Pantai Kolbano, ya itu yang diceritakan beberapa teman yang sudah pernah singgah ke tempat ini. Jaraknya memang cukup jauh, dari titik percabangan di daerah Noelmina menuju arah Batu Putih masih harus ditempuh lebih dari 65 km lebih. Dari percabangan ke Kupang sendiri jaraknya juga sekitar 60 km lebih jadi kalau ditotal sekali jalan lebih dari 125 km.
Hari Minggu sebenarnya ada rencana mau ikut acara bersih-bersih pantai Kupang, tepatnya di kawasan Lai Lai Besi Kopan sekitar jam 3 sore. Karena mempertimbangkan bahwa aku jarang lama di Kupang juga karena adrenalin lagi naik, maka kuputuskan untuk berangkat hari ini. Dua orang teman yang rencana mau jalan juga ternyata batal, katanya sih yang satu kurang banyak orang (lagi mikir supaya lain kali kalo mengajak dia bawa rombongan pake truk saja) yang satu lagi katanya ada kegiatan (sebenarnya karena lagi malas tu). Ah, sebodo teuing.... The show must go on, perjalanan harus tetap terjadi. Jalan kaki saja kalau memang harus jalan ya jalan kok, apalagi ini bisa pakai motor, tidak ada yang bisa menghalangi.
Sebotol air minum, sebuah senter (kalau kemalaman), pisau lipat (siapa tahu dapat buah gratis) dan yang lain nanti bisa cari di jalan. Kalau peralatan fotografi: kamera dan sebangsanya jangan ditanya, udah nangkring duluan sebelum yang lain disiapkan.
Jam satu siang persis aku jalan. Aku belum tahu persis berapa lama perjalanan kesana, daripada salah set waktu dan cuma dapat malam lebih baik aku berangkat lebih awal. Kalau sampai lebih cepat ya berarti bonus bisa jalan-jalan lebih lama. Namun dengan kendaraan roda dua yang perhitunganku masih bisa mengatasi kondisi jalan, setidaknya dalam waktu tiga jam lebih-lebih sedikit bisa sampai.
Aku melarikan kendaraan melalui jalur lingkar luar Kupang, perhitunganku melalui jalan ini lebih cepat juga aku bisa melaju lebih enak karena jalurnya terpisah. Tapi sedikit meleset karena ternyata sisi jalan balik sedang dalam pembangunan sehingga sekarang satu jalur arah keluar menjadi jalan dua arah. Kurang lebih sepuluh menit kemudian aku berhasil sampai di percabangan Manikin dan langsung kuarahkan motor ke Timur arah ke SoE.
Perjalanan sempat tegang karena sebelum memasuki Camplong, penunjuk bensin sudah ke tanda merah. Motor matic macam Vario memang boros bensin tambah lagi tempat bensin kecil lagi. Tapi karena lagi kumat adrenalinnya bukannya cari bensin nekat saja menerobos hutan, untung-untungan saja kalau tidak sampai ya tinggal dorong motor hahaha..... Tapi mungkin sugesti, kadang-kadang kendaraan seperti ada yang tidak beres walau ternyata sukses juga sampai diturunan menuju ke Takari. Kali ini aku tidak berani nekad, akhirnya ada juga penjual bensin eceran yang mendapatkan anugerah aku beli. Tapi acara bensin jadi lebih lama gara-gara yang jual bensin gak punya kembalian uang 50 ribu yang aku kasih. Kalau ada jerigen aja sepertinya aku milih uang kembalian ditukar sama bensin semua saking lamanya. Akhirnya lega setelah seorang anak kecil lari-lari dari warung di bawah bawa uang kembalian. Ternyata pepatah sedia receh sebelum ngoceh berlaku juga (pepatah karangan sendiri hahaha). Jalan Takari lumayan enak buat menarik gas kendaraan lebih kencang karena kontur jalan yang lumayan tidak banyak tikungan tajam. Hanya di dekat tikungan sungai besar yang harus ekstra hati-hati karena memang daerah itu daerah yang sering longsor dengan tikungan yang tajam. Satu jam lewat sedikit akhirnya aku berhasil memasuki jembatan Noelmina, jembatan terpanjang di pulau Timor yang menyeberangi sungai Noelmina. Sungai ini yang menjadi pembatas antara SoE dan Kupang.
Persis setelah lewat jembatan Noelmina terdapat percabangan ke kanan ke arah Batu Putih. Aku mampir sebentar ke warung untuk membeli sebotol minuman dan sebungkus kue kering. Dari cabang sampai beberapa kilometer di depan ternyata sedang ada kegiatan pelebaran dan perbaikan jalan sehingga jalan menjadi sangat berdebu. Sialnya di depan ada truk yang dengan seenaknya melaju meninggalkan debu-debu berterbangan untuk kuhirup. Aku sedikit menjaga jarak dari truk tapi juga tidak bisa jauh karena dibelakang juga ada truk, siapa mau dapat debu dua kali.
Untunglah selepas jembatan truk berbelok kek kiri sehingga aku terlepas dari debu-debu yang membuat jaketku yang berwarna hitam jadi putih dipenuhi debu. Selepas debu sekarang aku harus menghadapi jalan berkelok-kelok naik turun. Perjalanan terasa lancar, beberapa kendaraan yang ada justru arah balik. Selepas Kualin yang merupakan percabangan berikutnya, motorku bisa melaju di jalan yang lurus dan panjang. Aku sempat berhenti di kawasan persawahan yang kering karena tertarik gumpalan-gumpalan awan yang bergerak cepat ke Timur.
Lewat dari satu jam belum ada tanda-tanda sampai, ketegangan melewati jembatan kayu yang membuat motor harus jalan di atas tiga balok kayu sempat membuat perasaan putus asa. Aku sempat berpikir jangan-jangan perjalanan masih jauh dan baru bisa sampai setelah sore lewat. Ngomong jembatan kayu, pengalaman lewat dengan mobil di jembatan ini membuat aku menahan napas. Jembatan kayu disini bukan gelagarnya yang melintang dibawah justru gelagarnya yang melintang di atas, jadi roda kendaraan harus lewat tepat di atas gelagar melintang di sisi kiri-kanan dengan ukuran sekitar 40 cm dan jangan sampai geser dari posisi itu karena dijamin mobil langsung akan terperosok. Sekalinya terperosok akan sulit naik karena kayu-kayu balok akan menghalangi. Dan untuk sampai ke Kolbano harus melewati dua jembatan kayu seperti ini.
Sekitar tujuh km menuju ke Kolbano, kendaraanku melewati jalan menyusuri pantai selatan. Sepanjang jalur jalan menuju pantai tampak tumpukan-tumpukan batu bulat yang dikumpulkan penduduk Kolbano. Sebagian penduduk Kolbano memang saat ini punya mata pencaharian sampingan mengumpulkan batu-batu laut yang berbagai warna ini untuk dijual ke pengumpul-pengumpul batu. Kegiatan ini cukup membantu membuat dapur penduduk Kolbano terus mengepul.
Sesampainya di kawasan wisata pantai Kolbano, kesan pertama yang aku tangkap adalah pantai yang indah dan punya ciri-ciri unik untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata yang bagus. Hamparan batu-batu bulat pipih yang berwarna warni namun sebagian besar putih menghampar memenuhi seluruh kawasan pantai yang memanjang menghadap langsung pantai selatan. Samudera Hindia yang membentang di depan sepertinya memuntahkan butiran-butiran baru pipih ini sehingga tidak pernah habis walau puluhan truk tiap minggu singgah disini untuk mengambil batu-batu yang dikumpulkan penduduk. Salah satu pengumpul batu-batu ini adalah kedua orang tua Jefrit. Jefrit adalah seorang anak yang membantu membawa peralatanku saat aku memotret. Tubuhmu yang kecil dengan rambut warna merah keriting ini tampak kontras saat mengangkut tripodku yang ukurannya cukup besar. Kata Jefrit, mata pencaharian orang tuanya adalah petani, saat ini ladangnya sedang ditanami jagung. Sebagai petani yang mengandalkan curah hujan untuk bercocok tanam, pekerjaan mengumpulkan batu menjadi berkah tersendiri. Mereka sendiri bangga bahwa batu-batu dari daerah mereka telah diekspor sampai ke Jepang. Hihihi batunya sudah sampai terlebih dahulu sebelum orangnya.
Jefrit kecil ini dengan setia membawa peralatanku berjalan-jalan seperti kebiasaanku kalau mengunjungi daerah baru. Dari dia aku juga tahu kalau pengunjung ramai biasanya hari Minggu namun mereka datang pagi hari dan sudah pulang saat siang hari. Sebagian besar pengunjung adalah wisatawan lokal, walaupun pantai indah dengan hamparan batu-batu pipih bulat ini telah banyak disampaikan namun rupanya jarak yang jauh dan akses lokasi yang tidak mudah menjadi halangan utama.
Sayangnya pengunjung lokal sering bersikap kurang baik. Kemauan mereka untuk menjaga tempat wisata sangat kurang. Lihat saja sampah plastik bekas minum dan makan yang berserakan di depan tempat parkir kendaraan, banyak sekali. Belum lagi aku juga banyak menemukan bekas sampah potongan kayu bakar dan buah kelapa, walaupun sampah-sampah ini bersifat organik namun sangat tidak bijak membiarkan tergeletak begitu saja tanpa membersihkannya. Waktu aku menunjuk beberapa grafiti dengan cat berwarna hitam dan hijau yang terpampang besar di batuan bukit yang menjorok ke daratan lagi-lagi Jefrit menunjuk para pengunjung lokal. Sangat menyedihkan, kreatifitas yang tidak pada tempatnya yang justru menunjukkan kerendahan etika mereka dalam berkunjung, bukannya bersikap santun justru mengumbar diri dan menunjukkan kehebatan yang tidak semestinya.
Aku juga sempat berkenalan dengan mas Ihsan dan rombongannya. Bedanya kalau aku sendiri melakukan perjalanan kesini, mereka datang berombongan menggunakan pickup. Katanya sehabis melakukan pekerjaan pemasangan spanduk iklan di kota SoE pulangnya mereka mampir kesini. Jadi satu mobil ini semuanya adalah karyawan mas Ihsan yang kantornya ternyata dekat dengan kantorku di Kupang. Karena rombongan ini semuanya karyawan, mas Ihsan menyebut acara hari ini sebagai "Employee Weekend". Lumayan juga hasil perkenalannya, aku jadi bisa numpang makan saat malam. Dengan membawa sebuah kompor kecil, mas Ihsan memasak ayam goreng. Lumayan lezat, malam-malam di pantai dalam kondisi lapar mendapatkan menu makanan hangat ayam goreng, tak ada piring maka selembar daun pisang sangat memadai untuk menggantikannya. Hanya yang lucu saat berikutnya mau memasak air panas untuk membuat kopi ternyata gasnya habis, rupanya gasnya memang tinggal sedikit sehingga dan tidak disiapkan cadangannya. Wal hasil, kopi panas nihil dari daftar. Mas Ihsan ini ternyata penyuka fotografi yang jauh lebih lama, perkenalanku dengannya juga dimulai saat dia hendak meminjam lensa wide untuk memotret ramai-ramai karena kebetulan dia salah membawa lensa. Kalau tidak salah lensa yang dia bawa Canon EF 50mm f/1.8 yang memang lebih tepat untuk memotret model, sepertinya itu juga tujuan dia makanya ada dua mahluk wanita dirombongannya.
Karena ingin menikmati malam sendiri aku menolak ikut rombongan sehingga aku mendahului rombongan setelah terlebih dahulu mengantar Jefrit pulang ke rumah.
Diantara perjalanan pulang aku menyempatkan diri berhenti di daerah yang memiliki jalan lurus dan kosong. Dengan keadaan yang gelap gulita aku duduk menikmati jutaaan titik-titik cahaya di langit yang berada simponi jagat raya luar biasa, jutaan bintang itu begitu cemerlang berada di kawasan galaksi Bima Sakti yang malam ini terasa sangat terang menunjukkan kegagahannya.
Perjalanan pulang sendiri melewati perbukitan yang gelap dan berkelak-kelok terasa menyenangkan, ternyata disepanjang jalan aku banyak bertemu orang-orang kampung yang berjalan-jalan seperti biasa. Mata yang biasa di kampung ternyata lebih tajam sehingga santai saja berjalan malam di tempat yang gelap seperti ini.
Salam kenal, mas :D
BalasHapusFoto2nya kereeeen... cerita perjalanan juga aduhaiii... dibikin buku, mas! Hehehehe.,..
Salam dari Ende
mas beck... keren sangat.. lagi-lagi yudith ke soe dan ga menyempatkan diri melihat indahnya tempat ini, "benar-benar naluri fotografer" jadi tau aja diplosok-plosok mana ada tempat yang indah ==>>> kata ka Tuteh tuh mas...
BalasHapus@Tuteh: salam kenal... belum cukup kuat untuk buku masih harus pendalaman pustaka juga... moga itu bisa tercapai
BalasHapus@Juditha: hahhaaha.. aku cuma melewati jejak yang orang lain sudah sampai duluan.. yang pertama nemuin itu ya mantap..
buat Tuteh lagi: blognya banyak amat ya, apa gak repot ngurusinnya ya hehehe
BalasHapusHallo mas, wah fotografinya benar-benar keren! Thumbs up deh!
BalasHapusMakasih mas Tukangpoto, terima kasih juga untuk tutorialnya, saya termasuk yang belajar dari tutorial foto mas
BalasHapusteknik photonya keren
BalasHapusMas, ikutkan cerita dan fotonya di FOI nya ADIRA..
BalasHapusInge: asal landscape masih sabar aku mempelajarinya hehehehe
BalasHapusTukangfoto: perlombaan atau apa? ada alamat website-nya mas?
Wiiiii... pantai yang pasirnya bukan pasir tapi batu bulet-bulet.
BalasHapusBatu yang mulai banyak hilang :D
Hapusihirrrr,,,,pengin nulis Kolbano tp belum pernah kesampean hehe....cemungutttt
BalasHapusKamu waktu disini belum terlalu hobi jalan ya der, sekarang jadi maniak jalan hahahaha
Hapus