Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Jumat, 14 Desember 2018

Lengkung Pasir Putih Tarimbang

pantai Tarimbang, Sumba Timur
Pasir putih memanjang, melengkung mengikuti lekuk teluk dan diapit dua bukit kapur tinggi di kiri dan kanan. Tempat ini mungkin salah satu yang boleh disebut sebagian traveller sesat sebagai "surga tersembunyi" yang mulai menunjukkan diri. Letaknya yang berada di sisi Selatan pulau Sumba membuat pantai cantik ini memiliki kelebihan yang membuat para pecinta pantai tak bisa berpaling. Dan salah satunya adalah ombaknya yang besar untuk para pecinta surfing.

Pantai yang Baru Terbuka Aksesnya
Setelah sekian lama hanya terjamah oleh para pecinta surfing yang mendatangi lokasi ini melalui jalur laut, akhirnya sekarang traveller yang ingin mendatangi lokasi ini lebih mudah menjangkau lokasi ini melalui darat. Sebuah jalan baru yang dibuat menembus hutan yang masih masuk kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah tiket murah menuju kesana dengan kendaraan, bahkan motor matik sekalipun.

Sebelumnya, duh lupakan deh kalau ke sana hanya pakai motor dan mobil biasa. Jalurnya bener-bener parah, minimal sekelas mobil dobel gardan atau motor trail yang bisa menjangkau daerah itu. Itu pun waktu tempuh dari Waingapu sampai ke pantai Tarimbang tak kurang dari 4 jam perjalanan. Namun sekarang, dengan menggunakan motor bebek saja bisa ditempuh sekitar 2 jam. Jalur jalannya sendiri tetap saja berkelok-kelok. Karena sebagian besar menyusuri punggungan bukit.

Perjalananku ke pantai ini yang kemudian membawaku mampir ke air terjun Laiwi yang aku tulis di sini: Sejuknya Air Terjun Laiwi. Jadi jika kalian mau ke pantai Tarimbang, jalur jalan dari kota Waingapu sampai ke pantai Tarimbang yang dapat kalian singgahi antara lain: bukit Wairinding dan air terjun Laiwi.

Praing Ngalung Spot, pantai Tarimbang
Apakah bisa mampir ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, kan dekat jaraknya ke Tarimbang? Aku pun sempat berfikir demikian. Jadi rencana awal, sebelum ke pantai Tarimbang aku mau mampir dulu ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti karena di sana juga ada air terjun 2 buah, Laindamuki dan Laiwangi. Kalau mau sedikit lebih jauh ada air terjun Laputi yang bagian atasnya terdapat sebuah danau yang dikenal keramat. Duh tapi lupakan taman nasional itu kalau hanya menggunakan kendaraan biasa. Walaupun secara jarak di peta itu tampak dekat namun kondisi jalan ke daerah itu masih bisa rusak. Aku sendiri belum pernah ke sana tapi informasinya sekitar 7 jam untuk sampai ke air terjun itu. Jadi bisa dibilang pantai Tarimbang ini yang sudah diperbaiki akses jalannya sementara lokasi lain masih belum.

Di titik yang dulu disebut jalur paling sulit karena kemiringan jalan yang tajam terdapat sebuah bangunan gubuk ilalang terbuka yang tertulis 'Praing Ngalung Spot". Pemandangan di depan bangunan itulah pantai Tarimbang yang berada di teluk. Kata seorang penduduk yang lewat, gubuk itu milik pak Marthen yang punya homestay di dekat sini.

Jalur setelah ini memang harus ekstra hati-hati, rem harus bener-bener pakem karena di jalur belokan pun kemiringannya tetap terasa. Untungnya jalannya sudah mulus beraspal. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana sulitnya medan ini saat masih berupa jalan batu.

Pantai Pasir Putih yang Memanjang
Sekitar jam setengah tiga aku baru sampai ke pantai Tarimbang. Walaupun di perbukitan banyak yang sudah gersang namun di pantai ini masih banyak tanaman yang hijau. Justru karena banyak pepohonan dan angin yang cukup kuat membuat suasana di pantai ini terasa sejuk.

View pantai Tarimbang
Untungnya pantai sedang tidak ramai, mungkin karena jaraknya jauh atau mungkin juga karena bukan hari libur. di sepanjang area, aku melihat hanya ada satu mobil Avansa yang berisi serombongan anak-anak muda. Sambil mencoba mencari tempat untuk beristirahat, mataku mencoba menjelajahi suasana di sekeliling tempat ini. 

Dari deretan pasir putih memanjang dan air laut yang berwarna biru kristal, pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah pohon berbatang putih satu-satunya yang 'nongol' di pasir pantai. Itulah pohon instagramable yang menjadi selalu masuk foto orang-orang yang berkunjung ke pantai Tarimbang. Dan sekarang, di atas pohon nangkring sesosok tubuh langsing dengan kulit putih bersih sedang berpose sementara temannya sibuk menjepretkan kamera ke arahnya. Angin laut kadang ikutan nakal menerbangkan kain yang melilit pinggangnya dan pemandangan selanjutnya bisa ditebak. Astaghfirullah... Alhamdulillah...

Setelah terlepas dari jerat pemandangan itu barulah aku kembali bisa menikmati keindahan pantai Tarimbang tanpa 'gangguan'. Aku dapat melihat gelombang besar di kejauhan yang memanjang. Sayangnya karena luas pantai dan waktu yang terlalu mepet, aku dan Imam tidak menjelajah dari ujung ke ujung. Padahal pemandangan tebing-tebing batu yang tampak tinggi menjulang di kejauhan sangat sayang dilewatkan.

Seorang bule yang berjalan dengan papan selancar datang menghampiriku. Ngobrol sebentar menanyakan apakah aku akan bermalam di sini. Mungkin karena dia melihat aku memasang hammock dan alat masak. Dia sendiri rupanya menginap di sini namun tidak tinggal di homestay atau rumah penduduk melainkan di atas kapal. Dia menunjuk ke sisi timur di mana tampak sebuah perahu di kejauhan. Duh enaknya yang punya perahu buat melancong.



Ternyata perkiraanku salah, karena pantai ini terletak di antara dua bukit tinggi jadi matahari tenggelam di balik bukit sebelah kanan. Mungkin lain kali aku harus naik ke salah satu bukit dan menginap di sini untuk mendapatkan pemandangan matahari terbit dan terbenam di pantai Tarimbang.

Catatan untuk yang ingin ke pantai Tarimbang:
  1. Bawa bekal makanan dan minuman yang cukup karena di lokasi belum ada penjual makanan/minuman. Namun jika membawa bekal makanan yang harus dimasak terlebih dahulu menggunakan kayu pilih-pilih lokasi yang aman karena angin yang lumayan kencang. Jangan tebang pohon, banyak kok kayu kering di sekitar yang bisa dipakai. Tapi setelah acara bakar-bakar jangan lupa untuk dibersihkan.
  2. Sebaiknya membawa plastik supaya bisa membawa kembali sampah yang kalian bawa karena disini belum ada bak/tempat pembuangan sampah. Lagian membawa sampah kembali jauh lebih bagus untuk membuat tempat ini tetap bersih. Apalagi sampah plastik, kalau tidak bisa menghindari ya bagusnya dibawa kembali.
  3. Jika mau menginap ada homestay milik pak Marthen tapi aku sendiri tidak tahu rate-nya. Silahkan googling aja. Alternatif lain ya nenda di pantai Tarimbang. Aman? Aman saja kok, setahuku masyarakat Sumba Timur sangat welcome. Bagaimana dengan air? Jarak dari pantai ke pemukiman terdekat tidak terlalu jauh kok jadi bisa mengisi air di pemukiman sekalian minta ijin.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 09 Desember 2018

Sejuknya Air Terjun Laiwi

Air terjun Laiwi Sumba Timur
 Air terjun La'iwi, nama yang membuat seorang mama tua geleng-geleng sambil mengatakan, "kasihan anak'e" sebelum dia kemudian memberitahukan jalurnya. Aku tak mengerti apa maksud dari kata 'kasihan' yang dia lontarkan begitu saja sampai nanti setelah aku sampai di lokasi.

Desa Matawai Amahu, Kecamatan Katala Hamu Lingu adalah lokasi air terjun ini, namun tentu saja tidak lantas begitu mudah ditemukan. Bukan karena medan jalannya yang sulit, namun lebih karena lokasi ini belum dikelola menjadi tempat wisata. Setidaknya sampai aku datang. Batu-batu dan pasir masih tertumpuk di dalam kawasan, hanya lokasi masuknya baru dibangun sebuah gerbang masuk dari kayu. Itu satu-satunya penanda kalau aku dan Imam memang sudah sampai lokasi. Tapi masuk lewat mana? Harus bertanya lagi.

Perjalanan Tak Disengaja
Air terjun Laiwi tidak pernah masuk dalam list-ku. Hari Kamis selepas sarapan aku dan Imam sudah start naik motor dari Waingapu dengan tujuan pantai Tarimbang. Karena jarak dari Waingapu ke pantai Tarimbang katanya hampir 4 jam, jadi sebaiknya berangkat pagi.

Awalnya dari Waingapu ke pantai Tarimbang mau mampir ke bukit Wairinding, namun karena terlewat terlalu jauh akhirnya batal ke Wairinding dan lanjut terus ke Tarimbang. Kalau kata Imam ini semua salah sinyal yang seenaknya muncul hilang. Perbukitan Sumba memang momok bagi sinyal, begitu jalan yang terjepit diantara dua bukit langsung saja sinyal hilang. Padahal terjepit diantara dua bukit itu enak.. bangett..

Di pertigaan simpang Paipraha setelah masuk di Lewa belok ke kiri, aku sempatin mampir ke sebuah warung kecil. Sebenarnya hanya warung kelontong saja, tapi ibunya tidak keberatan membuatkan segelas kopi sachet. Kebetulah ada beberapa rombongan motor yang baru saja kembali dari pantai Tarimbang sekalian bisa dapet info lokasi tepatnya.

Setengah jam kemudian kita lanjutkan perjalanan menuju Tarimbang. Di pertengahan jalan, di sebuah percabangan jalan ada tulisan "Air Terjun Laiwi" membuat aku menghentikan motorku. Eh, motor pinjaman maksudku.

Rencananya aku akan memotret Tarimbang saat senja, jadi setelah berhitung waktu aku sepakat dengan Imam untuk mencoba mendatangi air terjun Laiwi. Jalan aspal yang ada hanya sedikit, sisanya adalah jalan tanah putih yang melewati persawahan tadah hujan. Sampai beberapa saat berkendara ternyata belum ketemu juga, udah begitu tidak ada warga yang lewat yang bisa kita tanyai lagi. Jalan masuk yang semula tanah putih sebagian mulai ditumbuhi rumput membuat kita makin ragu.

Akhirnya aku balik lagi cari rumah. Mampir di sebuah rumah kayu dengan atap alang-alang khas rumah Sumba, seorang Bapak tua yang duduk di pinggir pintu masuk dengan asyik menggerus sesuatu, entah apa. Saat aku bertanya arah jalan, tiba-tiba bapak itu menjawab dalam bahasa daerah yang aku tidak mengerti. Duh, gantian aku yang bingung.. Bapak tua itu berteriak seperti memanggil seseorang di dalam rumah. Tak berapa lama seorang mama tua yang mungkin istrinya keluar menemuiku. Mama tua ini untungnya bisa berbahasa Indonesia. Dan seperti cerita awalku, dia lah yang mengatakan, "Kasian anak'e"

Ternyata masih sekitar satu kilometer lagi, mama tua kasih tanda kalau bertemu satu jembatan besar warna kuning hitam dan itu sudah sampai. Benar saja, tak berapa lama berkendara sampailah kita di sebuah jembatan kuning hitam dan sebuah bangunan gapura bertuliskan Selamat Datang di Air Terjun Laiwi.

Bingung mau parkir dimana, seorang bapak tua yang lewat menyarankan aku untuk belok masuk ke kiri terus sampai mentok lewat sebuah jalan. Aku memasukkan motor sampai disebuah tanah agak lapak dan dipenuhi tumpukan batu dan pasir, kukira ini nantinya akan menjadi tempat parkir.

Medan Air Terjun yang Masih Sulit
Sebelum menulis ini aku sempatkan browsing internet untuk mengetahui seperti apa Laiwi. Ternyata ada yang menuliskan kalau Laiwi memiliki 4 tingkat, tetapi aku sendiri menghitung saat sambil jalan cuma ada 3 tingkat entah tingkat yang mana yang ngumpet.

Tingkat pertama berada di samping lokasi parkir (nantinya) dengan ketinggian mungkin semeteran. Bagi yang ingin sekedar mengajak anaknya ke air terjun tempat ini sudah cukuplah. Tapi tentu saja jika tidak direpotkan oleh anak kecil, sangat sayang jika hanya menjangkau air terjun tingkat pertama ini saja.

Tingkat kedua agak lebih tinggi jatuhnya, aku tidak tahu persis hanya sekilas tampak saat menyusuri jalan. Dari hasil browsing ketinggiannya sekitar 4-meteran, yah lumayan lah. Jalan ke tingkat kedua katanya agak susah tapi tentu tidak sesulit tingkat paling akhir.

Tingkat ke-3 ini adalah tingkat terakhir dan yang paling tinggi dengan medan jalannya yang paling susah. Jalan tanah berdebu saat kering dan berlumpur saat hujan menurun tajam tanpa ada takik-takik. Saat kaki melangkah turun hanya mengandalkan akar-akar melintang yang menjadi penopang, yang untungnya cukup kuat menopang. Tanpa akar-akar itu kita akan gampang merosot jatuh ke bawah. Selain akar pohon yang melintang, kita juga dapat membantu untuk turun adalah kayu rotan yang mirip batang bambu merunduk yang panjang.

Setelah mengalami susahnya naik turun menuju air terjun ini. aku akhirnya sangat paham apa maksud kata kasihan anak'e, rupanya memang kondisi air terjunnya masih sulit untuk didatangi. Duh mama'e coba kasih lebih jelas dari awal ka...

Mungkin kalau ke depan kawasan air terjun ini dibenahi sebagai obyek wisata yang pertama harus dibangun adalah tangga. Kalaupun dibiarkan alami mungkin bisa dibuat takik-takik untuk pijakan kaki dan tali atau kayu-kayu sebagai pegangan.

Lima belas menit kemudian barulah penampakan air terjun Laiwi muncul dari balik pepohonan. Air terjun tingkat ketiga ini informasinya memiliki ketinggian sekitar 60-meteran. Air terjun ini dikelilingi tebing batu tegak lurus sehingga matahari hanya akan menyinari langsung di bagian bawah beberapa jam saja antara jam 10 sampai jam 2 siang, selebihnya selalu dibalik bayang pepohonan dan tebing batu. 

Itulah mengapa suasananya cenderung sejuk terus walaupun berada di bawah. Bandingkan dengan di lokasi parkir yang justru terasa panas. Bebatuan di sekeliling tebing dipenuhi tanaman merambat dan lumut.

Air terjun saat itu debetnya tidak terlalu besar karena aku dan Imam datang di bulan Agustus. Walau begitu, suasana rindang kawasan air terjun ini tetap enak dinikmati karena terasa sejuk seharian.


Oh iya, satu informasi lagi yang aku baru tahu dan sekalian aku bagikan untuk kalian. Ternyata nama Laiwi itu juga berarti rotan, dan memang di kawasan ini banyak dijumpai tanaman rotan. Tanaman ini bentuknya seperti batang bambu yang merunduk/menjalar.

Beberapa tips bagi yang ingin singgah ke tempat ini: 
  1. Bawa perbekalan secukupnya termasuk air minum, karena sampai saat ini tidak ada penjual makanan/minuman di sekitar lokasi air terjun. Perjalanan naik dan turun menuju ke tingkat kedua apalagi ketiga sangat menguras tenaga. Jangan sampai anda kelelahan atau pingsan hanya karena kurang/tidak membawa bekal.
  2. Gunakan alas kaki yang tidak licin. Hindari menggunakan alas kaki seperti sandal jepit biasa, sepatu high heel atau sepatu kerja. Sebaliknya menggunakan alas kaki yang solnya berbahan karet. 
  3. angan memaksakan diri, jika merasa tidak sanggup jangan dipaksakan turun hanya karena malu dengan teman lain. Ingat, keselamatan anda tanggung jawab anda sendiri. Lagian walaupun ada puskesmas di dekat lokasi ini tetep saja bikin repot orang lain kalau anda celaka.
  4. Jangan membuang sampah sembarangan. Saya malah menyarankan anda membawa kembali sampah anda walaupun nantinya disini dibuat tempat pembuangan sampah.
 Bagian dari perjalanan seminggu keliling Sumba bareng Imam 'Boncel'
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 01 Desember 2018

Terbius Tosca Air Terjun Tanggedu

Dinding batu air terjun Tanggedu
Tebing-tebing batu berlekuk di bagian akhir air terjun
Dua buah aliran sungai yang mengalir di bawah dinding-dinding perbukitan karst menjatuhkan airnya ke dalam kubangan bertingkat membentuk beberapa anak air terjun. Warna biru tosca air yang mengalir tampak semakin cemerlang membiaskan pantulan cahaya matahari yang mulai tenggelam di balik bukit. Ini adalah air terjun terindah yang pernah kulihat selama ini. Tanggedu... perjalanan yang sulit telah terbayar lunas!

Rencana Liburan Seminggu di Sumba
Papan penanda pintu masuk air terjun Tanggedu
Suara manis pramugari terdengar mengumumkan bahwa 15 menit lagi pesawat akan mendarat. Mengintip dari jendela, pemandangan yang kudapati hanya langit nyaris tanpa awan, tanah Sumba belum tampak. Tak lama kemudian seiring pesawat yang semakin terbang merendah, pemandangan tanah Sumba mulai menampakkan diri. Kering, datar dan tampak rata dengan warna kecoklatan. Sumba Timur memang terkenal dengan padang sabana-nya, yang pada bulan panas seperti ini seluruh rumputnya sudah pasti akan coklat mengering. 

Pesawat Wings Air menjejakkan roda-rodanya di landasan pacu bandara Umbu Mehang Kunda. Pesawat mendarat agak keras dan sedikit terasa oleng, pasti angin saat ini sedang kencang. Aku memutar badan untuk melemaskan otot-otot yang serasa kaku semua. Aku dan Imam tak terburu-buru karena toh masih harus mengambil tas yang aku masukkan bagasi. Tidak ada barang penting, tapi pisau lipat dan beberapa barang yang tidak mungkin lolos jika lewat kabin.

Padang sabana arah air terjun Tanggedu
Padang sabana di punggungan bukit
Begitu turun pesawat, hawa panas langsung menyergap kami. Ruang tunggu bagasi yang kecil jadi berasa panas, apalagi tidak ada AC yang terpasang. Untung tak lama kemudian tasku tampak pertama. Imam tampak menerima telepon, sepertinya dari hotel yang akan menjemput kami. Agak surprise juga begitu tahu yang menjemput kami ternyata seorang perempuan. Rupanya dia adalah anak pemilik hotel yang sekalian menjadi manager hotel. Orangnya masih muda dan cukup ramah, cuma aku gak tahu masih jomblo atau udah nikah. 

Untungnya pemilik hotel juga menyewakan sepeda motor. Cuma harga sewanya agak mahal Rp150.000/hari dengan dua helm yang udah bulukan hahaha. Ya sewa ini tentu jauh lebih mahal dibanding penyewaan motor di Bali atau di Malang misalnya. Yah, masih lumayan lah. Mungkin nanti dengan semakin berkembangnya wisata di sini, persewaan kendaraan akan semakin murah.

Seminggu ini, aku dan Imam berencana akan melakukan perjalanan dari ujung Timur ke ujung Barat pulau Sumba. Semua berawal dari ajakanku ke Imam untuk jalan seminggu penuh ke Sumba. Selama ini aku mengunjungi beberapa lokasi wisata di Sumba mencari waktu di sela-sela penugasan, yang tentu saja lebih terbatas. Namun seminggu juga bukan waktu yang panjang, aku masing berhitung waktu tempat mana yang aku harus masukkan lokasi wajib didatangi.

Menuju Air Terjun Tanggedu
Air terjun kecil di bagian aliran sungai sebelah kiri
Setelah mampir sebentar untuk makan pagi, hal pertama yang aku cari adalah sekaleng gas. Naik pesawat tidak memungkinkan aku membawa gas kalengan. Namun ternyata mencari gas kaleng bukan perkara mudah. Beberapa toko yang aku tahu dulu menjual gas kaleng ternyata juga berakhir dengan tangan hampa. Untungnya setelah beberapa toko akhirnya aku mencapatkan gas kaleng, dan ternyata ada di toko yang menjual peralatan motor. Nah lho..

Kelar urusan gas kaleng, aku dan Imam langsung ngacir dengan motor dengan jadwal ke air terjun Tanggedu. Informasi dari Ayu yang pernah kesini, jalur menuju Tanggedu yang jarak jalannya paling dekat melewati rute ke Puru Kambera. Aku sendiri sudah beberapa kali ke Pantai Puru Kambera karena tempatnya deket dari kota. Nyaris setiap kali ke Waingapu aku biasa mampir ke Pantai Puru Kambera. Ya udah, gak usah tanya ke masyarakat aku melarikan motor ke arah Puru Kambera.

Bukit savana di atas Puru Kambera
Perjalanan sampai Puru Kambera masih terbilang aman saja, jalur jalan sebagian besar masih bagus. Btw, kalau aku bilang bagus itu bagusnya ala orang NTT ya tidak sama dengan kalau di Jawa bilang jalannya bagus hehehe. Hanya saja ada satu titik yang paling susah untuk kendaraan yaitu selepas pantai Londa Lima, yaitu adanya pembangunan jembatan. Menuruni sungai yang jalannya tanah berdebu lumayan susah. Aku harus turun jalan kaki karena bantu menahan motor saat turun dan mendorong motor saat naik ke atas.

Dari Pantai Puru Kambera aku terus menyusuri jalan sampai bertemu sebuah pertigaan Pasar Mondu di daerah Kanatang. Seharusnya aku sudah berbelok ke kiri di pertigaan sebelumnya, tapi lebih mudah dikenali jika lewat pertigaan Pasar Mondu. Mungkin mencari pertigaan ini yang harus bertanya ke penduduk yang ada di sekitar. Tapi itu susah, nyaris siang itu tidak kami dapati orang yang ada di pinggir jalan.

Menggiring kuda pulang
Setelah berbelok ke kiri dari pasar Mondu, barulah perjalanan berubah menjadi lebih lambat. Jalur yang kami lewati adalah jalan lapen yang aspalnya ala kadarnya sehingga di beberapa ruas sudah banyak yang rusak. Tapi untungnya sepanjang jalan menyusuri padang sabana yang bikin suasana panas siang itu tidak terlalu kami rasakan. Kalau kalian menemukan jalan beraspal bagus jangan senang dulu karena itu hanya dibangun pas belokan saja selebihnya kembali jalan tanah putih. Aku sendiri sudah beberapa kali terkena zonk seperti ini, berharap dapat jalan aspal ternyata cuma angin surga sesaat.

Di pinggir jalan kami melihat dua buah mobil terparkir masuk ke sebuah tanah lapang dan tampak beberapa orang yang sedang duduk-duduk santai. Aku dan Imam mendekati rombongan itu berharap bisa mendapatkan informasi lokasi. Ternyata mereka juga rombongan wisatawan yang menggunakan mobil tetapi tertahan sampai di lokasi ini. Apa pasal? ternyata beberapa kilometer ke depan menuju Tanggedu ada perbaikan jalur jalan. Saat itu sepanjang jalan sedang dihampar batu karang, hanya menyisakan sepotong jalan tanah di sisi kiri yang dekat dengan jurang. Beberapa orang yang tetap mau ke Tanggedu melanjutkan jalan dengan berpindah ke jasa ojek. Sayang jumlahnya terbatas sehingga tidak semua bisa terangkut.

Karena aku pikir sudah tanggung ya sudah kami nekat mencoba jalan. Namun karena masih berupa batuan karang yang besar-besar tentu rawan bikin ban robek. Jadi aku memutuskan Imam yang naik motor pelan-pelan menyisir jalan pinggir, sedang aku berjalan kaki. Untungnya karena di atas bukit, dengan berjalan kaki aku bisa memotong jarak dengan menuruni perbukitan walaupun harus tetap hati-hati.

Kesulitan Perjalanan yang Setimpal
Perjalanan berakhir ke desa Tanggedu, berakhir menggunakan motor maksudnya. Jalan benar-benar berakhir di sebuah halaman rumah salah satu penduduk. Beberapa motor terparkir di bawah pohon, sementara pemiliknya sedang bersantai menikmati makanan di lapak penjual minuman di sekitar lokasi. Ternyata mereka sudah kembali dari air terjun Tanggedu.

Setelah memarkirkan motor, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki turun ke bawah sampai di pinggir jurang. Menuruni jurang sampai ke bawah untuk melewati sungai menuju ke bukit sebelanya. Jika kondisinya begini, alamat air terjun Tanggedu tidak dapat dilewati saat musim penghujan.

Setelah naik kembali ke bukit sebelahnya dan menyusuri punggungan bukit, perjalanan berubah melewati padang sabana sampai bertemu dengan beberapa rumah. Di salah satu rumah kami masuk untuk membayar tiket masuk dan uang untuk jasa mengantar. Toni, anak pemilik rumah yang masih bersekolah di SMP mengantarkan kami sampai ke gerbang masuk air terjun Tanggedu. Kami melewati beberapa area berpagar, rupanya untuk ke air terjun harus melewati tanah-tanah milik warga. Mungkin itu salah satu alasan pembangunan ke arah air terjun belum berkembang saat ini.
 

Perjalanan turun ke bawah cukup curam, untungnya oleh masyarakat dipasang kayu atau tali tambang untuk bantuan berpegangan. Musim kemarau seperti ini lumayan membantu, tanah putih menjadi tidak licin walaupun jadi sedikit berdebu. Sepertinya di musim hujan, perjalanan turun ke bawah akan sangat sulit karena tanahnya bisa jadi akan menjadi licin.

Semua kesulitan perjalanan memang setimpal dengan pemandangan air terjun yang kami temui. Padahal terus terang, pada musim kemarau seperti ini aku sudah menurunkan harapan serendah-rendahnya. Namun yang kami dapati, air terjun ini airnya tetap berlimpah.

Bagian bawah selayaknya bebatuan karst dimana air mengalir seperti mencari celah untuk dapat mengalir. Di bagian akhir dari air terjun ini yang menjadi favorit Imam. Air sungai yang diapit lekukan khas dinding karst tegak lurus berlekuk-lekuk bagaikan diukir seniman alam. Warna air biru tosca seakan menegaskan keindahannya.

Air terjun Tanggedu berasal dari dua aliran sungai. Di sebelah kiri aliran sungai jatuh langsung ke sebuah kubangan besar dan menyatu dengan aliran satunya. Berbeda dengan aliran sungai yang lurus, dari ujung pemandangan sampai ke titik penyatuan ada beberapa jatuhan air di beberapa titik. Hal itu mengapa di beberapa aliran yang sempit air tampak sangat kencang.

Aku dan Imam naik kembali menjelang sore sekitar jam 5-an. Namun, aku dan Imam sudah berniat suatu saat nanti akan kembali kesini untuk bermalam di air terjun Tanggedu.

Perjalanan Pulang yang Sama Susahnya
Ternyata perjalanan pulang juga tidak lebih mudah terutama mengenali medan jalan. Karena mulai gelap terus terang aku dan Imam kesulitan mengenali tempat kami datang. Sempat agak kesasar, untungnya ada seorang ibu yang kami temui waktu di air terjun sedang lewat sehingga membantu mengantarkan sampai ke jalan turun bukit untuk melewati sungai.




Dan kesusahan kedua adalah di titik yang ada pembangunan jalan. Jika sebelumnya aku berjalan menuruni bukit, sekarang aku harus berjalan naik ke atas bukit. Bah, keringatan bikin sehat memang perjalanan ke air terjun Tanggedu ini. Itu belum lagi ditambah bensin yang sudah berada di garis demarkasi untuk menyerah. Bayangkan saja, berjalan naik motor sambil berharap motor tidak mogok di tempat sepi karena bensin habis. Duh untungnya hal itu tidak terjadi. Orang baik masih dilindungi Tuhan wkwkwkwk.

Teman jalan seminggu keliling Sumba:  Imam "Boncel"
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 25 November 2018

Curug Sawer Sukabumi


Sambil mengusap peluh yang bercucuran, aku mencari bebatuan untuk duduk. Lumayan juga perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai ke air terjun ini sekitar satu jam dengan kondisi jalan yang kadang membingungkan karena minim petunjuk. Pemandangan air terjun yang suaranya bergemuruh yang debet airnya masih kencang hanya berjarak beberapa puluh meter dari tempatku duduk. Tiupan dari uap air yang kadang-kadang menerpa wajahku membuat adem tubuhku. Suasana masih lumayan sejuk walau matahari sudah bersinar terik. Kuletakkan kameraku agak jauh di balik bebatuan agak tidak ikut basah oleh tempias airnya.

Debet air dari air terjun yang tingginya sekitar 50 meter ini masih besar walaupun bukan musim penghujan. Hal itu tidak mengherankan, letaknya yang berada di kawasan Gunung Gede Pangrango yang berada di ketinggian sekitar 1300 mdpl adalah kawasan yang masih terlindungi.

Btw, saat aku mencoba browsing di Internet mencari informasi tentang Curug Sawer ternyata banyak sekali air terjun di sekitar Jawa Barat yang menggunakan nama Curug Sawer. Ada Curug Sawer di Majalengka, ada Curug Sawer di Pandeglang, Curug Sawer di Gunung Halu. Juga ada satu lagi nama Curug Sawer di Tasikmalaya. Duh kok pasaran banget ya kasih nama Curug Sawer.

Melihat Curug Sawer sebenarnya bonus saja bagiku karena dari awal aku tidak punya informasi sedikitpun tentang curug satu ini. Dari awal perjalanan aku hanya berniat mengunjungi Danau Situ Gunung saja yang sudah aku tulis di sini: Kabut Pagi Danau Situ Gunung. Tapi rupanya hari pertama kedatanganku di danau ini pemandangannya tidak seperti yang kuharapkan, cuacanya sangat cerah tanpa kabut pagi sedikitpun.

Sebuah jembatan kayu di depan Curug Sawer
Jam setengah delapan setelah berjalan-jalan di seputaran danau Situ Gunung, akhirnya aku memutuskan untuk menjelajahi sekitar taman nasional ini. Kebetulan sebuah papan petunjuk menunjukkan posisi Curug Sawer, ya udah aku coba ikutin saja. Di jalan kebetulan ada seorang pekerja yang sedang memeriksa jaringan pipa air yang sepertinya ada perbaikan.
"Iya ikut jalan terus saja nanti ada pertigaan di depan itu belok ke kanan yang jalannya naik ke atas," katanya kepadaku saat aku bertanya arah jalan Curug Sawer.

Ya udah, aku berjalan mengikuti petunjuk orang itu. Semakin jauh ke dalam semakin rapat pepohonan. Sempat bertemu sebuah pertigaan namun yang jalan belok ke kanan ada sebuah gerobak diletakkan menutupi jalan, juga ada sebuah kayu yang dipasang menghalangi. Ah, pasti bukan pertigaan ini, aku menduganya. Aku melanjutkan perjalanan tapi beberapa lama tidak melihat pertigaan lagi kecuali jalan setapak aku jadi ragu. Mendekati sebuah jembatan kecil aku bertemu dengan seseorang pria tua yang berjalan dengan memanggul umbi hutan. Ternyata benar, bapak tua tadi mengatakan kalau aku terlewat jauh, seharusnya ke pertigaan yang tadi. Justru sekarang aku mengarah ke curug Cimanaracun. Tanggung, aku sekalian berjalan lurus ke arah curug Cimanaracun yang ditunjuk bapak tua tadi.

Curug Cimanaracun yang debet airnya kecil
Curug Cimanaracun ini ternyata sebuah air terjun yang debet airnya kecil saja. Padahal dengan melihat bentuk bebatuannya, andai saja debet sedikit lebih besar tampaknya menarik juga. Entah nanti kalau di musim hujan, mungkin saja debet lebih kencang. Ya sudah, walau debetnya kecil setidaknya suasananya yang sepi dan rindang enak buat sedikit bersantai sambil mengeringkan kaos yang sudah basah kuyup dengan keringat.

Aku kembali ke arah pertigaan tadi dan mulai berjalan menanjak pelan menuju ke atas. Beberapa ratus meter kemudian aku baru tahu kenapa ada terpasang penghalang di pertigaan. Sebuah pohon besar tumbang menutup jalan setapak, tampaknya pohon ini sudah cukup lama tumbang entah karena apa. Tapi rupanya pohon tumbang bukan satu saja, ada beberapa pohon tumbang yang aku temui sepanjang jalan. Setelah berjalan menyusuri jalan setapak akhirnya aku bertemu dengan jalan yang sedang diperbaiki.

Suspension Bridge yang menjadi jalur singkat ke Curug Sawer
Akhirnya aku tahu, jalan pintas dari Situ Gunung ke Curug Sawer rupanya jalur yang sudah jarang dilewati pengunjung, lebih banyak jalur ini digunakan oleh masyarakat sekitar saja. Jalur baru yang mulai dibangun rupanya langsung dari gerbang masuk menuju ke jembatan gantung. Di papan gerbang jembatan tertulis: Suspension Bridge. Melewati jembatan gantung adalah jalur tercepat ke Curug Sawer. Sayangnya saat itu jembatan gantung terpanjang di Indonesia itu belum dibuka, mungkin sekarang udah dibuka untuk umum ya.

Jembatan kayu di depan Curug Sawer
Karena jalur jembatan belum bisa dilewati aku mengikuti jalur jalan menuruni bukit yang sedang dalam pengerjaan. selain jalur trekking, di salah satu sisi sedang dibangun jalan rata yang sepertinya untuk jalur beroda. DUh tapi dengan kemiringannya bener-bener jalur ekstrim untuk bersepeda di tempat ini.

Disalah satu belokan dekat jembatan ada warung kecil. Ya udah, buat sekalian turunin napas yang agak ngos-ngosan aku mampir ke salah satu warung kecil yang buka di pinggir jalan. Semangkuk mie panas terasa nikmat saat udara dingin seperti ini.

Jembatan anyaman bambu
Setelah melewati beberapa sungai yang dipasangi jembatan dari anyaman bambu, barulah aku bisa mendengar bunyi gemuruh air terjun. Semakin dekat, hal pertama yang aku lihat adalah sebuah lapangan dengan kolam-kolam yang mengelilingi bangunan yang menjual makanan dan minuman. Selain itu juga ada sebuah bangunan yang mirip gelagar jembatan dari tiang-tiang besi yang sedang dilas oleh pekerja. Jelas itu bukan jembatan, mungkinkah itu adalah calon bangunan restoran/cafe dengan pemandangan langsung ke air terjun?

Masih jam 9 pagi, tapi air terjun Sawer telah dipenuhi pengunjung. Bukan pengunjung dari wisatawan melainkan anak-anak pramuka yang sedang melakukan kegiatan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Padahal kata penjual makanan di perlintasan jalan dari danau Situ Gunung ke air terjun Sawer bilang tidak banyak pengunjung yang lewat kesini. Kemungkinan mereka menggunakan jalur lain untuk sampai kesini. Memotret dalam kondisi seperti ini lumayan susah juga karena banyaknya orang yang berlalu lalang.


 

Balik dari Curug Sawer terus terang aku malas lewat jalan yang tadi, jadi aku memilih keluar lewat jembatan pipa air dan masuk ke perkampungan. Jalan ini yang memberitahu penjual mie rebus, katanya warga kampung sekitar biasa lewat jembatan itu jika mau ke Curug Sawer. Cocok, jalan buat wisatawan yang mau gratisan hahaha...
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 17 November 2018

Kabut Pagi Danau Situ Gunung


Menunggu matahari terbit bagaikan menunggu anggukan seorang gadis yang sedang dipinang. Yakin kalau si gadis tidak akan menolak tapi tetap saja rasanya deg-degan. Ah tidak persis seperti itu sebenarnya, hanya saja ada perasaan kuatir bahwa hari ini pemandangannya tidak seperti yang aku harapkan. Ini hari kedua aku kembali pagi-pagi ke danau Situ Gunung, setelah hari sebelumnya aku gagal mendapatkan gambar danau Situ Gunung yang menawan. Namun saat cahaya pagi muncul dari balik pepohonan dan bersambut dengan kabut pagi yang naik dari air danau, Uereka!! Aku mendapatkan pemandangan yang sungguh tak pernah terlupakan. Tidak sia-sia aku kembali lagi ke danau ini esok harinya.

Danau Situ Gunung yang terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memang sudah terkenal di kalangan fotografer lansdskap. Suasana pagi berkabut dan sinar mataharinya selalu menghasilkan gambar-gambar yang dramatis. Walaupun memiliki pesona alam yang ciamik, namun sebenarnya Danau Situ Gunung ini bukanlah danau alam namun danau buatan.

Menurut cerita. Danau Situ Gunung ini dibuat oleh seorang buronan saat Belanda berkuasa yang dikenal dengan nama Mbah Jalun atau Rangga Jagad Syahadana. Mbah Jalun ini konon adalah seorang bangsawan Mataram yang menentang Belanda. Beliau melarikan diri bersama istrinya dari Mataram menembus jalur Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang akhirnya membawa mereka sampai di sebuah lembah.

Lembah yang dialiri air yang sangat jernih ini dijadikan tempat tinggal sekaligus persembunyian Mbah Jalun dan istrinya sampai mereka mempunyai seorang anak. Mbah Jalun kemudian membuat sebuah danau kecil sebagai wujud syukur atas kelahiran anaknya. Danau ini diberi nama Situ Gunung yang mempunyai arti danau yang ada di sebuah pegunungan.

Menuju Sukabumi
Danau Situ Gunung, nama itulah yang terpatri di kepalaku saat aku memperpanjang waktu penugasanku dengan menambah cuti dua hari. Keindahan danau Situ Gunung yang bertebaran di hasil pencarian Google membuatku semakin bersemangat, walau kali ini aku harus melakukan perjalanan sendiri.

Dari Ciawi, aku naik kendaraan Elf yang biasa nongkrong di pertigaan Ciawi ke arah Sukabumi yang melalui jalur Caringin-Cigombong-Cibadak dan turun di Cisaat. Keuntungan naik Elf ini salah satunya lebih cepat, karena rata-rata supirnya agak berani mengambil jalan begitu ada kesempatan. Yah sedikit terkesan ugal-ugalan. Masalahnya karena jalur Bogor-Sukabumi ini bisa menjadi macet parah menjelang sore. Asal kalian kuat mental dan sudah siap apapun yang terjadi. Jalur Bogor-Sukabumi yang jalannya tidak terlalu lebar dan banyak titik berbahaya bisa dilahap sampai mepet jurang dengan santainya.

Sesampai di pertigaan Cisaat, aku turun untuk mencari makan. Karena sudah terlalu sore akhirnya aku memutuskan untuk mencari penginapan. Aku naik ojek ke arah jalur Kadudampit untuk mencari penginapan di sana. Banyak hotel/penginapan di sekitar tempat itu antara 100-150ribu. Jangan mencari hotel atau penginapan di sekitaran kawasan wisata Situ Gunung karena harganya cenderung lebih mahal. Hasil tanya-tanya ojek akhirnya aku diantarkan untuk menginap di Wisma Panineungan.

Hari Pertama Situ Gunung
Jam setengah lima pagi, langit masih gelap gulita. Bayangan pohon Damar (Agathis Alba) yang tinggi menjulang di sepanjang jalan bagai raksasa hitam penjaga danau. Lutung-lutung yang biasa berloncatan di pohon Damar pun belum memulai aktivitasnya. Jalan yang meliuk turun makin terasa gelap oleh rerimbunan pohon. Sangat sepi, bahkan langkah kaki pun terdengar jelas saat menjejak tanah kering yang berdebu. Hanya ada satu motor yang lewat di depanku yang membuat aku menepi sebentar. Tanah yang kering dan tidak tersiram air hujan beberapa lama membuat roda motor dengan mudah menerbangkan debu ke udara.

Sesampainya di tepi danau mataku disambut serombongan muda mudi yang sedang memasang tenda dan tikar di dekat danau. Sambil bermain gitar dan bernyanyi, suara mereka menjadi pengisi alam yang masih tidur. Katanya mereka rombongan yang langsung datang pakai motor jam 2 malam dari Bekasi. Setelah berbasa-basi sebentar dengan mereka, aku pamit menuju ke arah bangunan yang persis berdiri di depan danau. Aku tak ingin mengganggu pasangan muda-mudi itu, toh aku juga tak punya kepentingan dengan mereka.

Sambil merapatkan jaket untuk menepis dingin, aku mencoba berjalan-jalan di seputar danau untuk menghangatkan badan. Danau masih tampak hitam, ah aku rupanya salah waktu. Seharusnya aku tak sepagi ini di danau yang berada di ketinggian. Matahari tidak mungkin terbit pagi karena pasti terhalang perbukitan di sekitarnya.

Hari pertama ternyata tidak sesuai dengan dugaanku, cuaca yang sangat cerah membuat danau tidak diselimuti kabut sedikitpun. Pandangan yang jelas seperti ini memang enak buat dinikmati namun tidak menciptakan momen pencahayaan yang dramatis. Akhirnya aku banyak berjalan-jalan berkeliling di sekitar. Beberapa anak kecil yang kemungkinan anak kampung sekitar sedang mencari udah menggunakan jaring kecil yang dibuat terbuka dengan melengkungkan dua buah bambu yang diikat di tiap ujung jaring.

Dari pinggir danau, aku mencoba masuk lebih dalam kebalik rerimbunan pepohonan. Di dalam rerimbunan pepohonan itu aku baru tahu jika ada sekumpulan rumah-rumah yang sudah rusak terbengkalai. Malahan dari beberapa rumah yang rusaknya parah ada pohon yag tumbuh menerobos tembok yang sudah terbelah.. Kemungkinan besar dulu ini adalah tempat penginapan yang dibuat oleh pengelola langsung dekat dengan danau. Entah alasan apa sehingga rumah penginapan ini tidak laku, padahal di sekitar kawasan ini mulai dibangun hotel dan penginapan baru. Mestinya penginapan yang dekat danau justru lebih laku. Entah kalau justru lebih horror hiiiii...

Aku menerobos bekas jalan yang sudah mulai ditumbuhi tumbuhan di kiri kanan sampai bertemu jalan setapak lain. Yakin kalau ini jalan satu-satunya dan tidak mungkin tersesat aku terus berjalan menyusuri jalan tanah. Semakin ke dalam aku masuk, suasana jalan semakin redup karena tertutupi oleh pepohonan. Aku ikuti terus hingga akhirnya selepas beberapa puluh meter melewati sebuah jembatan kecil, aku sampai diujung jalan.. dan sebuah air terjun kecil.

Curug Cimanaracun, sebuah curug yang airnya mengalir kecil. Sepertinya curug ini sangat mengandalkan curah hujan. Sangat mungkin pada saat musim hujan air yang jatuh di curug ini sangat melimpah dan menarik untuk dinikmati. Tapi tentu saja ada konsekuensi lain, di sepanjang jalan menuju ke Curug ini akan banyak lintah yang bertebaran.

Hari Kedua Situ Gunung
Pagi pertama di Danau Situ Gunung bisa dibilang aku gagal mendapatkan suasana pagi yang terkenal itu sehingga aku memutuskan menambah satu hari untuk kembali ke danau ini.

Pagi-pagi jam lima aku sudah keluar dari hotel, hawa hari kedua ternyata tidak sedingin hari pertama. Kali ini aku mendapatkan sebuah angkot yang bersedia mengantarkan naik sampai ke pintu gerbang Kawasan Wisata. Lumayan cukup membayar 5ribu rupiah saja. Setelah membayar tiket masuk, aku kembali memilih berjalan kaki menuju ke danau Situ Gunung. Bagi yang tidak kuat berjalan kaki, ada pilihan untuk menggunakan jasa ojek yang akan mengantar dari pintu masuk sampai ke tepi danau. Tapi itu jelas bukan pilihanku, menukar berjalan kaki dengan naik ojek sungguh rugi.

Beruntung di hari kedua ini, tampaknya suasana danau telah berpihak kepadaku. Tampak kabut pagi yang menyelimuti hutan di sekitar danau. Sementara tukang perahu sudah banyak yang mulai menunggu di tepi kolam berharap ada wisatawan yang akan menggunakan jasa mereka. Ada tiga jenis perahu yang mereka sewakan: petahu biasa, rakit bambu, dan perahu fiber berbentuk bebek-bebekan.

Mungkin karena hari ini Minggu sehingga jumlah pengunjung jauh lebih banyak daripada hari kemarin. Waktu yang banyak aku hindari di tempat wisata seperti ini. Sayangnya walaupun pengunjung lebih ramai tapi tidak ada satupun yang menyewa perahu.

Adakah momen wanita cantik tinggi semampai bergaun merah panjang dengan belahan sampai ke pangkal paha dan sebuah payung yang warnanya senada sedang naik rakit sendiri dengan latar suasana magis Danau Situ Gunung? Aku tepok jidat sambil tertawa.. tentu saja momen seperti itu tidak akan ada. Momen seperti itu pastilah hasil foto konsep.. menunggu momen seperti itu rasanya seperti menunggu keajaiban.. atau kecelakaan..

Semakin lama semakin ramai pengunjung yang datang sehingga aku memutuskan kembali, toh momen cahaya pagi telah lewat. Untungnya tempat-tempat wisata umumnya tidak terlalu ramai saat pagi bahkan di hari Minggu sekalipun, karena memang tidak mudah orang untuk rela bangun pagi hanya demi mendapatkan secarik momen cahaya pagi. Bahkan oleh orang-orang yang menginap di sekitar tempat ini sekalipun.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 12 November 2018

Bermalam di Atas Fatubraun

Matahari terbit di bukit Fatubraun
"Anak dari mana?" Pertanyaan pertama itu yang diajukan ibu pemilik warung saat kami mampir di warungnya. Dari Fatubraun bu, jawab kami.
"Oh, mancing di laut?" Ibu itu coba memperjelas, sambil memberikan minuman yang kami pesan. "Bukan, menginap di Fatubraun"
"Rumah yang di bawah," Ada keraguan dalam pertanyaannya, iya sepertinya merasa aneh dengan jawaban kami.
"Bukan, kami menginap di atasnya" Tanganku menunjuk ke arah bukit Fatubraun.
"Wii, betul di sana?"
"Mama saja lewat di jalan pas sore saja masih merasa merinding. Kalau masih bisa lewat jalan lain lebih pilih jalan lain. Jadi anak bertiga benar-benar menginap di sana?" Nadanya masih terkesan ragu bahwa kami tadi malam benar-benar menginap di atas bukit Fatubraun.

Rumah di bawah bukit Fatubraun
Aku pernah ke Fatubraun beberapa minggu sebelum yang aku tulis disini: Fatubraun, Melihat Pantai Selatan dari Atas. Tapi waktu itu bisa dibilang hanya sebatas mampir saja setelah menginap di Pantai Tebi. Jadi waktu ke Fatubraun hanya beberapa jam saja. Berbeda dengan perjalananku bareng Adis dan Imam kali ini yang memang diniatkan buat nenda di atas sana.

Lama gak keluar buat jalan-jalan memang bikin badan pegel semua. Pas waktunya mereka berdua gak lagi keluar tugas, ya udah aku ajak mereka naik ke Fatubraun buat nenda. Karena waktu pertama kali ke tempat itu, menuruku lokasinya bagus untuk mengambil pemandangan matahari terbit. Tapi kita juga bisa mengambil foto pemandangan matahari terbenam, hanya kita harus naik ke arah puncak tertinggi di sisi barat. Tapi itu pun matahari terbenamnya di balik perbukitan lain, bukan jatuh di laut.

Persiapan Ala Kadar
Menjelang malam di Fatubraun
Persiapan buat nenda udah disepakati cuma apa yang dibawa belum disepakati. Kita memang seperti itu, gak pernah mau ribet mikir apa yang mau dibawa atau disiapin. Pokoknya ya nanti deket-deket jalan baru atur. Kata Imam sih kalau terlalu banyak perencanaan lebih sering gagal. Sayangnya, Al sama Trysu yang aku ajak naik ke Fatubraun pertama kali justru lagi tugas keluar.

Untuk tenda, aku sama Imam memilih membawa tenda single layer yang cuma muat buat dua orang. Pertimbangannya sih karena bukan musim hujan jadi kecil kemungkinan kita menginap di dalam tenda. Aku sama Imam nyaris gak pernah menginap di dalam tenda kecuali waktu ada hujan. Jadi tenda biasanya lebih banyak dipake untuk mengamankan tas saja. Hanya untuk jaga-jaga aku tetap membawa flysheet kalau tiba-tiba cuaca tak terduga seperti yang aku alami saat nenda di Pantai Tebi.

Karena tujuannya cuma satu tempat dan dilanjutkan nenda, jadi kita bertiga memilih berangkat siang selepas jam tiga. Cukup dengan dua motor, dan karena aku yang naik motor sendirian jadi seperti biasa kebagian yang angkut semuanya.

Nenda di Puncak
Aku sendiri awalnya menawarkan buat memasang tenda di bawah di area parkiran saja yang lebih teduh suasananya, ini juga udah aku tulis di postingan sebelumnya. Pertimbanganku karena di bagian atas tempatnya langsung berhadapan dengan dinding jurang yang tentu lebih berbahaya. Cuma Imam dan Adis maunya sekalian nenda di atas saja. Ya udah, aku ngikut saja keinginan mereka. Enaknya sih kalau nenda di atas tentu lebih gampang untuk menikmati matahari terbit dibandingkan di bawah yang tertutup dengan pepohonan.

Awalnya Adis gak percaya kalau ke Fatubraun itu nanjaknya cuma sedikit, dia pikir dengan pemandangan tebing batu yang tampak jauh lebih terjal dibanding Fatuleu. Padahal beneran ke bukit Fatubrau gak sesusah dan semenantang naik ke Fatuleu. Baru setelah 10 menit udah sampai dia percaya kalau memang gak terlalu susah naik ke atas Fatubraun. Tapi tetap saja ada adegan keringetannya lha naik ke atas pake jaket.

Dari semua pilihan tempat akhirnya Imam memilih memasang tenda di pinggir jalan masuk dalam hutan, tidak masuk ke dalam hutan seperti saranku. Imam sengaja memilih tanah datar yang banyak rumput supaya agak empuk buat tidur. Hanya memang jadi terbuka, yang akan terasa sekali jika ada angin kencang.

Tenda baru aku pasang sekitar jam enam setengah enam sore setelah rombongan wisatawan terakhir pulang. Seingatku rombongan terakhir turun sebelum jam lima sore. Untuk informasi, bukit-bukit batu di sini rata-rata masih digunakan untuk pemujaan. Ada keyakinan kuat dari masyarakat Timor tentang kekuatan yang tidak kasat mata yang tinggal di bukit batu seperti ini. Jadi wisatawan yang berkunjung rata-rata sudah turun dari bukit sebelum malam. Itu salah satu sebab jarang yang memotret waktu terbaiknya di bukit seperti ini.

****
Bicara tentang kekuatan tak kasat mata di bukit Fatubraun ini, aku teringat cerita tentang kasus lama yang diceritakan masyarakat. Seorang mama tua pernah bercerita bahwa di atas bukit itu dulunya ada batu besar yang membentuk kepala orang. Masyarakat di Amarasi walau sudah memiliki agama namun masih kental dengan kebudayaan leluhur, salah satunya pemujaan kepada gunung/bukit-bukit besar. Sehingga pada saat-saat tertentu, masyarakat tetap membuat upacara dan memberikan persembahan di sana. Ada tim doa yang tidak suka dengan kondisi ini dan menyalahkan keberadaan bukit batu itu sebagai penyebab perilaku syirik di masyarakat.
Hingga suatu ketika diputuskan untuk menghancurkan batu-batu besar yang ada di sana. Rombongan naik ke atas dan menghancurkan beberapa batu terutama yang berbentuk kepala manusia supaya tidak digunakan lagi untuk pemujaan. Mereka memang berhasil menghancurkan bukit batu itu. Namun hal buruk terjadi setelah itu. Konon katanya satu demi satu orang yang menghancurkan bukit itu meninggal dengan berbagai macam cara.
****

Malam itu aku batal memotret milkyway seperti yang aku rencanakan karena langit yang ada awan walau tidak terlalu tebal. Dan terutama juga adanya bulan yang mendekati purnama. Entah aku yang makin bodoh, aku tidak menggunakan aplikasi seperti biasanya untuk mengecek posisi dan penampakan bulan. Biasanya aku selalu menggunakan aplikasi untuk mengecek posisi dan penampakan bulan dengan aplikasi yang selalu ada di hape android-ku.

Justru malam itu kita membuat foto-foto yang super duper gak jelas. Ya tapi lumayan buat asyik-asyik saja sih. Lumayan lah, setidaknya ada satu properti lampu flip-flop semeter yang cukup asyik buat bikin eksperimen foto bareng mereka berdua.

Matahari Terbit Tidak dari Horison Laut
Pagi-pagi aku terbangun, udah agak telat sebenarnya. Setengah enam pagi, langit udah agak terang. Cuma mereka berdua masih asyik meringkuk dalam selimut masing-masing. Adis ngorok di dalam tenda, sedangkan Imam bergulung dengan sleeping bag-nya di dekat nyala api unggun yang tinggal onggokan bara kecil.

Setelah memotret disekitar tenda, aku berencana memotret dari atas bukit sisi barat yang lebih tinggi. Ya udah, aku ke tenda untuk membangunkan Adis yang katanya tadi malam minta dibangunkan untuk ikut motret matahari terbit. Tapi membangunkan Adis kali ini lebih susah, rupanya dia terlalu lama melek tadi malam. Aku memang selalu tertidur terlebih dahulu daripada mereka berdua. Karena mereka berdua memang seringkali insomnia, baru mulai ngantuk menjelang pagi.

Karena gagal membangunkan Adis, akhirnya aku masuk ke dalam hutan sendiri untuk mendapatkan view yang lebih bagus untuk memotret matahari terbit. Aku tepat waktu, saat sudah berada di titik tertinggi sisi barat rupanya matahari belum terbit. Matahari pagi terbit beberapa saat kemudian dari balik perbukitan tampak cemerlang tanpa terhalang awan. Karena masih bulan April sehingga posisi matahari terbit masih di sisi selatan sehingga masih terhalang oleh perbukitan.

Tenang saja, walau tidak sempurna terbit dari balik horison laut, pemandangan pagi-nya tetep kece kok. Seperti aku tulis sebelumnya, dengan ketinggian hanya sekitar 400 mdpl, dapat dikatakan matahari pagi akan mudah tampak tanpa terhalang oleh kabut. Hal ini tentu berbeda dengan melihat pagi dari pegunungan yang tinggi, kadang bisa terhalang oleh kabut pagi. Dan cukup banyak spot di atas Fatubraun ini untuk menikmati matahari terbit.

Saat balik ke tenda, aku melihat Imam dan Adis tetep saya khusyuk sama mimpi indahnya. Busyet dah, tuh kedua anak emang mirip anaknya vampir yang melek malam hari tapi justru tidur pagi. Padahal bunyi burung ramai bercuitan terbang kesana kemari. Ya udah, aku akhirnya masak air untuk membuat kopi. Sayang rasanya kalau tidak menikmati pagi begini tanpa segelas kopi panas.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya