Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 22 Januari 2013

"Mbela" Jiwa Sang Ksatria Nagekeo

Hamparan tropis yang membentang dari sabang sampai merauke adalah mutiara yang terkandung dalam ibu pertiwi. Mutiara inilah yang selalu di junjung dan senantiasa dilestarikan setiap generasi. Disinilah, keragaman budaya masing-masing daerah kerap menjadi malaikat pelindung mutiara alam raya nusantara. 

Seperti halnya suku Mbare di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat suku Mbare, tanah, air dan seluruh kandungan yang terdapat didalamnya adalah warisan leluhur yang pantang untuk ditentang. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan alam selalu disertai dengan ritual adat. Jadwal prosesi adat saban tahun harus dipatuhi, sebab itu menjadi acuan untuk bercocok tanam, melaut termasuk pula berburu. Lewat prosesi pula, etnis Mbare lebih waspada menghadapi bencana atau malapetaka. Jika mengingkari aturan adat, mereka yakin musibah bakal melanda. Setidaknya, hal itulah yang diwariskan nenek moyang mereka sejak ratusan tahun silam.

 Salah satu tradisi suku Mbare yang tak lekang ditelan waktu adalah Mbela, sebuah prosesi tinju adat sebagai luapan rasa syukur atas hasil panen mereka. Pergelaran Mbela adalah puncak dari segala bentuk ritual adat yang dilangsungkan dalam setahun. Jika dikaitkan dengan kelender adat, Mbela biasanya dilaksanakan pada musim kemarau sesudah panen. Tradisi Mbela disertai juga dengan prosesi lain yang dapat menentukan jadwal tanam, melaut sampai berburu. Disinilah, tetua adat melihat pertanda akan baik buruknya kondisi alam maupun keberlangsungan hidup dalam suku dikemudian hari. Setidaknya, ini adalah rambu bagi warga Mbare untuk lebih waspada dengan alam maupun sesamanya.

Menjelang prosesi Mbela, masyarakat suku Mbare harus meninggalkan seluruh akifitasnya. Irama gong yang dipukul bertalu-talu memecah kesunyian malam, berkumandang mengajak seluruh warga suku berkumpul dalam kampung adat.
Mbela, bukanlah perkelahian jalanan. Ini adalah tinju murni warisan leluhur, yang dilakukan sejumlah suku di Nagekeo secara bergiliran sesuai peredaran bulan. Walaupun beberapa suku dikawasan kecamatan Boawae kabupaten Nagekeo menyebut tinju adat ini dengan Etu, seluruh prosesnya tidak jauh berbeda.
Pada setiap ajang pertarungan, lelaki Mbare yang ditunjuk harus siap melaksanakan perintah untuk memasuki arena. Mereka tak boleh mengelak, apalagi sampai menolak. Demi harga diri sebagai seorang ksatria, sang lelaki tak boleh gentar. Mereka harus menjadi lelaki sejati meski wajah babak belur.

Lelaki yang lahir dalam suku Mbare, tak akan bisa menolak takdir sebagai petarung. Dari belia, ritual Mbela sudah begitu akrab dengan mereka. Tak heran, ksatria cilik turut hadir menguji ketangkasan dalam pentas adu fisik ini. Inilah sebuah nilai kepercayaan suku Mbare yang ditanam kepada warganya semenjak belia. Tak ada urusan dengan rasa takut, para lelaki dan bocah Mbare paham betul menghormati tradisi tanpa melahirkan amarah dan dendam berlarut-larut.
Dalam Mbela, sang petarung menggunakan gwolet, sebagai alat meninju lawan yang terbuat dari lilitan nilon jala ikan dan didalamnya berisi tulang batang daun lontar. Ujung gwolet dilengkapi pula dengan butiran pasir yang direkatkan dengan getah pohon ara. Sudah tentu yang terkena pukulan gwolet, pasti bakal nyeri. Tapi mereka percaya, rasa sakit ataupun darah yang mengucur demi adat adalah penghormatan pada warisan leluhur.
Aksi petarung membakar emosi penonton diluar arena
Arena Mbela. Disinilah aksi sang ksatria lelaki Mbare mempertahankan warisan leluhur
 Penulis: Yanto Mana Tappi
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 15 Oktober 2012

Menangkup Riak di Pulau Kera

Keindahan pasir putih dan pantai jernih pulau Kera
Sudah lama sekali sebenarnya keinginanku untuk sampai ke pulau Kera. Godaan ingin ke sana awalnya muncul saat bermain di pantai Ketapang Satu di depan kantor cabang Bank BNI. Saat laut surut dan tenang, dari kejauhan tampak selarik garis putih jelas sekali. Dari pesawat pun, penampakan pulau Kera begitu menggoda mata. Sebuah onggokan pulau yang dikelilingi pasir putih dan warna hijau dan tosca air laut mengelilingi daratan. 

Itu sudah beberapa bulan yang lalu, sampai kemudian ada kabar dari teman-teman di FI Regional NTT yang berencana akan merayakan ulang tahun keberadaan FI dengan hunting foto di pulau Kera. Agak bimbang sebenarnya mengingat deadline waktu pendaftaran seminggu sebelum keberangkatan. Jelas bukan hal mudah bagiku mengiyakan karena penugasan keluar kota nyaris tak bisa diprediksi.

View dari atas kapal waktu mendekat ke pulau
Untung seminggu sebelum keberangkatan, besar kemungkinan aku akan tetap penugasan di dalam kota sehingga akhirnya kuputuskan untuk mengikuti event yang digelar pak Kris dan teman-teman dari FI Regional NTT. Menurut panitia yang menyusun acara ini peserta yang berangkat ada 50 orang, naik 5 orang dari jumlah awal yang dibatasi hanya 5 orang saja.

Pada hari H-nya, Yoas sama Bembim yang sudah janjian sehari sebelumnya waktu hunting foto di Nunsui menjemputku datang pas jam 5 pagi. Cukup pagi untuk bangun, namun tidak cukup pagi untuk mengejar matahari terbit di pulau Kera. Kami ngumpul dulu di Dunel seperti kesepakatan awal karena memang tidak semua teman-teman yang ikut tahu persis lokasi pelabuhan Polair yang ada di Bolok. Dari Dunel beberapa teman yang menggunakan motor memilih ikut bareng Yoas, sekitar jam 5.20 WITA barulah kami meluncur ke bawah menuju ke  Bolok.

Rencananya kami akan menggunakan dua buah kapal milik Polair. Satu kapal berbentuk mirip ferry roro yang bagian depannya tidak lancip tapi ada pintu yang bisa dinaik turunkan, jenis yang biasanya digunakan untuk mengangkut kendaraan/barang. Hampir jam tujuh barulah kapal-kapal kami meluncur membelah selat yang berada diantara pulau Timor dan pulau Semau. Matahari sudah beranjak naik, dengan jarak tempuh sekitar setengah jam lebih dari Bolok maka sudah pasti kami tak akan bisa mendapatkan matahari pagi.

Peserta 50 orang ini lebih didominasi kaum adam, beberapa kaum hawa memang ikut tapi tidak banyak. Itupun ada beberapa orang yang memang ikut untuk sesi hunting foto model. Hal baru aku ketahui belakangan. Sepertinya aku tidak cukup siap dengan sesi ini, karena memang dari awal tujuanku kesini untuk melihat langsung pulau Kera. Sehingga dua lensa yang aku bawa dua-duanya adalah lensa lebar.

Teman-teman FI Regional NTT berpose bersama di pulau Kera
Beberapa ratus meter memasuki kawasan perairan pulau Kera, air yang bening menampakkan pemandangan bawah laut yang begitu jernih. Terumbu-terumbu karang masih hidup subur di daerah ini. Paduan langit yang membiru, pasir putih yang memanjang dan air jernih berwarna hijau dan tosca membuat paduan alam yang begitu menarik. Karena belum terlalu surut satu kapal bisa merapat hampir ke bibir pantai, sementara kapal satunya tak bisa merapat sehingga hanya merapat ke kapal satunya saja.

Memotret perahu yang berlabuh di pantai
Setelah acara makan pagi dan beberapa acara pembuka seperti pemotretan teman-teman FI di lokasi untuk dokumentasi acara, aku, Yoas dan Soni memilih untuk memutari pulau yang tidak terlalu besar ini. Teman-teman FI di acara ini mengusung tema: Lost in the Exotic Island, menurutku cukup pantas pulau ini menyandang sebagai predikat Exotic Island. Hamparan pasir putih yang halus mengelilingi seluruh pulau. Itupun belum lagi kalau mau masuk ke dalam laut untuk melihat terumbu-terumbu karang yang menurut Yoas paling banyak ada di sisi barat dan utara pulau.

Tak seperti yang pernah dikatakan pemda bahwa pulau Kera ini adalah pulau kosong dimana penghuni yang ada hanya penghuni sementara yang menunggui bagan atau keramba, ternyata aku menemui banyak rumah-rumah darurat namun memang benar-benar untuk hunian dan bukan sekedar rumah untuk menjaga keramba. 

Rumah-rumah penduduk pulau Kera, masih darurat
Kondisi rumah-rumah di sini cukup memprihatinkan karena gubuk-gubuk dari batang bebak yang dibangun jarang yang utuh namun masih harus ditutup di sana-sini entah menggunakan kain terpal, plastik, seng, apa saja asal dapat menutupi dinding-dinding yang berlubang. Di bagian tengah oleh masyarakat dibangun sebuah musholla sederhana jika tak ingin dibilang memprihatinkan juga. Menurut salah seorang penduduk, di pulau ini didiami sekitar 100 jiwa termasuk anak-anak. Beberapa rumah memang sudah ada yang memiliki sendiri listrik dari panel tenaga surya yang terpasang, namun beberapa menggunakan mesin genset yang digunakan bersama. Pola seperti ini juga aku temui di beberapa pulau di kawasan NTT, biasanya mesin genset ini hanya dihidupkan dari sore hari sampai malam selain untuk aktivitas malam termasuk menonton televisi. Nanti pada jam 9 malam (kadang-kadang bisa lebih kalau ada acara tv yang menarik seperti sepakbola) mesin genset ini dimatikan dan pulau ini akan benar-benar gelap.

Anak-anak di pulau Kera
Untuk kegiatan mandi sehari-hari, penduduk di pulau Kera menggunakan air sumur yang mereka bangun tak jauh dari musholla. Air ini masih payau sehingga memang hanya digunakan untuk kegiatan MCK saja, sedangkan untuk minum dan masak mereka biasanya mengambil air dari daerah Kelapa Lima atau Pasar Oeba. Satu jerigen besar biasanya mereka membayar dua ribu rupiah.

Pohon-pohon di pulau ini tidak ada yang tumbuh benar-benar besar, seperti kondisi tanah yang dipenuhi pasir membuat pohon tidak bisa tumbuh maksimal.

Tak sampai satu jam, aku, Yoas, Radith dan Sony habis mengelilingi pulau kecil ini. Dari pagi suhu di sini sudah terasa panasnya, apalagi ketika mulai menjelang siang hawa panas terasa menyengat. Aku, Yoas dan Radith sempat berteduh di bawah sebuah bangunan kecil yang digunakan sebagai menara mercusuar.

Saat aku kembali dari berkeliling, rupanya sesi pemotretan model sudah selesai dan masing-masing sudah mulai berburu obyek masing-masing. Acara makan siang  adalah acara bakar ikan, kasihan juga melihat teman-teman membakar ikan di siang yang terik begini. Angin yang kencang sempat membuat tenda darurat kami hancur, dimulai dari sobeknya bagian atas karena tidak kuat menahan tekanan angin. Alhasil, acara makan harus dilakukan di tenda darurat yang lebih sempit.

Berburu ikan lele laut dengan tombak dan racun pohon Tuba
Awalnya aku dan Yoas berencana untuk kembali siang ini karena memang rencananya ada sebagian teman yang berniat untuk pulang siang. Namun entah karena apa akhirnya malah tidak ada yang kembali siang. Dengan terpaksa aku harus ikut rombongan karena memang tidak mungkin aku kembali hanya beberapa orang saja, minimal harus 20 orang agar kapal yang kembali tidak perlu harus balik lagi. Cukup lelah sebenarnya menunggu sampai sore sementara panas begitu terasa menyengat. Karena itulah aku tidak ikut saat teman-teman FI mengadakan acara bakti sosial ke warga pulau ini. 

Menjelang sore, beberapa teman mulai lagi sesi pemotretan model karena laut mulai surut. Lagi-lagi aku lebih tertarik dengan kerumunan anak-anak yang ada di kejauhan. Rupanya mereka sedang memburu ikan di celah-celah karang. Yang unik mereka dengan mudah menombak ikan-ikan seperti lele itu. Sudah beberapa ikan yang mereka tombak namun ikan-ikan yang lain tidka tampak lari seperti biasanya kalau aku mengejar ikan. Rupanya sebelum mereka menombak anak-anak ini memasukkan sebuah kayu yang mereka sebut batang kayu  Tuba. Batang kayu Tuba yang telah ditumbuk-tumbuk supaya mengeluarakan getah beracun ini jika dimasukkan di air  membuat ikan-ikan menjadi teler. Pantas saja mereka bisa mendapatkan begitu banyak ikan dengan menombak. Tak kurang, lebih dari 60 ikan seperti lele dengan garis-garis gelap mereka tangkap. Pantai ini memang selain eksotis juga masih kaya dengan ikan dan binatang laut lainnya. Di sini sebenarnya juga ada penyu tapi tidak setiap saat bisa ditemui, juga beberapa burung yang bermigrasi biasanya singgah disini.

Menombak ikan yang teler
Dari informasi ini baru aku tahu juga, kalau nama pulau Kera ini bukan berarti monyet karena orang ntt kalau menyebut monyet itu kode. Nama Kera itu rupanya berasal dari kata Kerang yang lama-lama kehilangan huruf sengau 'ng'-nya. Mungkin ini dari penyebutan orang-orang bajo penghuni pulau ini yang biasanya menyebut 'ng' di bagian belakang kata menjadi 'n'.

Sekitar jam 5 sore kami kembali namun terjadi masalah kecil karena terlalu surut kedua kapal tidak bisa ke pinggir. Alhasil kami semua harus mengalah dan berjalan agak ke tengah agar bisa naik ke atas perahu. Dengan ketinggian sedalam pinggang, mau tidak mau aku harus melepas seluruh peralatan termasuk rompi dan aku taruh di atas pundak untuk menghindari terkena air laut. Perjalanan kembali kali ini lebih lambat, sehingga dari atas kapal kami bisa menikmati pemandangan matahari yang bulat tenggelam di ufuk barat dibawah bayangan pulau Semau. Namun sesampainya di darat kami baru mendapatkan alasan mengapa perahu kami lebih lambat. Awalnya kukira karena ombak yang membuat perahu harus berjalan pelan, ternyata bukan namun karena mesin kapal kami mati satu. Wah, pantas saja tiba-tiba nahkoda kapal meminta sebagian teman berpindah ke kapal satunya yang lebih kecil rupanya itu jawabannya. Untuk hal itu baru aku ketahui belakangan, seandainya hal itu diketahui dari awal, bisa menimbulkan kehebohan karena banyak diantara teman-teman yang ternyata tidak bisa berenang.

At least, congrats buat Fotografer Indonesia Regional Nusa Tenggara Timur buat acara perayaan ulang tahun pertamanya dengan acara hunting di pulau Kera ini. Tanpa acara kalian mungkin masih lama aku mewujudkan impian untuk menginjak tanah ini. Walaupun setelah ini sepertinya akan acara perjalanan kedua ke pulau Kera karena seorang teman yang memiliki perahu sudah menawarkan untuk perjalanan ke sana.

Sekarang baru membangun rencana baru untuk ke pulau Semau dan pulau Tikus.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 14 Oktober 2012

Matahari di Paradiso

Suasana di pantai Paradiso saat air pasang
Melihat matahari terbenam di horison laut, kamu akan mendapatkan view ini dengan mudah di banyak tempat di Kupang karena sebagian pantai di Kupang memang menghadap sisi utara dan sisi barat. Dari pantai Lasiana yang merupakan pantai yang paling banyak dikunjungi masyarakat Kupang, walaupun lebih banyak orang berkunjung pagi sampai siang hari namun tempat ini merupakan pilihan yang asyik untuk melihat matahari terbenam. Pantai Nunsui, pantai Teddy's yang terletak di kawasan Kupang Lama, dan beberapa pantai lain termasuk pantai di kawasan Tenau, pantai Tablolong semuanya menawarkan view matahari yang tenggelam di horison barat.

Pagi di Pantai Paradiso
Tapi jika ingin melihat view pagi untuk melihat maka pantai Paradisolah tempatnya. Dari pantai ini bisa terlihat pantai Nunsui dan pantai Lasiana, dari balik sananya matahari pagi muncul langit pagi dan memendarkan kristal-kristal cahaya di riak air laut.

Aris yang menawarkan aku untuk sekali-kali hunting pagi di Kupang di pantai Paradiso. Sayang pada hari H yang sudah disepakati ternyata laut surut sehingga akhirnya aku dan temen-temen lain berpindah lokasi hunting.

Justru istrikulah yang menunjukkan lokasi pantai Paradiso. Jadilah waktu sore hari aku mengajak berburu foto dengan istriku ke pantai itu, dan ternyata lokasinya tidak jauh. Dengan mengambil jalan melewati perumahan Pasir Panjang dengan cepat tak lebih dari sepuluh menit aku sudah sampai di pantai Teluk Kupang. Dari kawasan Teluk Kupang yang sudah mulai kehabisan pantai karena telah dipenuhi cikal bangunan-bangunan gedung bertulang motor hanya membutuhkan beberapa menit untuk sampai di pertigaan setelah hotel (aku lupa namanya) dan masuk ke arah kanan. Sekitar setengah kilometer masuk ke dalam maka sampailah ke jalan menurun tajam menuju ke pantai Paradiso. 

Pantai Paradiso bukanlah pantai wisata namun hanya pantai biasa. Pantai Paradiso juga lebih banyak dipenuhi karang-karang. Sebuah pohon tunggal berdiri dengan bentuk meninggi menjadi salah satu penanda pantai Paradiso. Ombak di pantai ini tidak besar, cukup tenang malahan karena memang lokasi berada di bagian lekuk ke dalam Kupang. Itulah mengapa posisinya berseberangan dengan pantai Lasiana.

Kunjungan sore pertama di pantai Paradiso itulah yang membuat aku tahu bahwa pantai ini lebih tepat untuk dikunjungi pagi hari, walaupun tidak ada yang salah jika mengunjungi pantai ini di waktu sore.


Pantai yang dekat dengan kota Kupang ini bisa menjadi alternatif karena belum banyak yang mengunjungi pantai ini, tiga kali aku datang di pantai ini hanya menemui beberapa orang saja. Nelayan-nelayan yang baru pulang dari melaur, pasangan berpacaran, dan beberapa orang setempat yang datang sekedar bermain di pantai.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 29 September 2012

Pagi di Pantai Mali, Alor

Suasana pagi yang berawan di pantai Mali
Penerbangan ke Alor seperti sebuah perjalanan menengok sebuah tempat yang lama sekali pernah aku kunjungi. Kira-kira tahun 2008, sekitar empat tahun lalu aku pernah bertugas cukup lama juga kesini lebih dari tiga bulan. Istilah teman, sudah bisa membuat KTP di Alor hahaha...
Kabut pagi di perbukitan dari atas pesawat
Alor adalah sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang juga merupakan pulau sendiri.
Lima puluh menit penerbangan dengan sebuah pesawat propeler berlalu tak terasa karena selama perjalanan aku nyaris lebih banyak tidur. Enaknya penerbangan pagi adalah bisa menikmati perbukitan berwarna hijau kebiruan yang masih tertutup kabut-kabut tipis. Pemandangan itu tergambar jelas saat pesawat melintasi kawasan Alor Besar. Sayang kaca pesawat sudah tidak bersih, banyak coating yang terlepas sehingga kotor.
Pesawat turun di Bandara Mali, yang berada di sisi Timur bagian kepala pulau Alor. Perjalanan menuju ke Kalabahi pusat kota, mataku disambut dengan pemandangan pantai daerah Mali yang berpasir putih bersih dan air laut yang berwarna kehijauan. Rasanya ingin turun sebentar untuk menikmati view ini, tapi tentu saja hal itu tak mungkin bisa kulakukan karena aku hari ini berkejaran dengan waktu untuk ikut pembukaan acara diklat untuk seminggu ini. Untuk jalan dari Mali sampai Kalabahi sudah halus dan lebih lebar tidak seperti empat tahun lalu yang penuh dengan lubang, cukup parah kerusakannya untuk ukuran jalan negara. Selain dari jalan itu suasana lain nyaris tidak banyak berubah.
Laut Mali di siang hari, warna hijau bening laut berpadu biru langit
Kesempatan mengunjungi Mali datang pada hari besoknya pas giliran aku harus menjemput pimpinan kantor. Saat aku sampai di bandara ternyata pesawat masih belum tampak, aku mengusulkan ke Buna yang mengantarku untuk mampir sebentar ke pantai Mali yang berada di dekat Bandara. Di daerah yang jarang penerbangan, kedatangan pesawat mudah ditandai yaitu dari bunyi sirine panjang dari bandara, dari situ kita tahu bahwa menara telah mendapatkan kontak dari pesawat untuk pendaratan biasanya sekitar 15 menit sebelum pendaratan. Buna mengantarku ke sebuah area wisata yang baru dibangun yang dulunya dijadikan tempat wisata pantai Mali. 
Awan berarak yang terkena biasa cahaya pagi
Dinding beton talud pengaman pantai dibangun memanjang justru mengurangi area pasir yang langsung terhubung ke laut, sayang sekali. Yang juga sangat disayangkan juga adalah adanya beton-beton berbentuk kubus yang dipasang berderet sebagai pemecah ombak. Untuk pantai dengan view indah seperti ini akan jauh lebih baik seandainya beton pemecah ombak bukan berbentuk kubus tapi seperti kaki tiga kecil-kecil yang seperti dipakai di beberapa pantai. Setauku dengan pemecah jenis seperti itu lebih efektif karena bentuk kaki tiga ini jika dimasukkan ke dalam laut akan saling mengikat namun membuat rongga seperti halnya karang jadi ombak tidak dihadang langsung namun dikurangi kekuatannya. Jadi penahan gelombang sekaligus mempercantik view pantai bukan malah justru mengurangi keindahan pantai.
Kebetulan pula ternyata Aris Winahyu yang seorang landscaper (sebutan untuk penghobi foto yang lebih menyukai dan mendalami foto pemandangan alam) lagi ada di Kalabahi. Aris ini pernah bertugas di Alor jadi pasti banyak tahu tentang lokasi di Alor. Karena ternyata kita menginap di hotel yang sama sehingga kita sempat ketemuan, sehingga muncul ide untuk memotret pemandangan saat matahari terbit di Pantai Mali.
Hari Kamis pagi, aku dan Aris berangkat jam lima kurang beberapa menit dini hari dengan kendaraan yang berhasil aku pinjam. Penghuni hotel lainnya masih asyik tidur dibuai mimpi saat kendaraan yang aku kendarai keluar hotel. Jalanan juga masih tampak lenggang saat kendaraan membelah jalan Kalabahi ke Timur menuju ke pantai Mali.
Sebenarnya waktu kedatangan kami cukup tepat saat matahari masih dibawah ufuk, sayang di horison masih tertutupi awan yang tebal sehingga matahari tidak nampak sama sekali. Hanya warna kekuningan yang tampak di barisan awan tipis tinggi yang menunjukkan bahwa matahari sudah keluar, selebihnya langit lebih didominasi warna abu-abu.
Sebenarnya aku sempat berhenti di perkampungan Mali yang rencananya untuk memotret perahu. Walaupun tempatnya menarik, sayang saat itu arus air agak kuat sehingga perahu bergoyang-goyang tidak tepat untuk memotret di pagi hari. Akhirnya aku dan Aris sepakat memotret kembali ke lokasi semula aku pertama kesini.
Untung lokasi ini masih dalam wilayah pembangunan sehingga belum dibangun pembatas sehingga mudah bagiku masuk ke dalam area. 
Senja di pantai Kalabahi dekat dengan pelabuhan Pertamina
Saat itu laut sedang surut walaupun bukan puncak surut sehingga masih bisa turun di bawah talud penahan abrasi. Namun agak sayangnya matahari pagi tetap tidak mau menunjukkan diri sampai jam setengah tujuh, saat kami berdua harus mengemasi peralatan untuk kembali.
Sebenarnya ada lokasi yang menarik lain di Mali yaitu di bagian seberang bandara, tapi sepertinya harus dilakukan lain waktu karena saat ini pun waktuku terbatas.
Saat jam setengah tujuh aku kembali ke Kalabahi, kabut tipis tampak membayang. Aku jadi teringat sebuah lokasi yang pernah aku kunjungi pagi-pagi bersama Yanti, yaitu pantai Kadelang. Lokasinya tepat di belakang pasar Kadelang. Biasanya pagi begini ada aktivitas perahu-perahu yang datang membawa muatan dari Alor Besar karena memang lebih dekat ditempuh menggunakan perahu daripada jalur darat. Suasana pantai Kadelang dan aktivitas pasar serta kabut-kabut tipis yang membentuk siluet perbukitan menjadi view yang sangat menarik. Kadelang sendiri berada di ujung teluk yang merupakan bagian leher Alor.
Foto tahun 2008: suasana pagi di pantai Kadelang
Jika kuamati dari pesawat, ada satu tempat yang sepertinya menarik yaitu di bagian tanjung dari kepala pulau Alor, lokasi yang bisa aku kunjungi suatu saat nanti, juga tentang terumbu-terumbu karang di Alor yang telah menjadi destinasi favorit bagi para turis. 
Terima kasih buat Aris Winahyu yang telah mau mengajak hunting matahari pagi di pantai Mali, semoga jika ada kesempatan kita bisa hunting lagi. Paradiso masih menunggu janji lho dab hahahaha......
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 22 September 2012

Jejak Kaki Pertama di Rai Hawu

Debur ombak yang keras saat senja hari di pantai Bodo'a , Sabu
Panas, gersang dan berdebu... kesan itu yang pertama terlintas di pikiranku saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau Sabu ini. Dari atas pesawat, pulau ini tak tampak bagai sebuah tempat yang bisa disebut Kabupaten. Nadi sebagai sebuah kabupaten tak tampak dari atas, garis-garis hitam jalan raya atau bangunan-bangunan besar tanda sebuah kota nyaris tak ditemukan. Jika ada keramaian, maka hanya ada di sekitar kawasan pelabuhan. Disitulah nyaris segala aktivitas kota berjalan: toko-toko, warung makan, pasar, penginapan-penginapan.
Pelikan di pantai Bodo'a, diikat di pinggir pantai
Sebenarnya bukan jejak kaki pertama di Sabu, karena aku pernah sekali turun menginjak tanah Sabu beberapa tahun lalu. Kala itu aku dalam perjalanan dari Waingapu ke Kupang dengan kapal Awu. Wajahku sudah pias pucat di samping pintu palka menunggu pintu dan tangga kapal di turunkan. Gelombang laut yang keras membuat nahkoda urung menyandarkan kapal dan membiarkan kapal beberapa meter dari pelabuhan. Nyaris empat jam lebih sampai akhirnya kapal benar-benar bisa bersandar sementara aku sendiri saat itu sudah habis tenaga. Dalam pikiranku saat itu cuma satu, bisa mencium bau tanah yang bisa membuatku sesaat melupakan mual aroma laut.
View perkampungan di pinggir pantai di daerah Sabu Liae
Laut Sabu (Sawu; Hawu) nyaris selalu bergolak, gelombang besar menjadi pemandangan biasa, salah satu alasan mengapa aku jarang menemukan rumah dibangun benar-benar di pinggir pantai seperti yang biasa aku lihat di daerah Flores. Harga ikan pun menjadi barang yang tidak murah apalagi saat musim air laut pamer kekuasaannya, walaupun laut Sabu dikenal memiliki ikan-ikan monster. Kata mbak Ririen yang kerja di Balai Konservasi Kelautan, nelayan di Sabu harus berani menggunakan perahu yang ukurannya besar tidak bisa mengandalkan perahu-perahu kecil. Darinya pulau aku mendapatkan informasi bahwa Sabu tak hanya kering, tapi juga memiliki banyak potensi kelautan yang menjanjikan. Mbak Ririen dan teman-temannya ke Sabu juga untuk keperluan pemetaan laut Sabu.
Biasanya teman-teman kalau bertugas di sini juga menginapnya di Seba, tapi di Seba bukan hotel melainkan hanya tempat penginapan yang biaya menginapnya dihitung per kepala bukan per kamar. Jadi kalau di sebutkan biaya menginap 150ribu dan kalian menginap berdua sekamar jangan kaget kalau mendapatkan tagihan 300ribu semalam, perhitungan yang agak aneh tapi yah seperti itulah kondisi penginapan di Seba. Namun kali ini aku memilih menginap di sebuah hotel Rai Hawu yang ada di Sabu Tengah. Antara Seba (Sabu Barat) dengan Sabu Tengah sebenarnya cuma berjarak 12 km saja tapi bisa ditempuh selama setengah jam, apalagi kalau bukan masalah kondisi jalan utama yang sudah rusak dan bergelombang.
View pantai memanjang pantai di Sabu Liae, pohon lontar selalu menghiasi
Meski dapat pinjaman sebuah mobil bukan berarti aku bebas berjalan-jalan. Mobil itu lebih sering mondar-mandir dari hotel ke tempat makan, sedangkan ke tempat lain apalagi yang belum diketahui pasti mikir lah, apalagi kalau bukan masalah BBM. Just info, di Sabu ini belum ada pom bensin jadi bensin yang ada lebih banyak beli eceran. Saat harga normal, satu botol bensin ukuran aqua besar yang tidak penuh harganya 15ribu. Jadi bagi yang mempermasalahkan kenaikan BBM dari 4.500 ke 6.000 perlu ke tempat seperti ini biar tahu bahwa kenaikan itu tidak seberapa dibanding ketersediaan yang justru membuat harga BBM naik berkali-kali lipat. Ah gak usah ngomongin politik bikin pening......
Informasi dari hotel dan juga mbak Ririen, ada pantai yang indah yang biasa disebut pantai Bali letaknya di kecamatan Sabu Timur. Tidak jauh sebenarnya tapi lagi-lagi masalah kondisi jalan yang akan membuat waktu menjadi lama. Menurut mbak Ririn, di lokasi itu juga ada lokasi untuk snorkling atau diving karena ada beberapa spot yang terumbu karangnya menutupi 85% perairan. Sayangnya waktu mbak Ririn mengajak kami ikut kegiatan snorkling yang mau mereka lakukan hari Jum'at pagi kami pas ada kerja ke lapangan.


Siang hari yang terik di pantai Wuihebo
Tapi sebelumnya kami sempat mampir ke pantai Bodo'a, sebuah pantai yang letaknya tak jauh dari Pelabuhan Seba sekitar satu kilometer ke arah selatan. Pantai ini berada di samping lapangan yang sering menjadi sentral kegiatan pawai di Sabu. Pantai ini berpasir putih kekuninga dengan garis pantai yang cukup panjang. Karena letaknya yang masih di pinggiran kota maka tentu pantai ini menjadi tempat yang sering dikunjungi masyarakat Seba. Seekor burung Pelikan sempat menarik perhatian kami karena berdiri diam di pinggir pantai, sayang selain diikat tali salah satu sayapnya juga sudah patah. Menurut pemiliknya, sayap itu patah waktu mereka mau menangkap dengan melempar burung itu. Tapi belakangan aku mendapatkan informasi bahwa sayap burung pelikan itu sengaja dipatahkan, dulunya ada sekitar enam burung pelikan yang ditangkap dan yang lain telah mati tinggal yang satu ini. Entah, semoga informasi yang terakhir ini tidak benar. Hari berikutnya, aku mendatangi lagi pantai Bodo'a untuk mengantar teman-teman yang baru sampai ke Sabu untuk kesini, namun saat itu sudah terlalu sore sehingga sesampainya di sana matahari telah hilang di batas horizon. Ada pemandangan sedikit berbeda karena hari ini sedikit lebih ramai, ada beberapa kelompok orang berkumpul. Salah satu kerumunan adalah adanya kegiatan syuting film dari TVRI NTT seperti untuk acara budaya dan lagu NTT di bagian lopo-lopo yang biasanya untuk tempat makan. Tarian khas Sabu tampak dimainkan sekitar 5 orang wanita berkain kemben tenung, sayang menurutku ada beberapa penataan yang merusak gambar salah satunya adanya karpet berwarna merah yang dipasang di pasir untuk tempat penari, walaupun di alas lagi dengan tikar pandan namun karpet itu tetap lebih mencolok. 
Di pinggir pantai beberapa remaja tanggung sedang berlatih taekwondo. Menurut salah seorang diantaranya yang menjadi pelatih mereka, kegiatan ini mereka lakukan setiap hari di sini untuk menaikkan porsi latihan karena mereka akan bertanding. Di luar acara ini, mereka biasanya cukup berlatih di lapangan polsek Seba.
Suasana tempat menginap di hotel Rai Hawu
Pantainya sebenarnya menarik namun kurang bersih, sampah nampak di sana-sini yang cukup mengganggu mata, mungkin karena lokasi ini berada di kawasan perkampungan nelayan. Masalah sampah seperti ini memang menjadi masalah umum pantai-pantai yang berada di kawasan berpenduduk yang cenderung membuang sampah sembarangan.
Yanto, seorang teman dari Sabu sebenarnya merekomendasikan pantai Wuihebo yang letaknya di sisi utara dari Pelabuhan Seba dan tidak terlalu jauh juga karena masih tampak ujung pantai dilihat dari pantai Bodo'a. 
Hari selanjutnya sebenarnya aku sempat ke pantai Wuihebo. Selepas makan siang kami mencoba ke pantai Wuihebo untuk mencari dulu lokasinya dan membuktikan kata Yanto. Berbekal petunjuk dari Yanto, aku dan dua orang teman menggunakan mobil masuk ke dalam dari pertigaan di samping jalan dekat bandara. Sebenarnya arahnya sudah benar tapi justru karena kurang bertanya akhirnya malah kami sampai di ujung muara pantai Wuihebo. Kami mencoba masuk lebih ke dalam lagi melewati kawasan pepohonan kelapa yang berjajar di sepanjang jalan sempit yang pas untuk satu mobil saja. Justru akhirnya kami masuk ke arah yang makin tidak jelas. Maka gagallah kami melihat pantai Wuihebo.
Memasukkan gula sabu ke jerigen
Kontur pulau Sabu cerderung rata, perbukitan yang ada juga tidak terlalu tinggi. Di beberapa titik bukit yang termasuk paling tinggi di Sabu hanya berada di ketinggian sekitar 250 meter dpl. Kami sempat juga beberapa kali bertandang ke penduduk Sabu. Sekali dalam perjalanan pulang ke hotel melihat seorang pria tua yang membawa nira (tuak manis), air dari hasil menderas manggar pohon lontar, yang buahnya dikenal dengan nama siwalan (:jawa) atau saboak (:timor). Keinginan beberapa teman yang ingin mencoba nira membawa kami ke rumah bapak tua ini. Keramahan  khas Sabu menyambut kami, dan minuman nira yang rasanya manis langsung memenuhi tenggorokan kami. Nira yang kami minum ini adalah bahan untuk membuat gula sabu yang terkenal kental. Air nira hasil menderas ini biasanya diambil pagi atau sore hari, dan itu harus dilakukan rutin karena jika lupa tidak diambil maka nira akan menjadi asam atau terfermentasi menjadi cuka. Juga ada mitos, kalau nira yang sudah dideras airnya tidak diambil maka pohon lontar tidak akan mengeluarkan air nira lagi.
Selain kain tenun, gula sabu adalah salah satu oleh-oleh yang bisa dibawa oleh pelancong. Harganya tergantung dari ukuran botol yang digunakan. Jika membeli gula sabu ukuran satu botol aqua besar sekitar 1,5 liter sekitar 20 ribu rupiah, namun jika membeli yang ukuran jerigen minyak ukuran 5 liter sekitar 65 ribu rupiah. Sebagai tambahan informasi: gula sabu ini dulunya justru menjadi makanan pokok terutama pada musim-musim kering. Mereka cukup meminum gula sabu dan sayuran, dan itu cukup untuk memberi energi untuk beraktivitas sehari-hari. Konon dari pengalaman teman-teman, gula sabu juga dapat digunakan untuk orang yang menderita mag. Beberapa teman yang pernah terkena mag bisa sembuh setelah mengkonsumsi gula sabu ini, caranya dengan mencarikan gula sabu ini dengan air dan meminumnya setiap pagi. Juga ada istilah gula semut, itu adalah gula sabu yang dikeringkan dalam cetakan-cetakan.
Sambil memperbaiki jala sekaligus bersosialisasi sesama nelayan
Selama seminggu kami melakukan monitoring sampai ke seluruh kecamatan di pulau Sabu, namun kami sendiri tidak sampai ke Raijua (Rai Djua) karena kecamatan ini terletak di pulau tersendiri dengan jarak tempuh sekitar 2 jam menggunakan kapal nelayan. Masalahnya jika aku dan temen-temen harus sampai di Raijua maka bisa dipastikan harus menginap minimal sehari di sana karena perahu biasanya kembali siang hari. Menurut informasi, jika sore hari laut yang membelah Sabu-Raijua ombaknya akan keras sekali sehingga tidak ada nelayan yang berani mengambil risiko melewatinya. Dari pengamatanku selama monitoring di lapangan itu, sebenarnya Sabu memiliki beberapa lokasi yang bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata, terutama karena kondisi pantainya yang bersih dan panjang. Ombak yang besar juga bisa menarik perhatian pelancong yang memiliki hobi surfing. Dari informasi sebenarnya pulau Raijua pulau view pantai yang jauh lebih eksotis, sayang aku belum bisa membuktikannya mungkin lain waktu aku harus mencobanya. 
Andri mencoba mendekati pelikan (minta dipatok)
Aku juga sempat melihat kampung adat Sabu di daerah Kudjiratu yang ada di Sabu Tengah. Kampung adat yang dikelilingi baru karang yang disusun membentuk pagar ini siang itu terasa lenggang sehingga kami memutuskan menunda untuk menyambangi. Di daerah ini dan beberapa daerah lain seperti Sabu Timur masih kental dengan hal-hal mistis. Jadi ada semacam cerita, jika ditawari minum air kelapa dari penduduk di sini jangan mau karena bisa jadi kita sedang 'dicoba'. 'Dicoba' ini istilahnya minuman yang diberikan kita ada racunnya. Aku sendiri mendapatkan nasehat itu waktu hendak melihat di beberapa tempat yang mereka tahu masih ada kebiasaan ini. Namun sepertinya kebiasaan itu sudah mulai terkikis walaupun masih mungkin ada yang melakukannya.
Sepertinya butuh perjalanan kedua untuk lebih mengenal Sabu dan terutama Raijua. Meskipun pulau ini kecil dan bisa dikitari dengan kendaraan satu hari saja bukan berarti butuh sehari untuk mendapatkan spot-spot terbaik di Kabupaten Sabu Raijua ini.

Informasi tambahan: sampai dengan saat ini belum tersedia kendaraan umum, entah mungkin faktor harga BBM atau yang lain. Saat ini hanya ada angkutan bis milik pemda yang digunakan untuk alat antar jemput anak-anak sekolah namun jumlahnya juga tidak memadai. Pada hari-hari tertentu terutama jika ada jadwal kedatangan kapan, maka penduduk biasanya menumpang truk-truk untuk menuju ke kota dan melakukan transaksi. Di luar itu, maka sebagian penduduk yang tidak memiliki alat transportasi biasa berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer.


Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 04 September 2012

Pantai Oetune: Keindahan Yang Masih Tidur


Hamparan pasir kuning keputihan dan laut yang hijau kebiruan, keindahan pantai Oetune
Ketidaksengajaan, itulah sebenarnya awal perjalananku sampai ke Oetune. Seminggu sebelum keberangkatan ke SoE, aku sudah berencana untuk mbolang ke Fatumnasi. Apalagi kalau bukan karena hasutan perjalanan mbak Dian Olly yang dengan sangat kejam menunjukkan foto-foto perjalanannya selama menjelajah di desa Fatumnasi, sebuah desa yang berada di ketinggian di bawah kaki gunung Mutis. Dengan pongah mbak Dian menggambarkan keindahan kampung Fatumnasi terasa membuat iri (positif) sehingga aku benar-benar berharap bisa melihat langsung Fatumnasi apalagi kalau bisa sampai menginap dan melihat pagi yang penuh kabut.

Namun rencana berubah setelah melihat kondisi medan yang harus dilalui dan waktu yang tersisa. Menurut pegawai dari Dinas Pariwisata, kondisi jalan ke arah Fatumnasi cukup sulit karena batu-batu jalan yang beraspal sebagian besar terkelupas sehingga mudah lepas. Mereka menyarankan aku untuk menggunakan kendaraan dobel gardan atau kalau dengan sepeda motor yang trail atau setidaknya motor Win (kendaraan satu ini disukai orang yang tinggal di lokasi sulit seperti ini karena selain tangguh juga cukup lincah). Tentu saja motor otomatic macam Vario milikku dan Karisma yang dinaiki Augus tidak akan sanggup menaiki jalan ke arah Fatumnasi tanpa lecet. Hiks... sungguh menyedihkan, aku harus menguburkan sementara untuk bisa menyambangi desa Fatumnasi atau menaklukkan gunung Mutis. Mungkin yang membaca ini ada yang prihatin dan mengajakku ke Fatumnasi, siapa tahu? hahahaha..........


Hamparan pasir sejauh mata memandang
Akhirnya di akhir penugasan aku dan August memutuskan untuk mengunjungi pantai Oetune. Menurut orang yang sama, pantai Oetune sebenarnya lebih bagus daripada Kolbano karena punya pantai yang landai panjang dengan pasir putih kekuningan.
Jadi lah Sabtu siang aku dan August dengan kendaraan masing-masing ke Oetune setelah check out dari hotel siang itu juga. Jadi ini sekaligus perjalanan kembali ke Kupang karena seperti aku pernah ceritakan sebelumnya pantai Oetune itu masuk dari percabangan jalan arah ke Kolbano. Percabangan yang disebut Batu Putih itu memang terletak di pertengahan antara Kupang-SoE.
Perjalanan siang seperti ini sebenarnya tidak terlalu aku inginkan mengingat perubahan cuaca terasa mendadak sekali. Jika di daerah SoE walau panas tapi angin masih terasa dingin namun begitu turun di perjalanan yang meliuk-liuk setelah melewati jalan baru aku merasakan 
udara panas yang terasa menyengat, bahkan udara yang berhembus dari sela helm terasa panas. Aku coba ukur dengan pengukur suhu di jam tanganku, dan astaga angka 40,8 derajat langsung terbaca di panel LCD. Huft.. sungguh berbeda sekali suhu di dua tempat itu. Langit saat itu juga tanpa awan sama sekali.


Augus lagi bernarsis ria di bawah pohon cemara
Setelah sampai di percabangan dan masuk ke arah Bena/Kolbano aku tetap bisa melajukan motor karena beberapa kilometer jalan telah mulus dan berwarna aspal yang hitam pertanda jalan ini baru selesai di hotmix. Cukup baik kondisinya walau ada beberapa ruas yang masih berupa jalan batu putih terutama di ruas-ruas yang baru ada pemotongan bukit. Namun disarankan jangan berada di belakang mobil-mobil besar karena selain debu batu kapur yang berterbangan menyesakkan sering kali juga batu-batu kecil terlempar dari lindasan truk.
Melewati hamparan persawahan, beberapa pedagang yang menjual semangka-semangka berwarna hijau gelap menarik mata, ingin rasanya mampir sebentar untuk mencicipi semangka-semangka segar itu. Tapi keinginan itu aku tunda, kendaraan terus melaju melewati Kuanfatu dan terus ke dalam sampai melewati jembatan dengan dua gelagar didua sisi untuk lewat kendaraan. Dengan naik motor, melewati salah gelagar tidak terlalu sulit walau tetap harus hati-hati karena beberapa papan sudah rusak dan bisa membuat roda motor tergencet.


Cemara-cemara berderet di sepanjang pantai
Tak lama kemudian sebuah papan penanda bertuliskan "Tempat Rekreasi Pantai Oetune" kecil tampak, di seberang beberapa motor yang sepertinya ojek untuk mengantar orang ke dalam. Kami berbelok masuk ke dalam, roda-roda motorku menapaki jalan berbatu. Tak lama kemudian sebuah hamparan berumput hijau terbentang dengan deretan pepohonan lontar terlihat menarik mata. Puluhan sapi milik warga dilepaskan saja di sana asyik memakan rumput-rumput yang masih hijau di musim kering begini. 
Tak lama kemudian di ujung padang rumput kami sampai di depan gerbang tempat rekreasi Oetune. Cukup dengan biaya 3.000 rupiah untuk tiket masuk per orang dan seribu untuk setiap motor kami bisa menikmati lokasi ini. Saat kami membayar petugas agak aneh melihat aku dan August. Kami tampak aneh sepertinya, karena di depan motor kami bertengger tas-tas agak besar tidak biasa digunakan untuk orang berwisata. Yah, wisata sambil pulang ya seperti ini hahahahaha.....


Batang-batang kelapa untuk duduk
Mata kami disambut deretan lopo-lopo yang dibangun pemerintah sementara laut terhalang gundukan pasir meninggi dan deretan papan-papan dari kayu kelapa menjadi tempat duduk. Begitu aku naik ke atas gundukan ini baru tampak kondisi pantai Oetune yang masih besih dengan pasir yang berwarna kuning cerah keputihan. Hamparan pasirnya tampak luas padahal saat ini bulan purnama yang artinya pasang pada saat siang hari terik begini. Mungkin saat surut pantai ini akan tampak panjang sekali. Pantai ini memang tidak salah jika mau dijadikan andalan pemerintah menjadi obyek wisata. 

Deretan pohon cemara berdiri di sepanjang pantai, dan di sisi kanan ada beberapa gundukan bukit pasir yang berbukit-bukit tampak menciptakan view yang saling melengkapi. Sangat indah, gundukan-gundukan pasir yang berbukit-bukit menjadi paduan menarik dengan hamparan pasir yang panjang dan laut yang berwarna hijau biru. Pasir-pasir ini sangat lembut dan mudah bergerak, harus berhati-hati berjalan di atasnya. Ombak saat ini memang tak terlalu besar, namun sepertinya pada bulan-bulan tertentu bisa jadi ombaknya besar sekali mengingat pantai ini berada di sisi Selatan dari pulau Timor. Untuk sebuah wisata pantai, aku merekomendasikan tempat ini salah satunya lah, bahkan Augus punya rencana untuk suatu hari bisa membangun tenda di sini untuk menikmati suasana pantai yang sangat menawan ini. Sayang hari ini aku terlupa untuk mengisi termos kecil dengan air panas, padahal biasanya aku lakukan itu. Kebiasaan minum teh atau kopi panas ditiadakan hari itu, karena termos air berisi air dingin dua hari yang lalu.


Hamparan pasir berbukit-bukit di sisi kanan pantai
Ada sedikit kejadian di lokasi ini, yaitu sebuah mobil yang terperosok masuk ke dalam pasir. Tak lain karena gaya sok pemilik kendaraan, entah apa maksudnya mobil kijang yang aku lihat parkir di pinggir pantai tiba-tiba naik ke atas dan berjalan di sepanjang pasir yang meninggi yang digunakan orang duduk menikmati laut. Perbuatan yang membuat jengkel, gayanya bermain off-road sangat tidak pantas di lokasi ini karena jelas itu bukan untuk kendaraan tapi untuk orang, sejengkel saya jika melihat motor berjalan naik di atas trotoar.
Tak tahu awalnya, tiba mobil itu menukik ke arah cerukan pasir. Tak lama kemudian terdengar bunyi menderu-deru dari mobil itu karena rodanya tenggelam di pasir. Semakin gas meninggi dan roda berputar kencang semakin dalam pasir. 

Untuk ke lokasi ini tidak terlalu sulit karena jalan yang ada batas cabang tadi sering lewat kendaraan umum dan truk yang sampai ke Kolbano, dan masuk ke dalam banyak tersedia sarana ojek itu kalau tidak mau jalan kaki. Jalan kaki juga bukan pilihan buruk.


Penjual semangga di depan tempat berjualnya
Jam setengah tiga aku dan Augus meninggalkan pantai Oetune. Kami mampir sebentar di penjual semangka yang berada di pinggir jalan Bena. Sebuah semangka seharga sepuluh ribu terasa begitu segar mengisi perut kami yang kosong karena tidak ada menu makan siang yang hinggap di perut kami. Rasanya sangat segar karena semangka-semangka ini baru dipetik dari kebun mereka sendiri. Beberapa orang tampak berhenti dan membeli semangka itu, sebagian memakannya langsung di tempat dan sebagiannya lagi untuk dibawa pulang.


Karena ukurannya agak besar, aku dan Augus hanya bisa menghabiskan separuh saja. Sisanya aku bungkus untuk aku makan di pinggir jalan. Biasanya aku kalau naik motor dari Kupang ke SoE biasa berhenti dan duduk-duduk sebentar di hutan Camplong yang teduh.
Jika  biasanya ada coklat panas, teh panas atau kopi panas yang menemani, yah berarti setidaknya ada semangka segar yang bisa menemani kami di bawah pohon di hutan Camplong.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya