Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Terpesona di Lapopu (Lapopu Waterfall)

"Dan Sumba tidak hanya menawarkanmu ringkik-ringkik kuda Cendana
Raut-raut keras dan bilah-pilah parang panjang di balik sarung tenun ikat
Walaupun aku harus mengakui pasir putih pantai-pantainya memukau
   tapi jauh di kedalaman hutan
   masih ada sepi yang melingkupi seluruh keindahan di Lapopu
   dimana gemuruh air yang jatuh memaksamu diam dalam pesonanya"


Jauh di kedalaman hutan yang menjadi kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, gemuruh air dari datang bagian atas bukit memenuhi sungai yang mengalirkan air yang dipenuhi warna tosca. Selain itu adalah sepi, suara derit tiga batang bambu yang membelah sungai yang kami injak hanya kami dengar sendiri. Semuanya luruh dalam suarah gemuruh air terjun Lapopu.
Keindahannya tidak diragukan lagi: tenang mempesona
Beberapa waktu lalu, tiap kali ada penugasan ke Sumba, selalu terbersit keinginan untuk bisa mengunjungi air terjun Lapopu. Hanya saja, informasi lokasi ini sendiri masih simpang siur dari jaraknya yang katanya jauh dan kondisi medan yang katanya sangat berat. Setelah beberapa kali ke Sumba namun keinginan itu terus tertunda, kesempatan itu akhirnya datang juga. Memang Sumba sendiri memiliki banyak lokasi dan event wisata yang bagus-bagus bahkan potensinya luar biasa. Sebagai negeri dengan kebudayaan Megalitikum yang masih hidup, adat dan pantai Sumba adalah hal yang tidak boleh dilewatkan siapapun yang datang ke Sumba. Ringkik-ringkik kuda Cendana yang berlari kencang di tengah lapangan yang dipenuhi manusia dari dua kubu yang saling melemparkan lembing ke arah lawan adalah sebuah ritual yang menarik wisatawan bahkan dari luar negeri untuk menyaksikannya. Dan Pasola ini telah menjadi ajang yang laku dijual sebagai destinasi wisata budaya.

Jembatan darurat untuk menyeberang ke sisi lain sungai.
Kebetulan mas Joni Trisongko, salah seorang fotografer dari Kupang sedang ada acara di Sumba yang waktunya bersamaan dengan penugasanku ke tempat ini sehingga kami membuat janji diantara waktu dia melakukan tugas pemotretan kita akan mengunjungi air terjun Lapopu ini. Sayang hari pertama, langit sore waktu itu tampak gelap sehingga kami memutuskan menunda keesokan harinya.
Hari kedua mas Joni telah selesai melakukan job pemotretan, sehingga kami punya cukup waktu untuk ke air terjun Lapopu. Agar leluasa, kami memutuskan menggunakan sepeda motor di hotel dengan biaya 50ribu per hari. Aku bertiga bareng mas Joni dan Imam naik dua kendaraan. Menurut informasi, jalan paling umum adalah lewat jalur Wanokaka karena memang air terjun Lapopu terletak di desa Lapopu, kecamatan Wanokaka. Hanya aku mencoba jalan alternatif lain yang katanya jauh lebih dekat yaitu lewat kampung Loli Atas. Dari hotel Pelita kami mengambil jalan ke arah Waingapu bukan ke arah Wanokaka. Sebenarnya sudah diberikan petunjuk agar kami setelah sampai ke Loli Atas masuk ke arah kampung Laipraga yang ditandai dengan sebuah pohon besar. Konyolnya karena informasi ini tidak terlalu kami tangkap dengan benar *korek tai telinga pake cangkul* justru akhirnya kami sampai ke kabupaten Sumba Tengah yang memang jaraknya tak begitu jauh dari Sumba Barat. Setelah kehilangan waktu setengah jam akibat perbuatan kami, dengan bertanya beberapa kali ke orang-orang yang kami temui akhirnya kami masuk ke arah yang benar menuju kampung Laipraga. Saran saya memang sebaiknya kalau punya rencana jalan, ajak orang Sumba yang tahu tempat plus jangan segan sering-sering bertanya daripada kesasar karena informasi papan penunjuk jalan masih minim.


Aliran airnya terbelah dipertengahan, tetap menawan walau airnya menyusut
Setelah jalan menanjak sampai ke kampung Laipraga, selanjutnya jalanan terus menurun. Di sinilah kami menuai masalah karena salah satu motor sewaan ternyata rem belakangnya blong sehingga hanya tersisa rem depan untuk pengereman ditambah dengan motor tidak seimbang agak miring, padahal kondisi jalannya jelek sekali. Pada saat turunan karena kondisi medan yang berupa tanah berbatu berlubang-lubang aku memutuskan turun jalan kaki supaya Imam yang yang naik motor sendiri. Namun di jalanan turunan itu Imam harus terjatuh dari motor saat mencoba mengerem motornya. Untuk pada saat jatuh itu motor sudah berhenti betul sehingga Imam tidak terluka. Akhirnya aku berpindah naik di boncengan mas Joni yang motornya masih betul. Perjalanan kami perlambat supaya motor yang dinaiki Imam tidak buat onar lagi. Beberapa kali kami harus bertanya di setiap percabangan karena tidak banyak papan penunjuk arah yang tersedia. sampai kemudian kami sampai di percabangan pertemuan antara jalur Wanokaka. Ternyata di sepanjang jalan itu sudah diaspal namun karena disamping kanan kiri jalan ada perkerasan, jalan dibagian beraspal juga tampak putih berdebu terkena sisa-sisa tanah kapur perkerasan.

Walau jalan cukup lumayan, namun kendaraan tetap kami lajukan pelan karena sisa-sisa tanah membuat kendaraan menjadi licin. Setelah beberapa kilometer akhirnya kami masuk ke kawasan hutan dan tak lama kemudian tampak papan pengumuman dipasang di pinggir jalan yang menunjukkan bahwa 600 meter lagi kami akan sampai di air terjun Lapopu. Saat jalan menurun inilah terjadi musibah kedua, karena jalan menurunnya cukup curam Imam jadi kesulitan mengendalikan kendaraannya padahal setelah tikungan jalan langsung menurun lagi. Mungkin saat itulah dia mengerem lebih kuat sehingga motor menjadi tidak terkendali yang akhirnya membuat Imam terjatuh di atas jalan tanah. Karena sedikit terseret, Imam mengalami beberapa luka lecet. Lumayan perih sih pastinya. Karena masih ada jalan menurun, demi keselamatan kami memutuskan parkir kendaraan di tepi jalan tanpa masuk lagi ke dalam. Beberapa ratus meter akhirnya kami sampai di pos jaga dari TMNT. Tampak beberapa turis dari asia (entah taiwan atau jepang), melapor ke pos jaga sekaligus untuk membayar tiket masuk. Tiket masuk per orang ke kawasan ini ditarik 10ribu rupiah itu untuk wisatawan umum, kalau wisatawan lokal sih cuma seribu rupiah. Katanya kalau untuk wisatawan asing lebih mahal sekitar 100ribu rupiah. Kalau kalian membawa kamera, biaya per kamera dipungut 25ribu. Tapi itu bukan harga mati lho, kalau kalian ramah, baik hati, suka menolong dan tidak sombong itu biaya kamera bisa dinego kok hahahaha... apalagi yang moto just hobi, kan terlalu mahal tuh segitu kecuali yang mau komersil. Kalau gak tanya tanya saja Lukas, petugas polisi hutan yang kami temui.
Sekali-kali narsis untuk bukti otentik dah nyampe sini
Untuk sampai ke air terjun, kami harus menyeberangi sungai setelah berjalan di pinggir beberapa ratus meter. Airnya berwarna hijau kebiruan atau biasa dikenal dengan warna toska. Seperti warna batuan kapur yang yang memendarkan warna kebiruan bercampur dengan warna hijau (entah dari mana, yang pasti bukan lumut karena kalau kita ambil airnya bening sekali) membuat warna airnya menjadi toska. Warna itu akan lebih tampak saat matahari tidak menyinari langsung permukaan airnya (pagi atau sore hari). Ada jembatan darurat yang dibuat masyarakat dari beberapa bambu kalau tidak ingin menyeberang langsung lewat sungai, cukup bersensasi karena ini jembatan darurat sehingga waktu berjalan akan terasa bergoyang-goyang, karena itu kami tidak berani melewati jembatan bertiga sekaligus.
Akhirnya setelah melewati bebatuan pinggir sungai, mata kami disambut air terjun setinggi 62 meter (kata sumber di internet lho, aku belum pernah mengukur sendiri :D). Debit airnya agak berkurang entah karena sekarang musim kemarau atau karena ada pembangkit listrik tenaga air, tapi itu tak mengurangi keindahannya.
Tempatny benar-benar terasa sepi, saat itu hanya kami bertiga yang mampir kesini sehingga kami puas memotret dari segala sisi yang memungkinkan, walau ketiadaan matahari yang telah hilang dibalik pepohonan hutan membuat warna-warna jadi sedikit tenggelam. Hanya saat terakhir kami mau kembali ada sepasang muda-mudi yang datang ke sini tapi itu tidak lama karena waktu kami mau kembali mereka sudah tidak ada disana.


Perjalanan kembali sebenarnya menerbitkan sedikit keraguan dengan kondisi motor kami. Untungnya Lukas, sang polisi hutan berbaik hati mengantar kami untuk mengendarai motor yang blong rem belakangnya. Kelincahannya di atas motor ditunjukkan dengan amannya kami dapat melalui jalan sampai ke daerah Wanokaka. Ternyata Lukas pernah ikut acara Pasola, ajang permainan perang melempar tombak di atas kuda, pantesan jago mengendalikan motor di kondisi begini.
Setelah mampir sebentar untuk beli minuman disebuah warung yang cukup besar di Wanokaka. Kami melanjutkan kembali perjalanan, namun kali ini melalui jalur umum Wanokaka bukan jalur kami datang lewat Loli Atas. Perjalanan memang terasa lebih jauh, dan disepanjang Lukas mengingatkan kami agar tidak berada jauh di belakang kendaraannya karena menurutnya daerah di sini masih agak rawan. Kami kurang tahu maksudnya tapi tak berani menduga-duga, dan memilih mengikuti laju motor Lukas sampai di kota Waikabubak.

Catatan:
(1) Bagi yang ingin mendatangi air terjun Lapopu, kalau mau cepet bisa ambil jalur Loli Atas karena lebih dekat tapi pastikan kendaraannya tidak mengalami masalah karena banyak turunan dengan kondisi jalan yang kurang bagus. Kalau kurang yakin, sebaiknya ambil jalur normal lewat Wanokaka. Lebih jauh sih tapi lebih nyaman dan gak bikin was was...
(2) Jangan malu untuk bertanya karena papan penunjuk memang masih minim daripada kesasar. Malu bertanya tersesat sampai di surga lho :D
(3) Disarankan untuk tidak berjalan sendiri. Kalau masih takut jalan lebih dari dua kendaraan mungkin lebih baik pake guide orang lokal, kalau masih bingung juga bisa hubungi salah satu bro Lukas; ini facebooknya: Lucas Maramba ... hehehe sorry ya bro, facebooknya aku pajang kesini :D
(4) Kalau untuk biaya kamera coba tawar ke penjaga biar bisa dapet korting, kan lumayan apalagi kalau kalian para traveller masing-masing bawa DSLR. Tapi kalau memang moto buat hobi lho ya, kalau motonya untuk dijual lagi ya jangan nawar ya. Syarat nawar ya itu tadi, gak boleh sombong dan harus ramah  hehehe
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 05 Agustus 2013

Pantai Nunhila dan Mercusuar Kupang

Pantai Nunhila senja hari
Beberapa hari ini ada acara Sail Komodo, tapi terus terang males nulis Sail Komodo. Terkesan banget itu pelaksanaan terburu-buru dan asal. Nanti aja lah kalau lagi gak bete nulis Sail Komodo itu juga gak janji daripada isinya jelek-jelekin acara Sail Komodo nanti malah dikira black campaign lagi.. (apa urusannya coba).

Nah dari pada cerita jelek, mending aku nulis tentang dua daerah yang aku datangin baru-baru ini, yaitu pantai Nunhila dan laut di depan Mercusuar Kupang. Bisa buat alternatif kalau lagi males jalan jauh dari kota Kupang.

Pantai Nunhila Kupang
Jangan dibayangin ini daerah yang memiliki garis pantai yang panjang ya. Pantai Nunhila itu kebanyakan dipenuhi karang-karang yang tinggi yang langsung berpapasan dengan laut. Nah di banyak kondisi itu, ada sebuah cekungan yang disamping kiri kanannya dipagari karang-karang terjal.

Pantai Nunhila, tampak di kejauhan deretan perahu layar peserta Sail Komodo
Awalnya aku melihat pantai ini dari atas pesawat waktu kembali dari Sumba. Dari atas pesawat tampah sebuah daerah putih sepotong di sisi pantai Namosain yang dibatasi karang-karang. Kalau karang sisi Timur pantai Namosain yang menjorok jauh ke laut itu aku tahu karena itu batas akhir kalau berjalan-jalan di pantai Namosain. Dari situ aku udah planning untuk liat daerah itu dari dekat. 

Foto pantai Nunhila dari mbah Google Earth
Awal pertama masih bingung-bingung gak nemu jalan, akhirnya gak sengaja ketemu pas lagi jalan-jalan lewat jalan kecil dari samping kuburan. Gak sengaja karena waktu itu cuma mau jalan-jalan ngabuburit sekalian buka puasa di pantai. Ternyata di ujung jalan kuburan ada belokan ke kanan ke arah perkampungan warga tepi pantai sampai nanti di ujung jalan menurun ke bawah ketemu pantai dengan warna pasir putih kekuningan. Tapi sayang waktu itu lagi pasang jadi pasir putihnya tinggal sedikit.

Pantai Nunhila pertama kali datang saat pasang
Baru perjalanan ketiga bisa dapet pas lagi surutnya. Secara umum pantai ini khas pantai daerah kawasan Timur Indonesia yang umumnya berpasir putih (gak putih-putih amat sih), dan warna airnya yang kehijauan menunjukkan kalau airnya masih bening. Karena pantainya miring ke arah barat laut cenderung utara, jadi kalau mau lihat sunset harus dari ujung cekungan. Atau kalau lebih gampang naik saja ke arah karang-karang yang menjorok ke laut. Tapi saranku jangan lupa memakai alas kaki karena karang di daerah itu lumayan tajam jadi kalau gak pakai alas kaki gak jamin kakinya selamat tanpa goresan. Di atas karang-karang banyak ditumbuhi tanaman lamtoro dan pohon-pohon pendek itu yang kebetulan sudah tampak kering.

Ada sebuah bangunan berbentuk lopo disisi salah satu karang yang sayangnya terpisah. Untuk ke tempat karang satunya harus turun lagi, gak bisa langsung dari bawah pantai.

Pada saat surut baru ketahuan kalau ternyata daerah pasir panjangnya juga tidak terlalu panjang, karena bagian yang menjorong ke laut juga berupa batuan karang yang berwarna lebih cerah dengan dasar sebagian berlumut. Namun lagi-lagi yang jadi gangguan mata adalah keberadaan sampah. Masalah klasik, dan di pantai ini di daerah pasirnya banyak sekali sampah kain dari baju-baju bekas entah dari mana.

Menurut informasi dari mas Eko di daerah ini masih banyak tumbuh terumbu karang yang belum rusak. Sepertinya lain kali aku harus mencoba mengeksplore pantai ini untuk mengetahui seberapa terjaganya terumbu karena di daerah ini.

Catatan di Google Earth, posisi pantai ini  10° 9'54.27"S dan 123°34'14.96"T silahkan digugling kalau mau tahu seperti apa penampakannya, siapa tahu di komputer kalian warna air lautnya lebih bening.

Laut di Mercusuar Kupang
Mercusuar ini terletak di sebelah Timur pantai Teddys, daerah kawasan kota lama yang dipisahkan dengan sungai. Sebenarnya kesini gak sengaja. Waktu itu aku dapat kabar kalau perahu-perahu peserta Sail Komodo mau flag off hari Minggu pagi itu. Karenanya abis Subuh aku ke pantai Teddys dan janjian sama temen ketemu disana. Sayang waktu kesana ternyata temen belum datang sehingga aku jalan dan moto sendiri. 

Para pemancing di Mercusuar (tampak perahu peserta Sail Komodo)
Suasananya pantai Teddys karena digunakan untuk peserta Sail Komodo terasa gak nyaman, umbul-umbul warna warni yang tersusun tidak rapi tampak mengganggu mata. Di sebelah kawasan tempat terbuka yang biasanya digunakan masyarakat untuk berjualan saat itu baru berdiri sebuah panggung terbuka yang katanya tiap malam ada acara malam budaya. Di seberang pantai Teddys yang berdiri sebuah mercusuar ada tiga fotografer sedang asyik memotret di atas bukit. Sambil menunggu acara, sempat ada insiden tutup lensaku terjauh ke air laut. Untung waktu itu airnya tidak dalam sehingga bisa aku ambil lagi. Tiba-tiba ada panggilan dari megaphone supaya yang punya kendaraan diparkir di tepi jalan disingkirkan karena mau digunakan parkir kendaraan plat merah penyelenggara event Sail Komodo.
Suasana pagi di Mercusuar Kupang
Karena memang sudah males, aku langsung ngeloyor keluar pantai dan mau mencoba ikut para fotografer ke daerah Mercusuar. Dari pertigaan langsung mengambil masuk jalan disamping sungai sampai ke ujung bangunan. Setelah parkir disitu aku masuk terus ke belakang sampai di bawah Mercusuar. Ternyata ada om Joni, mas Yanto dan Fahrul yang juga sama-sama sedang menunggu flag off perahu peserta Sail Komodo.


Daerah Mercusuar Kupang ini nyaris tidak memiliki pantai karena di balik bukit karang ini langsung terhampar air laut. Berbeda dengan pantai Teddys yang terkesan kurang bersih, air laut di sini tampak masih bersih (tentu saja, karena tidak ada yang turun mengotorinya).

Dari sini ternyata lebih nyaman untuk menikmati deretan perahu-perahu peserta Sail Komodo yang berjajar di sepanjang pantai. Cukup jauh dari Teddys yang menjadi tempat pendaratan karena pantai Teddys terlalu dangkal sementara perahu-perahu layar itu membutuhkan kedalaman tertentu untuk bisa merapat.
Beberapa pemancing juga sudah ada di pinggir-pinggir karang. Ada dua orang pemancing yang baru datang tapi sudah mendapatkan banyak ikan padahal peralatannya sederhana. Rupanya mereka menggunakan umpan hidup, yaitu ikan-ikan kecil yang masih hidup. Semua pemancing tumpuk di sini semua padahal di sebelah ada karang yang lebih landai yang tentu lebih enak buat mancing. Tapi siapa yang berani kesana, karena itu di belakang markas tentara (istilah orang Kupang menyebutnya 'Benteng'). Tak berapa lama rombongan pak Kris, sesepuh Fotografer Indonesia Regional NTT datang juga. Jadi sekarang ramai suasananya, tapi sayang justru momen yang ditunggu-tunggu berkembangnya layar para peserta Sail Komodo tak juga-juga terbentang. Padahal dari tadi sudah terdengar akhir acara seremoni juga pelepasan balon tanda pelepasan. Padahal dari informasi, acara seharusnya jam 6 pagi tapi ternyata peserta baru mulai merapat di atas jam tujuh (baru tahu bule ternyata hobi molor juga) dan idem, ternyata dari kementerian yang membuka acara Flag Off juga baru muncul belakangan. Ah budaya telat masih juga ada ya :D

Sambil menunggu, beberapa kami termasuk aku mencoba memotret obyek di sekitar Mercusuar termasuk juga para pemancing. Tapi tunggu punya tunggu ternyata tak juga ada perahu yang layarnya terkembang membuat kami akhirnya kecapaian sendiri dan memutuskan kembali. Mungkin sebagian mereka akan kembali lagi sore ini tapi tidak dengan aku. Rencananya sore nanti ada acara di Pantai Ketapang Satu bareng teman-teman Tapaleuk Ukur Kaki untuk acara bersih-bersih pantai. Tapi sayangnya acara itupun aku tak bisa datang karena mungkin kepanasan di Mercusuar sedangkan aku sedang puasa, sorenya kepalaku terasa sakit sehingga aku memilih tiduran menunggu waktu berbuka.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 28 Juli 2013

Antara Perbatasan Mota'ain dan Kolam Susuk

Orang memancing ikan di Kolam Susuk, tenang tapi banyak nyamuk
Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tonggak kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga, tonggak kayu dan batu jadi tanaman

Ada yang ingat tulisan ini? Ya, mungkin bagi yang pernah merasakan musik-musik di era 70-an yang juga masih terdengar di era 80-an masih bisa mengingat syair lagu ini. "Kolam Susu", itulah judul lagi yang diciptakan Koes Plus. Apa hubungan lagi ini dengan tulisanku? Nanti aku ceritakan lengkapnya.

Mota'ain: Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Gaya narsis anak jaman sekarang, orang tua gak mau ketinggalan :p
Tulisan buat bulan Juli ini... dari kemarin mikir terus mau nulis apa, padahal liat di list gak ada tulisan sama sekali untuk bulan Juli ini padahal tanggalnya udah tinggal menghitung hari (Krisdayanti mewek...). Lagian bulan puasa, emang bawaannya males mau bikin tulisan.
Untungnya tadi sore kerjaan dah kelar trus temen yang ngajak buat mampir buat liat perbatasan Indonesia-Timor Leste di Mota'ain. Ya udah, sambil ngabuburit buat buka, aku iyain aja ajakannya, lagian aku juga punya rencana sekalian mau ngeliat Teluk Gurita. Kebetulan dapet pinjem kendaraan buat jalan.
Sekitar jam setengah tiga abis kerja kita balik sebentar ke hotel buat ganti baju sekalian ambil kamera. Kali ini aku cuma bawa kamera yang udah terpasang lensa wide 11-16mm, lensa tele 90mm fix yang biasanya aku bawa kelupaan di rumah jadi gak kebawa.
Ups... buat informasi yang gak familiar dengan perjalananku. Saat ini aku ada di Atambua, Kabupaten Belu tempat biniku dilahirkan. Jarak dari Kupang-Belu jika ditempuh lewat darat cukup lama sekitar enam sampai tujuh jam perjalanan (sekitar 270 km). Kalau mau lebih cepet bisa pake pesawat yang biasa terbang tiga kali seminggu, tapi pesawat kecil lho yang cuma muat paling banyak 12 orang.
Membuktikan diri kalau sudah meninggalkan Indonesia :D
Belu ini merupakan daerah yang menjadi kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Nah daerah Mota'ain itu desa di Timor Leste yang berbatasan dengan desa Motamasin Kabupaten Belu. Dari Atambua, pak Nyoman yang menemaniku mengambil jalur potong melalui Haliwen-Mota'ain yang lebih cepat yang dapat ditempuh hanya setengah jam perjalanan. Sayangnya sebagian kondisi di jalur ini banyak yang  kondisinya kurang baik bahkan ada beberapa titik terdapat jalan yang mengalami patahan yang mengakibatkan jalan amblas beberapa puluh senti, lumayan harus bikin kendaraan hati-hati. Tapi memang jalur ini yang sering juga digunakan kendaraan travel untuk sampai ke Mota'ain karena jarak yang paling pendek. 
Setengah jam kemudian, aku sampai di perbatasan. Setelah lapor ke pos polisi yang berada tepat di pertigaan masuk perbatasan, kendaraan belok ke kanan menuju sebuah gerbang selamat jalan milik Indonesia. Tadi di pos, polisi memberitahukan supaya kami tidak melangkah melebihi garis kuning karena beberapa hari ini sedang ada ketegangan di Timor Leste. Mobil terlebih dahulu diparkirkan di area pasar perbatasan yang sudah ditutup, pasar gagal padahal sudah menghabiskan banyak biaya, sayang sekali.
Ternyata garis kuning itu dekat sekali, persis di ujung akhir jembatan. Waduh, padahal gerbang Timor Leste masih kelihatan jauh. Tapi berhubung ada beberapa rombongan cewek yang cuek melewati garis kuning akhirnya kami juga ikut juga, sambil bertanya-tanya sampai dimana batas boleh lewat. Emang penyakit narsis itu gawat juga, sampai batas aman juga dilewati demi mendapatkan bukti otentik sudah sampai ke perbatasan. Sepertinya batas itu menunggu bunyi dor hahhahaha.... 
Untung, sepertinya kondisinya gak setegang seperti informasi di pos polisi sampai akhirnya kami bisa mendekat sampai di dekat pintu gerbang pos perbatasan Timor Leste. Di tengah-tengah gerbang itu, rupanya banyak kambing yang berkeliaran, tapi gak tau berkewarganegaraan mana (lumayan bisa diculik buat jadi kambing guling). 
Lokasi perbatasan ini juga sering disebut dengan nama Batu Gade (Batu Gede), waktu aku tanya pak Nyoman asal kata itu, katanya di laut ada sebuah batu besar yang kemudian dikenal masyarakat untuk menamai daerah perbatasan ini.
Sebuah pantai di sebelah dermaga TPI Atapupu
Gak lama setelah di perbatasan, kami melanjutkan perjalanan ke Atambua tapi lewat jalur Atapupu. Jalur ini lebih jauh untuk sampai ke Atambua tapi kondisi jalannya jauh lebih bagus. Sebenarnya dalam perjalanan itu ada dua lokasi wisata yang satu dimiliki pemda dan satu lagi dimiliki masyarakat. Nah yang dimiliki masyarakat ini sebenarnya lebih enak suasananya, tapi aku gak mampir karena pernah punya pengalaman yang tidak menyenangkan. Itu terjadi beberapa tahun lalu yang saat itu permasalahan pengungi dari Timor Leste masih hangat. Waktu itu kami berempat sedang mencoba melihat daerah Atapupu. Waktu melihat lokasi ini kami mau turun, eh tiba-tiba ada orang (sepertinya pengungsi Timor Leste yang membangun gubuk di lokasi ini) mencegat kami dan meminta bayaran 20ribu per orang dengan wajah yang galak. Bayangkan waktu itu di sebuah lokasi yang jauh dari kata memadai hanya tempat untuk menikmati pantai tanpa fasilitas minta biaya 20ribu per orang... bah karuan saja kami langsung kabur.
Kami juga sempat diajak mampir ke TPI (Tempat Penjualan Ikan) yang sayang kondisinya sama seperti pasar perbatasan yang sama-sama sudah ditutup. Biaya milyaran yang berakhir tidak memberi manfaat apa-apa.

Kolam Susuk
Sebuah tulisan Kolam Susuk besar di atas bukit sebelah pintu masuk
Beberapa kilo mendekati jalur masuk ke arah kolam susuk ternyata ada jalan tampak melambat, ternyata ada rombongan yang sedang ada acara memindahkan patung Maria. Untungnya pertigaan ke kolam susuk sudah dekat jadi kami tak harus berlama-lama di dalam kendaraan yang bergerak seperti siput. Jalan kolam susuk sedang dalam perbaikan jadi kondisinya baru sebatas batu dihampar namun telah dilakukan perkerasan. 
Nah, syair yang ditulis Koes Plus ini ada hubungannya dengan tempat ini. Untuk informasi, kolam susuk ini pernah dikunjungi salah satu anggota Koes Plus, Yok Koeswoyo pada tahun 1971 yang kemudian menginspirasinya menciptakan sebuah lagu berjudul Kolam Susu pada tahun 1974 dan menjadi salah satu lagu hit yang pada intinya menceritakan keindahan dan kayanya bumi Indonesia (tapi masyarakatnya tetep miskin.. hiksss ). Tapi kolam susuk bukan artinya kolam susu lho, jauh... justru susuk itu artinya nyamuk, jadi kolam susuk itu jelas maksudnya kolam yang banyak nyamuknya hehehehe....


Tambak di sekitar Kolam Susuk
Kolam Susuk saat ini sudah ada kegiatan pemugaran walau kesannya hanya sekedar proyek menghabiskan uang yang tidak direncanakan dengan matang. Kendaraan tidak bisa masuk walau gerbangnya besar karena dibangun di tengah-tengah sebuah prasasti pendirian kolam susuk. Dan yang lebih lucu lagi ada tulisan besar keren yang dipasang di atas bukit macam seperti tulisan Hollywood. Kenap lucu, karena penempatannya yang jadi malah tidak terbaca. Jika tulisan itu dibuat besar kan pasti tujuan awalnya supaya bisa terbaca dari jauh, nah tulisan ini justru dibuat di atas bukit kolam susuk namun justru tulisan kolam susuk menghadap ke dalam bukan keluar jadi orang yang mau melihat tulisan ini harus masuk ke dalam kolam susuk. Apakah setelah masuk bisa membaca tulisan ini? Tidak, karena pohon-pohon akan menghalangi kita membaca tulisan itu. Jadi satu-satunya jalan anda harus naik bukit dan persis di depan tulisan kolam susuk itu baru bisa terbaca. Jadi buat apa dibuat besar-besar tulisannya hahaha.... Di foto itu, agar bisa terbaca kolam susuk, aku harus memotret dari belakang lalu aku baik fotonya karena kalau difoto dari depan susah terhalang pepohonan, lensa wide 11 mm membantu membuat tulisan ini bisa terbaca tapi kalau anda hanya memotret dengan kamera dengan panjang fokal biasa atau kamera hape, aku gak menjamin bisa mendapat foto seperti itu.


Matahari menjelang senja di Kolam Susuk
Tapi di luar itu suasana kolam susuk sebenarnya cukup menyenangkan. Aku melihat beberapa orang sedang asyik memancing di kolam ini. Katanya sih mereka memancing mujair, walau sebenarnya ada juga bandeng. Pada hari seperti ini memang kolam susuk cenderung sepi, hanya pemancing saja yang datang. Biasanya suasana menjadi ramai kala hari libur. Daerah sekitar kolam susuk adalah kawasan tambah bandeng, dan udang. Bandeng dari daerah ini dikenal enak rasanya karena tidak bau lumpur seperti umumnya bandeng di tempat lain. Jadi kalau kesini jangan lupa untuk mencari ikan bandeng sebagai oleh-oleh. Pernah satu kali aku makan bandeng yang dibakar langsung disini beberapa tahun lalu saat lebaran bareng saudara-saudara istriku waktu itu.

Teluk Gurita
Salah satu sudut lain dari teluk Gurita
Dari kolam susuk, karena satu arah jadi kendaraan sekalian melaju menuju ke teluk Gurita. Menurut informasi dari pemda, teluk Gurita akan digunakan sebagai tempat persinggahan para peserta Sail Komodo yang akan mampir ke Atambua. Teluk Gurita ini sebenarnya digunakan dermaga feri dahulunya tapi katanya sekarang sudah tidak dipakai lagi. Jika jalan dari pertigaan sampai ke kolam susuk sedang dalam peningkatan, maka jalan dari kolam susuk sampai ke teluk gurita masih belum ada perbaikan. Selain kondisi jalan yang sudah bolong disana-sini, ada satu titik dimana jalan di tepi pantai separo sisi sebelah pantai amblas termasuk tembok penahan pantainya.
Letaknya di teluk jadi suasana lautnya tenang, dan menurut pak Nyoman di teluk ini cukup dalam jadi cocok jadi tempat persinggahan peserta sail komdo karena umumnya kapal layar yang digunakan peserta punya ekor ke bawah yang cukup dalam yang berfungsi sebagai penyeimbang perahu.
Terdapat sebuah dermaga dan bangunan penumpang serta rumah penjaga yang sudah terbengkalai. Suasana di teluk gurita sepi, hanya ada beberapa rumah nelayan di ujung sisi teluk. 

Aku dan temanku kembali sekitar jam lima sore berharap dapat kembali ke Atambua sebelum waktu berbuka puasa. Perhitungan kami dari teluk Gurita sampai ke Atambua sekitar setengah jam saja atau paling telat 3/4 jam. Tapi ternyata di luar dugaan kami, kami harus bertemu kembali dengan rombongan pembawa patung Maria yang ternyata sedang prosesi akhir penyerahan kepada pihak penjemput sebelum dibawa masuk ke dalam gereja. Aduh ternyata prosesi ini cukup panjang, hingga akhirnya kendaraan harus berhenti di tepi jalan sampai prosesi berakhir sekitar jam enam sore. Lewat sudah kesempatan berbuka, karena memang aku tidak menyiapkan berbuka. Aku membatalkan puasa dengan memakan sedikit buah kom. Bagi yang tidak kenal buah kom, buah ini berasal dari pohon kom, pohon berduri dan berdaun kecil-kecil yang banyak tumbuh di sekitar pantai. Buahnya yang mentah berwarna hijau, sedang yang tua berwarna merah. Rasanya asam manis dan ada juga rasa sepatnya.
Akhirnya kendaraan baru bisa masuk Atambua jam setengah tujuh dan langsung kami menuju ke tempat makan untuk berbuka tanpa kembali ke hotel.

Catatan: Perjalanan dari Kupang ke Atambua bisa ditempuh lewat darat dengan naik bus biasa (bus mini) sekitar 60 ribu atau naik travel (Timor Travel) dengan biaya 95ribu yang berangkat pagi sekali atau siang hari. Kalau naik travel memang lebih mahal tapi tidak perlu ke pool-nya cukup telepon nanti ada yang jemput dan juga di tempat tujuan akan diantar sampai ke tempat yang kita tuju. Kalau dari Kupang langsung ke Dili biaya sekitar 200ribu, siapkan passpor kalau mau kesana.

Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 26 Juni 2013

Jalan-Jalan Sehari di Bandung

Air terjun Omas Maribaya, air yang biasanya bening menjadi keruh karena longsoran

Pesawat dodol! Masak aku harus cek jam 3 pagi di Bandara Soekarno Hatta pula... Ini bikin acara mau nyasar ke Bandung sehari malem jadi susah. Akhirnya setelah merenung dan bertapa di kamar mandi hotel (istilah gak kerennya b**l), aku putuskan untuk tetap berangkat ke Bandung hari Jum'at pagi dan balik tengah malem.  Dihitunganku sih lumayan bisa dapet spot banyak, minimal spot-spot seputaran Bandung. Denger-denger kan banyak tuh yang menarik, dari kawasan Cibaduyut, Trans Studio, kawasan kerajinan, neng geulis... uppsss (dijitak bini pake odol).. Asli aku belum pernah menginjakkan kaki di kota Bandung. Dulu pas sekali kesana itu juga cuma nyampe stasiun doang gara-gara kesasar naik kereta api dari Solo Balapan. Bukannya naik jurusan Jakarta eh malah naik jurusan Bandung. Sebenarnya banyak juga temen yang tinggal di Bandung tapi demi misi kesasar, aku rela tidak menghubungi mereka. Kan gak keren kalau kesasar tapi minta diantar. Rencana sih mau sholat Jum'at ke masjid Salman ITB baru muter-muter kemana aja asal masih namanya Bandung.
View pepohonan cemara dari bukit batu Patahan Lembang
Tapi sayangnya aku baru berangkat jam 9, udah telat banget (berdoa moga-moga orang Jakarta gak pada berangkat cepet-cepet ke Bandung) bisa-bisa cuma menikmati macet. Untung Niken, sang pemandu by sms (thanks ya Nik, mau aku repotin diantara waktu kerja) kasih tau buat naik travel Cipaganti buat ke Bandung. Lebih cepet, katanya, sekitar dua jam-an udah nyampe. Dari tempatku di Pramuka, travel terdekat ya daerah Cawang, turun di depan Wisma BNN dilanjut angkut ke pool Cipaganti. Aku pikir langsung bisa berangkat ternyata harus beli tiket dulu dan nunggu kendaraan sesuai jam (ketahuan banget dari kampung nih). Untung kendaraan jalan tiap setengah jam, sehingga satu jam kemudian aku dah bisa naik travel. Perjalanan ke Bandung emang cepet pake travel, karena masuk dari satu tol ke tol lain. 
Gak pakai tidur, mata melek aja tuh sepanjang jalan. Jam satu kemudian travel nyampe juga di Bandung, dan turun di Pasteur. Masih bingung bacanya, waktu petugas travel bilang Pasteur kedengeran kayak Panser, kirain daerahnya angkatan darat yang pake kendaraan panser. (korek telinga pake linggis.
Hawa Bandung ternyata lumayan sejuk (iya lah, lagi mendung). Tanya-tanya ke security di pool Cipaganti, katanya kalau mau ke THR Juanda harus ganti angkot empat kali. Whaattsss!!! Niken bener-bener pengen aku nyasar ya.. empat kali ganti angkot tanpa tahu berapa jarak masing-masing ditambah kayaknya jalanan padet begini. Mau jam berapa sampai THR Juanda. THR Juanda ini yang milihin ya Niken, karena katanya aku gak cocok di kota cocoknya di hutan, lagian di sana ada air terjun Maribaya bisa buat latihan loncat indah.
Akhirnya aku milih naik ojek aja ke sana. Dengan ongkos 40rebu akhirnya aku diantar naik motor (ini karena Niken mikir kelamaan waktu ditanya jalur angkot ke arah sana, katanya jarang naik angkot). Tapi aku bersyukur pake ojek, nanti setelah muter-muter disini baru tahu walau jaraknya dekat sering kali harus naik angkot beberapa kali karena di Bandung banyak yang jalannya searah. Gebleknya itu tukang ojek juga gak terlalu paham. Aku nyaris dikesasarkan ke arah mana aku juga gak tau. Untung aku lihat papan penunjuk jalan warna ijo gede. Aku yang kasih tau "Akang, salah jalan deh kayaknya, bukan belok sini tapi tetep lurus tuh". Untungnya orang Sunda gak ngototan ya, dia milih minggir dan minta aku nanya ke orang di deket situ.

Taman Hutan Raya Juanda

Jembatan untuk melihat curug Omas Maribaya
Ternyata Taman Hutan Raya (THR) Juanda itu sudah dibangun lama, berada di lembah patahan Lembang. Dan seperti biasa, kawasan seperti ini di sepanjang jalan mulai banyak villa dibangun. Ini pasti kerjaan orang Jakarta tuh, udah penuh tanah di Jakarta mulai  ekspansi di sini.
Tiket masuk ke THR ini 10rebu tambah jasa asuransi 500 rupiah. Karena belum makan siang, aku cari makan siang dahulu di warung deket sini. Banyak yang lagi tutup gak tau kenapa, sehingga aku masuk ke salah satu warung di bagian pojok. Sayangnya waktu aku mau nitip tas tenyata ibu penjualnya udah mau tutup. Akhirnya aku bisa menitipkan tas backpack ke salah satu warung dipinggir pintu masuk, yang emang biasanya tidur di dalem situ. Lumayan bisa patah bahuku kalau harus bawa itu tas, maklum itu semua barang buat jalan dari Kupang ke Jakarta aku bawa semua (masak nginep mahal-mahal di hotel cuma buat nitip tas, gak keren banget kan). 
Taman hutan di THR Juanda
Hutan ini cukup luas untuk sebuah taman, tapi cukup mini untuk sebuah hutan. Katanya THR ini sekitar 52 hektar (kalau salah berarti aku dapet informasi sesat). Banyak obyek yang bisa dikunjungi disini baik obyek asli maupun obyek buatan. Yang asli seperti air terjun ada beberapa seperti air terjun Lalay, beberapa air terjun kecil dan yang paling besar air terjun Omas Maribaya (semua air terjun ini disini dikenal dengan nama curug). Lalu juga ada gua Jepang dan gua Belanda. Taman bermain untuk anak-anak dan keluarga dan olahraga-olahraga alam juga ada. Tapi tentunya yang paling dituju adalah panorama alam hutan Juanda-nya.
Rasanya gak mungkin sehari ini aku bisa menghabiskan seluruh obyek disini, jadi aku harus memilih obyek yang sudah kutarget. Akhirnya aku memilih obyek yang paling ujung, yaitu air terjun Maribaya yang berjarak sekitar 5km dari pintu masuk. 
Dari pintu masuk, suasana hutan yang rindang langsung menyapa. Begitu melewati jembatan kecil aku langsung berbelok ke kanan ke arah curug Omas Maribaya. Beberapa ratus meter perjalanan awal jalannya masih besar, di beberapa titik ada bangunan-bangunan tempat orang berjualan tapi semuanya sepi. Ternyata dari informasi, hutan ini baru dibuka kembali minggu ini setelah sebelumnya ditutup beberapa hari akibat longsor besar yang terjadi di beberapa titik yang memutuskan beberapa jalur. Ini terjadi akibat hujan yang mengguyur kencang seharian Rabu minggu kemarin. 
Suasana hutan yang rindang di curug Omas Maribaya
Dalam perjalanan menuju curug Omas Maribaya, aku singgah sebentar ke gua Belanda. Kebetulan karena terletak di pinggiran jalur jalan. Sebuah lubang yang cukup tinggi menembus dari sisi bukit ke sisi bukit disebelahnya. Hal ini tampak jelas, karena lorong besar ini tampak cahaya di ujungnya. Berbeda sekali dengan gaya gua Jepang yang dibangun pendek dengan bentuk berliku-liku. Ternyata aku ketinggalan senter, sehingga mau gak mau aku harus menyewa senter dari orang-orang yang menyewakan senter. Mereka menanyakan kalau aku ingin dipandu. Karena aku hanya ingin sambil lewat aku menolak untuk dipandu. Ternyata memasuki gua Belanja suasana seperti masuk ke dalam lubang penambangan. Di sepanjang jalan ada dua rel besi seperti tempat untuk kereta. Lampu-lampu juga tampak terpasang. Disepanjang jalan terdapat cabang-cabang lorong yang memancing keingintahuan untuk dimasuki. Tapi aku menahan diri karena waktu yang tidak banyak.
Beberapa ratus meter setelah keluar dari gua Belanja jalan setapak tampak hilang berganti gundukan tanah, namun pohon-pohon telah dibersihkan sehingga tetap dapat dilewati. Kondisi seperti ini ada di beberapa tempat, sebagian sudah dapat dilewati khususnya motor namun beberapa masih sulit dilewati karena kondisi longsoran yang cukup parah. Seperti yang sudah aku jelaskan di depan. Hutan raya ini terletak dibawah lereng patahan Lembang yang sempit sehingga di kanan kiri hutan adalah tebing-tebing. Kalau tidak ada longsoran sebenarnya suasananya jalannya cukup bagus, setidaknya bisa digunakan untuk gowes (bersepeda).
Air terjun Omas Maribaya dari jembatan
Di tempat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan tempat penangkaran rusa tidak dapat aku lalui karena longsoran disana sudah memutuskan jalur jalannya dan perbaikan kembali belum sampai kesana sehingga aku hanya bisa memperhatikan dari kejauhan saja. 
Di beberapa ratus meter mendekati curug Omas Maribaya, longsoran besar memutuskan jalur jalan. Untung masih ada jalan di pinggir sungai yang masih bisa dilewati.
Akhirnya perjalananku terbayar di depan curug Omas Maribaya. Air yang deras terjun dengan kuatnya ke bawah. Di atasnya terdapat jembatan besi kecil memanjang menyeberangi curug ini. Disekitar air terjun ini ada beberapa bangunan tempat makan dan bersantai. Suasanannya sungguh rindang. Untuk bisa memotret air terjun Omas Maribaya aku harus ke arah jembatan yang di bawah. Air terjunnya sangat kencang, bahkan kadang tempias airnya jauh melebihi tinggi air terjun itu sendiri. 
Dibawah jembatan aku berdiri untuk memotret air terjun ada percabangan sungai dengan suara yang bergemuruh menadakan terjadi benturan arus yang sama-sama kuat. Menurut catatan, pusaran air di bawah jembatan adalah pertemuan sungai Ci Gulung dari arah utara (arah belakang aku berdiri) dengan sungai Ci Kapundung yang datang dari arah timur (arah sebelah kiri aku berdiri)
Formasi batuan dinding Sesar Lembang yang keras diperkirakan telah menghalangi lahar letusan Gunung Tangkuban Perahu di masa purba mengalir ke arah selatan /Cekungan Bandung. Namun dinding batuan Sesar Lembang tersebut telah menghalangi aliran air di bawah permukaan tanah mengalir ke arah Cekuangan Bandung.
Sungai Ci Gulung dan Ci Kapundung merupakan sedikit sungai yang mampu menerobos Patahan Lembang. Menciptakan celah sempit di sekitar Maribaya, kedua sungai tersebut membentuk jalur sungai Ci Kapundung yang mengalir ke selatan dan menjadi sumber air baku yang sangat penting bagi Kota Bandung.
Selain sebagai sumber air bagi PLTA Dago Bengkok, Sungai Ci Kapundung menyatu dengan aliran sungai Ci Tarum di sekitar selatan kota Bandung, dan menjadi sumber air bagi tiga bendungan besar di Jawa Barat: Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Ketiganya menghasilkan listrik bagi jaringan listrik Jawa-Bali hingga lebih dari 4 miliar KWh/tahun dan mengairi lebih dari 200.ooo hektar sawah di Jawa Barat.
Tuh, kan.. jadi harusnya orang Bandung pernah kesini atuh.. itu air penting banget buat kehidupan kalian orang Bandung. Bukan cuma Bandung eh tapi juga Jawa dan Bali.
Disekitar curug Omas Maribaya ada juga jalur joging yang lumayan bikin capek. 

Di Puncak Patahan Lembang
Sekitar jam setengah lima aku, memutuskan untuk naik ke atas puncak Patahan Lembang yang berupa bukit batu. Untuk ke atas bukit itu, kita harus keluar dulu dari THR Juanda. Itu saran dari akang pengojek yang sekaligus yang mengantarkanku sampe ke atas. Setelah mengambil tas yang lumayan berangkat, aku duduk manis di belakang ojek yang terus naik ke atas bukit ke arah puncak Patahan Lembang.
Pemandangan dari salah satu bukit batu Patahan Lembang
Walaupun keberadaan Patahan Lembang menyimpan sejarah yang menyimpan potensi gempa bagi masyarakat Bandung namun ternyata banyak masyarakat Bandung yang tidak mengetahuinya. Padahal menurut penelitian, Patahan Lembang ini masih aktif dan sewaktu-waktu masih dapat menyebabkan gempa besar.
Patahan Lembang merupakan retakan sepanjang 22 kilometer, melintang dari timur ke barat. Berawal di kaki Gunung Manglayang di sebelah timur dan berakhir sebelum kawasan perbukitan kapur Padalarang di bagian barat. Patahan itu tepat di antara Gunung Tangkubanparahu dan dataran Bandung sehingga membentuk dua blok, utara dan selatan.
Hawa sejuk cenderung dingin langsung menyerbu begitu motor yang aku tumpangi melintasi perkampungan Cibeurea (kata akang ojek sih, tau tuh kalau aku disesatkan)
Sesampainya di atas, akang membawa aku ke sebuah gundukan tanah yang ternyata merupakan bagian atas dari bukit batu yang tampak waktu dari Omas Maribaya. Dari sini sebenarnya dengan leluasa kita bisa melihat beberapa gunung yang mengelilingi Bandung, seperti gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Burangrang. Sayang suasana saat itu mendung dan kabut sehingga gunung-gunung hanya tampak bagian lerengnya saja.
Tiga anak kecil aku temui sedang merokok di balik salah satu batu. Haduh, mau ngerokok takut ketahuan sampai sembunyi di bawah batu yang terjal seperti ini. 

Jalan-Jalan di Bandung
Setelah ke atas puncak Patahan Lembang, aku turun kembali ke daerah Dago. Waktu masih jam lima sehingga aku memutuskan jalan kaki ke Gedung Sate, sekalian menikmati suasana kota Bandung. Di sepanjang jalan menuju gedung Sate, beberapa lokasi di pinggir jalan beberapa pedagang mulai menggelar dagangan. Pokoknya senjatanya Google Maps dan diaktifin GPS-nya. Alasanku berjalan kaki karena lagi-lagi waktu tanya angkot untuk sampai ke Gedung Sate ternyata tidak bisa sekali naik angkot harus berganti angkot. Wah alamat bisa kelamaan kalau naik angkot nih, mending jalan kaki.
View gedung sate bonus mahasiswa demo kenaikan BBM
Aku sampai di depan sebuah lapangan yang sedang ramai sekali karena sepertinya sedang ada pameran. Tanya ke orang ada kegiatan apa, ternyata bener sedang ada pembukaan pameran koperasi. 
Ternyata di Bandung banyakan orang muda-mudi dan sebagian orang dewasa membawa tas ransel di belakangnya, wah banyak temennya nih. Bedanya tas mereka kecil dan tampaknya tidak banyak tentengan (keliatan kempes gitu) sedangkan aku bawa tas gemuk kayak orang mau pindahan (namanya juga bekal cabut dari hotel jadi semua barang dibawa). Sementara di bagian depan terlihat kemacetan jalan karena sepertinya sedang ada demo. Waktu tanya dimana gedung sate-nya sama salah satu orang yang sedang nongkrong, ternyata gedung sate ya yang sedang di demo. Lah, kenapa demonya di gedung sate?? Ternyata oh ternyata gedung sate itu kantor gubernur hehehehe... (keliatan banget bego-nya).
Karena sedang ada demo, makanya jadi gak bisa masuk karena gerbang dikunci dan dijaga sama polisi dan security. Tau kan demo apaan? Itu tuh, demo BBM yang mau naik. Aku inget waktu dengan corong di mulut tuh mahasiswa bilang: "Kami bukan tidak kuat BBM naik, tapi kami tahu bahwa kenaikan BBM menyengsarakan masyarakat. Membuat masyarakat yang miskin semakin miskin dan lain-lain bla..blaa..blaaaaaaa...... " sampai mulutnya keluar busa (untung gak mati abis ngomong gitu) dan supaya seru pasti pakai acara bakar ban bekas (untungnya gak bakar stasiun SPBU ya). Yang aku heran, kok banyak banget wartawan yang meliput, bahkan kalau gak salah ada juga dua stasiun tivi yang ikut ngeliput padahal tuh yang demo gak sampai 20 orang juga. Tapi biar 20 orang mengatasnamakan gabungan mahasiswa Bandung (seharusnya kalau sedikit pake nama Liga Mahasiswa Bandung aja).
Jam setengah tujuh, aku bingung mau balik lewat mana. Lagian juga gak tau dimana ada travel. Karena angkot gak tau jurusan mana yang harus dinaiki dan males harus minta tolong temen. Akhirnya aku putusin mau jalan kaki lagi dari Gedung Sate kembali ke Pasteur. Kalau lihat pake Gmaps sih gak jauh gak sampai satu jengkal kok (ya iya lah, layar cuma 4,3 inchi hahahaha).
Setelah jalan lewat jalan Trunojoyo, aku mampir makan di daerah Balubur. Ternyata di Balubur, ada tempat untuk penjualan tiket travel Bandung-Jakarta. Sayangnya, travel untuk berangkat malem terakhir setengah 12 udah abis tinggal sisa yang jam 7 malem yang untung lagi telat jadi kemungkinan jam 8 malem baru jalan. Gak ada pilihan lain, akhirnya aku pilih travel jam segitu, tapi berharap semoga travelnya kena macet biar bisa tidur di travel, daripada tidur di emperan Jakarta.


Baca keseluruhan artikel...

Senin, 24 Juni 2013

Kota Tua, Monas dan Pelabuhan Sunda Kelapa

Museum Bank Indonesia di seberang kanan halte busway Kota
Bukan bosen nulis tentang wisata-wisata alam, tapi sekali-kali boleh dong nulis kampungnya bang Pitung, jagoan dari Betawi. Bahan tulisan ini emang asli gak disengaja, ya anggep aja berkah mau ditugasin sebentar ke Jakarta. Gara-gara acara yang dipadetin, gara-gara batal mau diajak temen cari peralatan komputer akhirnya malah aku terdampar di Kota Tua.

Gedung Dasaadmusin Conoern yang sudah rusak terbengkalai
Karena aku nginepnya di daerah Pramuka, aku milih pake busway.. busway dong, orang kampung kalau kesini yang dicari dan dicoba busway. Gak taksi bang? Kagak neng, taksi udah biasa di sini tapi taksi roda dua alias ojek hehehehe...

Sebenarnya mau nyobain monorel, kayaknya keren banget tuh. Tapi tanya-tanya orang di Jakarta gak ada yang tau dimana kalau mau naik monorel. Usut punya usut ternyata kalau mau nyobain monorel naiknya di depan Monas (itu tuh lagi ada pameran monorel).

Dengan ongkos 3.500, aku udah bisa naik busway nyampai Kota tapi turun sekali buat pindah jalur di Dukuh Atas. Gak terlalu penuh walau gak dapat tempat duduk, maklum masih belum jam pulang.

Kota Tua, Jakarta
Museum Mandiri dari sisi dalam halte busway
Jam empat aku sampai di halte busway Kota. Sebenarnya dari sejak pertengahan jalan di daerah Glodok sudah tampak bangunan-bangunan tua yang berdiri di pinggir jalan. Sebagian dibiarkan dalam kondisi yang sudah memprihatinkan, sebagian sudah berubah banyak walau masih tampak sisa-sisa sebagai bangunan tua.

Bangunan tua di depan halte sebagian sudah digunakan sebagai museum, yaitu museum Mandiri (gak usah ditanya juga pasti tau kalau bangunan itu punya Bank Mandiri) dan museum Bank Indonesia. Sayang jam bukanya hanya sampai jam empat, jadi waktu aku datang sudah ditutup. Diujung tikungan jalan museum Bank Indonesia, terdapat bola-bola besar dari semen yang digunakan untuk menutup jalan. Ternyata sedang acara Jakarta Fair dalam rangka menyambut ulang tahun Jakarta yang jatuh tanggal 22 Juni ini. 

Kantor Pos Indonesia yang masih aktif berlatar senja
Pantesan saja di sini ramai orang berjualan, dari makanan sampai tukang bikin tato, dari pedagang buku bekas sampai penjual lukisan/gambar foto. Disitu ditulis per wajah 40rebu, jadi kalau sebaiknya jangan minta bikin gambar dari foto ramai-ramai 40 orang sekaligus ya. Macam-macamlah pokoknya, sampai aku bingung ngeliatnya. Lihat penjual angkringan yang sedang membalik loyang berisi seperti telur dadar dibalik ke arah arang langsung, langsung lidah ngiler pengen ngicipi. Ternyata mahluk itu namanya kerak telor, makanan khas asli Betawi. Unik juga bahannya, ternyata bahannya ada ketan yang dimasak dulu baru setelah tanak ditambah telur dan bumbu-bumbu baru di bikin rata kayak telur dadar. Nah bagian akhir setelah masak ternyata loyang dibalik lalu ditaruh di arang, jadi seperti di bakar begitu. Rupanya bagian terakhir itu yang bikin aroma gurih kelapa makin terasa. Disajikan pake taburan kelapa goreng dan bawang goreng. Rasanya enak tapi cepet bikin kenyang.

Gedung museum keramik
Sebenarnya waktu lihat tukang bikin tato pengen juga bikin, karena disitu ditulis "Sedia Tato Permanen dan Non Permanen". Mau bikin tato tapi abangnya gak punya persediaan gambar buat burung emprit atau tokek (abangnya stres pengen bikin tato gratis di atas jidatku liat orang gak punya duit sok mau bikin tato)

Masuk ke arah dalam ternyata di tengah lapangan gedung Museum Fatahillah lagi dipasang panggung pertunjukan, juga ada tenda-tenda putih yang mau dibuat jadi tempat pameran. Beberapa bangunan tampak masih berdiri bagus, walaupun sebagian sudah tinggal bangunan kosong yang telah rusak. Disebelah kiri ada museum Wayang yang masih terawat, di bagian depan musem Fatahillah ada bangunan kantor Pos dan Giro yang masih digunakan sampai sekarang, disebelahnya ada sebuah cafe dengan bangunan yang masih mempertahankan bentuk bangunan lama namanya cafe Batavia. Suasananya sepertinya menyenangkan untuk digunakan bernostalgia jaman dulu. Kalau mau muter-muter seputar sini bisa juga pakai jasa penyewaan sepeda. Sepeda-sepeda model jaman jadul yang sudah dicat warna-warna jreng khas Betawi dan topi ala kompeni jaman dulu berjajar beberapa meter di depan cafe Batavia.

Gedung Museum Fatahillah sendiri sayangnya juga tutup hari ini karena pintu masuknya kehalang sama panggung yang dipenuhi kain-kain dekor warna hitam. Padahal aku sebenarnya pengen coba masuk kesana pas malemnya begitu. Kan sudah banyak tuh yang bikin cerita-cerita seru tentang angkernya museum Fatahillah ini kalau malam. Sayang aku datang terlalu sore sehingga seluruh bangunan sudah tutup, bahkan bangunan gagah bercat putih dengan pilar-pilar besar di seberang kanan yang merupakan museum keramik juga sedang tutup. Kata penjaganya buka setiap hari kecuali hari Jumat.

Bangunan-bangunan ini sekarang menjadi salah satu tempat favorit untuk pemotretan prewedding, biar serasa kembali ke masa lalu kayaknya. Untung mereka membayangkan masa lalu 50-60 tahun yang lalu. Coba kalau bayanginnya 500 tahun yang lalu berarti pakaian gak lengkap tuh hahahaha... 

Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda Kelapa dipenuhi deretan moncong kapal
Nah, karena sudah disana aku akhirnya memutuskan sekalian mau ke pelabuhan Sunda Kelapa siapa tahu gak jauh dari sini. Memang kata abang tempat aku beli otak-otak, tinggal jalan lurus ke utara, cuma jaraknya lumayan jauh jadi aku disarankan pakai ojek sepeda. Karena mau test kaki, jadi aku putuskan jalan kaki saja. Ternyata jaraknya gak terlalu jauh, jadi bagi yang doyan jalan kaki silahkan coba jalan kaki dari Kota ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Justru dari pinggir pelabuhan sampai ke ujung pelabuhan yang lumayan jauh.

Ternyata Pelabuhan Sunda Kelapa bisa dibilang sebagai pelabuhan peti kemas yang masih tergolong tradisional. Kapal-kapal yang berlabuh disepanjang bibir pantai tempat pelabuhan adalah kapal-kapal kayu berbentuk seperti kapal pinisi.

Perahu-perahu pengangkut minyak di pelabuhan Sunda Kelapa
Hampir di sepanjang garis dermaga berjejer moncong panjang ujung kapal-kapal yang dipenuhi kesibukan bongkar muat barang dari truk-truk besar hilir mudik keluar masuk dermaga. Yang aku juga baru tahu, ternyata dermaga dari kapal-kapal ini sebenarnya adalah sungai bukan laut seperti di dermaga lainnya.

Sambil berjalan menelusuri dermaga sampai ke ujung, aku beberapa kali harus menahan napas melewati pekerja-pekerja yang menurunkan barang-barang yang berdebu seperti semen dan tepung-tepungan. 

Menurut sejarah, nama asli Jakarta justru dulunya adalah Sunda Kelapa yang kini hanya menjadi salah satu nama dari kawasan ini saja. Disinilah bermulanya pusat perdagangan Jakarta masa lalu. Jejak-jejak keberadaan kapal-kapal pinisi yang masih setia menaik turunkan barang disini menadakan bahwa disini dulunya adalah pusat perdagangan dimana jalur laut menempati posisi penting.

Aku kembali dari pelabuhan Sunda Kepala saat matahari mulai tenggelam. Tempat yang tepat untuk menikmati sunset, hanya banyak terhalang oleh aktivitas-aktivitas tak henti dari kapal-kapal ini. Sebenarnya ada cara lebih mudah, naik saja dari salah satu perahu nelayan yang biasa singgah di bibir dermaga dari celah-celah kapal. 

Monumen Nasional
Permainan cahaya dari panggung hiburan di Monas
Monas yang menjadi simbol kebanggaan Jakarta sebenarnya tak pernah benar-benar terbersit untuk aku singgahi, padahal kata orang tak lengkap orang mengaku pernah ke Jakarta kalau tidak mengunjungi Monas. Ah, kata siapa? Biniku kalau ke Jakarta yang dipikirin untuk didatangi ya mall-mall itu hehehehe.

Bukan berarti Monas gak menarik sih, tapi karena memang keberadaan Monas yang mudah dijangkau yang kadang membuat orang tak benar-benar menjadi Monas untuk dikunjungi. Hayo, siapa orang Jakarta yang belum pernah menginjakkan kakinya di Monas pasti jawabannya banyak banget.

Berawal saat kembali dari Bandung tengah malam, mobil travel yang aku tumpangi dari
Cahaya laser dari Monas menerangi langit tampak dari Dukuh Atas
Bandung ternyata hanya turun sampai kawasan Sarinah. Saat aku memutuskan berjalan kaki dari Sarinah sampai ke stasiun kereta api Gambir, ternyata aku melihat cahaya-cahaya terang menerangi langit. Tugu Monas yang menjulang dengan bentuk api menyala di bagian atas yang katanya terbuat dari emas menyala terang, demikian juga dengan dinding-dindingnya.


Ternyata setelah aku mendekat, nyala sinar-sinar itu memang berasal dari sinar laser yang dipancarkan lampu-lampu panggung yang berdiri megah di depan tugu Monas. Panggung besar yang dibangun ini ternyata akan digunakan besok Minggu yang menjadi puncak perayaan ulang tahun Jakarta, yang untuk di Monas disebut dengan Jakarta Night Fair atau malam muda-mudi Jakarta.

Ribuan watt lampu laser bergerak liar dengan cahaya warna-warni yang menerangi langit Jakarta yang sedikit kelabu malam itu. Jam dua dini hari cahaya-cahaya itu tetap berpendar-pendar memamerkan kecantikan Monas. Rupanya cahaya-cahaya ini sedang diuji coba, karena aku juga sempat mendengar sebuah lagu dari Slank dinyanyikan disertai petikan gitar elektrik berulang-ulang pada lagu yang sama untuk proses cek sound.

Sayang aku kembali sehari sebelum acara akbar ini digelar jadi hanya mendapatkan situasi ini. Yah tak apalah, paling tidak aku bisa memfoto Monas dalam kondisi lenggang. Coba kalau pas acaranya, boro-boro bisa memfoto situasi Monas. Bisa-bisa cuma dapat gambar kepala orang yang berdesak-desakan.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya