Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 29 Desember 2011

Ritual Adu Fisik Ala Nagekeo

Pertarungan fisik selalu selalu diidentikan dengan simbol keperkasaan seseorang. Mungkin jika ada yang kalah , lantas berdarah-darah, semua orang mencemoohkannya. Atau jika sang pemenang mengangkat kedua tangan sebagai tanda kemenangan, sontak yang menonton langsung bertepuk tangan, semuanya larut dalam suasana saling cibir, atau saling mengangungkan sang jagoan. Cerita selanjutnya bisa jadi yang kalah akan menyimpan dendam yang teramat sangat, atau sebaliknya malah penonton yang saling bertarung.
Namun,cerita seperti itu tidak akan terjadi jika sang jagoan berlaga dalam arena “Etu”, tinju adat di masyarakat Nagekeo, sebuah kabupaten baru mekaran dari kabupaten Ngada pada tahun 2006 silam. Bagi masyarakat suku Nagekeo yang berada tepat ditengah pulau Flores - Nusa Tenggara Timur ini, etu  adalah simbol keakrabaan dan persaudaraan.
Etu  adalah kesenian tradisional yang memperagakan adu ketangkasan antara para pria dewasa diwilayah persekutuan adat Nagekeo dan sekitarnya. Permainan adu ketangkasan ini selain merupakan arena pentas kesenian tetapi juga merupakan ritual adat untuk melengkapi siklus kehidupan masyarakat adat Nagekeo.
Menurut salah satu pemuka adat Nagekeo dikampung Boawae, Cyrilus Bau Engo, etu telah dipentaskan sejak puluhan tahun silam secara turun temurun. Namun, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan secara pasti sejak kapan etu mulai dipentaskan. Diperkirakan, kegiatan ini mulai dipentaskan sejak masyarakat persekutuan adat tidak lagi terlibat dalam perang antar suku (papa wika). Ada versi yang menerangkan bahwa kegiatan ini dibuat sebagai salah satu persembahan darah kepada bumi (ibu pertiwi), sehingga bukan hal yang baru jika ada petinju yang keluar dari arena dengan wajah lebam bardarah-darah. Diyakini oleh mereka, luka yang diderita akan segera sembuh jika di sentuh oleh tabib kampung.
Jika dikaitkan dengan kelender adat, etu biasa dipentaskan pada musim kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen. Selama masa itu, etu dipentaskan pada beberapa kampung adat yang memiliki adat tinju yang dipegang salah satu suku yang mendiami kampung tersebut dan biasa disebut “moi buku ‘etu” (pemegang adat tinju). Giliran antar kampung ditentukan waktunya sesui perhitungan yang mendasarkan pada peredaran bulan sehingga etu selalu dipentaskan pada saat bulan purnama.
Para petarung akan memasuki sebuah arena ditengah kampung yang disebut “kisa nata”. Arena ini dibatasi oleh pagar dari tonggak kayu yang dirangkaikan dengan tali sehingga menjadi semacam ring tinju berlantai tanah yang dalam bahasa adat disebut “mada”  Mada membujur sesuai dengan tata letak kampung adat. Penonton yang menyaksikan etu berdiri diluar mada. Jangan berharap perempuan ada didalam mada, karena sudah tentu itu adalah hal yang “pamali” bagi sang petinju.
Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan nyanyian.  Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat panen.  Menariknya, dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya sebagi ajang perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian akan dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut dalam tarian dan nyanyian.
Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki – laki pergi ke “loka lanu” yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan para leluhur sambil memohon keselamatan bagi para petinju, sehingga para petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam kenyataannya, luka karena bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh. Sesudah upacara persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung sambil menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam seremoni pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda bahwa acara tinju dapat dimulai.
Para penonton mulai berdatangan. Tidak sampai satu jam, arena etu sudah dipadati para penonton dari berbagai penjuru kampung. Ada juga yang datang dari luar kampung. Kebanyakan dari mereka memakai sarung adat, sedangkan kaum lelaki mengenakan ikat kepala. Disini, penonton tidak perlu ragu kemana harus mencari pengganjal perut jika lapar. Hidangan cuma-cuma akan diberkan kepada siapapun yang datang. Masayrakat adat di sekitar kampung akan menjemput dan mengajak kita menikmati makanan yang telah disiapkan disetiap rumah.
Kedua petinju pun mulai diperhadapkan oleh “Moi Seka”. Orang inilah yang akan bertindak sebagai wasit, sekaligus juri. Tidak seperti petinju yang kebanyakan kita tonton, disini para petinju akan dipasang kain pengalas dada, ikat pinggang dari kain, dan ikat kepala. Yang terakhir adalah alat meninju lawan atau dalam bahasa setempat disebut “Keppo”. Tidak seperti sarung tinju para profesional, alat gebuk ini berupa tali ijuk yang dipilin kecil-kecil, selanjutnya digumpal kira-kira pas dalam genggaman. Permukaan keppo kasar, siapapun yang terkena pukulan benda ini pasti akan berdarah.
Penonton semakin tidak sabar menjejal di sekitar arena. Dari ujung arena, sang petinju mulai kelihatan. Petinju ini akan dikawal oleh seorang “Moi sike”. Dia  berfungsi menjaga agar petinju tidak jatuh dan kadang kala bisa membantu menangkis pukulan yang diarahkan ke arah perut petinju. Orang ini harus lincah mengikuti gerak gerik petinju ketika menyerang maupun menghindari pukulan lawan. Moi sike harus maju dan mundur seirama dengan petinju.
Kedua petinju mulai merengsek maju ketika wasit menepuk tangan. Satu dua pukulan mulai dilontarkan, jauh dari kesan seorang petinju profesional. Moi sike terlihat kerepotan menarik kain pinggang masing-masing petinju ketika mereka mulai terbakar emosi. Sebuah pukulan telak berhasil didaratkan salah satu petinju di wajah lawan. Wasit langsung memisahkan keduanya. Petinju yang berhasil mendaratkan bogem mentahnya terlihat bangga, sambil melompat-lompat kegirangan, sesekali menepuk dada. Pihak lawan tak puas. Pertarungan kembali dilajutkan. Jual beli pukulan terjadi. Pelukan, saling tarik, menambah panas suasana. Teriakan penonton semakin membakar emosi sang petarung. Wasit pun tidak mau ambil resiko, pertandingan pun diakhiri. 

Seorang petinju dinyatakan sebagai pemenang. Kedua petinju di giring oleh sang wasit. Disini jelas kelihatan semuanya akan berakhir dengan perdamaian. Kedua petinju saling berpelukan. Luka dan darah di wajah ternyata bukan pemicu dendam di luar pertandingan. Sorak penonton mengiring sang jagoan keluar dari arena.”Kami bertinju untuk berdamai”, ujar sang petinju sambil melambaikan tangannya kepada penonton.
Pertarungan berikutnya mulai dipersiapkan. “Mosa laki” mulai melirik para pemuda di masing-masing kubu petinju.. Mereka ini ibarat “promotor” yang mencari para petinju yang ingin mengadu ketangkasan sebagai petinju adat di tengah arena. Biasanya ada jago tinju dari masing-masing kampung. Kejelian para mosalaki lah yang mempertemukan mereka di tengah arena. Caranya macam- macam, mulai dengan membujuk secara baik-baik, memanas-manasi bahkan kadang-kadang dipaksa dan diseret  ke “ring”.
Pada saat mosa laki sedang mencari petinju dan para pembantu menyiapkan petinju untuk tampil di arena, masyarakat dihibur dengan kesenian “melo ‘etu”. Ini adalah kesenian rakyat yang terdiri dari tarian dan nyanyian diiringi tetabuhan dari sebatang bambu yang diletakan didepan sekelompok penyanyi lagu adat sambil memukul – mukulnya dengan batang kayu. Mereka akan bernyanyi bersahut – sahutan dengan seorang penari yang berfungsi sebagai solois dan dirigen . Syair lagu berisikan kata – kata pujian dan nasihat bagi para petinju. Pada saat petinju sedang bertinju, rombongan melo etu  beristirahat. 
Kegiatan tinju dan melo etu akan terus digelarkan secara bergantian sampai tidak ada lagi petinju yang mau bertinju. Hari menjelang senja, sesepuh adat menyiramkan satu tempurung air ke tengah-tengah arena sebagai tanda orang harus bubar dan kembali ke kampung masing-masing untuk nonton lagi ke kampung-kampung lain yang ada adat tinju sesuai giliran waktu yang sudah ditentukan sesuai peredaan bulan.


Selamat Menyaksikan!


Terimakasih buat warga kampung Boawae dan Bapak Cyrilus Bau Engo atas semua informasi dan penjelasannya mengenai "ETU".


Seluruh isi tulisan dan photo telah mendapatkan persetujuan dari pihak penyelenggara ETU untuk di publikasikan. Foto-foto diambil oleh Yanto Mana Tappi pada bulan Oktober 2011 saat ETU dikampung Boawae-Kabupaten Nagekeo-Nusa Tenggara Timur 
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 28 Desember 2011

"Sorongi'is" Ritual Pendewasaan Perempuan Suku Nagekeo




Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Sama halnya di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dhawe di Kabupaten Nagekeo. Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi, yang dalam bahasa setempat ritual adat ini disebut  “Sorongi’is”. Uniknya, ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.

Dua orang anak perempuan berbusana adat nampak tengah berbaring di apit oleh sang nenek. Tidak lama kemudian, seorang bapak yang ditunjuk sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang rahang sang anak sambil memintanya untuk membuka mulut. Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi sang anak. Kontan saja wajah sang anak meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut di gosok berulang-ulang kali.

Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, sang anak kemudian diserahkan ke salah satu ibu untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala kampung berupa buah pinang yang masih mentah. Sang anak diharuskan mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa ngilu.

Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan di suku Dhawe Kabupaten Nagekeo. Ritual Sorongi’is mengandung makna bahwa anak tersebut telah dewasa dalam hukum adat. Seperti yang di tuturkan Donatus Dua, salah satu tetua adat suku Dhawe, suatu saat jika sampai pada usia siap pinang, hukum adat sudah  merestui jika ada lelaki yang datang meminang,
Sebelum menuju ritual Sorongi’is, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari,  bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.

Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali di selingi dengan pantun yang diucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas Nagekeo kepada para peserta tandak. Dalam bahasa setempat, acara tandak ini disebut “Wai Sekutu”.

Tidak lama kemudian, anak yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian kembali diboyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit,  acara tandak pun bubar. 

Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.

Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”. Setelah itu, sang anak akan diayun oleh ayahnya sebanyak lima kali di atas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan yang kelima,  anak tersebut diayun melewati babi dan siap berjalan menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
 Salah satu petugas pencatat bingkisan dari sanak keluarga

Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang dibawa oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah menjadi tradisi,  pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing akan menerima balasan tikar ataupun beras.

Bagaimanapun, dibalik semua proses Sorongi’is ini, terselip perasaan lega dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah dilaksanakan,  walaupun secara ekonomis  biaya yang dikeluarkan cukup besar.

 Bermain kartu adalah salah satu menjalin keakraban.

Terimaksih buat warga suku Dhawe,dan khususnya keluarga besar Bapak Vinsen Dhoma yang telah berkenan mengijinkan saya untuk meliput secara langsung ritual Sorongi’is kedua puterinya.

Semua tulisan dan foto hasil liputan Yanto Mana Tappi,dan telah mendapat persetujuan dari pihak suku Dhawe untuk diterbitkan,
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 19 Desember 2011

Senja Bulan Desember di Labuan Bajo

Mendung kelam dan gerimis di atas langit Labuan Bajo
Dua kali aku mendapatkan penugasan ke Labuan Bajo jatuhnya kok pas selalu akhir tahun. Tahun 2010 kemarin, penugasan terakhir bulan Desember juga penugasan sekarang. Akibatnya rencana ke pulau Komodo masih menjadi sekedar angan, apalagi kalau bukan masalah arus laut yang lumayan kuat di selat Sape. Itu pertama, yang kedua ya masalah langit yang sering mendung yang imbasnya rencana jalan-jalan sering berubah jadwal semau-maunya.
View dari teras hotel Puncak Waringin
Karena masalah itu pula makanya untuk penugasan kedua ini aku memilih menginap di hotel Puncak Waringin. Hotel yang dimiliki oleh Pemda setempat namun pengelolaannya oleh pihak swasta. Sebuatan Puncak Waringin sendiri dulunya ada karena di daerah itu ada gundukan bukit yang agak tinggi dan berdiri satu pohon Beringin besar yang setiap sore ramai dikunjungi wisatawan untuk melihat senja. Sekarang ini pun pohon Beringin itu masih gagah berdiri tapi masih kalah tinggi dengan bangunan berbentuk persegi enam yang awalnya digunakan untuk resto. Entah karena desain bangunan yang kurang menarik atau pelayanannya, sekarang bangunan itu hanya digunakan sebagai aula saja.
Padahal view Labuan Bajo menarik sekali dari puncak ini. Dari Puncak ini akan tampak kawasan kota Labuan Bajo bagian bawah dan dermaga yang dipenuhi perahu-perahu berbentuk pinisi serta perahu-perahu kecil yang disewakan masyarakat untuk berangkat ke pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo. 
Senja masih bisa mengintip di antara mendung kelam
Pulau-pulau terhampar di sepanjang pantai Labuan Bajo, saling menutupi sehingga kawasan pantai Labuan Bajo ini berombak tenang. Paduan view ini sangat menawan, entah lokasi mana aku bisa menemukan view yang luar biasa seperti ini. Padahal kota ini belumlah bersolek sebagaimana sebuah kota pariwisata, geliatnya pun baru terasa belakangan ini termasuk upaya pemerintah untuk menghidupkan Labuan Bajo. Salah satunya menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya gerbang untuk masuk ke pulau Komodo, hal ini menjadikan perahu-perahu pinisi dari Bali maupun dari Lombok harus singgah ke Labuan Bajo dan tidak bisa langsung singgah ke pulau Komodo. Namun tidak bisa dipungkiri, geliat kota yang memiliki pulau Komodo ini sedemikian terasa, berdirinya beberapa hotel berbintang empat menunjukkan bahwa ke depan Labuan Bajo akan terus tumbuh menjadi kota industri pariwisata.
Hampir tiga hari yang setiap hari selalu ada hujan aku harus rela duduk manis di teras depan kamar menikmati langit Labuan Bajo yang kelam kala senja merangkak. Acara jalan-jalan juga harus di tunda karena langit tak pernah memberitahu kapan hujan akan datang.
View senja di pantai Bidadari yang berpasir putih
Masih untung pada hari pertama aku sempatkan untuk acara jalan. Karena tidak banyak acara selain setting untuk acara besoknya akhirnya aku berdua dengan teman merencanakan perjalanan ke pulau Bidadari untuk sekedar snorkling. Dengan menggunakan perahu milik pak Arman, kami berangkat sekitar pukul empat sore. Waktu perahu mulai menderu meninggalkan dermaga langit di atas tampak kelam, itu pula salah alasan pak David yang rencananya mau bersama kami membatalkan ikut.
Setengah jam perahu kami sampai ke pulau Bidadari, pulau yang setengahnya sudah dimiliki (sementara) oleh seorang bule. Kalau tidak salah namanya Mr. Ernest, seorang bule yang agak bawel kalau menyangkut kebersihan di wilayah pantai Bidadari. Jangan bakar ikan sembarangan apalagi buang sampah sembarangan kalau tidak ingin melihat dia murka. Tapi sayangnya masih ada orang-orang yang tidak menghargai kebersihan dan membuang sampah seenaknya.
Di atas perahu meninggalkan pulau Bidadari menjelang senja
Ternyata di pulau Bidadari arus laut sedang kuat sehingga pak Arman meminta kami snorkling di sisi Utara pulau yang agak menjorok ke dalam dan tidak terlalu dalam. Di beberapa titik apalagi yang sebelah Selatan dan Barat memang lautnya miring agak curam.
Walaupun matahari terhalang awan, kami masih bisa berdecak melihat gugusan terumbu karang dan ikan-ikan karang berwarna-warni berukuran besar. Cukup besar sampai aku dan teman ngiler ingin menangkap satu untuk dibakar hahahaha. Apalagi kalau ada sinar matahari, maka terumbu karang makin tampak cemerlang dan indah. Sayang sekali lagi aku hanya bisa menikmati dengan mata saja, kamera Canon D10 yang aku punya sudah rusak saat snorkling di Tenau dulu gara-gara kecerobohanku sendiri. Jam enam lewat baru perahu kami kembali ke Labuan Bajo. Pak Arman sengaja membelokkan perahu ke arah dalam menyusuri Labuan Bajo dari sisi utara melewati pantai Binongko. Di beberapa titik tampak cahaya-cahaya hidup dari balik rerimbunan perbukitan, itulah cafe-cafe yang berdiri di sepanjang bukit di daerah Binongko yang terjal. Perbukitan ini justru memiliki nilai jual karena dari bukit-bukit itu bisa menikmati pemandangan senja berlatar pulau-pulau yang juga tak kalah eksotisnya.
Setelah itu nyaris aku berdua dengan teman lebih sering membenamkan diri di hotel, sesekali turun menikmati dan memotret senja yang kelam dari aula Puncak Waringin.
Hari terakhir sebelum berangkat, bertiga aku, Kadek dan pak Joko pagi-pagi sekali menyempatkan jalan kaki ke pantai Binongko, rencananya mau mampir saja ke dermaga pendinginan ikan.
View dermaga pendinginan ikan pagi hari
Jam enam pagi kami berjalan kaki turun ke bawah sampai ke pertigaan lalu naik ke atas arah ke Binongko. Jika dulu yang aku kenal di kawasan Binongko adalah sebuah hotel resto bernama Golo Hill Top, maka sekarang ini sudah mulai banyak berdiri cafe-cafe dan hotel di sepanjang kawasan ini bahkan sebagian dibagian di kemiringan bukit yang terjal. Selain di jalur ini di bagian atas juga tampak jalur yang baru dibangun pemerintah, tentu jalur baru itu akan makin diminati investor karena bisa mendapatkan view senja yang lebih indah. Setelah melewati sebuah bangunan yang menjadi tempat rekreasi penyandang cacat, kami sampai ke dermaga pendinginan ikan.
Sedikit cerita tentang bangunan rekreasi untuk orang cacat yang dibangunan oleh SVD di Cancar ini, aku pernah mendatanginya sekali waktu saat mengantarkan bu Emil, seorang teman yang bekerja di Kemetrian PDT waktu kesasar di tempat ini. Mungkin aku lain kali bisa cerita tentang perjalananku dengan bu Emil tapi singkatnya saat ke mau ke dermaga ini pula bu Emil minta aku mampir ke sana. Bisa di tebak, sepanjang ngobrol-ngobrol dengan beberapa anak-anak yang kebetulan sedang tinggal di situ bu Emil harus menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Yah, namanya juga ibu-ibu, bawaannya mau mewek saja kalau ada gambar mengharukan seperti ini.
Menikmati pagi di ujung dermaga
Kembali ke perjalanan kami, ternyata begitu sampai di sana dermaga pendinginan ikan tinggal sebaris dermaga, dua cabang dermaga yang tahun kemarin masih ada sekarang sudah karam. Dermaga yang sekarang tersisa ini pun di beberapa tempat tampak sudah rusak, ada beberapa paku yang masih baru menunjuukan bahwa ada papan-papan yang baru saja diperbaiki. Di dermaga pagi itu nyaris tidak ada kegiatan satu pun karena memang dermaga ini sudah tidak digunakan untuk pendinginan ikan lagi, dan hanya digunakan untuk nelayan-nelayan mendaratkan perahu setelah menjala atau memancing. Mesin-mesin besar yang biasanya menderu untuk menciptakan es batu sudah lama tidak digunakan, namun pekerja di pabrik itu sebagian masih tinggal di sana untuk menjaga mesin-mesin itu.
Karena ada mereka pula, aku beruntung bisa mengisi perut yang kosong sedari pagi. Sebuah minuman serela panas menghangatkan perut kami pagi itu.
Masih tertinggal di otakku untuk ke sini lagi lain waktu. Masih banyak tempat yang harus aku kunjungi. Ada air terjun Cunca Wulang yang jaraknya satu jam perjalanan kendaraan dan satu jam jalan kaki, atau ke perkampungan adat Wae Rebo yang ada jauh di ujung selatan pulau. Masih ada pantai merah yang berpasir merah yang sebagian bule menyebutnya dengan nama Pink Beach, atau ke pulau-pulau seantero Manggarai Barat yang begitu mempesona dengan pasir putih dan terumbu karannya seperti pulau Saporo, pulau Kanawa, pulau Seraya Kecil, dan banyak yang lain. Dan tentu saja tak pernah hilang dari ingatanku adalah untuk mengunjungi langsung pulau para melata prasejarah yang masih hidup sampai sekaran, apalagi kalau bukan pulau Komodo.


Thanks buat teman-teman yang ikut dalam perjalanan ini:

  1. Arman Armansyah
  2. Joko Mulyono
  3. Kadek Maharta Kusuma
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 17 Desember 2011

Komodo: Jejak Prasejarah Hidup

Tiga komodo bermalas-malasan di bawah dapur
Semenjak namanya Pulau Komodo didaftarkan untuk ikut dalam pemilihan New 7 Wonders, pemerintah Indonesia mulai mendengungkan tentang binatang yang masih menyimpan sisi prasejarah dalam berbagai kesempatan. Salah satu yang bisa dilihat adalah munculnya Komodo sebagai ikon binatang dalam perayaan Sea Games XXVI di Palembang. Media pun tak luput ikut aktif dalam euforia mengkampanyekan Komodo walaupun keberadaan lembaga penyelenggara ini  menuai  kontroversi.
Terlepas dari semua itu, sebagai orang yang cukup lama tinggal di Nusa Tenggara Timur, rasanya kurang lengkap kalau tidak langsung melihat bentuk Komodo dan hanya puas memandangi patung Komodo di Bandara Eltari Kupang atau yang berdiri galak di tengah jalan.
Kesempatan itu datang saat sebuah penugasan yang mengharuskan penulis ke Manggarai Barat. Manggarai Barat ini kabupaten yang memiliki pulau Komodo. Sekitar bulan Desember tahun lalu, penulis dan dua orang rekan menjejakkan kaki di Labuan Bajo, ibu kota dari Kabupaten Manggarai Barat.
Dari Kupang, pesawat yang sedianya berangkat jam dua siang harus lagi-lagi mengalami penundaan sehingga keberangkatan menjadi molor hampir dua jam. Kondisi yang harus dimaklumi jika anda tinggal di wilayah timur Indonesia yang masih minim penerbangan. Walhasil, kami harus berangkat jam empat lewat. Namun keterlambatannya ini juga menjadi berkah tersendiri, karena penulis jadi bisa melihat senja berona jingga dengan gulungan awan-awan yang begitu mempesona di langit barat. Jam lima lewat pesawat mendarat di kabupaten yang berada di paling ujung pulau Flores.
Labuan Bajo berdasarkan foto Google Maps
Sebagai pintu gerbang menuju ke pulau para binatang prasejarah, Manggarai Barat sendiri menyimpan potensi besar bagi pengembangan sebagai daerah destinasi wisata baik yang berkelas lokal maupun kelas mancanegara. Dari daratan Flores saja, beberapa daerah menawarkan pesona alam seperti gua alam Batu Cermin, gua alam Batu Susun, Liang Dara dan Liang Rodak yang semuanya berlokasi di Kecamatan Komodo. Juga terdapat danau Sano Nggoang yang berlokasi di Kecamatan Sano Nggoang. Danau yang tercipta akibat letusan gunung berapi ini (danau vulkanik-red) memiliki kadar belerang yang tinggi. Di sini, juga terdapat sumber air panas yang menurut versi Kepala Bappeda suhunya mencapai lebih dari 60 derajat. Namun tetap, bagian yang menarik perhatian wisatawan mancanegara adalah pantai-pantai berpasir putih, terumbu karang, dan binatang melata komodo yang bernama latin Varanus Komodoensis Ouwen.
Di antara waktu penugasan akhirnya kami mendapatkan saat yang tepat untuk bisa melihat langsung Komodo di habitatnya. Namun terbentur oleh kondisi cuaca di bulan Desember yang nyaris setiap hari turun hujan, sehingga dikhawatirkan laut sering terjadi badai. Akhirnya seorang teman yang juga memiliki usaha penyewaan kapal menawarkan inisiatif mengunjungi pulau Rinca. Menurutnya, pulau Rinca lokasinya lebih mudah dikunjungi dengan jarak yang hanya setengah jarak dari Labuan Bajo ke pulau Komodo. Usulan ini akhirnya kami terima, bahkan teman kami menawarkan sebuah perahu yang dia miliki untuk kami gunakan.
Bertepatan dua hari sebelum keberangkatan, Kepala Kantor juga datang untuk menghadiri acara penandatanganan MOU antara Kepala Perwakilan BPKP Provinsi NTT dengan Bupati Manggarai Barat.
Di anjungan perahu 'Sibanaha'
Pada hari H, pagi-pagi sekali pak Arman yang merupakan pemilik kapal membangunkanku untuk bersiap-siap. Rupanya pagi-pagi sekali dia sudah mempersiapkan perbekalan untuk di kapal. Setelah semua perbekalan beres, kami kemudian menjemput Pak Bonardo yang kebetulan menginap di hotel Jayakarta. Sedikit informasi, walaupun hanya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi NTT namun Manggarai Barat memiliki hotel dan penginapan yang lebih banyak dibanding ibukota NTT sendiri, Kupang. Bahkan di Manggarai Barat ini, saat kunjungan kami telah ada dua hotel berbintang empat yang bahkan belum ada kelas hotel seperti itu di NTT. Hal ini menunjukkan bahwa Manggarai Barat memiliki potensi wisata luar biasa yang sudah mulai dilirik pengusaha.
Kami sedikit terkejut setelah sampai di pelabuhan tempat bersandar kapal, karena perahu yang akan kami pakai ternyata bukanlah perahu biasa. Melihat ukurannya, aku lebih suka menyebutnya sebagai kapal kecil dibanding sebuah perahu. Sebuah kapal pinisi dalam versi kecil dengan dua kamar tidur. Tulisan ‘Sibanaha’ tertulis mentereng di sisi kapal. Di samping geladak yang cukup luas juga terdapat dua buah tempat tidur santi untuk berjemur.
Air tenang bagai cermin raksasa
Jam delapan, kapal pinisi yang kami naiki mulai meluncur ke arah selatan dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat. Dengan perahu sebesar ini, ombak menjadi tidak terasa. Apalagi pada saat ini laut pagi sedang tenang sekali seperti biasanya sehingga kami nyaris bagai merasakan membelah udara kosong. Sedikit guncangan kami rasakan saat perahu melewati Loh Liang yang merupakan selat antara pulau Flores dan pulau Rinca.
Namun rupanya ada gangguan di salah satu mesin kapal yang membuat kapal hanya berjalan dengan satu mesin saja. Wal hasil, perjalanan dari Labuan Bajo ke pulau Rinca yang seharusnya cukup ditempuh dalam waktu dua jam saja harus ditempuh dalam waktu empat jam.
Jam dua belas, kami memasuki teluk ke dalam hingga bertemu sebuah dermaga kecil yang bertuliskan ‘Welcome to Komodo National Park Loh Buaya’. Disinilah dermaga pendaratan untuk perahu yang akan ke Rinca berakhir. Dari samping kapal kami melihat dua buah kano panjang berbahan fiber yang dinaiki masing-masing dua turis asing meluncur ke arah bakau. Dari informasi, memang selain untuk melihat Komodo, sering kawasan pulau Rinca ini digunakan wisatawan terutama wisatawan asing untuk melakukan kegiatan kano menyusuri pulau karena di beberapa titik di pulau Rinca memiliki view pantai dan kawasan terumbu karang yang indah.
Monyet menjadi mangsa bagi anak komodo yang masih kecil
Begitu menginjakkan kaki di lantai dermaga maka mata kami langsung disambut oleh kedatangan segerombolan monyet yang datang bergelantungan di pohon-pohon bakau. Mereka tampaknya telah familiar dengan wisatawan yang datang kemari walau pun tidak mau didekati.
Dari dermaga kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju ke pos pemantauan yang tidak berada jauh dari dermaga. Saat dalam perjalanan, kami sempat melihat kerbau dan beberapa burung endemik melintas. Menurut informasi, kerbau ini termasuk kerbau liar karena di kawasan ini tidak terdapat penduduk yang tinggal kecuali petugas pengelola cagar.
Pulau Rinca ini masih masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo sehingga walau terletak di kabupaten Manggarai Barat namun dalam pengelolaannya masih oleh pemerintah pusat.
Dermaga Loh Buaya pintu masuk ke pulau Rinca
Kami sampai di pos pemantauan, di sini berdiri beberapa bangunan termasuk tempat untuk bersantai. Terlihat ada dua ekor komodo yang berukuran agak kecil melintas dari sisi semak-semak di samping kami. Bahkan aku menemukan seorang anak komodo yang masih kecil bersembunyi di antara tumpukan bahan bangunan untuk memperbaiki pos pemantauan. Komodo kecil dengan kulit berwarna cerah dan motif hitam ini merangkak dengan cepat menjauhi saat aku mencoba mendekati untuk mengambil gambarnya. Dari petugas jaga, aku mendapatkan gambaran bahwa komodo-komodo yang masih kecil sampai berumur 3-4 tahun masih lincah bahkan masih dapat memanjat ke pepohonan. Berbeda sekali dengan yang sudah dewasa, di samping kulitnya yang tebal berubah menjadi satu warna saja, Komodo dewasa juga tidak lincah lagi seperti Komodo kecil. Bahkan Komodo dewasa terkesan sangat malas sekali.
Dari sini, kami dibantu olah seorang petugas jaga yang memegang tongkat bercabang masuk lebih ke dalam. Tongkat bercabang ini digunakan untuk menghalau Komodo yang mencoba mendekat.
Tengkorak sisa mangsa komodo yang dikumpulkan
Beberapa meter dari pos jaga kami ditunjukkan sebuah kayu-kayu panjang yang dipanjang berjajar dengan hiasan tengkorak-tengkorak binatang berbagai ukuran. Tengkorak-tengkorak ini ternyata dikumpulkan oleh petugas jaga dari binatang-binatang liar yang dimangsa oleh Komodo. Selain tulang kerbau yang masih lengkap dengan tanduknya juga terdapat tengkorak rusa liar, juga beberapa tengkorak kecil yang rupanya adalah tengkorak monyet.
Di bagian bawah rumah panggung yang menjadi tempat memasak ternyata sudah ada beberapa ekor komodo yang sedang diam bermalas-malasan di bawah kolong. Binatang yang mirip dengan kadal ini tabiatnya memang seperti binatang melata ulat atau buaya yang menghabiskan umurnya dengan bermalas-malasan. Jika sedang bermalas-malasan seperti ini, tak ubahnya kita seperti sedang melihat sebuah patung, nyaris tanpa gerakan sedikit pun. Hanya matanya yang kadang bergerak yang menandakan bahwa kita tidak sedang berhadapan dengan patung. Hanya sekali-kali satu atau dua ekor komodo menggerakan badan.

Anak komodo mengintip di balik semak
Anak komodo di rerumputan
Komodo remaja di antara atap ilalang
Liur yang mengering pada komodo dewasa
Namun jangan mengira dibalik kemalasan sikapnya ini Komodo tidak berbahaya. Jika jarak memungkinkan, dalam sekejap Komodo dapat merubah posisinya dan berlari mengejar mangsanya dalam kecepatan mencapai 20 km per jam. Karena itu sejak awal petugas jaga mewanti-wanti agar kami menjaga jarak dari komodo setidaknya tiga meter. Aku sendiri sempat mendekat hingga jarak satu setengah meter untuk dapat memotret binatang pemalas ini.
Kebiasaan Komodo yaitu berpura-pura tidur dekat genangan air. Ketika ada rusa atau babi hutan yang minum di genangan air tersebut, saat itu lah komodo beraksi.  Dengan kecepatan lari dan ekornya inilah, Komodo akan memukul roboh mangsanya. Gigitan komodo juga memiliki daya bunuh luar biasa, karena dalam air liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan ini tercabik selama makan. Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka.
Dengan lehernya yang besar, memangsa seekor babi hutan cukup hanya dalam hitungan menit karena komodo dengan mudah menelannya saja. Perut seekor komodo yang berumur lebih dari 25 tahun, mampu menampung daging seberat 30 kg. Dengan kondisi demikian, komodo bisa bertahan tidak berburu lagi hingga 1 bulan lebih.
Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning dan bercabang. Komodo jantan lebih besar daripada komodo betina, dengan warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah batu bata, sementara komodo betina lebih berwarna hijau buah zaitun, dan memiliki potongan kecil kuning pada tenggorokannya
Berat komodo betina dewasa yang berumur 25 tahun lebih yaitu sekitar 65 – 70Kg. Adapun komodo jantan dengan usia yang sama memiliki tubuh yang lebih berat yaitu 100 – 110 Kg dengan panjang bisa mencapai 3,8 m.  Usia komodo rata-rata bisa mencapai 50 – 60 tahun.
Komodo berkembang biak dengan bertelur dengan jumlah hingga 20-30 butir sekali bertelur. Sebelum bertelur, induk Komodo membuat gundukan tanah di bawah pohon. Lubang-lubang tersebut dibuat lebih banyak dari telurnya dengan tujuan untuk mengecoh komodo lain agar tidak mudah menemukan telur. Komodo adalah binatang yang bersifat kanibal, yaitu bisa memangsa jenisnya sendiri terutama jika ukurannya lebih kecil. Bahkan dari sekian banyak telur tersebut akhirnya sebagian besar dimakan oleh induknya sendiri dan hanya tersisa rata-rata 5 – 7 butir telur hingga nanti menetas.
Menurut informasi, Komodo ini jumlahnya mengalami penurunan terus menerus, hal ini diakibatnya terjadi persaingan perebutan makanan dengan manusia yang sering melakukan pencurian kayu atau perburuan liar di kawasan Taman Nasional.
Dua jam kemudian kami memutuskan kembali. Karena kapal kami mengalami masalah, kami berpindah ke sebuah perahu biasa yang juga dimiliki oleh teman kami ini. Dalam perjalanan kembali ke Labuan Bajo, perahu kami sempat singgah ke pulau Kambing yang memiliki hamparan pasir putih. Di sana, kami menyempatkan berenang dan bermain snorkling.
Perjalanan hari ini bukanlah berarti kami telah menuntaskan keinginan, masih terbersih harapan suatu ketika bisa benar-benar menginjakkan kaki di tanah langsung para melata prasejarah ini di Pulau Komodo, apalagi informasi tentang beberapa spot pantai dan terumbu karangnya yang juga sangat menawan makin menguatkan kami untuk sampai ke pulau di ujung Provinsi NTT ini.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 08 Desember 2011

Senja di Pelabuhan Ende

Ke Kota Ende. Untuk beberapa urusan. Urusan kantor dan urusan cinta hehehe...
Setelah satu urusan rampung, aku berpikir untuk mencari ‘bahan’ untuk di potret. Beruhubung urusannya berlanjut esok hari. Sekitar jam 4 sore aku memulai ‘pencarianku’. Keliling kota ende yang kecil. Beberapa bibir pantia ku kunjungi untuk medapatkan ‘titik’ terbaik. Cuaca yang kurang mendukung sedikit mengganggu pencarianku.

Setelah berkeliling beberapa saat, perut mulai menunjukan gejala butuh ‘asupan’ logistik hehehehe... Bakso kotak menjadi pilihan untuk ‘merawat’ perutku ini. Semangkok bakso dan segelas teh hangat, plus sebatang dji sam soe memberikanku kekuatan lagi untuk melanjutkan pencarianku.

Mentok. Kalimat yang saat itu bermain di kepalaku. Atau aku yang kurang feel akibat kondisi cuaca. Dermaga Pelabuhan Ende akhirnya menjadi tujuan akhir untuk nongkrong. Sambil merokok tentunya. Menonton kecerian generasi penerus kota ende yang asik bermain sepeda di dermaga, loncat dari dermaga dan berenang ke tepian. Sungguh asik.
Setengah jam berlalu. Mendadak terjadi perubahan warna langit. Sebelumnya datar dan gelap, menjadi kemerahan dalam gulungan awan. Langit memang susah diprediksi keadaannya. Dan ini kesempatan yang tidak kusia-siakan tentunya.

Setengah jam mengabadikan senja di Pelabuhan Ende. Seadanya. Sesuai kemampuan... di bantu gradual ND dan grad-tobbacco TIAN YA...

Sebatang dji sam soe mengakhiri semuanya. Sambil menatap langit indah yang perlahan diselimuti malam. Pelabuhan Ende perlahan menjadi sepi. Tinggal riak ombak dan alunan suara musik melayu dari kapal barang yang sandar di dermaga. Saatnya pulang ke rumah.


------>Ende, 6 Desember 2011
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 06 Desember 2011

Tapaleuk Nagekeo (Bagian II)

Tapaleuk Pantai Pipitolo
Jam dua lewat tiga puluh menit, aku bertiga dengan Kadek dan Eddy sudah siap di hotel, rencana perjalanan kita majukan supaya kita punya waktu lebih untuk mengeksplorasi daerah tujuan. Argumentasi yang masuk akal dari Eddy, sehingga begitu persiapan semua peralatan selesai kita langsung meluncur menjemput Didi. Pey yang biasanya menyetir mobil kali ini tidak ikut, sebagai gantinya untuk perjalanan berangkat Kadek lah yang menjadi driver. Kemarin Pey memang tampaknya lelah setelah pergi ke Mauponggo sehingga aku memutuskan menggunakan mobilnya saja. Dan ini adalah pengalaman pertama Kadek mengendarai ‘Ford Ranger’ menjelajahi medan Mbay-Nangaroro, jadi acara berdoa masing-masing dimulai sebelum perjalanan dilakukan hahahaha. 


Hari Minggu memang kadang agak menyusahkan, apalagi kalau bukan masalah perbekalan karena seluruh toko tutup hari Minggu seperti ini. Setelah mengisi perut terlebih dahulu dan mengisi solar di pom bensin, kendaraan ‘Ford Ranger’ kami langsung melesat membelah jalur lurus kota menuju ke arah jalur Mbay-Ende. Masalah kendaraan juga hampir kita salah isi, di depan pom bensin kita nyaris mau mengisi kendaraan dengan bensin, untung waktu telepon Pey diangkat jadi kita tahu kalau kendaraan ini berbahan bakar solar. Coba kalau sampai salah seperti kejadian dulu, alamat bakal hancur nih mobil hehehehe. 
Cuaca sepanjang jalan cerah walaupun di daerah Aigela mendung dan kita melihat bukit-bukit sedang diguyur hujan yang lebat namun untungnya jalan sendiri tidak ada hujan. Kita sempat juga menaikkan empat anak kecil dan seorang ibu yang sedang jalan kaki menuju ke perkampungan sebelah. Mereka naik di bagian belakang yang berupa bak terbuka, Eddy beberapa kali harus mengingatkan anak-anak itu supaya tidak duduk di pinggir atau berdiri di atap karena memang anak-anak suka dengan sensasi yang kadang kurang disadari bahayanya. 
Beberapa menit setelah melewati pertigaan Nangaroro, kendaraan kita berbelok ke kanan di pertigaan sebelum Puskesmas Nangaroro sampai menuju pinggir pantai, setelah menelusuri pantai beberapa meter Kadek menghentikan kendaraan di depan sebuah sekolah SD. 
Turun ke pantai kita disambut hamparan batu putih sebesar buah kelapa memenuhi sepanjang alur pantai yang sebenarnya berpasir hitam ini. Vegetasi pohon Waru, Pandan Hutan, Kelapa dan Cemara paling banyak ditemui di sekitar area pantai ini. Ombak pantai keras menampar bebatuan sebelum tertarik kembali ke laut, saat ini memang bulang baru separuh yang artinya sore hari justru sendang puncaknya pasang. Menurut orang yang nanti aku temui, pantai ini dinamakan Pantai Pipitolo. 
Sebenarnya, beberapa tahun lalu sebelum tahun 2000 Eddy sendiri pernah sampai ke sini dan pantai Pipitolo ini tidak ada bebatuan ini hanya sebuah hamparan pantai berpasir hitam. Mereka menyebut batu-batu putih yang kini memenuhi hamparan pantai muncul dengan sendirinya belakangan ini, fenomena ini belum ada penjelasannya sedangkan masyarakat sendiri lebih mudah menghubungkan kejadian seperti ini dengan hal-hal yang mistis. Kondisi beberapa tempat yang berupa bukit-bukit terjal memang memungkinkan batu-batu gunung runtuh ke laut dan berproses kembali sehingga menghasilkan batu-batu bulat berwarna putih ini. 
Sayangnya dari sini, matahari senja tenggelam di bagian lain pulau Flores yang menjorok ke laut sehingga kami tidak bisa benar-benar melihat matahari terbenam walau sebenarnya posisi saat bulan begini saat memudahkan daerah berpantai di sisi selatan melihat matahari terbit dan terbenam di cakrawala tanpa terhalangi seperti halnya di pantai Mbuu. 
Kami terus menelusuri pantai ke arah Timur karena di dekat sekolahan dan puskesmas banyak ditemui beberapa sampah berserakan walau tidak seberapa. Di daerah yang langsung berhadapan dengan perbukitan terjal barulah kami menemukan hamparan batuan yang masih bersih, sepertinya masih jarang orang yang sampai ke tempat ini. 
Acara hunting foto ini sedikit menimbulkan insiden. Insiden pertama menimpa Kadek. Awalnya aku yang pertama yang naik ke atas batu bertanah yang berbentuk kerucut tumpul terbalik untuk mendapatkan spot aliran air yang tertarik kembali ke laut setelah terhempas di bebatuan. Tak lama kemudian Didi menyusul di sambung Kadek. Aku terus menjepretkan kamera untuk mendapatkan gambar aliran yang bagus, kuhitung setidaknya ada lima belas foto di titik yang sama. Didi turun terlebih dahulu menyusul Eddy yang terus menyusuri pantai ke Timur. Aku turun terlebih dahulu sementara Kadek masih di atas batu, saat loncat itulah terjadi insiden. Entah pecahan kaca dari mana, saat turun tiba-tiba tangan Kadek menyentuh pecahan kaca, karena dalam posisi meloncat tentu saja tangannya menekan lebih kuat. Tak ayal, pecahan kaca itu mengiris kulit telapak tangan sampai ke daging. Karuan saja, darah segar langsung mengucur dari lukanya. Tapi dasar anak geblek, dia cuma cengar-cengir meringis sambil mengisap darahnya, takut rugi darahnya habis rupanya. 
Insiden kedua, saat aku hendak menyusul Eddy dan Didi ketemu Charles yang ternyata baru berenang. Ternyata waktu dia berenang, kunci motor ada di sakunya. Wal hasil, setelah berenang dia harus rela kehilangan kunci motor. 
Setelah beberapa lama berjalan tidak menemui jejak kedua mahluk itu, aku berhenti saja di bawah cemara yang tumbuh menjorok ke laut tempat Eddy pertama mengambil spot. Langit selatan tampak mendung pekat, kilatan-kilatan petir bersahutan menandakan hujan badai sedang terjadi di tengah laut. Akhirnya aku melihat Didi dan Eddy kembali, akhirnya kita kembali ke tempat semula. Dari Eddy baru aku tahu, kalau dia juga baru mengalami luka akibat mata kakinya terperosok ke batu. 
Memang kalau berjalan di sini harus ekstra hati-hati. Batu-batu bulat putih memang menarik untuk digunakan berjalan tapi sekaligus mudah bergerak sehingga rawan tergelincir. Aku sendiri beberapa kali nyaris tergelincir sehingga memilih menginjak batu-batu yang bentuknya agak ceper. 
Selesai berbenah aku ganti kebingungan karena tidak menemukan Didi, sepertinya Didi berjalan saat aku dan Eddy sedang mencoba peruntungan memotret kilatan-kilatan petir walau berakhir nihil. Setelah beberapa kali dikontak akhirnya Didi menjawab telpon dan meminta kita menjemputnya di puskesmas, rupanya Didi sedang mencari obat dan plester di puskesmas untuk Kadek. 
Karena tangan Kadek sedang terluka mau tidak mau aku yang harus ganti memegang setir. Sesampainya di depan puskesmas aku melihat Charles dan seorang montir sedang mencoba membongkar motor miliknya yang sudah hilang kunci. Karena hari Minggu agak lama juga menunggu perawat, aku menawarkan Kadek membungkus lukanya dengan daun Waru untuk menghentikan darahnya tapi rupanya dia memilih menunggu perawat. 
Aku dan Eddy sempat berbincang dengan ibu-ibu yang sedang rawat inap. Darinya aku mendapatkan cerita tentang pantai Pipitolo ini termasuk sebuah pantai yang katanya lebih bagus dari pada pantai Pipitolo. Katanya untuk ke sana dari pertigaan setelah jembatan Nangaroro masuk ke kiri menuju ke pantai sekitar tujuh kilometer ke arah Selatan. Dari pantai sana, kita bisa bebas melihat matahari tenggelam di cakrawala barat. 
Jam tujuh lewat tiga puluh menit, kami mulai berangkat kembali ke Mbay. Perjalanan pulang kami harus menambah seorang penumpang, teman Charles yang ikut menumpang ke Mbay. Perjalanan lebih santai karena dari awal aku bilang kalau aku menyetir cenderung santai tidak terburu-buru. Kebetulan pula beberapa ruas jalan sedang ada pekerjaan besar pemangkasan bukit sehingga ruas-ruas jalan menjadi menyempit karena sebagian badan jalan dipenuhi longsoran tanah dan batuan sehingga tentu tidak nyaman kalau memaksa kendaraan berlari. 
Karena perut yang kosong, kami memutuskan untuk berhenti di sebuah warung di Aegela yang merupakan persimpangan antara ke Bajawa dan ke Mbay. Setelah menghentikan kendaraan di depan sebuah terminal, kami berempat memesan mie telur rebus. Hawa agak dingin karena memang pertigaan ini agak di ketinggian. Untunglah penjual warung ini buka sampai jam sembilan malam, karena kalau tidak ada warung ini alamat kita harus menahan lapar satu jam lagi sampai di Mbay. Kami memasuki kota Mbay sekitar jam sepuluh lewat dua puluh menit.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya