shot berikutnya dengan baik, memboroskan shutter malah kadang jadi bumerang. Bisa jadi momen penting karena kamera malah sedang memproses gambar sebelumnya.
Aku melanjutkan jalan tapi kecepatan jauh menurun, lampu motor depan Eddy ternyata suka mati sendiri walhasil aku hanya bisa menggunakan lampu jarak pendek. 
Kerlip-kerlip lampu di kota Ende yang tampak di kejauhan baru kami capai dalam satu setengah jam perjalanan, tak apa asyik juga. Setidaknya kami punya cerita hahahaha

6 komentar:

  1. foto2nya cantik2, tulisannya gokil...piye caranya nulis kayak begitu mas...ada rumus2nya kah??

    BalasHapus
  2. Makasih mas Pagipho... lagi menulis sesuai suasana hati saja hehehe

    BalasHapus
  3. motret ombaknya pakai kecepatan berapa biar bisa lembut mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau ombaknya cukup cepat bisa pake speed 2 detik sudah cukup supaya alurnya tetap dapat

      Hapus
  4. ngopi di tengah alam NTT...Heaven, sementara ini cukup menyerap energi lwt tulisan dan foto di blog ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih ya udah mampir... sebenarnya ini perjalanan paling bikin ngilu kalau diingat

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya