Selasa, 29 Mei 2018
Milkyway di Atas Langit Pantai Liman
Ini perjalananku satu tahun yang lalu bareng Imam dan Adis pas lagi bulan puasa. Ceritanya sih lagi pengen moto Milkyway di pantai Liman. Kenapa kok cuma mau moto Milkyway sampai harus ke Liman yang musti nyebrang pulau dan menginap di sana? Kalau mau flashback ke ceritaku sebelum ini Jelajah Semau: Perjalanan ke Liman (2), pantai Liman itu bagiku masuk tempat paling keren untuk sekitaran Kupang. Waktu yang kalian buang untuk kesini itu worthed banget dengan view yang akan kalian dapat. Jika memotret siang hari aja cakep banget gimana coba kalau memotret Liman dengan latar Milkyway? Nah itulah yang aku masukkan ke wishlist jika kembali ke Liman.
Lha kok dilalah.. eh istilah dilalah itu bahasa Indonesianya apa ya? hihihi... Imam dan Adis malah mau jalan pas bulan puasa. Eh koreksi, perjalananku ini bukan puasa sekarang ya tapi puasa tahun kemarin. Waktu itu mikir juga bisa apa gak kalau ke Liman pas kita lagi puasa.
Karena dari pengalaman perjalananku tahun 2014 dulu di sini: Jelajah Semau: Perjalanan Tanpa Arah (1), kita yang gak puasa saja merasakan haus yang gak ketulungan. Kering banget, meeenn..
Awalnya sih banyak yang mau ikut ke pantai Liman tapi satu persatu pada mundur begitu tau kita jalan pas bulan puasa. Lha gak puasa aja kerongkongan kering apalagi pas puasa begini.
Ya akhirnya aku dan Imam sepakat jalan menjelang sore biar pas kesana tinggal berbuka.
Alkisah, begitulah perjalanan itu dilakukan dan sampailah kita ke Liman dengan selamat sentosa mengantar kami bertiga ke gerbang Liman yang merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur.. halah.. Ah gak gitu ding, ternyata walau kita sudah pernah kesana tapi tetap saja gak bisa mengukur waktu dengan tepat. Lagi-lagi kita melewati jalan yang berbeda dari jalan yang kita tempuh sebelumnya. Jadilah kita pakai acara bertanya lagi ke penduduk untuk memastikan arah jalan. Ternyata kita gak sejago itu men..
Dan alhasil saat matahari tenggelam kita masih sepertiga terakhir menuju pantai Liman. Perkiraan waktu kita ternyata berantakan. Ya udah akhirnya kita buka puasa dulu di pinggir jalan. Kopi di termos udah oke, tapi tetep saja ada insiden kecil: pecahnya 2 telor di-tas-ransel-ku dan mengeluarkan bau yang khas dan sedap. Padahal itu telor cuma 6 biji yang rencananya pas 3 biji untuk berbuka dan 3 biji untuk sahur nanti. Jika begitu, berapa biji jumlah telor yang tersisa untuk makan sahur. Pilih jawaban yang anda anggap benar:
a. Habis, sisa 4 biji telor yang habis pada saat berbuka. Lo kira kita buas sama makanan gitu?
b. Sisa 4 biji telor karena kami mahluk yang tidak rakus dan sayang binatang.
c. Aku gak tau karena setauku telor gak ada bijinya
d. Emang gue pikirin. Situ yang makan telor ngapain gue yang pusing.
Terus jawaban yang betul yang mana? Mau tau atau mau tau banget? #culekmatapenulisnya.
Ahsu dahlah.. lebih baik kalian liat sendiri foto-foto milkyway hasil jepretanku aja lah. Daripada aku bingung harus nulis apa lagi. Bukan karena gak asyik perjalanannya lho ya. Wo jangan salah, gak ada yang gak asik jalan-jalan begitu apalagi ditemeni 2 mahluk krucil itu. Semakin banyak insiden semakin asik, lha kehabisan gas gara-gara buat masak nasi aja tetep asik kok.
Oh ya ada satu yang gak asik. Mereka berdua itu kan sebenarnya tau kalau aku orang yang gak bakal tahan melek semaleman. Tetep pasti aku harus tidur. Nah malam itu di pantai Liman, pas jam sebelas Milkyway-nya udah pas berada di tengah-tengah. Karena gak mungkin nungguin sampai jam 2 pagi, jadi sebelum tidur aku pesen ke mereka buat bangunin aku jam dua-an gitu supaya bisa moto Milkyway. Bocoran dikit, 2 krucil itu biasa gak tidur sampai pagi. Jadi mereka itu mungkin garis evolusinya kalau gak dari kalong ya burung hantu.
Dan setelah aku terlelap tidur, aku dibangunin saat jam 3 pagi. Aku bangun dan mereka dengan entengnya bilang, itu milkyway-nya sekarang udah ketutup sama awan. Tadi jam dua milkyway-nya asik banget terang benderang. Lho kok gak bangunin aku jam segitu? Mereka berdua ngeles, katanya udah panggil-panggil aku tapi gak kenceng. Beuh, dikiranya sekarang ini kita tinggal di tempat yang rumah tetangganya dempet-dempetan gitu? Ini pantai biar kita teriak kenceng juga gak ada orang yang dengar, paling banter cumi-cumi jengkel dan semprotin tinta ke mukamu.
Tapi point pentingnya adalah Pantai Liman adalah salah satu tempat terbaik untuk melihat Milkyway. Karena tempatnya jauh dari keramaian jadi tidak ada polusi cahaya sedikitpun. Lagian juga jarang yang datang sampai menginap di pantai ini karena bagaimanapun cerita mistis masih melingkupi pulau Semau. Salah satu alasan kenapa orang jarang berani bermain sampai malam di pulau Semau.
Cuma paginya aku baru tahu kalau ternyata ada orang lain yang juga memasang tenda semalam. Ada dua orang bule sepasang ikutan nenda agak jauh dari kita. Aku tahunya pagi-pagi pas lagi moto liat satu perempuan pake two-piece sama satu cowo pake.. ah gak penting.. mandi di laut. Just say hello aja sih, gak enak mau ngajak ngobrol.. tau kan bule yang kalau sudah seperti itu artinya minta privasinya dijaga.
Udah ah, udah kebanyakan cerita. Kalau mau tahu cerita Liman silahkan baca-baca tulisanku di atas ya. Salam mlaku-mlaku...
Catatan: Kelihatan gak ikhlas banget mau mengakhiri tulisan hihihi. Begini, kalau kalian akan menginap sebaiknya ngobrol dulu dengan penduduk kampung yang kalian ketahui untuk mendapatkan informasi seputar keamanan tempat menginap. Pada umumnya Semau itu bisa dibilang aman, hanya kadang ada saja isu yang kadang membuat warga resah dengan orang-orang baru. Seperti dulu pernah marak cerita orang potong kepala, atau penculik anak-anak. Isu-isu seperti bisa membuat penduduk curiga dengan para pelancong. Lagian dengan mengobrol akan membuat mereka lebih nyaman. Jangan jadi kayak ninja yang datang dan pergi cuma bekal lempar asap. Baca keseluruhan artikel...
Jumat, 04 Mei 2018
Kelor Onrust Cipir, Sekali Dayung Tiga Pulau Terlampaui
Mau week end kemana? Ingin piknik seharian tetapi tidak mau jauh dari Jakarta? Baiklah, pilihanku pergi ke Kepulauan Seribu. Melihat laut, mencium udara pantai, bermain air. Refreshing.
Pagi-pagi aku pergi ke Pelabuhan Muara Kamal, Jakarta Utara. Dari Muara Kamal sudah ada perahu yang siap menyeberangkan ke Pulau Kelor. Aku pun harus berjalan hati-hati meniti bilah-bilah bambu yang menjadi dermaga kecil tempat perahu bersandar. Sekitar pukul 9 pagi kapal pun berangkat. Perahu kayu dikemudikan dengan mesin tempel berbahan bakar solar. Ongkos Pergi Pulang sekitar Rp40.000-50.000 saja. Kebetulan aku mengambil trip perjalanan tiga pulau (Kelor, Onrust, Cipir) jadi biayanya lebih murah. Sekitar 80-ribuan saja sudah termasuk makan siang. Hemat banget.
Saat berada di perahu, angin laut menerpa wajah, aahh segarrr. Dalam perjalanan ini kami melewati pancang-pancang bambu yang biasa digunakan sebagai tempat untuk memancing. Dibawahnya dibuat keramba untuk memelihara ikan hasil tangkapan nelayan. Jantungku berdesir karena khawatir perahunya tersangkut pancang bambu yang lapuk. Well, biarpun sudah menyeberangi laut tetap saja kita masih di Jakarta, karena Kepulauan Seribu masuk wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Pulau Kelor
Dunia memang tidak selebar Pulau Kelor. Tidak sampai setengah jam perahu sudah tiba di dermaga Pulau Kelor, pulau pertama yang aku kunjungi. Dari dermaga pulau terlihat para pengunjung yang memadati pulau kecil ini. Perahu datang dan pergi membawa para turis lokal. Ohh ternyata pulau ini sedang dalam tahap renovasi. Para pekerja sibuk mengerjakan bangunan panggung terbuka, gazebo, dan fasilitas umum seperti toilet dan musholla.
Walaupun hanya satu dan ditopang dengan bambu agar tak runtuh, Menara Pandang atau lebih dikenal sebagai Benteng Mortelo tetap menjadi spot favorite yang wajib dikunjungi wisatawan di pulau Kelor ini. Di kawasan Kepulauan Seribu ada 3 benteng Mortelo yaitu di Pulau Kelor, Pulau Onrust dan Pulau Bidadari. Setelah melepas lelah, bermain air dan berfoto, kami melanjutkan ke Pulau Onrust.
Pulau Onrust
Perahu kami pun telah tertambat di dermaga Pulau Onrust. Pandanganku tertuju pada Kincir Angin Mini yang sebenarnya dibangun sebagai pengingat bahwa dahulu pernah dibangun Kincir Angin Besar untuk menggerakkan galangan kapal. Disebelah kiri terlihat ada prasasti berupa tulisan yang dipahat pada batu besar. Dalam prasasti mengurai sekilas sejarah Pulau Onrust.
Perahu kami pun telah tertambat di dermaga Pulau Onrust. Pandanganku tertuju pada Kincir Angin Mini yang sebenarnya dibangun sebagai pengingat bahwa dahulu pernah dibangun Kincir Angin Besar untuk menggerakkan galangan kapal. Disebelah kiri terlihat ada prasasti berupa tulisan yang dipahat pada batu besar. Dalam prasasti mengurai sekilas sejarah Pulau Onrust.
Aku menyusuri jalan setapak menuju rumah yang berfungsi sebagai Museum. Disini temuan artefak dipajang berikut maket yang menjelaskan peta dan posisi bangunan pada masa itu. Miniatur kapal pun ditampilkan juga. Temuan artefak Pulau Onrust yang menjadi Masterpiece berupa sepasang sepatu besi/sepatu selam. Artefak lain yang ditemukan pipa Gouda (pipa cangklong a la Belanda), pecahan keramik, pecahan meriam, peluru, pecahan botol, umpak batu, ubin batu dan sejumlah koin VOC tahun 1814.
Setelah dari Museum Onrust aku pun berjalan mengelilingi pulau. Menyusuri jalan setapak, melewati bekas bangunan yang tak terpakai dan komplek makam. Makam pribumi dan non pribumi yang dikebumikan. Rata-rata meninggal akibat terjangkiti wabah kolera. Aku pun mempercepat langkahku.
Pulau Onrust dan Pulau Cipir masuk dalam Taman Arkeologi. Tahun 1615 Belanda mendirikan Galangan VOC di onrust. Pada tahun 1658 dibangun benteng kecil kemudian diperluas tahun 1671 berbentuk segilima, bersamaan juga dibangun Gudang Dok dan Kincir Angin. Pulau Ini sempat diserang oleh armada Inggris tahun 1800-1801. Sepeninggal Inggris, Belanda membangunnya kembali. Sempat menjadi Karantina Haji pada tahun 1911.
Bangunan yang dikawasan Pulau Onrust baik yang terpendam maupun di permukaan tanah dapat diketahui asal waktunya melalui bahan penyusunnya, yakni bata dan material perekatnya. Struktur bangunan dari periode awal (abad ke- 17 sampai abad ke-18)umumnya terdiri dari bata-bata berukuran besar berwarna merah dengan bahan perekat semen bercampur pasir dan kerang. Bata-bata bangunan abad ke-19 berukuran lebih kecil, meski berwarna dan berbahan perekat yang sama. Contohnya pada benteng-benteng berbentuk bundar di Pulau Kelor dan Pulau Bidadari. Sementara itu bata-bata abad ke-20 berukuran lebih kecil lagi berwarna kekuningan dan berbahan perekat campuran pasir dan semen saja.
Peran Onrust di abad 17 sebagai tempat persingggahan kapal-kapal pengangkut komoditi Asia sebelum dibawa ke Eropa. Benteng Mortello dibangun pertamakali di Pulau Onrust pada abad ke 19. benteng ini hancur pada serangan Pasukan Inggris dan akibat Letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Tetapi kerusakan fatal terjadi ditahun 1958 karena perusakan besar-besaran. Berdasar struktur fondasi yang terdapat di Onrust dan Cipir , diperkirakan benteng Mortello Onrust berbentuk bundar seperti yang ada di Kelor dan Bidadari berupa Menara Pandang /Menara Mortello.
Setelah makan siang dan melepas lelah, rombongan kami melanjutkan menyeberang ke Pulau Cipir yang tak jauh dari Pulau Onrust. Ini adalah pulau ketiga dan terakhir yang kami kunjungi.
Pulau Cipir
Cipir (Kuyper) Pulau di Selatan Pulau Onrust. Pulau Cipir pastinya memiliki keterikatan dengan Onrust. Bukti terkuat dengan dibangunnya dermaga jembatan penghubung antar pulau yang sekarang hanya tinggal reruntuhannya saja. Namun sekarang dermaganya tampak jauh lebih bagus. Sekilas mirip sebuah resort atau tempat peristirahatan.
Cipir (Kuyper) Pulau di Selatan Pulau Onrust. Pulau Cipir pastinya memiliki keterikatan dengan Onrust. Bukti terkuat dengan dibangunnya dermaga jembatan penghubung antar pulau yang sekarang hanya tinggal reruntuhannya saja. Namun sekarang dermaganya tampak jauh lebih bagus. Sekilas mirip sebuah resort atau tempat peristirahatan.
Disini banyak anak-anak dan remaja berenang di pantainya. Gazebo disepanjang pantai berikut toilet merangkap tempat bilas setelah berenang. Di pantai yang dekat dengan bekas jembatan terlihat beberapa tenda kemping, tempat mereka berkemah. Sebenarnya berbanding terbalik dengan keadaan di dalam pulau ini. Bekas bangunan karantina berupa bangsal yang dilengkapi toilet dan rumah sakit tampak spooky alias menyeramkan.
Sedikit sejarah Pulau Cipir, saat itu tahun 1668 dibangun dermaga bongkar muat, galangan kapal kecil, dan dermaga penghubung. Pada tahun 1675 dibangun gudang tempat penyimpanan barang-barang. Kemudian tahun 1905 mulai dibangun lagi sebagai Stasiun Pengamat Cuaca. Namun tahun 1911 hingga tahun 1933 Pulau Cipir berubah menjadi Karantina Haji dengan dibangun rumah sakit bagi yang baru kembali dari Mekah.
Cukup banyak kegiatan yang kami lakukan disini. Bermain air di pantai dan menikmati minuman air kelapa muda yang menyegarkan disaat panas terik. Pastinya berfoto-foto mengisi waktu luang sambil menunggu perahu untuk membawa kami kembali ke Muara Kamal.
Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Selasa, 17 April 2018
Fatubraun, Melihat Pantai Selatan dari Atas
Wiii... wwiiii... celetukan Al disepanjang jalan naik ke arah bukit terdengar sama kerasnya dengan bunyi motor yang menggerung keras. Jalan dari tanah liat ini sebagian terbelah membentuk rengkahan panjang seperti parit yang dalam menyisakan sepotong jalan tak lebih lebar dari setengah meter. Rengkahan ini sepertinya terbentuk oleh aliran air ini hujan keras beberapa minggu lalu. Jalan menanjak dengan kondisi itu, karuan saja membuat Al sukses tegang merasakan kengerian jika motorku sampai terperosok ke dalam rengkahan itu. Untungnya jalanan dari tanah liat yang sedang kering bukan pasir atau bebatuan yang pasti akan lebih susah.
Jalan yang Bukan Rekomendasi Mbah Gugel
Selepas menuruni sungai tadi kami memang diarahkan sama pemilik warung untuk belok ke kanan. Saat ini kami memang mengandalkan informasi penduduk yang kami temui karena mbah Gugel sudah gak sepakat, jadi kami putus sementara. Iya lah putus wong sinyal udah megap-megap gak jelas. Bisa dibilang jalan ini sedikit nekad karena kami anggap arahnya menuju arah balik ke Kupang jadi sayang kalau dilewatkan.
Jalan yang kami lewati jelas tak ada dalam jalur yang direkomendasikan Google Maps karena jalur dari pantai Teres langsung naik ke atas bukit sudah lama dihapuskan dari petunjuk jalan. Jalur ini jelas susah untuk dilewati saat hujan. Itulah kenapa aku menyebutnya "kami beruntung", karena jika tidak ada jalur ini mungkin Fatubraun sudah aku coret dari daftar. Google Maps saja menawarkan jalur dari Teres ke Fatubraun memutar balik dengan jarak dua kali lebih jauh dari jalur yang sekarang aku lewati.
Kami sempat berhenti sebentar di salah satu bukit untuk sekedar melepas rasa pegal di tangan. Berjibaku melewati jalan seperti ini memang bikin tangan cepat kram. Untungnya jarak ke bukit Fatubraun tidak jauh lagi. Untungnya bulan-bulan ini rerumputan dan pepohonan masih hijau dapat kami gunakan untuk berteduh. Gak terbayang panasnya jika kami datang saat bulan Oktober atau November.
Mungkin karena hari Minggu, sampai di lokasi tempat kita parkir motor hanya tampak dua motor saja. Suasana tempat parkir bisa dibilang adem karena dipenuhi pepohonan. Aku berempat bareng Imam, Trysu dan Al naik mengikuti jalur jalan yang ditandai dengan batang kayu yang diikat antar pepohonan yang juga berfungsi sebagai pegangan. Sekitar sepuluh menit kami sampai di puncak pertama. Pemandangan dari tempat ini adalah view pantai Buraen ke arah Timur. Seandainya saja aku di tempat ini saat pagi hari tentu akan mendapatkan pemandangan pagi yang keren sekali. Ada beberapa titik yang punya spot view menarik, semuanya ke arah matahari terbit.
Dari titik spot pertama ke puncak Fatuleu tak lebih dari sepuluh menit. Jika disepanjang jalan kondisinya jalan tanah, maka beberapa meter menuju puncak barulah benar-benar memanjat dinding batu. Tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu sulit.
Yang pasti pemandangan dari Puncak ini jauh lebih lapang. Jika di titik spot pertama yang tampak adalah pantai Selatan ke arah Timur maka di puncak bukit bisa puas memandang Laut Selatan yang membentang dari Timur ke Barat. Tapi di Puncak ini tidak bisa dinaiki banyak orang karena memang tidak terlalu luas.
"Mas Beki, ikutan difoto dong biar ada buktinya".. Bah kalimat itu memang paling sering keluar dari mulutnya Imam. Padahal dari dulu aku memang males kalau ikut masuk frame, cukuplah aku yang memotret orang. Biar mulutnya mereka gak bawel bolehlah sekali-kali masuk frame biar bisa dianggap eksis. Terpaksalah aku harus memasang kamera di tripod yang sudah rapi-rapi aku packing. Huaassuuu, nih anak sekarang demen nongol di kamera. Untungnya pemandangan dari Puncak apik jadi muka-muka kita gak terlalu jadi gangguan.
Fatubraun VS Fatuleu
Fatubraun, bukit batu karang itu sukses kemasukkan ke dalam daftar wishlist-ku. Beberapa orang yang pernah kesana cenderung membandingkan antara bukit Fatubraun dengan bukit Fatuleu. Keberadaan Fatubraun memang mulai dikenal setelah Fatuleu mulai diakrabi traveller. Menawarkan pemandangan serupa: bukit terjal dari batuan karang. Lalu apa perbedaan antara Fatuleu dan Fatubraun?
- Fatuleu berada di ketinggian, dari titik masuknya saja memiliki ketinggian 800 mdpl. Bandingkan dengan Fatubraun yang pada tinggi puncaknya saja tidak sampai 400 mdpl. Itulah kenapa saat pagi atau sore Fatuleu kadang masih sering diselimuti kabut.
- Walau dari puncak sama-sama dapat melihat laut, Fatuleu hanya bisa melihat laut sisi Barat. Jadi di atas puncak Fatuleu, di sisi barat yang kita lihat adalah pemandangan teluk Kupang. Sedangkan Fatubraun bisa melihat laut dari sisi Timur. Karena memang berada di dekat pantai Selatan Kupang, kita lebih mudah melihat pantai Selatan yang memanjang dari timur ke barat.
- Tingkat pendakian jelas lebih sulit di di Fatuleu dibanding Fatubraun. Walaupun jalan masuk ke Fatuleu telah dibangun tangga namun tetap waktu tempuh sampai ke puncak rata-rata satu setengah jam. Jika fisiknya anak-anak muda yang biasa naik paling cepat juga sekitar satu jam. Bandingkan dengan Fatubraun yang bisa ditempuh santai tak lebih dari setengah jam dari kami memarkir motor.
- Jalur jalan naik ke Fatubraun lebih didominasi tanah berbeda dengan Fatuleu yang kondisinya penuh bebatuan walaupun di dalam hutan sekalipun. Karena hal itu, di bagian atas Fatubraun masih banyak lokasi yang rata dengan pepohonan yang rindang. Jadi bisa digunakan untuk berkemah. Lain dengan Fatuleu, nyaris tidak ada satupun tempat yang rata jadi tidak mungkin membangun tenda di atas gunung Fatuleu. Bahkan menemukan tempat yang bisa menyelonjorkan kaki adalah keberuntungan di Fatuleu.
Apa Yang Dilakukan Disana?
Dengan beberapa kondisi yang aku jelaskan di atas, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan di bukit Fatubraun:
- Kemping di atas bukit. Di dekat parkiran adalah salah satu tempat yang enak buat kemping, selain suasananya yang rindang, banyaknya pepohonan juga membuat kita lebih aman pada saat hujan plus pohon-pohon besar untuk memasang hammock. Tapi aku sendiri lebih memilih spot puncak pertama karena selain memiliki tempat yang landai juga adanya area yang lapang. Tempat strategis untuk menikmati indahnya bintang saat malam.
- Spot untuk melihat matahari terbit. Karena di puncak pertama adalah dinding tebing tegak lurus menghadap ke Timur maka jika spot matahari terbit dari tempat ini adalah salat satu yang sayang jika terlewatkan. Dan satu lagi, matahari terbit itu tidak muncul dari bukit tapi dari ufuk pantai.
- Spot untuk melihat galaksi Milkyway. Seperti kubilang, dengan adanya puncak yang landai dan terbuka menghadap ke Timur dan Selatan tentu penampakan galaksi Milyway akan lebih mudah terlihat. Tanpa polusi cahaya, kondisi langit yang cenderung lebih cerah dan kecil kemungkinan ada gangguan kabut.. apa lagi yang kurang untuk melengkapi daftar agar galaksi Milkyway bisa tertangkap indah di kamera?
Senin, 19 Maret 2018
Huta Siallagan, Tradisi Kanibal yang telah punah
"Orang Batak suaranya keras tetapi hatinya lembut", tutur Pak Roy Siallagan, guna mencairkan suasana ketika aku baru datang. Beliau adalah Pemandu Wisata yang menyambut dan mengawalku dari pintu masuk Huta. Aku tersenyum mendengarnya. Beliau bermarga Siallagan, penanda masih keturunan para Raja Siallagan.
Begitu memasuki Huta disebelah kiri disambut dengan Rumah Bolon (rumah raja) dan Sopo (lumbung padi). Terlihat ramai turis Oma dan Opa dari Belanda telah lebih dahulu memasuki huta. Rumah Bolon, rumah contoh Adat Batak. Di dalamnya ada tungku api batu, perkakas memasak yang terbuat dari tanah liat, alat pemintal benang, alat menenun Kain Ulos, beberapa lembaran Kain Ulos yang digantung.
Batu Parsidangan berada di Pusat Huta dibawah Pohon Hariara, dianggap sebagai pohon suci Suku Batak. Akar-akar pohon Hariara yang besar dan kuat seperti menopang Batu Parsidangan yang diperkirakan berumur 200 tahun lebih. Pak Roy bergegas mempersilahkan aku ke situs batu parsidangan set pertama. Akupun duduk di kursi yang terlihat lebih besar, ternyata itu kursi untuk raja. Aku pun duduk di singgasana layaknya seorang raja dan mendengarkan penjelasan panglimanya hehehe.
Batu Parsidangan Set yang pertama berupa kursi untuk Raja, Ratu, Tetua Adat, Pemimpin Huta, Tetangga, Tamu Undangan, Pemimpin Spiritual/Dukun. Persidangan akan digelar Raja bila ada kasus yang besar dan berat hukumannya. Terdakwa biasanya seorang musuh, pengkhianat, pembunuh, perampok dan pemerkosa.
Batu Parsidangan Set yang kedua berupa kursi untuk Raja, Meja Batu, Tempat Eksekusi. Setelah ditetapkan hukuman kepada terdakwa berupa hukuman mati. Terdakwa akan digeledah di atas meja batu sebelum digiring ke tempat eksekusi. Dukun/pemimpin spiritual akan memeriksa bilamana terdakwa memiliki jimat-jimat atau ilmu kekebalan yang harus dimusnahkan. Kemudian rekontruksi pelaksanaan eksekusi dimulai, mata terdakwa ditutup kain dan Sang Algojo membawa parang yang sangat tajam akan memancung kepala terdakwa dengan sekali tebasan. Jasad terdakwa pun diambil jantungnya dan dimakan oleh Raja untuk menambah energi kesaktian Sang Raja. Agak ngeri mendengarnya.
Huta Siallagan berlokasi di Ambarita, Desa Siallagan-Pindaraya, Simanindo, Samosir, Sumatera Utara. Huta berarti Perkampungan sebagai rumah dari suku bangsa Siallagan. Marga Siallagan keturunan dari Raja Naiambaton garis keturunan dari Isumbaon anak kedua Raja Batak. Raja Pertama Raja Laga Siallagan. Raja Hendrik Siallagan mempunyai keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Keturunan Raja Siallagan masih tinggal di kampung Ambarita dekat dengan Makam leluhur. Huta Siallagan dengan total area 2,400 dengan batu yang mengelilinginya sebagai benteng sekitar 1,5 - 2 ton beratnya. Pepohonan bambu yang mengelilinginya sebagai pertahanan dari binatang buas dan musuh yang menyerang.
Dalam perjalananku menuju Huta Siallagan ini, langkahku sempat terhenti di sebuah sisi danau. Merasakan angin semilir menerpa wajah. Menghirup udara pagi yang segar dengan bau rumput dan tanaman hijau yang khas menyegarkan. Terlihat Kapal yang berasal dari Dermaga Ajibata mengarungi danau menuju Dermaga Tomok. Langit biru dengan selaput awan tipis menaungi Danau Toba, berpadu perbukitan hijau yang mengelilinginya tampak begitu cantik.
Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Jumat, 02 Februari 2018
Sam Poo Kong, Persinggahan Sang Laksamana
Pose dulu di depan kelenteng Sam Poo Kong |
Perjalananku ke Semarang sebenarnya untuk mengisi waktu luang saat berada di Batang. Waktu itu sedang ada Pemilukada Bupati Batang. Kebetulan dari kakakku, aku mengenal dan mengunjungi salah seorang pasangan kandidat calon Bupati Batang tersebut. Dari depan hotel tempat aku menginap banyak lewat bus arah Semarang. Jarak tempuh Batang ke Semarang sekitar 2 jam. Setelah sampai di Terminal Bus Terboyo lanjut dengan angkutan umum menuju Sam Poo Kong. Lokasi berada di Jalan Raya Simongan, Bongsari. Mudah menemukannya karena dilewati jalur angkutan umum.
Patung Laksamana Cheng Ho |
Disebelah kiri tempat persewaan pakaian tradisional khas China berikut penata rias dan juru fotonya disediakan bagi pengunjung yang ingin berfoto dengan latar belakang kelenteng. Sebenarnya aku ingin memakai baju tradisonal tersebut tetapi mengingat harus segera pergi ke tempat lain, akhirnya aku mengurungkan niatku. Aku cukup puas berfoto di depan patung tinggi besar Sang Laksamana. So little time so much to do, mengutip lagunya Arkarna, Grup band asal Inggris.
Kelenteng Sam Poo Kong adalah petilasan atau bekas persinggahan. Pendaratan pertama Laksamana Zheng He di Pulau Jawa pada tahun 1406. Pada persinggahan kelima tahun 1416 menurut cerita Laksamana Zheng He sedang berlayar melewati laut Jawa, namun saat melintasi Laut Jawa awak kapalnya banyak yang jatuh sakit termasuk Juru Mudinya yang bernama Wang Jing Hong, kemudian ia memerintahkan membuang sauh kemudian merapat ke Pantai Utara Semarang dan berlindung di sebuah goa di sebuah bukit batu/gunung batu.
Sementara Juru Mudi-nya menyembuhkan diri, Zheng He melanjutkan perjalanan ke Timur. Selama di Simongan wang Jing Hong Juru Mudinya menggarap lahan, membangun rumah dan mendirikan masjid dan tahun 1417 Wang Jing Hong mendirikan patung Zheng He di Gua tersebut untuk dihormati dan dikenang masyarakat sekitar di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan tersebut berada di tengah kota Semarang karena Pantai Utara Jawa mengalami proses pendangkalan akibat adanya proses sedimentasi. Inilah awal mula pembangunan Kelenteng Sam Poo Kong. Tahun 1704 akibat hujan badai goa runtuh, kemudian masyarakat membangun goa buatan yang terletak disebelah makam Kyai Juru Mudi Wang Jing Hong.
Siapakah Laksamana Zheng He(Cheng Ho)? Laksamana Agung Zheng He/Cheng Ho yang juga dikenal sebagai Ma San Bao (1371 - 1437) adalah seorang Pelaut, Penjelajah, Diplomat dan Laksamana. Lahir di Kunyang, Yunnan, Tiongkok tahun 1371 dari pasangan suami istri Ma Hazhi dan Wen. Awal karir menjadi Kasim dibawah Kekaisaran Yong Le dari Dinasti Ming. Beliau memimpin armada muhibah mengunjungi negara-negara diseberang lautan sebagai duta perdamaian. Di tahun 1405 pelayaran Muhibah pertama beliau memimpin 317 kapal megah dengan 28.000 personil, berangkat dari Suzhou, Pelabuhan Liujiagang mengunjungi Arab, Afrika Timur, Sri Lanka, Kalikut (India Barat) India, Brunei, Kepulauan Malaysia, Thailand, Champa, Sumatera, Palembang, Jawa. Dalam perjalanannya beliau mendapat banyak hadiah berupa Gaharu/Kayuwangi, Onta, Zebra, Jerapah. Beliau juga memberikan hadiah kepada daerah-daerah yang dikunjunginya berupa Emas, Perak, Porselen Keramik, Sutera.
Gerbang masuk ke kelenteng Sam Poo Kong |
Beliau wafat tahun 1435 ditengah perjalanan pulang dari Kalikut (India Barat), meski di China dibangun makamnya tetapi tanpa jenasah. Jenasah beliau diperkirakan dihanyutkan ditengah laut. Ada pula sejarahwan yang menyakini jenasah beliau dikebumikan di Semarang.
Sam Poo Kong dalam dialek Hokkian atau San Bao Dong (Mandarin) artinya Gua San Bao. Dalam dialek Fujian San Bao menjadi Sam Poo. Sam Poo Kong sendiri adalah gelar yang diberikan warga China Semarang kepada Laksamana Zheng He/Cheng Ho atas jasa-jasanya. Beberapa gelar lain yang disematkan kepada Zheng He adalah, Sam Poo Tay Djien (Laksamana), Sam Poo Tay Kang (Kasim), Sam Poo Tay Rin (Pembesar).
Panggung terbuka di kelenteng Sam Poo Kong |
Di Gedung Batu ada tanda yang berciri keislaman dengan ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Quran". Disebut Gedung Batu karena bentuknya sebuah Gua Batu Besar yang terletak pada sebuah bukit batu, orang Indonesia keturunan China menganggap bangunan itu adalah sebuah Kelenteng mengingat bentuknya memiliki arsitektur bangunan China sehingga mirip sebuah Kelenteng. Sekarang tempat itu dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau sembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut di dalam gua batu diletakan sebuah altar dan patung-patung Sam Poo Tay Djien. Laksamana Zheng He/Cheng Ho adalah seorang muslim tetapi oleh mereka dianggap dewa, hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tao menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.
Saranku bila kita mengunjungi kelenteng ini saat Imlek atau Perayaan Tahun Baru China dan kegiatan keagamaan lainnya karena lebih meriah dengan ornamen hiasan Lampion-lampion. Biasanya pada Bulan Agustus merupakan perayaan tahunan peringatan pendaratan Zheng He sebagai salah satu agenda wisata utama di kota Semarang. Perayaan ini dimulai dengan upacara agama di kuil Tay Kak Sie di Gang Lombok. Kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan Patung Sam Poo Kong dari Kuil Tay Kak Sie ke Gedung Batu.
Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Senin, 22 Januari 2018
Danau Oemenu: Gelombang Tinggi
Danau Oemenu I yang airnya berwarna kehitaman dan banyak batang pohon tumbang |
Aku terus bergerak menerobos, aku mulai tidak bisa membedakan jalan karena jalur yang coba aku ikuti bisa tiba-tiba menghilang tertutup belukar. Saat aku memilih jalur lain hal yang sama kembali terjadi. Atau saat aku memaksa menerobos belukar, beberapa meter kemudian tiba-tiba aku menemukan jalan lagi.
Aku sesekali menengok ke belakang memastikan Obet dan Adis tidak jauh tertinggal di belakang. Semakin mendekati suara gelombang aku semakin bersemangat menaiki tebing karang sehingga beberapa saat lupa tidak menengok ke belakang sampai kemudian aku menyadari Obet sudah berada persis di belakangku namun tidak dengan Adis.
Adis berdiri diam terpaku beberapa meter dengan pandangan ke arah bawah tebing. "Dis!" aku memanggilnya pelan tapi dia seperti tidak menyadari. Aku memutuskan kembali untuk membantunya,
"Bet kamu di sini aku mau nyusul Adis".
"Dis, aku kesana ya" Tanpa menunggu persetujuannya aku kembali turun.
Baru beberapa langkah aku kembali, seperti menyadari sinar senterku yang mengarah kepadanya Adis seperti tersentak menengok ke arahku. "Tidak usah, lanjut" teriaknya.
Melewati tebing menuju ke danau Oemenu II |
Tapi kelegaan kami hanya sebentar, ternyata tebing karang ini tidak memiliki pantai. Dan aku benar-benar tidak mengenal daerah ini. Entah di pantai mana sekarang kami berada. Hanya dalam gelapnya laut mata kami masih bisa melihat adanya sebuah pulau di depan yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Nantinya kami akan tahu bahwa kami sampai di depan Pulau Tubafu (ada yang menyebutnya Tubuafu yang artinya tugu batu).
Kami terduduk lemas di salah satu tebing karang. Jam sebelas malam, kelelahan, kehausan, tidak ada sinyal dan tak ada arah yang harus kami tuju. Empat jam lebih kami berjalan, akhirnya kami memutuskan akan bermalam di atas tebing yang kebetulan ada pasir-pasir pantai yang menutupinya sehingga dapat kami gunakan untuk sekedar duduk bersandar. Pertimbanganku dengan kondisi seperti ini, mencoba berjalan kembali justru akan banyak menguras tenaga.
Suasana siang hari di danau Oemenu II |
Aku berinisiatif mencari tempat yang lebih layak, karena aku lihat muka Adis dan Obet yang sudah tampak kecapekan, akhirnya aku memutuskan mencari sendiri. Pelahan aku mencari jalan ke arah pantai berharap ada daerah turunan yang cukup tersembunyi dan rata untuk kami bermalam.
Pelahan aku mendekati ke ujung karang, namun tampaknya tidak ada tempat yang cukup rata atau pantai yang bisa kami gunakan untuk bermalam.
Samar-samar mataku melihat karang yang agak tinggi di sebelah kanan. Karena mungkin karang itu tempat yang paling pas untuk melihat kesekeliling aku memutuskan naik ke atas. Berdiri di atas karang itu pemandangan yang aku lihat lebih luas, walaupun di sekeliling tetap saja didominasi kegelapan. Bayangan pulau Tubafu dari atas sini semakin terlihat utuh. Sepertinya pulau itu tak lebih dari pulau batu dari karang-karang tinggi yang naik ke permukaan.
Ujung danau Oemenu II tempat pak Koster menangkap kepiting |
Dalam pekat malam yang nyaris tak bisa terlihat apa-apa aku mendengar suara gelombang yang mendekat ke karang. Seharusnya setelah itu aku mendengar suara debur saat gelombangnya terpecah dinding karang. Namun ternyata kembali sunyi. Apakah telingaku salah .........
Tiba-tiba beberapa saat kemudian ada warna putih muncul mengambang beberapa meter di atas kepalaku. Dalam waktu singkat penglihatanku itu, aku mencoba menerka. Apakah itu GELOMBANG??
Terlambat! Sesaat kemudian gelombang besar itu menghantamku. Aku dilanda kekagetan luar biasa, sepersekian detik sebelum gelombang itu menerjangku, aku membalikkan badan. Byarr!! Punggungku dihantam gelombang cukup keras, aku oleng namun tetap keras bertahan untuk tidak terbanting. Sekali aku terjatuh karang-karang tajam ini akan melalapku habis.
Laut kembali sepi.... Jantungku berdegup kencang, kejadian yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi. Masih masih berdiri dengan posisi punggung melengkung mendekap tas Adis. Dalam selintas pikiran itu, aku justru terpikir untuk menyelamatkan tas Adis yang berisi kamera.
Beberapa menit berlalu dalam suasana mencekam. Setelah aku yakin tidak ada kejadian lagi, aku beringsut kembali ke tempat Adis dan Obet.
Obet dan Adis tampak keheranan saat aku kembali dalam kondisi basah kuyup. Entah apakah mereka bisa memperhatikan mukaku yang pucat. Adis cuma diam memandangku, antara prihatin dan iba. Obet yang biasanya cerewet pun kali ini tidak berkomentar apapun.
Aku meletakkan tas Adis yang dari tadi aku dekap dan melepaskan kaos yang sudah basah semua. Aku bersandar di salah satu dinding karang tanpa bisa berkata-kata. Apakah ini peringatan.... atau kah sekedar salam kenal? Aku tak mengerti.......
Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.
Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini, batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini. Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.
"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..
Malam yang Panjang di Hutan Puru
Aku tersentak, refleks kaget terbangun saat kepalaku terantuk karang yang tajam. Aku mencoba memperbaiki dudukku dalam kondisi mata yang masih berat. Aku coba melihat dua orang temanku yang juga mencoba tidur di antara sela-sela karang yang bisa digunakan untuk bersandar. Tidak mudah tertidur di situasi seperti ini. Sekeliling kami adalah karang-karang tajam, hanya sedikit yang rata itu pun karena tertutup oleh pasir pantai. Inilah satu-satunya tempat kami beristirahat malam ini.
Suasana danau Oemenu II |
Aku meraba kantong berharap masih ada korek api yang aku simpan, ah syukur rupanya masih ada di saku celanaku.
Aku dan Obet pelahan turun ke bawah mencari ranting yang bisa kami gunakan untuk api unggun. Tuhan masih menyayangi kami, saat mencari kayu aku menemukan sebuah sandal di sela karang entah milik siapa. Plastik, sendal adalah keajaiban dalam kondisi kami saat ini yang akan membantu api menyala lebih lama.
Akhirnya api unggun yang kami buat bisa menyala, lumayan mengusir rasa dingin yang kami rasakan. Kami duduk mengelilingi api unggun, beberapa percakapan kecil terjadi sekedar untuk membunuh waktu yang rasanya bergerak melambat. Tapi tidak ada yang mencoba percakapan dengan apa yang barusan kami alami. Tidak ada.. setidaknya saat ini....
Satu demi satu kami tumbang lagi setelah tidak kuat dijalari rasa kantuk. Ya kami harus menyimpan tenaga untuk perjalanan pagi nanti.....
Suara Yang Menyelamatkan
Sekitar jam enam pagi saat kami mulai berjalan, suasana agak redup tapi kondisi sekitar jauh lebih jelas terlihat dibanding semalam. Tiba-tiba aku seperti mendengar sayup bunyi lonceng. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk memastikan suara itu yang tercampur dengan bunyi debur ombak.
Kami berjalan lebih semangat kembali ke hutan menerobos semak belukar mengikuti suara lonceng yang kami dengar. Kali ini kami bergerak lebih pasti karena suara gereja terdengar jelas arahnya. Langit yang terang juga membantu kami melewati hutan. Sekaligus kami jadi menyadari bahwa di belakang pantai Eno'niu itu sebenarnya adalah hutan bukan hanya beberapa pepohonan milik masyarakat seperti yang aku kira.
Jam setengah delapan akhirnya kami bertiga bertemu jalan. Ada kelegaan luar biasa yang melingkupi kami. Saat menelusuri jalan, beberapa puluh meter di depan kami lewat seorang mama tua yang berdandan rapi yang menurutku mau ke gereja.
"Mam, aku yang meminta tolong ibu itu ya?" Obet menawarkan diri dengan sangat bersemangat. Yah giliran seperti ini, dia lah yang paling semangat. Dan taukah kalian, adegan selanjutnya tidak lebih adalah melihat pemutaran film India dengan semua melodrama-nya. Obet memang jago kalau urusan seperti itu.
Akhirnya aku bisa merasakan nikmatnya air yang memasuki tenggorokanku setelah semalaman didera kehausan. Kebetulan mama Viko juga ada kue-kue yang rencananya mau diberikan ke gereja. Ah rejeki anak sholeh, akhirnya bukan cuma mendapatkan minuman kami juga diberikan makanan. Kata Mama Viko, kue-kue yang kami makan itu memang rencananya mau dibawa ke gereja. Mama Viko sendiri biasa berjualan kue di pantai Puru.
Tapi ada satu keanehan yang aku simpan dalam hati. Sejak Obet menceritakan tentang peristiwa kesasarnya kami dan pengalaman bertemu danau, rasanya tidak ada yang menjelaskan tentang keberadaan danau itu. Entah kenapa, mereka tampaknya menghindari menceritakan danau itu.
=======
Note: Cerita ini bukan pengalamanku sendiri melainkan teman-temanku yang kesana. Awalnya aku diajak namun karena ada kesibukanku akhirnya mereka bertiga yang kesana yaitu: Imam "Bocil" , Adisti "Pipi", dan Alberth "Obet".
Seharusnya aku ikut kesana, namun karena sedang ada kesibukan akhirnya cuma mereka bertiga. Aku kesananya pada hari Minggu setelah pagi-pagi ada telepon dari Vivi, temennya Adis, yang tanya apa Adis menghubungiku. Kata dia waktu itu, malam kejadian itu ada pesan masuk dari Adis, yang berpesan kalau sampai pagi tidak menerima kabar dari dia supaya menghubungiku.
Catatan Tentang Danau Oemenu
Beberapa bulan sebelumnya aku (penulis) dan mas Eko pernah datang ke danau Oemenu ditemani pak Frengki dan pak Koster. Kata pak Koster waktu itu tempat itu jarang diketahui orang umum bahkan masyarakat sekitar sini. Pak Frangki sendiri mengakui kalau dia sendiri jika tidak ditemani pak Koster masih suka kesasar ke tempat ini.
Pak Koster cerita jika ada beberapa kali orang bule yang datang ke sini minta diantarkan ke danau Oemenu. Bukan pantai Puru? tanyaku waktu itu. Tidak pak, mereka datang ke sini ya maunya melihat Danau Oemenu. Sebelumnya mereka kesini dan membantu masyarakat memasang pipa untuk menarik air dari mata air menggunakan mesin genset. Sayangnya sekarang sudah tidak ada jejaknya, entah karena mesin gensetnya rusak.
Kebetulan sekitar danau Oemenu itu ada sebuah gua bawah tanah yang ada mata air besar yang tidak pernah kering. Mata air ini dulu suka disebut gua ABRI (sorry kalau salah, aku agak lupa penyebutan pak Koster tentang mata air ini) karena dulu tentara pernah memasang pipa untuk mereka gunakan mengambil air di sini. Cukup dalam, aku bisa mendengar suara airnya saat tes dengan melemparkan batu ke dalam gua. Tapi tetap tidak bisa melihat airnya, mungkin juga karena bentuk lekukan guanya.
Pertanyaan yang belum dijawab pak Koster waktu itu darimana orang-orang bule itu tahu tentang keberadaan danau Oemenu dan mata air itu. Setelah kejadian itu, aku baru berpikir lagi apakah ada hubungan antara bule-bule yang datang itu dengan penampakan orang-orang Belanda di danau Oemenu? Entahlah, alam kadang memberikan cerita kepada kita dalam potongan-potongan puzzle.
Tulisan sebelumnya: Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu Baca keseluruhan artikel...
Langganan:
Postingan (Atom)