Uffft! Aku menarik bahu ke belakang ikut merasakan ketegangan Yunus salah memperhitungkan liukan papan seluncurnya. Papan seluncurnya meliuk naik tepat saat gelombang lebih dahulu pecah membuat dia berikut papan seluncurnya terbanting dalam gulungan ombak. Hilang sesaat, dia tiba-tiba sudah muncul dipermukaan sambil menengok ke kanan kiri mencari papan seluncurnya.
Tak berapa lama kemudian keempat anak-anak ini kembali mendayung ke tengah laut. Tiap kali gelombang datang dan tidak terlalu besar mereka akan menyusup ke dalam gelombang untuk terus menuju ke tengah. Pada jarak yang tepat mereka akan menunggu ombak terbesar dan paling menantang datang. Saat ombak yang dinanti datang mereka telah menduduki papan seluncur masing-masing. Begitu gelombang menyeret papan seluncur mereka, segera mereka naik berdiri di atas papan seluncur dan membiarkan ombak mendorong mereka. Di situlah permainan papan seluncur dimulai. Sepertinya gampang waktu dilihat tapi percayalah, itu tidak semudah seperti saat kita melihatnya. Keseimbangan menjadi hal utama juga ketepatan mengambil momen saat meliukkan papan seluncur ke atas lekukan gelombang. Salah perhitungan, kejadian seperti tadi akan terulang.
Aku juga bisa merasakan sensasi keberhasilan saat Yunus meliuk ke dalam gulungan yang belum pecah dan berhasil tanpa terbanting. Sepertinya akulah yang melakukan liukan indah itu. Pecah rekor, itulah liukan paling indah diantara mereka berempat. Ya, mereka berempat adalah anak-anak kampung yang sudah mahir bermain papan seluncur (istilahnya surfing). Mereka termasuk generasi-generasi dari penduduk pesisir barat pulau Rote yang sudah mulai mengenal olahraga yang benar-benar memicu adrenalin ini. Memang sekarang ini mereka masih belajar meliukkan papan di atas ombak yang tak terlalu besar, tapi nanti mereka pasti akan menjadi salah satu jagoan di atas papan seluncur menghadapi ombak pantai Bo'a dan Nemberala yang terkenal tinggi dan berlapis. Keren melihat anak-anak ini menenteng papan seluncur menuju ombak yang untuk berenang saja membuat kita merinding.
Sebagian orang yang pernah mendengar tentang Rote pasti lebih kenal dengan Nemberala. Desa Nemberala ini memang tersohor di kalangan bule pecinta surfing. Di desa ini, banyak dengan mudah ditemui rumah-rumah tinggal yang dihuni bule baik yang cuma tinggal untuk beberapa waktu atau yang benar-benar ingin tinggal di sini selamanya. Desa dengan deretan nyiur dan pasir putih yang aduhai ini memang telah menjadi setengah kampung bule, tidak heran jika berjalan-jalan ke sana sering ketemu anak-anak bule atau yang udah blasteran. Dengan lokasi yang menghadap matahari tenggelam, jelas Nemberala menjadi tempat ideal untuk menikmati semua keindahan itu. Cerita pantai Nemberala bisa kalian baca di: Nemberala, We Call it Beach.
Tapi, jika kalian mengira Nemberala juga tempat ombak yang terkenal besar untuk surfing itu kurang tepat. Memang Nemberala juga memiliki ombak yang besar yang menjadi tujuan utama para surfer, namun bukanlah pemilik ombak terbesar. Pantai apa yang sebenarnya memiliki gulungan ombak fenomenal itu? Itu adalah pantai Bo'a. Ya, pantai Bo'a terletak di sebelah pantai Nemberalalah yang sebenarnya memiliki ombak terbesar untuk selancar. Pantai Bo'a inilah yang pernah dijadikan ajang untuk lomba selancar tingkat internasional di Rote Ndao beberapa tahun lalu. Pantai ini menghadap barat daya, jadi sedikit lebih serong ke Selatan dibanding pantai Nemberala. Belum banyak bangunan di tempat ini dibandingkan di desa Nemberala karena memang lokasi ini lebih gersang dan lebih berkarang.
Namun saat ini sudah mulai bermunculan bangunan-bangunan baru di sekeliling pantai Bo'a. Bahkan di tanah yang sekarang masih dimiliki Pemerintah Kabupaten Rote Ndao telah dikerjasamakan dengan swasta untuk dibangun vila dan hotel kelas internasional. Tanah milik pemerintah seluas 60ribuan meter persegi ini denger-denger mau dikelola oleh bule lewat perusahaannya cucunya Soeharto (mantan presiden Indonesia).
Di sebelah kanan yang tertutup pepohonan dan bukit karang kecil juga berdiri bangunan yang kata-katanya milik salah satu artis Indonesia namanya LM (kalau gak salah denger). Pantai disana asyik karena seperti pantai pribadi yang dijepit bukit karang di sisi kiri dan kanannya. Wih sepertinya asyik kalau bisa melihat LM berjemur di pantai ini #keplakpakebikini
Sedangkan di sebelah kiri yang nyaris dipenuhi karang-karang terjal berdiri bangunan yang katanya dimiliki oleh keluarga bule. Widih, kalau orang pribumi menghindari bangunan di karang-karang justru lokasi seperti ini menjadi tempat favorit para bule. Pertama tentu saja rumah itu menjadi lokasi yang tepat untuk menikmati pantai dan senja tanpa terganggu bangunan lain. Yang kedua ini nih yang aku juga baru tahu, ternyata dibalik karang-karang ini terdapat pantai yang terjepit karang di kiri kanannya. Jadi dengan memiliki rumah di situ, dengan sendirinya mereka memiliki akses pantai yang layaknya pantai pribadi. Keren kan, guys... Aku saja baru bisa menjangkau tempat ini setelah air laut surut jauh.
Pantai ini tergolong pantai yang masih sepi, itulah kenapa pada saat-saat tertentu kawanan burung laut suka berkumpul di pantainya. Entah jika nanti pantai ini mulai berkembang, apakah burung-burung itu tetap akan datang seperti biasanya. Pantai Ndana tampak di kejauhan, membuatku bertanya apakah di sana memiliki view yang sama indah atau justru lebih indah daripada pantai Bo'a.
Baca keseluruhan artikel...
Jumat, 03 Juni 2016
Kamis, 26 Mei 2016
Kolam Air Asin di Gua Kristal
Warna kebiruan toska air kolam yang terkena sinar matahari |
Lokasi yang Tak Terduga
Letak gua Kristal tidak jauh dari kota Kupang, sekitar setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat ini. Tapi ada yang berubah dari informasi awal yang kudengar. Tidak ada petunjuk jelas gua Kristal karena jalan masuk tidak ada tanda sedangkan sekitar gua Kristal masih daerah yang dipenuhi pepohonan. Tapi tidak, ternyata di tempat kami parkir motor sedang berdiri puluhan rumah yang masih dalam proses pembangunan: perumahan. Imam yang jadi pemandu sempat kebingungan karena memang perjalanan ke tempat ini sebelumnya tidak dijumpai perumahan melainkan masih pepohonan. Untung ada sepotong tulisan penanda ala kadarnya "Gua Kristal 100 meter" yang membantu meyakinkan bahwa kita sudah di lokasi yang benar.
Cuaca bulan ini memang terasa terik, apalagi di sekitar tidak ada pepohonan besar. Tapi beberapa pohon yang tidak terlalu besar cukuplah menjadi tempat parkir yang dikelola oleh seorang anak muda yang mungkin tinggal disekitar tempat ini. Belakangan waktu pulang aku baru tahu kalau anak muda itu tidak cuma mengenakan harga parkir tapi juga ongkos masuk ke dalam, dan untuk itu kami harus membayar 5.000 rupiah per motor. Yah, setidaknya motor kami aman kami parkirkan di sini.
Lucunya papan penanda itu tidak menunjuk jalan apapun karena memang tidak ada jalan. Jadi kami ikut saja menerobos batu karang menjadi tempat yang kami bisa berjalan. Entah sebenarnya kami yang memang asal jalan atau memang jalan itu ada tapi kami tidak tahu. Waktu pulang kami baru tahu jalan itu ada tapi memang tidak terlalu jelas.
Jangan bayangkan gua Kristal itu seperti gua-gua pada umumnya yang lubangnya besar tinggi. Gua Kristal dari luar tak ubahnya sebuah bongkahan batu yang berlubang. Sampai dengan titik tujuan memang tak tampak ada gua, karena memang gua Kristal ini lubang menurun ke bawah menuju sebuah kolam air asin.
Satu yang aneh lagi yaitu adanya toilet sekaligus kamar ganti yang dibuat persis di mulut gua. Penempata itu saja sudah parah, ditambah dengan bahan untuk toilet dari tripleks yang menambah bentuk depan gua Kristal itu tampak acakadut gak jelas. Setelah masuk memang ruang gua kelihatan lebih besar. Mungkin itulah kenapa cahaya matahari tidak bisa masuk sepenuhnya ke dalam gua.
Berada di dalam gua yang lubang masuknya tidak terlalu besar dan jalan yang menurun ke bawah, aku yakin kolam air asin di dalam gua Kristal ini terus tersembunyi dari matahari. Hanya pada siang hari saja matahari mampu menerobos ke dalam gua melalui satu-satunya lubang gua untuk keluar dan masuk. Itu pun sinarnya hanya sampai menembus sepertiga bagian gua. Untungnya sepertiga cahaya yang masuk ini memantul ke seluruh dinding gua sehingga setengah air yang lebih sering bersembunyi dalam bayangan gelap berubah lebih terang ke warna kebiruan yang pekat.
Seiring naiknya sinar matahari yang menerobos dari lubang masuk gua, warna air yang biru akan menjadi biru lebih terang, kadang-kadang tampak seperti biru toska. Entah apakah masih pas menyebut gua ini dengan nama gua kristal sementara aku tidak melihat warna berkilauan bebatuan yang tertimpa sinar matahari. Mungkin kilauan-kilauan yang muncul laksana kristal yang pernah mereka ceritakan telah hilang seiring warna bebatuan yang menjadi kusam. Tapi di sisi dalam, stalagtit dan stalagmit yang tidak terlalu besar masih tampak berkilauan dan basah. Mungkin jika sinar matahari sampai menembus ke stalagtit dan stalagmit yang di dalam aku akan melihat kilauan kristal.
Aku menghela napas panjang melihat tulisan-tulisan dari cat berwarna-warni di dinding batuan dalam gua. Kampret!! Mahluk-mahluk keparat ini memang tidak pernah tau keindahan. Tangan-tangan mereka sepertinya akan gatal seumur hidup jika lupa tidak membuat tanda-tanda graviti seperti ini. Dengan graviti yang ditulis sporadis memang jadi sulit untuk mencari tempat yang tidak menampakkan graviti mereka.
Kolam Air Asin yang Jernih
Air kolam di ujung gua memang tidak terlalu besar, pun tidak banyak tempat datar yang dapat digunakan untuk duduk menikmati pemandangan. Mungkin kolam ini masih jika dinikmati jika yang masuk ke dalamnya tidak lebih dari sepuluh orang.
Anakku lah yang teriak-teriak di air waktu aku masih asyik mengabadikan gambar gua. "Ayah.. ayah.. Shiva tadi matanya masuk air tapi gak perih lho. Tapi airnya dingin", katanya senang sekali waktu berenang di dalam airnya. Aku sendiri memang berniat berenang setelah menuntaskan memotret lokasi ini. Jadi Shiva ditemani pakde Dibyo dan pak Achmadi yang turun lebih dulu.
Tak dapat berlama-lama, akhirnya aku menyusul mereka memasukkan badan ke dalam air. Bener-bener air di gua ini segar. Dan seperti yang aku bilang di awal, walau airnya asin tapi tidak perih di mata. Hanya sesekali aku menggunakan kecamata untuk menyelam ke dalam air. Karena tidak terlalu banyak orang, aku jadi bisa menikmati nikmatnya berendam air di sini.
Kedalaman kolam sekitar tiga meteran aku rasa, tapi di bagian sisi batas gua ke bawah masih tampak bayangan hitam pertanda kalau di sisi itu lebih dalam dari tempat lain. Akun menduga di sisi itulah yang menghubungkan kolam ini dengan laut. Mungkin juga air di sini pasang surut seperti kondisi di laut, aku tidak terlalu yakin karena dari gua ini ke laut jaraknya lebih dari 100 meter.
Ada satu batu yang agak menjorong ke kolam. Tempat itu sering digunakan orang untuk meloncat ke dalam air karena memang air di bawahnya langsung dalam jadi aman. Namun hati-hati, jangan terlalu semangat meloncat. Jika kamu orang yang tinggi dan sembarangan meloncat bisa-bisa kepalamu terbentuk dinding atas gua yang tidak terlalu jauh tingginya dari batu itu.
Tidak seperti di bagian luar gua yang berupa batu karang hitam terjal dan kasar, bagian dalam gua batuannya berwarna putih kekuningan. Batu-batu itu terasa rapuh namun untungnya kesat sehingga tidak licin waktu diinjak. Hanya memang waktu untuk turun harus lebih hati-hati karena dari luar yang terang, maka di dalam gua tampak sangat gelap. Agak lama untuk membiasakan mata agar dapat melihat ke dalam gua lebih baik. Sayang tepat di tengah-tengah pintu gua ada batu besar yang menghalangi sinar matahari masuk lebih banyak.
Untuk amannya, jika ada yang mau ke sini bukan saat siang hari sebaiknya selalu bersiap-siap dengan senter atau lampu karena kemungkinan gua akan terlihat sangat gelap dan jelas akan mengecewakan perjalananmu ke tempat ini.
Hari Minggu itu Waktu yang Salah
Kami bertujuh mencari tempat duduk persis di belakang batu besar yang menutup pintu gua. Kami masih harus membiasakan mata karena di dalam gua selain warna biru air selebihnya adalah gelap. Memang terdengar celotehan pengunjung yang sedang mandi atau berenang di dalam kolam gua. Setelah agak lama dan mulai bisa melihat lebih jelas ke dalam gua, ternyata sudah ada beberapa anak muda yang berenang di dalam kolam, beberapa tidak berenang tapi seperti biasa sibuk mengabadikan diri. Istilah selfi sekarang memang kekinian dan tidak bisa ditolak.
Jumlah anak-anak muda yang di dasar gua yang sudah puluhan jelas sudah tidak bisa ditambah sehingga aku dan teman-teman memilih mengalah. Itu pun dari belakang kami masih berdatangan beberapa anak lebih kecil yang turun dengan cepat ke dalam gua. Aku berpikir mereka anak-anak di sekitar sini yang sudah terbiasa dengan suasana gua.
Untungnya acara mandi mereka tidak terlalu lama. Setelah aku lihat yang berenang hanya tinggal tiga orang, maka kami mulai ikut turun ke bawah. Awalnya kami benar-benar harus hati-hati karena batuan di bawah yang basah tampak licin. Ngeri juga membayangkan stalagmit menyambut kami jika sampai tergelincir. Ternyata aku salah, batu-batu itu tidak licin walau terkena air dari anak-anak muda yang naik balik ke atas dalam keadaan basah.
Sialnya selepas siang, rombongan yang datang lebih banyak. Jelas itu waktunya kami berbenah untuk pergi. Dengan kedatangan rombongan baru sebanyak itu jelas berada di dalam gua tidak lagi menyenangkan. Benar seperti perkiraanku semula, mengunjungi tempat wisata hari Minggu adalah pilihan yang salah. Masih untung kami sempat merasakan saat kolam sepi, namun di banyak waktu lain, Minggu berarti siap-siap kecewa.
Bagaimana Menuju Kesana?
Sebenarnya lokasi ini tidak susah di jangkau. Bisa menggunakan kendaraan umum dengan setidaknya 2 kali ganti angkutan kota. Tapi menurut saya lebih enak menggunakan kendaraan pribadi (motor kalau saya). Rute perjalanan sebagai berikut:
- Dari kota Kupang arahkan kendaraan menuju arah Namosain, ikuti jalan sampai bertemu pertigaan Namosain yang ada tugu "Imperial Estate". Sebenarnya dua arah itu semuanya bertemu lagi di jalan yang sama pertigaan Bolok. Namun saya lebih menyarakan ikut jalur ke kiri menuju ke atas.
- Ikuti jalan terus sampai ke pertigaan Bolok (belok kanan ke pelabuhan Tenau), tetap terus sampai melewati jembatan. Setelah jembatan ada pertigaan belok ke kiri lagi (lurus sampai ke pelabuhan perikanan)
- Terus lurus melewati sampai ke pelabuhan Bolok tetap lurus, nanti sekitar satu km dari pelabuhan ASDP Bolok akan bertemu pertigaan yang menuju ke kantor DIT POLAIR POLDA NTT belok kanan.
- Berhenti di depan perumahan (100 meter sebelum kantor Polisi Perairan), parkirkan kendaraan di sekitar situ dan cari papan petunjuk menuju Gua Kristal.
Rabu, 18 Mei 2016
Hammock-an di Danau Nefokouk
Hammock bergoyang pelan di ayun angin yang bertiup menerobos sela pepohonan. Gemerisik dedaunan tidak menarik perhatiannya, matanya sayu menatap langit yang hari ini cerah sambil sesekali masih menjawab pertanyaanku. Aku membiarkan dirinya asyik menikmati suasana siang ini di atas hammock, toh kesempatan tiduran di tempat seperti ini tidak sering dia dapatkan. Matahari boleh saja menyengat, tapi angin yang bertiup terasa sejuk. Mungkin hawa bulan Mei memang seperti ini.
Aku senang sekali melihat wanita yang kunikahi 16 tahun yang lalu begitu menikmati tiduran di hammock. Sebenarnya dia sudah menawarkan membantu aku menyiapkan masakan tapi aku menolaknya. Saat-saat seperti ini, bagiku justru waktu untuk memanjakannya. Toh untuk perlengkapan camping seperti ini, aku pasti lebih sigap menggunakannya. Setelah aku membatalkan rencana perjalanan ke Fatumnasi, pilihan mengunjungi tempat ini tidak terlalu buruk tampaknya. Hujan yang terjadi di musim yang seharusnya bukan waktunya hujan memang menjadi dilema. Beberapa rencana perjalanan apalagi yang harus ke tempat terbuka pasti akan berantakan.
Sambil menyiapkan peralatan masak, aku mencoba mengamati seorang pria berkulit hitam yang duduk di atas cabang pohon yang tumbang. Ditangannya masih memegang alat pancing dari bambu, sementara masih ada beberapa bambu pancing yang tergeletak di dekatnya setidaknya enam buah kalau aku tidak salah menghitung. Sayangnya, sampai saat ini hanya beberapa ikan kecil yang dia dapatkan. Padahal aku berharap akan melihat tangkapan ikan yang jauh lebih besar dari yang dia dapatkan saat ini. Ikan mujair saja, kata pria itu.
Danau ini tidak terlalu besar memang, pun juga tidak dalam. Bahkan sisi danau sebelah timur sebelah timur sudah dipenuhi tumbuhan semak berbunga putih dan merah. Airnya pun berwarna coklat tanah bukan bening sebagaimana danau-danau di ketinggian seperti danau Ranamese. Dengan ketinggian sekitar 200 mdpl tentu saja cuaca di sekitar danau cenderung panas. Untungnya sekitar danau banyak ditumbuhi pepohonan besar, ya karena danau ini terletak di pinggiran hutan. Danau yang aslinya bernama Nefoko'uk namun lebih dikenal dengan nama danau Apren ini masuk kawasan Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johannes. Hutan ini cukup luas, menurut catatan dari Dinas Kehutanan, luas kawasan hutan ini sekitar 1.900 hektar.
Entah sebelumnya atau hujan angin yang terjadi baru-baru ini, beberapa batang pohon tampak tumbang di sekitar danau, yang justru dapat dimanfaatkan masyarakat menjadi lokasi duduk memancing. Danau ini setiap hari didatangi masyarakat sekitar untuk memancing ikan. Beberapa anak kecil terlihat ramai mandi di sisi lain danau.
Di tengah-tengah danau tampak tiga rumah kayu terapung di tengah danau yang bisa dijangkau dengan naik sampan. Kata pemiliknya, selain kadang digunakan sendiri untuk memancing juga untuk disewakan wisatawan yang berlibur ke tempat ini. Sayang waktu aku sampai di sana, pemiliknya sedang tidak ada. Rupanya pemiliknya sering tidak ada pada hari-hari biasa, mungkin mereka baru ada jika waktu liburan dimana bakal banyak wisatawan yang datang.
Untung suasana saat ini cukup sepi, hanya sesekali terdengar percakapan mereka yang sedang memancing. Sekali ada masuk beberapa rombongan anak-anak muda dengan menggunakan motor. Saat itulah ketenangan tempat ini pecah oleh tawa dan teriakan melengking dari cewe-cewe ABG. Dimanapun mereka ada, mahluk-mahluk seperti ini memang sering menciptakan kehebohan. Di banyak waktu kadang asyik aja melihat kehebohan mereka, meski lebih sering aku mengabaikan keriuhan yang mereka ciptakan. Namun juga sekali dua aku agak terganggu dengan pekikan-pekikan mereka terutama saat di daerah yang memang dikenal dengan suasananya yangn hening dan tenang. Tapi rupanya mereka tak terlalu lama, karena tak berapa lama kemudian aku kehilangan keriuhan mereka.
Cukup lama juga aku bersantai di tempat ini sampai aku lihat mendung mengelayut dari sebelah timur. Beberapa hari ini memang hampir tiap hari hujan turun. Berharap hujan tidak turun hari ini namun ternyata justru hujan yang semula gerimis berubah menjadi hujan lebat waktu masuk Oesao. Hampir seperempat jam berteduh di emperan toko akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan lebat. Ternyata perkiraanku benar, bahkan sampai aku kembali ke Kupang ternyata hujan belum juga berhenti.
Danau Nefoko'uk ini lebih mudah dikenali dengan nama danau Apren karena memang terletak di desa Apren. Desa ini masih masuk kecamatan Amarasi Timur. Untuk fasilitas, sudah dibangunkan lopo-lopo oleh pemerintah daerah di sekitar danau di bagian atas dekat jalan, lumayan bisa untuk bersantai. Lebih disarankan membawa tikar atau hammock sendiri. Untuk sanitasi, ada bangunan toilet umum cuma sayangnya sepertinya sudah tidak dimanfaatkan lama. Kalau sudah kebelet berak sepertinya mau gak mau meniru sapi yang suka berak sembarangan.. eh jangan.. masuk hutan sebentar, gali tanah dan seterusnya ya. Pokoknya jangan bikin bau kotoranmu kemana-mana, lagian lumayan untuk pupuk. Untuk fasilitas tempat makan belum ada dan sepertinya memang tidak ada yang menjual makanan di tempat ini jadi bekal makanan dan minuman itu sifatnya harus. Lupa bawa makanan boleh coba ngramut daun di hutan.
Cara untuk mencapai tempat ini:
Tempat ini tidak terlalu jauh dari kota Kupang mungkin sekitar 45 km, dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1,5 jam. Ada kendaraan umum (sejenis pickup modifikasi dengan tempat duduk kayu) yang lewat tempat ini namun aku tidak tahu kendaraan itu dari mana menuju mana. Sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi (motor/mobil). Motor matic biasa juga tidak masalah kok masih aman dilewati kecuali 2-3 km terakhir. Detil menuju lokasi ke tempat ini:
Baca keseluruhan artikel...
Bersantai menikmati suasana |
Sambil menyiapkan peralatan masak, aku mencoba mengamati seorang pria berkulit hitam yang duduk di atas cabang pohon yang tumbang. Ditangannya masih memegang alat pancing dari bambu, sementara masih ada beberapa bambu pancing yang tergeletak di dekatnya setidaknya enam buah kalau aku tidak salah menghitung. Sayangnya, sampai saat ini hanya beberapa ikan kecil yang dia dapatkan. Padahal aku berharap akan melihat tangkapan ikan yang jauh lebih besar dari yang dia dapatkan saat ini. Ikan mujair saja, kata pria itu.
Danau ini tidak terlalu besar memang, pun juga tidak dalam. Bahkan sisi danau sebelah timur sebelah timur sudah dipenuhi tumbuhan semak berbunga putih dan merah. Airnya pun berwarna coklat tanah bukan bening sebagaimana danau-danau di ketinggian seperti danau Ranamese. Dengan ketinggian sekitar 200 mdpl tentu saja cuaca di sekitar danau cenderung panas. Untungnya sekitar danau banyak ditumbuhi pepohonan besar, ya karena danau ini terletak di pinggiran hutan. Danau yang aslinya bernama Nefoko'uk namun lebih dikenal dengan nama danau Apren ini masuk kawasan Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johannes. Hutan ini cukup luas, menurut catatan dari Dinas Kehutanan, luas kawasan hutan ini sekitar 1.900 hektar.
Entah sebelumnya atau hujan angin yang terjadi baru-baru ini, beberapa batang pohon tampak tumbang di sekitar danau, yang justru dapat dimanfaatkan masyarakat menjadi lokasi duduk memancing. Danau ini setiap hari didatangi masyarakat sekitar untuk memancing ikan. Beberapa anak kecil terlihat ramai mandi di sisi lain danau.
Di tengah-tengah danau tampak tiga rumah kayu terapung di tengah danau yang bisa dijangkau dengan naik sampan. Kata pemiliknya, selain kadang digunakan sendiri untuk memancing juga untuk disewakan wisatawan yang berlibur ke tempat ini. Sayang waktu aku sampai di sana, pemiliknya sedang tidak ada. Rupanya pemiliknya sering tidak ada pada hari-hari biasa, mungkin mereka baru ada jika waktu liburan dimana bakal banyak wisatawan yang datang.
Untung suasana saat ini cukup sepi, hanya sesekali terdengar percakapan mereka yang sedang memancing. Sekali ada masuk beberapa rombongan anak-anak muda dengan menggunakan motor. Saat itulah ketenangan tempat ini pecah oleh tawa dan teriakan melengking dari cewe-cewe ABG. Dimanapun mereka ada, mahluk-mahluk seperti ini memang sering menciptakan kehebohan. Di banyak waktu kadang asyik aja melihat kehebohan mereka, meski lebih sering aku mengabaikan keriuhan yang mereka ciptakan. Namun juga sekali dua aku agak terganggu dengan pekikan-pekikan mereka terutama saat di daerah yang memang dikenal dengan suasananya yangn hening dan tenang. Tapi rupanya mereka tak terlalu lama, karena tak berapa lama kemudian aku kehilangan keriuhan mereka.
Cukup lama juga aku bersantai di tempat ini sampai aku lihat mendung mengelayut dari sebelah timur. Beberapa hari ini memang hampir tiap hari hujan turun. Berharap hujan tidak turun hari ini namun ternyata justru hujan yang semula gerimis berubah menjadi hujan lebat waktu masuk Oesao. Hampir seperempat jam berteduh di emperan toko akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan lebat. Ternyata perkiraanku benar, bahkan sampai aku kembali ke Kupang ternyata hujan belum juga berhenti.
Danau Nefoko'uk ini lebih mudah dikenali dengan nama danau Apren karena memang terletak di desa Apren. Desa ini masih masuk kecamatan Amarasi Timur. Untuk fasilitas, sudah dibangunkan lopo-lopo oleh pemerintah daerah di sekitar danau di bagian atas dekat jalan, lumayan bisa untuk bersantai. Lebih disarankan membawa tikar atau hammock sendiri. Untuk sanitasi, ada bangunan toilet umum cuma sayangnya sepertinya sudah tidak dimanfaatkan lama. Kalau sudah kebelet berak sepertinya mau gak mau meniru sapi yang suka berak sembarangan.. eh jangan.. masuk hutan sebentar, gali tanah dan seterusnya ya. Pokoknya jangan bikin bau kotoranmu kemana-mana, lagian lumayan untuk pupuk. Untuk fasilitas tempat makan belum ada dan sepertinya memang tidak ada yang menjual makanan di tempat ini jadi bekal makanan dan minuman itu sifatnya harus. Lupa bawa makanan boleh coba ngramut daun di hutan.
Cara untuk mencapai tempat ini:
Tempat ini tidak terlalu jauh dari kota Kupang mungkin sekitar 45 km, dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1,5 jam. Ada kendaraan umum (sejenis pickup modifikasi dengan tempat duduk kayu) yang lewat tempat ini namun aku tidak tahu kendaraan itu dari mana menuju mana. Sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi (motor/mobil). Motor matic biasa juga tidak masalah kok masih aman dilewati kecuali 2-3 km terakhir. Detil menuju lokasi ke tempat ini:
- Dari Kota Kupang menelusuri Jalan Timor Raya terus ke Timur arah SoE, nanti dari pertigaan pasar Oesao beloklah ke kanan.
- Telusuri jalan aspal besar terus sampai menemukan pertigaan yang ada kantor Unit Simpan Pinjam Desa Bank NTT, ambil arah jalan lurus (kiri) jangan belok kanan menuju arah Tesbatan. Perjalanan sampai ke sini juga masih cukup baik. Beberapa ruas memang ada lubang-lubang tapi masih bisa dilewati dengan aman.
- Melewati desa Ponain dan menuju ke desa Tesbatan sampai di pertigaan tugu desa Tesbatan belok ke lurus kiri (jangan ke kanan) menuju ke desa Oenoni. Jalan masih aspal dan masih cukup baik untuk dilewati.
- Di Depan Toko Sinar Utama Oenoni belok kanan mengikuti jalan beraspal sampai di perempatan jalan SDN Ropnoni belok kiri menuju Gapura Desa Apren. Dari perempatan jalan SDN ini kondisi jalan tanah berbatu. Ikuti saja jalan yang besar sampai ketemu gapura desa Apren.
- Dari Gapura Desa Apren jalan lurus terus sudah mendekati gerbang masuk Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johanes, persis setelah masuk gerbang itulah letak danau Apren.
Baca keseluruhan artikel...
Rabu, 04 Mei 2016
Sisi Selatan Kupang: Pantai Buraen
Pemandangan pantai Buraen dari salah satu bukit |
Jangan takut, aku jagain kok (ehmm bikin ngiri) |
Pasir pantai yang landai di pantai Buraen |
Kalau sudah kategori menghilang mencari tempat baru yang tidak jelas seperti ini memang Imam adalah salah satu teman terbaik untuk melakukannya. Imam ini tipikal orang yang makin kesasar makin bahagia, kayaknya sih begitu. Apakah kalian tipe orang yang hepi walau kesasar? Mari kaka kita jalan sama-sama sudah..
Terik di pantai Buraen menciptakan fatamorgana kabut tipis di kejauhan |
Nikmatnya tidur di dalam hammock |
Selepas perempatan Buraen itulah baru mulai terasa perjalanan. Tiga km jalan dari perempatan Buraen sampai ke gerbang desa Nekmese berupa jalan batuan yangtidak rata. Mungkin dulu jalan ini pernah diaspal hanya sekarang sudah tidak ada ada jejaknya hanya menyisakan batu-batu koral. Sampai di depan gerbang desa Nekmese justru kami disuguhi jalan yang lebih parah. Jalan menurun berkelok panjang ini ternyata masih berupa jalan dari tanah putih dan batu-batu koral/karang. Kami harus ekstra hati-hati karena batuan-batuan kecil yang bertebaran dapat dengan membuat roda motor slip. Perjalanan terakhir ini yang menguras waktu karena nyaris sepanjang jalan rem terus ditangan supaya motor tetep terkendali. Sampai harus melewati sungai yang tanahnya agak berlumpur. Masih bisa dilewati pada bulan seperti ini, tapi pada bulan-bulan hujan mungkin memang tidak akan bisa dilewati dengan kendaraan biasa.
Menikmati pemandangan pantai Buraen (atau..) |
Karena masih jam 12 maka pasir pantai masih tersisa sedikit karena air laut masih pasang. Imam mengajak aku menelusuri jalan ke arah Timur. Pemandangan pantai selatan tampak dari ombaknya yang tidak pernah tenang. Pasir putih kekuningan yang memanjang menjadi isyarat jelas bahwa kawasan ini bakal menjadi destinasi wisata baru. Apalagi jika jalan trans-selatan pulau Timor ini kelar dikerjakan. Rumah-rumah di sepanjang jalan trans-selatan juga sedikit kalau tidak dikatakan nyaris tidak ada. Karena itu disepanjang jalan ini, rumah-rumah yang ada rata-rata belum memiliki akses listrik. Jika ada itu berasal dari panel surya kecil di atas atap yang mungkin hanya menerangi rumah beberapa jam saat malam hari.
Sampai jam setengah satu akhirnya kita menyerah dengan hawa panas. Di salah satu belokan kita menghentikan motor mencari tempat berteduh. Pohon pandan laut menjadi pilihan ideal untuk memasang hammock karena menurutku cukup kuat menahan bobot bahkan jika harus dinaiki dua orang sekalipun.
Boleh percaya boleh tidak, tapi angin yang bertiup dari pantai tidak panas sehingga tiduran di bawah pohon terasa sangat nyaman. Padahal jika di pantai sisi utara saat begini biasanya angin yang bertiup tidak terasa sejuk. Karena hawa yang sejuk berhembus ini tanpa sadar kita sempat tertidur sampai mendekati jam tiga. Sepanjang kita beristirahat di pantai tidak terlihat seorang pun di tempat ini.
Jam tiga barulah pasir pantainya makin tampak seiring air laut yang makin surut. Dari salah satu bukit, kita bisa melihat pemandangan pantai Buraen yang pasir putihnya memanjang. Di kejauhan aku melihat seperti kabut putih yang menghalangi pandangan ke perbukitan, entah itu berasal dari air laut yang menguap, atau kah fatamorgana semata.
Di pantai ini memang kita tidak bisa menikmati sensasi matahari terbenam karena matahari terbenam di balik bukit-bukit tapi view sesaat sebelum matahari menghilang di balik bukit-bukit juga tidak kalah memukau. Memang pantai ini lebih pas untuk menikmati sensasi melihat matahari terbit.
Pohon bakau yang berdiri sendiri (ujung pantai Buraen) |
Perjalanan baliklah yang konyol. Karena berasumsi bahwa jalan baru bisa dijangkau sampai Kupang jadi kita mencoba menelusuri jalan trans-selatan ke arah barat yang berarti dengan jalan buntu. Sepanjang jalan yang masih terputus-putus tak terhitung melewati sungai kering (atau kubangan kering). Sehingga dari perjalanan jam setengah enam dari pantai Buraen kita baru tiba di Kupang jam delapan malam. Itu pun bisa dibilang kita tidak berhenti makan, paling hanya sebentar mampir di warung untuk minum.
Lokasi dari pantai Baun yang kita singgahi |
Aku berterima kasih dengan blogger Destinasi Pantai Buraen Amarasi Selatan yang menuliskan detil rute perjalanan dengan cukup jelas. Rute ini aku gambarkan ulang dengan kondisinya:
- Dari Kota Kupang menelusuri Jalan Timor Raya terus ke Timur arah SoE, nanti dari pertigaan pasar Oesao beloklah ke kanan. Kondisi jalan aspal dan bagus
- Telusuri jalan aspal besar terus sampai menemukan pertigaan yang ada kantor Unit Simpan Pinjam Desa Bank NTT, ambil arah ke kanan menuju ke Buraen. Lanjutkan perjalanan mengikuti jalan beraspal sampai bertemu dengan sebuah gerbang yang menjadi pintu masuk Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johanes. Kondisi jalan aspal dan cukup bagus, ada kerusakan jalan di beberapa titik tapi secara umum masih aman dilewati.
- Masuk terus ke dalam sampai bertemu dengan perempatan simpang Teres. Dari sana ambil kiri ada jalan menurun, ikuti jalan sampai bertemu dengan perempatan berikutnya yaitu perempatan desa Buraen. Kondisi jalan aspal yang mulai rusak.
- Di perempatan desa Buraen ambil ke kiri lagi. Kondisi jalan di sini adalah jalan yang rusak parah,sisa bebatuan yang aspalnya nyaris sudah tidak ada lagi.
- Sekitar 3 km selepas perempatan Buraen akan ketemu pertigaan dimana sebelah kanan terdapat gerbang Nekmese.
- Masuk ke gerbang Nekmese dan ikuti jalan sampai mentok ke laut. Selepas gerbang Nekmese adalah sebuah jalan tanah putih yang sama sekali belum diaspal. Kondisi tanah putih dan batu-batu karang membuat perjalanan harus hati-hati karena rawan sepeda motor mengalami slip.
Dari sana akan melewati dua sungai, satu sungai kecil yang mudah dilewati dan satu lagi lagi jika musim hujan berarti tidak bisa dilewati. Belum ada jembatan jadi memang harus melewati sungai. - Nanti di ujung jalan mentok akan tampak jalan besar beraspal yang merupakan jalan trans-timor sisi selatan. Kenapa kita tidak melalui jalan ini yang tentu lebih mudah. Tungguu!! Jangan terburu-buru menyimpulkan. Jalan ini memang bagus kondisinya tapi sebenarnya belum benar-benar terhubung (mungkin akhir tahun ini udah bisa kelar). Aku sudah membuktikan jalan ini dan berakhir di sebuah pantai dengan batu-batu besar berjajar (mungkin bisa dinamai pantai Batujajar kali ya). Jadi jalan ini belum tembus sampai ke daerah Baun.
Imam 'Boncel' Arif Wicaksono
Adisti 'Pipi' Dwi Septyarini
Baca keseluruhan artikel...
Senin, 04 April 2016
Fatu Nausus: Bukit yang Terpotong
Bukit batu Anjaf, salah satu bukit Fatu Nausus yang telah terpotong |
Aku meletakkan tas ranselku di ujung bukit yang terasa makin berat oleh medan jalan yang harus kulewati untuk mencapai tempat ini. Ada perasaan lega telah mencapai tempat ini karena sepanjang jalan aku harus terus sibuk bertanya kepada setiap orang yang kutemui untuk menyakinkan arah lokasi yang mau aku tuju.
Dari kejauhan kedua bukit batu yang dikenal dengan nama Anjaf dan Nausus memang sudah tampak dari daerah Kapan, ibukota kecamatan Mollo Utara karena memang kedua bukit ini paling menonjol. Namun untuk mencapainya ternyata tidak segampang kita melihatnya.
Menyusuri Pagi Buta yang Sepi
Jam tiga aku keluar dari rumah dengan motor matic 'Trondol' yang sudah kuganti rodanya dengan jenis dosser tipe roda semi trail. Kupang yang siang hari ternyata terasa dingin jika pagi begini. Di sepanjang jalan tampak obor-obor dari botol berjajar di sepanjang jalan. Hari ini adalah paskah. Di beberapa titik tampak tanda salib tiga buah di pasang para warga, kadang tampak beberapa pemuda bergerombol duduk sambil mendengarkan musik yang berbunyi sepanjang malam. Namun selebihnya jalanan sepi.
Tanaman perdu menghijau menghiasi perbukitan Cemara |
Sampai di hutan Camplong cuaca masih tampak cerah walaupun terasa lebih dingin di banding kota Kupang. Justru saat mulai memasuki Takari aku harus menurunkan kecepatan motorku karena kabut nyaris dimana-mana membuat jarak pandangku terbatas. Apalagi kabutnya juga disertai air gerimis tipis. Beberapa kali aku harus berhenti untuk membersihkan kaca helm memudar oleh kabut membuat bias cahaya tampak bergaris mengganggu pandangan.
Sekitar jam setengah enam pagi aku sudah sampai di pom bensin di pinggiran kota SoE yang masih tutup. Untungnya ada celah sehingga aku bisa memarkirkan kendaraanku sebentar, berharap toilet di pom bensin ini bisa aku gunakan dan istirahat sedikit melepas sisa kantuk yang masih ada. Setelah menambah bensin satu liter di warung sebelah pom bensin aku kembali melanjutkan kembali perjalanan.
Keindahan yang Tidak Ditopang Infrastruktur
Matahari bersinar dari balik pepohonan cemara, hutan Fatumnasi |
Hamparan perbukitan menghijau di Fatu Nausus |
Selepas tugu pertigaan itulah jalur yang lumayan cukup sulit karena jalan nyaris tidak menyisakan lagi aspal. Dengan jalur menanjak dan banyak kelokan, batu-batu bulat yang licin jika hujan membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Pada kondisi seperti ini, motor memang menjadi lebih fleksibel, kalau pun dengan kendaraan maka lebih pas jika menggunakan kendaraan jenis off road (penggerak empat roda).
Dengan kondisi jalan yang rusak, namun pemandangan yang ditawarkan mampu mengimbangi. Sepanjang kelokan menanjak, view pohon cemara yang telah berlumut dengan tanah yang menghijau mampu menyihir mata yang memandang.
Apalagi dengan eloknya cahaya matahari menyeruak di antara jajaran batang cemara, menerobos dingin yang berusaha kulawan dengan meniup-niupkan hawa panas ke tanganku. Sendirian tak membuatku tergugu, sendirian saat seperti ini seperti sebuah kesempatan untuk menghirup kesegaran dan keindahan yang ada sepenuhnya. Di sini hawa pegunungan yang dingin nyaris belum berpolusi, kalau pun polusi itu tak lebih dari tai sapi yang sering hangat tergeletak di sepanjang pinggir jalan.
Kuda-kuda merumput di hutan cemara Fatu Nausus |
Bunyi binatang-binatang malam masih berderik juga padahal matahari sudah keluar dari tadi. Entah karena mendung yang masih mengelayut di langit, ataukah dingin yang masih menyergap. Memang walaupun matahari sudah keluar sedari aku sampai di turunan pertigaan tugu di kapan, namun dengan ketinggian 1.160 mdl suhu di atas sini masih terasa dingin. Aku sesekali masih harus meniupkan udara panas ke telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin di jari-jari.
Bayangan Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto |
Ternyata sebelum perkampungan ada jalan ke kiri lagi itu yang harus kuikuti. Persis di depan percabangan itu terdapat sebuah cek dam yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menjadi daerah wisata. Memang bukan danau sehingga airnya pun tidak berwarna bening namun suasana tempat ini lumayan menyenangkan apalagi pepohonan banyak berjajar di sepanjang jalan lokasi ini. Dari sini pemandangan bukit batu Nausus tampak menarik terpantul di air di sela-sela bayangan pohon ampupu yang masih muda di sekitar lokasi cek dam. Hanya ada seorang pria yang duduk menggelung kaki sedang memancing di salah satu ujung batu. Udara dingin begini memang tidak menarik orang untuk keluar sekedar memancing. Apalagi jika rumah hangat masih menyala apinya.
Kendaraanku kembali masuk ke kiri menyusuri jalan tanah berbatu yang adak licin, mungkin sisa embun semalam. Jika sebelumnya pemandangannya adalah pepohonan cemara sekarang pemandangannya didominasi pepohonan Ampupu.
Bukit Batu Karst yang Menjulang: Anugerah dan Bencana
Pepohonan mulai tumbuh di bekas potongan batu |
Mataku langsung tertambat pada pemandangan bukit yang dindingnya tegak lurus licin, dinding ini lurus licin bukan dibentuk oleh alam tapi oleh tangan manusia melalui teknologi yang dimilikinya. Ya, bukit yang terpotong tegak lurus ini hasil dari eksplorasi perusahaan tambang marmer. Bukit-bukit karst yang menjulang ini dipuja danb dijaga masyarakat karena dianggap keberadaannya memberikan kehidupan bagi sekitarnya juga dipuja oleh para pebisnis. Bukan oleh karena kemistisannya namun lebih kepada nilai ekonominya. Dibalik batu-batu terjal inilah tersimpan potensi batu marmer yang katanya berkualitas nomor dua di dunia.
Longsoran batu di bukit Anjaf |
“Seperti manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini. Seperti itulah keindahan di sini dulunya. Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, salah seorang tokoh adat dari desa Lelobatan.
Pintu masuk lokasi wisata Naususu (Fatu Nausus) |
Di bagian dekat rumah panjang bekas bangunan perusahaan masih terdapat beberapa balok yang ditinggalkan, ada juga beberapa yang masih tersisa tertutup semak belukar. Bahkan bukit Anjaf yang telah terpotong juga sudah mulai hidup beberapa pohon termasuk pohon beringin didindingnya. Alam sedang berusaha mengembalikan tempat ini.
Sisa potongan batu milik perusahaan tambang yang belum diangkut |
Sayang aku tidak bertemu kera putih yang menjadi legenda tempat ini. Katanya kera putih itu memang tidak mudah ditemui, hanya orang yang beruntung saja yang bisa bertemu dengan kera putih itu. Kemunculan kera putih itu dianggap pertanda baik. Ah, cerita mistis dari tempat-tempat seperti ini memang menarik bagiku. Walaupun aku tidak mempercayainya, tapi akan menghormati dan menghargainya. Karena bagiku, cerita-cerita mistis yang melingkupi tempat ini adalah cara agar manusia yang sebenarnya bergantung dengan keberadaan tempat ini tetap menghormatinya. Baca keseluruhan artikel...
Kamis, 31 Maret 2016
Terpesona di Teluk Nangalok
Menikmati view teluk Nangalok dari atas bebatuan |
View teluk Nangalok ke arah ujung teluk |
Teluk Nangalok berada di perbatasan antara desa Nanga Mbaur kecamatan Sambi Rampas dan desa Golo Lijun kecamatan Elar. Walaupun secara administratif masuk dalam pemerintahan kabupaten Manggarai Timur tetapi saat ini Borong bukanlah jalur paling dekat untuk mencapai daerah itu karena saat ini jalur dari Borong langsung ke Pota (ibukota kecamatan Sambi Rampas) kondisi rusak parah. Jadi jalur paling masuk akal justru dari Ruteng (kabupaten Manggarai) masuk ke arah Reo baru ke Pota
-----------------------------------
Perjalanan ke Sambi Rampas sebenarnya berkaitan dengan pekerjaan dimana ada dua lokasi pekerjaan irigasi yang harus aku cek yang kebetulan kedua-duanya ada di daerah Sambi Rampas. Sambil menyelam minum air, aku mencoba mencari tahu obyek apa yang aku nantinya bisa mampir selepas pekerjaanku kelar. Pencarianku di internet sempat memunculkan nama Pantai Watu Pajung. Aku tidak terlalu yakin tapi juga tidak mau terlalu memusingkan. Bukanlah yang penting perjalanan itu sendiri kalau ada lokasi yang bagus ya itu bonus bukan?
Jadi teluk ini memang bukan daerah yang aku incar untuk didatangi karena memang tidak ada yang menginformasikan keberadaan lokasi ini sebelumnya. Hanya ada satu orang bilang ada pantai yang bagus di sana yang sudah diincar oleh wisatawan asing. Tapi mereka tidak mengatakan kalau itu teluk?!? Entah sebenarnya mereka maksudkan teluk ini atau memang ada pantai yang lain.
View senja dari salah satu lokasi di daerah Reo |
Perjalanan dari Ruteng menuju Reo kondisi liukan jalannya lebih parah dibanding Borong-Ruteng atau malah bisa kubilang tidak ada jalan lurus lebih dari seratus meter. Cuma sekarang jalannya lebih sempit serta banyak ruas yang sudah mulai rusak jadi memang harus lebih hati-hati.
Perjalanan mulai lebih sulit lagi dari Reo menuju Pota. Bayangkan jalan meliuk-liuk dengan lebar tak lebih dari 3,5 meter tapi kita tidak tahu apakah ada bahu jalan atau tidak karena bahu jalan dan sebagian badan jalan tertutup pepohonan. Saat ini memang masih masuk bulan hujan sehingga daerah-daerah pesisir pun tetumbuhan liar tumbuh dengan suburnya.
Suara berisik terdengar dari sokbreker Ford Escapes yang menghantam bodi mobil. Frans - sang driver, bilang mobil emang sudah bilang sebelumnya kalau sokbrekernya memang sudah tidak bagus. Pantesan saja, jika menghamtam jalan yang batuannya menonjol agak keluar dengan kecepatan sedang langsung terasa ayunannya. Bila tidak diturunkan kecepatannya maka ayunan akan makin kuat dan terakhir akan terasa ban yang menghantam body mobil.
Persawahan di kawasan Sambi Rampas |
Tambahan informasi saja, daerah Pota ini ternyata daerah yang subur. Ada ratusan hektar sawah yang memiliki pengairan irigasi di daerah ini. Pantas saja di daerah ini walaupun kecamatan yang jauh dari ibukota kabupaten tapi tetap hidup suasananya.
Selepas pekerjaanku, rekan dari masyarakat lokal Sambi Rampas mengajakku makan sore sebelum kembali dengan pertimbangan di perjalanan belum tentu kami menemukan rumah makan. Dari ide itulah akhirnya mereka memperkenalkan teluk Nangalok ini.
Dari Pota menyusuri jalan ke arah timur, kami sempat melewati pantai Waju Pajung yang sepertinya sedang dipersiapkan oleh pemerintah daerah untuk menjadi salah satu destinasi wisata.
Sekitar seperempat jam melewati pantai Watu Pajung barulah kita mendapatkan view teluk Nangalok ini. Jalan yang kami lewati sepertinya baru dibuat (mungkin perbaikan dan pelebaran dari jalan sebelumnya) dan menurut mereka akan menghubungkan seluruh kabupaten di Flores melalui trans utara. Berarti jika jalan ini sudah benar-benar terhubung, daerah-daerah wisata yang keren di sisi Utara pulau Flores akan lebih mudah dieksplorasi.
---------------------------------------
Kejernihan air laut di teluk Nangalok |
Aku hanya sebentar menyantap makan siang ikan bakar. Mungkin jika waktunya pas menyantap ikan bakar segar di waktu seperti ini akan terasa nikmat sekali apalagi berada di alam terbuka yang begitu menawan. Sayang pikiranku sedang ke teluk itu sehingga sebentar kemudian aku menyudahi makan sore dan balik ke teluk di seberang jalan itu.
Rumput menghijau menghiasi view sekitar teluk |
Ceritanya, pada saat itu ada kunjungan damdim ke lokasi ini. Para tentara ingin menyuguhkan daging rusa untuk pimpinannya. Dulu di daerah ini masih banyak ditemukan rusa (entah sekarang). Karena butuh banyak maka para tentara itu minta orang tua itu menyediakan rusa untuk mereka. Orang tua itu menyanggupi tapi harus menghabiskan rusa yang dia bawa. Para tentara itu menyanggupi, maka orang tua itu pamit ke hutan. Tak lama kemudian dia membawa rusa besar untuk mereka yang langsung menjadi santapan nikmat para tentara. Namun ternyata mereka tak sanggup menghabiskan dan pagi hari di tempat mereka maka bukan sisa rusa yang mereka dapat tapi sisa batang kayu.
Dia juga menunjuk satu tempat di ujung teluk satunya yang tampah ada bagian pasir putihnya. Katanya, di sana ada tempat yang dibangun bule. Menurutku lokasi di sana memang strategis sekali. Bayangkan saja, teluk yang begitu aduhai dan memiliki pasir putih dan perbukitan ala teletubbies dengan posisi menghadap ke barat untuk menikmati sunset. Untuk urusan lokasi strategis seperti itu entah kenapa bule-bule bisa cepet sampai duluan sebelum kita ya.
Tambahan:
Di daerah Sambi Rampas juga ada sebuah danau yang dikenal dengan nama Rana Tonjong karena di danau itu ada bunga Tonjong (Teratai) yang tumbuh subur menutupi seluruh danau. Sebenarnya aku mau diajak makan di sana namun karena pertimbangan bahwa di danau itu saat ini baru tumbuh belum sampai musim berbunga sehingga aku disarankan lain kali saja ke sana. Kata pak Feliks musim berbunga puncaknya di bulan Mei-Juni. Itu waktu terbaik untuk mendapatkan danau dipenuhi dengan bungai Tonjong (Teratai). Baca keseluruhan artikel...
Langganan:
Postingan (Atom)