Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 18 September 2011

Tanjung Bastian, Menyusuri Laut Utara Timor

Tanjung Bastian sesaat setelah matahari terbenam berlatar perbukitan
Berada di pantai utara pulau Timor, Tanjung Bastian yang masuk dalam wilayah Wini merupakan salah satu tempat wisata yang mulai dikembangkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara. Tak banyak tempat wisata yang diandalkan bagi daerah ini, maka melihat lokasinya Tanjung Bastian ini memang punya kans yang lebih besar bagi daerah ini bagi pemasukan kas daerah sekaligus mengembangkan potensi wisatanya. Dari kota kecamatan Wini, lokasi Tanjung Bastian ini berjarak sekitar 5 kilometer ke arah Timur. 

Foto bersama tentara perbatasan di areal perbatasan TTU - Oecussi
Sekedar informasi bagi yang belum familiar, Wini ini adalah kecamatan dari Kabupaten Timor Tengah Utara yang berbatasan langsung dengan distrik Oecussi yang merupakan daerah kantung yang menjadi salah satu provinsi negara Timor Leste. 

Keberadaan distrik Oecussi yang terpisah dari daerah Timor Leste lain jelas merupakan keuntungan tersendiri bagi Wini yang menjadi tempat keluar masuknya arus lalu lintas orang dan barang dari dan ke Oecussi. Beberapa kali sebenarnya aku pernah di tugaskan ke Timor Tengah Utara ini, hanya baru sekitar setahun lalu aku sempat singgah melihat Tanjung Bastian. Itupun sebenarnya hanya singgah sementara di antara waktu tugas sehingga hanya sempat duduk untuk makan siang. Baru pada kesempatan kedua minggu lalu aku bersama seorang teman sempat mengunjungi secara khusus Tanjung Bastian. 

Perbukitan di daerah Wini
Dengan menggunakan sebuah motor, kami berangkat dari Kefamenanu sekitar jam tiga sore dengan perkiraan jalan yang kami tempuh akan memakan waktu satu jam untuk sampai ke Tanjung Bastian sesuai dengan informasi yang kami terima dari orang-orang yang pernah kesini. Namun ternyata jauhnya perjalanan tidak seperti yang kami harapkan, lokasi jalan yang melewati banyak perbukitan sehingga jalan banyak berlika-liku dan ruas jalan yang tergolong sempit mengakibatkan kami tak bisa melajukan motor apalagi jika berpapasan dengan kendaraan roda empat. 

Lahan perbukitan yang dibakar warga
Perjalanan kami juga kadang terganggu oleh asap-asap yang bertiup ke arah kami dari perbukitan-perbukitan yang mulai dibakar warga. Bulan-bulan kering begini memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat membakar lahan-lahan. Sebagai masyarakat yang banyak mengandalkan dari peternakan, pembakaran lahan ini dimaksudkan agar rumput-rumput kering bersih sehingga nanti waktu musim hujan akan menumbuhkan lebih cepat rumput-rumput baru yang hijau. 
Awalnya aku pikir pembakaran lahan ini seperti di daerah Jawa atau Sumatera yang biasanya untuk kebutuhan pembukaan lahan baru (berladang). 

Walaupun entah disadari atau tidak pembakaran lahan yang sudah menjadi kebiasaan ini mengakibatkan perbukitan tidak pernah menjadi hijau sehingga tanah kurang dapat menahan air hujan. Kondisi yang nyaris sama ditemui di banyak tempat di pulau Timor ini menguatkan stereotif daerah Timor sebagai daerah yang sulit air.

Di daerah mulai mendekat ke Wini, kami melihat daerah perbukitan berbatu yang terjal yang mengapit jalan dan perkampungan kami melintas. Menurut penduduk, perbukitan sisi barat berbatasan dengan Timor Leste. Perbukitan-perbukitan yang menjulang di sepanjang jalan ini memberi hiburan setelah kami berpanas-panas di perbukitan yang kering dan terbakar.
Ternyata aku mulai memasuki daerah Wini lebih kurang satu setengah jam, cukup terlambat namun tidak cukup terlambat untuk mendapatkan matahari terbenam dari Tanjung Bastian.

Lokasi pacuan kuda Tanjung Bastian
Dengan keberadaanya sebagai tanjung, matahari terbenam dan metahari terbenam bisa dilihat langsung dari tempat.

Memasuki pintu masuk Tanjung Bastian yang sepi kami melihat sebuah lintasan besar melingkar yang dipagari kayu bercat putih. 

Di sebelah selatan pacuan terdapat sebuah panggung untuk penonton. Lintasan ini adalah arena pacuan kuda (Tanjung Bastian Horse Racing Track) yang telah rutin digunakan sebagai lokasi kejuaraan pacuan kuda. 

Setidaknya setahun ada tiga sampai empat lomba pacuan kuda yang diadakan di tempat ini. Dari informasi staf daerah, pacuan kuda terakhir yang diadakan sekitas bulan Juli kemarin.

Sayang aku datang tidak tepat saat pacuan kuda berlangsung. Lintasan pacuan kuda yang sepi ini sekarang hanya dihuni beberapa ekor sapi warga yang merumput.
Pantai yang berpasir putih kekuningan ini banyak ditumbuhi tanaman perdu berduri dan pohon asam. Tampatnya cukup rindang karena pohon peneduh ini tumbuh cukup banyak. Beberapa bangunan semacam cottage telah dibangun di sepanjang jalur pantai, walaupun lebih sering terisi saat ada acara semacam lomba pacuan kuda saja.



Dari Tanjung Bastian kontur perbukitan yang kami temui dari perjalanan itu tampak dari sini, sebuah gabungan pemandangan yang cukup menarik mata. Disepanjang tanjung pantai ini banyak tumbuh pohon bakau. Berlatar senja, puluhan bangau putih tampak turun memenuhi karang-karang sepanjang bakau. Sore itu laut sedang surut, aku baru menyadari saat melihat sesaat setelah matahari terbenam, bulan yang nyaris bulat juga muncul dari ufuk timur.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 29 Agustus 2011

Menjejakkan Kaki di Riung

Gugusan karang dan hamparan pasir putih di Pulau Tiga
Menjejakkan kaki ke Riung ini seperti menjadi impian, karena semenjak aku tinggal di Kupang dan telah berkeliling ke seluruh pelosok Nusa Tenggara justru Riung yang belum aku jelajahi (pulau Komodo juga). Alasan utama karena walaupun bagian dari Kabupaten Ngada tapi dari Bajawa, ibukota Ngada ke Riung jarak yang ditempuh serta kondisi medannya jauh lebih sulit dibanding kalau kita ke Ende. Keinginan itu menguat aku mulai menyukai snorkling berawal dari pengalaman pertama snorkling di pulau Bidadari, Manggarai Barat.

Perjalanan dari Bajawa ke Riung seingatku sekitar empat setengah jam naik turun perbukitan dengan jalan seperti jalan ular, itu masih ditambah dengan ruas jalan yang sempit. Di beberapa ruas jalan sempit dan sisi sebelah menghadang jurang yang sangat dalam, sehingga saat berpapasan dengan kendaraan yang dari arah berlawanan maka salah satu kendaraan harus berhenti dulu. Jurang-jurang di sepanjang perjalanan Bajawa-Riung tampak menganga dalam siap menelan kendaraan yang tidak dikemudikan hati-hati. 

Salah satu sudut perkampungan nelayan di Riung

Aku memilih perjalanan dari Bajawa siang hari karena untuk ke tempat Taman Laut 17 Pulau sebaiknya di pagi hari dimana kondisi laut masih tenang, jika sudah menjelang sore maka air laut sudah bergelombang keras sehingga kegiatan menjadi kurang bisa dinikmati.

Perjalanan kedua yang aku lakukan Februari kemarin lebih enak karena aku mengambil jalan dari Nagekeo yang lebih dekat jaraknya ke Riung. Yang menjadi masalah memang sekitar 5 km jalan ada yang kondisinya rusak lumayan parah, dan jalan parah ini bisa memakan setengah waktu sendiri, apalagi kalau sudah masuk musim hujan entah bisa dilewati atau tidak, kecuali anda menggunakan kendaraan four wheel drive dan beroda besar macam kendaraan yang didesain untuk off-road.

Perkampungan di Riung banyak ditemukan home stay milik penduduk setempat, cocok untuk traveler yang ingin menghemat pengeluaran dan tidak mempermasalahkan kenyamanan. Tapi jika kenyamanan menjadi masalah maka bisa memilih beberapa hotel yang juga sudah berdiri di sini.

Aku bersama teman-teman masuk ke Riung saat jam sudah menunjukkan pukul delapan, agak terlambat sebenarnya mengingat rencana kami bisa naik perahu pagi-pagi. Itupun masih terganjal masalah utama, perut kami tidak terisi dari pagi karena kami sejak subuh telah di atas kendaraan. Memang pilihan untuk menginap lebih bijaksana jika ingin benar-benar menikmati perjalanan di Riung. Setelah sempat berputar-putar mencari makan akhirnya ada sebuah toko yang pemiliknya bersedia memasakkan mi instan ke kami, lumayan untuk menjadi pengganjal perut. Seorang nelayan yang sudah setengah umur menawarkan perahu kepada kami, dengan harga lokal yang kami sepakati sebesar tiga ratus lima puluh ribu maka perahu yang bisa muat sampai delapan orang ini kami sewa. 

Ribuan kalong bergelantungan di pohon bakau di pulau Ontoloe
Jam setengah sembilan perahu kami mulai yang sudah bersandar dari pagi mulai melaju ke arah utara ke arah pulau Ontoloe, sebuah pulau yang banyak dihuni kelelawar, elang laut dan monyet. Keberadaan kelelawar pemakan buah ini sangat mencolok karena pada waktu begini mereka sedang tidur bergelantungan. Dari kejauhan pohon-pohon tampak bagai pohon kering kehitaman dan setelah dekat baru tampak bahwa ribuan kelelawar telah bergelantungan tidur di dahan-dahan pohon bakau yang telah habis daunnya. Di pinggir pulau pemilik perahu berteriak-teriak dengan suara memekik yang tidak bisa kami tirukan, kontan ribuan kelelawar berterbangan kesana kemari hiruk pikuk.

Dalam catatanku ada beberapa pulau yang biasanya menjadi persinggahan wisatawan, seperti: Pulau Batang Kolong, Pulau Meja atau Pulau Tembaga, Pulau Sui, Bampa Timur atau Pulau Tiga, Pulau Ruton atau Tangil, Pulau Wire, Pulau Wongkoroe dan beberapa kawasan lain yang menjadi surga bawah laut.

Sebenarnya sedikit lebih jauh dari pulau Ontoloe ada pulau terluar yang cukup bagus taman lautnya, yaitu pulau Ruton. Namun karena sudah terlalu siang dan arus mulai naik, akhirnya kami langsung saja menuju ke pulau Tiga.

Saat perahu sudah mulai mendekati pulau pada jarak beberapa ratus meter terhampar kawasan terumbu yang sayangnya telah yang banyak mati. Menurut pemilik perahu, kerusakan itu terjadi dulu akibat pengobaman maupun peracunan oleh nelayan-nelayan di sekitar sini sebelum Riung ditetapkan sebagai taman nasional. Sekarang setelah ditetapkan menjadi kawasan taman nasional masyarakat sudah tidak melakukan lagi illegal fishing di daerah ini.

Sekitar setengah jam kami snorkling di daerah ini sambil melihat-lihat beberapa spot yang mulai tumbuh karang-karang baru.

Akhirnya sebuah hamparan pasir putih yang membentang mengelilingi pulau ini menyambut kami. Beberapa lopo tampak berdiri namun sayangnya sebagian besar telah rusak. Tampak ada 2 perahu yang telah datang mendahului kami dan semuanya perahu yang disewa oleh orang asing.
Beberapa saat kami bermain kembali snorkling di daerah ini. Ternyata tingkat kerusakan di pulau ini cukup parah, namun pasir putih dan airnya yang sangat bening menghibur kami. Bintang laut dan duri laut adalah binatang yang paling banyak ditemui disini.



Sekitar jam satu kami memutuskan kembali karena matahari sudah sedemikian terik, bahkan kulit kami juga sudah berubah warna menjadi gosong.
Perlu beberapa kali kunjungan untuk mencoba keberadaan pulau-pulau lain di Riung karena kami memperoleh informasi bahwa ada beberapa spot yang menarik di tiap pulau dan tanjung, juga daerah barrier reef.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 28 Agustus 2011

Senja Hari di Pantai Nunsui

Senja di Pantai Nunsui berlatar pohon Bakau dan bebatuan
Puasa kali ini nyaris tanpa kegiatan atau mungkin lebih tepatnya sangat sedikit kegiatan. Kegiatan jangan dibaca kerjaan ya, kegiatan itu bagiku acara jalan-jalan ke tempat-tempat yang baru atau sekedar ulangan. Untungnya pekerjaan yang lebih sering di luar kota membuat hiburan tersendiri setidaknya dari balik kaca kendaraan yang melintasi dari satu kabupaten ke kabupaten lain aku masih bisa melihat view laut dan gunung.
Belakangan ini beberapa temen yang suka fotografi membicarakan pantai Nunsui yang katanya bagus untuk foto. Dan lokasi tempat ini juga diperkuat dengan foto-foto teman yang menunjukkan bagusnya lokasi ini untuk alternatif lain tempat wisata. Dengan informasi akhirnya dengan penjelasan teman yang pernah kesana dan Google Earth akhirnya aku bisa menemukan lokasi tepatnya.
Lokasi pantai Nunsui ini bisa dicari via Google Maps dengan posisi  -10.136589,123.656321 atau posisi dengan Google Earth pada 10° 8' 12.97" S  123° 39' 23.59" E. Pantai ini masih berdekatan dengan pantai Lasiana yang sudah di kelola lama sebagai tempat wisata oleh pemerintah daerah. Jadi pantai Nunsui dan pantai Manikin posisinya menjepit pantai Lasiana.
Setelah beberapa hari rencana mau ke pantai Nunsui batal karena berbentrokan dengan jadwal dan ketatnya deadline laporan akhirnya pada  Jum'at sore punya kesempatan untuk menuju ke tempat itu. Jam setengah lima persis setelah aku mempersiapkan kamera dan peralatan foto lainnya aku mulai jalan. Tentu saja aku tidak melupakan sebotol minuman dan kue, karena perhitunganku aku pasti akan berbuka puasa di sana. Perjalanan dari rumah sampai tempat ini sekitar 15 menit.
Batu-batu berserakan di sepanjang pantai kala surut
Menuju pinggir pantai di Nunsui aku menemukan beberapa tempat makan dan bersantai sudah didirikan di tempat ini dan untungnya mengambil jarak dari pantai. Dari jalan ke pantai terdapat ruang beberapa puluh meter yang berdiri pepohonan kelapa dan jenis pohon pantai lain yang cukup rindang milik warga sekitar pantai.
Di pantai ini memiliki ciri sama dengan beberapa pantai di sekitar Kupang termasuk pantai Lasiana yaitu sangat landai. Jadi pada saat surut jauhnya pantai bisa beberapa ratus meter, dan itulah yang terjadi saat aku kesini. Laut baru selesai di puncak surutnya sekitar jam 4 sore tadi sehingga saat aku sampai surutnya masih jauh.


Anak-anak mencari ikan di pantai Nunsui saat laut surut
Dengan pasirnya yang berwarna putih kekuningan yang sangat halus, saat surut pasir-pasir ini meninggalkan urat-urat gelombang. Pasirnya yang panjang sendiri bisa menawarkan alternatif tempat wisata, walau tidak menawarkan pemandangan yang lebih dibanding dengan tempat lain. Pasir yang benar-benar putih di Kupang ini dan punya potensi lebih menarik aku lebih memilih di pantai Tablolong walaupun kekurangan tidak landai. Namun jika dikelola profesional tidak mustahil penataan dan pembersihan pantai bisa menghasilkan landscape pantai yang menarik wisatawan.
Ada sebuah pohon Bakau dan itu satu-satunya yang tumbuh menyendiri di pantai Nunsui, itu menjadi salah satu penanda jika anda telah berada di lokasi yang tepat. Pohon bakau yang tumbuh sendiri ini adalah view favorit untuk pengambilan foto Nunsui.
Dari pantai ini, mata bisa langsung melihat matahari tenggelam dengan bayangan bagan-bagan apung yang banyak tumbuh di sekitar pantai Kupang. Jika matahari telah tenggelam maka agak ke sebelah kiri akan bermunculan kerlip cahaya-cahaya malam yang berasal dari kota Kupang.
Di Kupang, lokasi-lokasi yang dulunya diabaikan telah menarik minat untuk dikembangkan sehingga tak heran di sepanjang jalur pantai sekarang tumbuh restoran-retoran atau tempat makan yang menawarkan suasana pantai. Celakanya pembangunan ini kadang tidak memandang ekosistem yang ada, beberapa tempat yang jelas-jelas dulu terpasang papan pengumuman sebagai jalur hijau yang artinya tidak boleh ada bangunan permanen faktanya sekarang subur rumah makan, restoran dan hotel. Bahkan jalur hijau yang lautnya kaya akan biota dan terumbu karang sekarang juga sudah akan dibangun kawasan perumahan mewah. Melihat hal ini, aku berharap semoga pembangunan ini tidak akan terjadi di pantai Nunsui atau pantai lain. Semoga pembangunan yang akan datang di pantai ini memperhatikan ekosistem serta keberadaan masyarakat pesisir.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 18 Agustus 2011

Batu-Batu di Pantai Mbray


View pantai Mbray ke arah Timur berlatar perkampungan Mbray dan gunung Meja
 
Seperti yang aku tuliskan sebelumnya di Berbagi Langit dan Laut: Foto di Antara Ende - Mbay, akhirnya aku punya kesempatan memotret pantai Mbray.
Pantai Mbray ini terletak dipertengahan perlintasan antara Ende - Nangapanda. Kalau kita dari Ende ke pantai Mbray mungkin bisa ditempuh sekitar 15 menit itupun kita tidak perlu melarikan kendaraan terburu-buru.

Jalur sepanjang arah perjalanan ke tempat ini  tergolong tidak lebar dengan beberapa tikungan yang banyak diantaranya sangat tajam. Aku pernah merasakan kendaraan yang kita pakai terserempet kendaraan gara-gara keteledoran sopir yang memaksa masuk melewati kendaraan kita tanpa pertimbangan yang matang.

Ada tanda yang khas yang menunjukkan lokasi perkampungan Mbray, pertama adanya sebuah masjid yang berarsitektur Timur Tengah yang saat ini masih belum selesai dikerjakan. Yang kedua di ujung perkampungan yang berada di ujung perkampungan sisi pantai terdapat dua buah pohon kelapa.

Gambar-gambar ini aku ambil pada waktu perjalanan dari Mbay ke Ende. Waktu itu sekitar  pukul lima lewat sekitar sepuluh menit. Matahari sendiri masih bersinar cukup kuat sehingga untuk menghasilkan gambar ini harus menggunakan sebuah lensa filter penghalang yang cukup gelap.

Ombak juga keras sehingga harus cukup hati-hati, karena beberapa kali tamparan ombak menghantam karang menghasilkan cipratan air yang cukup keras dan tinggi. Tapi itu sepadan dengan view yang kita nikmati. Tonjolan batu-batu karang datar yang ditumbuhi semacam lumut berwana kuning dan sebagian lagi hijau menghasilkan warna yang menarik. Hempasan air yang menghantam batu-batu itu akan mengalir turun kembali membentuk aliran air seperti sebuah air terjun kecil.

Letak batu-batu yang ceper sayang letaknya agak sedikit jauh dari perkampungan Mbray karena di perkampungan Mbray sendiri batu-batu karangnya kurang menarik berwarna hitam. Tapi di bagian batu-batu karang yang ceper ini ada beberapa jenis batu yang berwarna berbeda dan sebagian ditumbuhi lumut. Karakter pasirnya halus dan berwarna hitam pekat.



Batu ceper berlumut hijau


Batu kuning



Pecahan batu-batu
 
Batu berlumut kuning (tumbuhan laut)
Sayangnya keinginanku untuk mengambil gambar lokasi ini waktu subuh belum tercapai, tampaknya harus direncakan lagi untuk bisa mengambil foto di lokasi ini pagi hari.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 15 Agustus 2011

Share with Nagekeo Photographer Club (NPC)

Bulan purnama di atas laut Marapokot

Penugasan keluar kota pada bulan puasa? hadeeh, bawaannya malas banget. Belum jalan saja sudah terbayang rasanya lapar dan haus di kota-kota kecil, repotnya cari makanan buat buka puasa apalagi keluar hotel untuk makan sahur. Tapi tugas tetaplah tugas, saat nama kita sudah tertera di surat tugas ya maka pantang kaki kita surut ke belakang.
Untungnya penugasan di bulan puasa dapat tugasnya di Nagekeo, kota yang sudah sering aku singgahi dan disana ada temen mas Eddy Due Woi yang sudah kenal lama dan sama-sama suka foto.


Rembulan perahu (difoto oleh Eddy Due Woi)

Kurang enaknya, untuk ke Nagekeo aku harus terbang dari Kupang ke Ende dulu karena sampai saat ini Nagekeo belum memiliki bandara sendiri. Tapi rencana pembuatan bandara sendiri sih sudah ada dan di dokumen perencanaan sendiri disebut sebagai rencana pembangunan bandara "Surabaya II". Ada apa ya kok pakai nama Surabaya II, ternyata nama ini berasal dari sandi yang digunakan Jepang sebagai bandara darurat bila suatu ketika bandara Jepang di Surabaya terdesak oleh pasukan sekutu. Dan itu memang terjadi, pasca serangan sekutu ke Surabaya dan mendesak Jepang, banyak pesawat dan tank Jepang yang dilarikan ke daerah Nagekeo ini. Tapi cerita lebih lanjutnya seperti lain waktu saja kalau aku sudah memiliki data yang lengkap dan foto-foto pendukungnya.
Jadilah hari-hari di Nagekeo kembali seperti tahun sebelumnya, tiap pagi gedor-gedor pintu rumah makan Tulungagung bangunin yang punya supaya bisa makan. Lumayan, rasa makanannya yang enak apalagi sambalnya membuat hari-hari sahur bisa dinikmati. Coba kalau pagi-pagi harus makan nasi dingin dan lauk tidak enak, pasti sahurnya rasanya asem terus.


Refleksi langit senja di pantai Marapokot

Hari Minggu sore, aku sepakat sama mas Eddy dan teman-teman dari Nagekeo Photographer Club (NPC) sepakat hunting foto ke daerah Marapokot, daerah pantai yang hanya berjarak sekitar 13 km dari kota Mbay. Sebenarnya sempat direncanakan pergi ke Nangateke tapi karena masalah mobil yang tiba-tiba mogok jadilah rencana ke Nangateke dibatalkan karena medan kesana memang kurang nyaman.

Senang sekali aku bisa mengenal teman-teman Nagekeo yang semangat membuat kelompok pecinta foto, dan mereka pun orang-orang yang suka trekking, sebuah paduan yang pas untuk membagi keindahan alam Flores yang luar biasa. Sepertinya suatu ketika aku harus ikut trekking bersama mereka, rugi kalau di Flores tidak menjelahi keindahan alamnya.
Sengaja aku berangkat jam 4 sore supaya bisa sekalian ngabuburit di sana. Pantai Marapokot yang menghadap ke timut laut sebenarnya kurang tepat untuk memotret senja hari karena matahari tenggelam di sisi sebaliknya.

Temen-temen yang ikut hunting (Didimoesh dan Arief 'Papat')

Untuk beberapa saat masing-masing asyik dengan obyek bidikannya. Ada yang suka jongkok untuk mengambil pemndangan dengan komposisi di pasir, ada yang melototi anak-anak yang bermain bola, ada juga yang menunggu dengan posisi siap tembak ke arah anak-anak yang bermain air laut. Sedangkan aku justru berjalan terus ke arah tenggara karena berpikir ada sebuah pokok pohon di ujung muara, ternyata otakku mengalami tumpukan memori karena sebenarnya tidak ada pokok di pinggir laut di sini.

Saat maghrib menjelang aku mulai mengemasi peralatan foto dan mampir ke warung yang kebetulan buka. Segelas teh panas yang tidak terlalu manis dan sepiring gado-gado menjadi menu pembuka yang pas, dan tidak lama kemudian sudah berpindah semuanya ke perutku.
Tiba-tiba seorang teman menunjuk ke arah timur, dan saat aku mengikuti arah pandang mereka: waduh, aku lupa sama sekali kalau bulan saat ini masih masuk dalam fase purnama.
Buru-buru kami berlarian kembali ke pantai. Ah sebuah pemandangan malam hari yang sangat cerah dan bulan berwarna kuning di atas ufuk membentuk garis-garis kuning di air laut. Pemandangan yang romantis kata salah seorang teman, ah ha pikiran bujang rupanya.

Dengan sigap, aku dan teman-teman dari NPC mengeluarkan peralatan kamera dan membidikkan ke arah bulan. Bulan dan perahu menjadi bahan sharing kami, aksesories-aksesories kecil yang sering absen waktu hunting tiba-tiba menjadi barang penting.
Bahkan sebuah diffuser biru dan kuning yang biasanya tak tahu harus kami gunakan untuk apa menjadi alat yang menarik untuk menghasilkan tonal yang tidak biasa. Semuanya menjadi begitu saling melengkapi bahkan sebuah cahaya petromaks seorang nelayan yang sedang bersiap-siap hendak melaut menjadi tambahan cahaya yang berguna.
Awal persahabatan yang menarik bersama-sama teman NPC, semoga bisa hunting lagi yang lebih seru di tanah Flores ini.

Thanks buat teman-teman yang udah hunting bareng, semoga bisa terulang di lain kesempatan: 
Eddy Due Woi: NPC crew

Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 06 Agustus 2011

Berbagi Langit dan Laut: Foto di Antara Ende - Mbay

 
Langit biru di atas laut Flores
Tak ada cerita khusus dan tak ada perjalanan khusus, ini hanyalah gambar-gambar yang tiba-tiba hadir di depan mataku di dalam perjalanan Ende-Mbay yang membelah tanah Flores dari Selatan ke Utara. Saat gambar itu muncul mau tak mau memaksa saya meminta sopir menghentikan lajunya bila sedang tak berkendara dengan kencang sebab ruas jalan berliuk-liuk ini bisa tak memberi ampun siapapun yang berkendara dengan sembrono.

Untungnya perjalanan Ende-Nagekeo lebih sering kulakukan bukan dengan kendaraan umum sehingga aku lebih leluasa mengatur jadwal dan tak perlu berpanik-panik dengan jam sopir yang entah santai atau tidak kadang memacu kendaraan dalam kecepatan yang berkejar-kejaran dengan detak jantung yang dipicu adrenalin.

Tak usah risau kecuali rumah keong telingamu bermasalah, sepertinya sopir-sopir travel dan angkutan antar kota ini sangat mahir kecuali kemalasannya menginjak rem. Bahkan walau mereka habis meminum 2 sampai 3 sloki Moke, minuman sangat keras dari sulingan air nira pohon lontar. Aku cuma tidak menyukai melihat muka mereka menjadi memerah kadang mata juga menjadi begitu, membuatku berfikir kalau mereka seperti tampak habis dari bangun tidur.

Tengokkan kepalamu keluar jendela karena sepanjang jalan tak ada yang bisa menduga apa yang kamu lihat, tapi biarkan telingamu mendengar musik-musik country atau reggae mengalun dari dalam kendaraan. Mungkin sedikit awal yang aneh jika mereka sering juga menyetel lagu-lagu khas Flores atau lagu-lagu pop Ambon, tapi ada beberapa lagu yang ternyata enak juga didengarkan untuk menemani perjalanan. Tahukah kamu, lagu apa yang kuingat judulnya sampai sekarang? Setidaknya ada dua lagu: Jamila Wa Jawa dan Iki Mea hehehe.................

Suasana laut senja di salah satu pantai Nangapenda
Ya, ada satu tempat yang menarik diantara perjalanan antara Ende-Mbay. Tempat itu dekat dari Ende dan memang masih masuk wilayah Ende. Aku taksir dari Ende dengan kendaraan motor atau mobil sekitar 15 menit. Di pinggir laut Mbray yang ombaknya lumayan besar terdapat batu-batu yang berbentuk kepingan-kepingan besar yang datar dengan view sebuah perkampungan nelayan dengan hiasan sebuah masjid berkubah ala Timur Tengah yang belum rampung. Seperti apa sesungguhnya view Mbray? Semoga perjalanan singgah berikutnya aku bisa sampai ke tempat ini.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya