Kesempatan itu datang saat sebuah penugasan yang mengharuskan penulis ke
Manggarai Barat. Manggarai Barat ini kabupaten yang memiliki pulau Komodo.
Sekitar bulan Desember tahun lalu, penulis dan dua orang rekan menjejakkan kaki
di Labuan Bajo, ibu kota dari Kabupaten Manggarai Barat.
Dari Kupang, pesawat yang sedianya berangkat jam dua siang harus
lagi-lagi mengalami penundaan sehingga keberangkatan menjadi molor hampir dua jam. Kondisi yang harus
dimaklumi jika anda tinggal di wilayah timur Indonesia yang masih minim
penerbangan. Walhasil, kami harus berangkat jam empat lewat. Namun
keterlambatannya ini juga menjadi berkah tersendiri, karena penulis jadi bisa
melihat senja berona jingga dengan gulungan awan-awan yang begitu mempesona di
langit barat. Jam lima lewat pesawat mendarat di kabupaten yang berada di
paling ujung pulau Flores.
|
Labuan Bajo berdasarkan foto Google Maps |
Sebagai pintu gerbang menuju ke pulau para binatang prasejarah, Manggarai
Barat sendiri menyimpan potensi besar bagi pengembangan sebagai daerah
destinasi wisata baik yang berkelas lokal maupun kelas mancanegara. Dari daratan
Flores saja, beberapa daerah menawarkan pesona alam seperti gua alam Batu
Cermin, gua alam Batu Susun, Liang Dara dan Liang Rodak yang semuanya berlokasi
di Kecamatan Komodo. Juga terdapat danau Sano Nggoang yang berlokasi di
Kecamatan Sano Nggoang. Danau yang tercipta akibat letusan gunung berapi ini
(danau vulkanik-red) memiliki kadar belerang yang tinggi. Di sini, juga
terdapat sumber air panas yang menurut versi Kepala Bappeda suhunya mencapai
lebih dari 60 derajat. Namun tetap, bagian yang menarik perhatian wisatawan
mancanegara adalah pantai-pantai berpasir putih, terumbu karang, dan binatang
melata komodo yang bernama latin Varanus
Komodoensis Ouwen.
Di antara waktu penugasan akhirnya kami mendapatkan saat yang tepat untuk
bisa melihat langsung Komodo di habitatnya. Namun terbentur oleh kondisi cuaca
di bulan Desember yang nyaris setiap hari turun hujan, sehingga dikhawatirkan
laut sering terjadi badai. Akhirnya seorang teman yang juga memiliki usaha
penyewaan kapal menawarkan inisiatif mengunjungi pulau Rinca. Menurutnya, pulau
Rinca lokasinya lebih mudah dikunjungi dengan jarak yang hanya setengah jarak
dari Labuan Bajo ke pulau Komodo. Usulan ini akhirnya kami terima, bahkan teman
kami menawarkan sebuah perahu yang dia miliki untuk kami gunakan.
Bertepatan dua hari sebelum keberangkatan, Kepala Kantor juga datang
untuk menghadiri acara penandatanganan MOU antara Kepala Perwakilan BPKP
Provinsi NTT dengan Bupati Manggarai Barat.
|
Di anjungan perahu 'Sibanaha' |
Pada hari H, pagi-pagi sekali pak Arman yang merupakan pemilik kapal membangunkanku
untuk bersiap-siap. Rupanya pagi-pagi sekali dia sudah mempersiapkan perbekalan
untuk di kapal. Setelah semua perbekalan beres, kami kemudian menjemput Pak
Bonardo yang kebetulan menginap di hotel Jayakarta. Sedikit informasi, walaupun
hanya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi NTT namun Manggarai Barat
memiliki hotel dan penginapan yang lebih banyak dibanding ibukota NTT sendiri,
Kupang. Bahkan di Manggarai Barat ini, saat kunjungan kami telah ada dua hotel
berbintang empat yang bahkan belum ada kelas hotel seperti itu di NTT. Hal ini
menunjukkan bahwa Manggarai Barat memiliki potensi wisata luar biasa yang sudah
mulai dilirik pengusaha.
Kami sedikit terkejut setelah sampai di pelabuhan tempat bersandar kapal,
karena perahu yang akan kami pakai ternyata bukanlah perahu biasa. Melihat
ukurannya, aku lebih suka menyebutnya sebagai kapal kecil dibanding sebuah
perahu. Sebuah kapal pinisi dalam versi kecil dengan dua kamar tidur. Tulisan
‘Sibanaha’ tertulis mentereng di sisi kapal. Di samping geladak yang cukup luas
juga terdapat dua buah tempat tidur santi untuk berjemur.
|
Air tenang bagai cermin raksasa |
Jam delapan, kapal pinisi yang kami naiki mulai meluncur ke arah selatan
dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat. Dengan perahu sebesar ini, ombak
menjadi tidak terasa. Apalagi pada saat ini laut pagi sedang tenang sekali
seperti biasanya sehingga kami nyaris bagai merasakan membelah udara kosong.
Sedikit guncangan kami rasakan saat perahu melewati Loh Liang yang merupakan
selat antara pulau Flores dan pulau Rinca.
Namun rupanya ada gangguan di salah satu mesin kapal yang membuat kapal
hanya berjalan dengan satu mesin saja. Wal hasil, perjalanan dari Labuan Bajo
ke pulau Rinca yang seharusnya cukup ditempuh dalam waktu dua jam saja harus
ditempuh dalam waktu empat jam.
Jam dua belas, kami memasuki teluk ke dalam hingga bertemu sebuah dermaga
kecil yang bertuliskan ‘Welcome to Komodo National Park Loh Buaya’. Disinilah
dermaga pendaratan untuk perahu yang akan ke Rinca berakhir. Dari samping kapal
kami melihat dua buah kano panjang berbahan fiber yang dinaiki masing-masing
dua turis asing meluncur ke arah bakau. Dari informasi, memang selain untuk
melihat Komodo, sering kawasan pulau Rinca ini digunakan wisatawan terutama
wisatawan asing untuk melakukan kegiatan kano menyusuri pulau karena di
beberapa titik di pulau Rinca memiliki view pantai dan kawasan terumbu karang
yang indah.
|
Monyet menjadi mangsa bagi anak komodo yang masih kecil |
Begitu menginjakkan kaki di lantai dermaga maka mata kami langsung
disambut oleh kedatangan segerombolan monyet yang datang bergelantungan di
pohon-pohon bakau. Mereka tampaknya telah familiar dengan wisatawan yang datang
kemari walau pun tidak mau didekati.
Dari dermaga kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju ke
pos pemantauan yang tidak berada jauh dari dermaga. Saat dalam perjalanan, kami
sempat melihat kerbau dan beberapa burung endemik melintas. Menurut informasi,
kerbau ini termasuk kerbau liar karena di kawasan ini tidak terdapat penduduk
yang tinggal kecuali petugas pengelola cagar.
Pulau Rinca ini masih masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo sehingga
walau terletak di kabupaten Manggarai Barat namun dalam pengelolaannya masih
oleh pemerintah pusat.
|
Dermaga Loh Buaya pintu masuk ke pulau Rinca |
Kami sampai di pos pemantauan, di sini berdiri beberapa bangunan termasuk
tempat untuk bersantai. Terlihat ada dua ekor komodo yang berukuran agak kecil
melintas dari sisi semak-semak di samping kami. Bahkan aku menemukan seorang
anak komodo yang masih kecil bersembunyi di antara tumpukan bahan bangunan
untuk memperbaiki pos pemantauan. Komodo kecil dengan kulit berwarna cerah dan
motif hitam ini merangkak dengan cepat menjauhi saat aku mencoba mendekati
untuk mengambil gambarnya. Dari petugas jaga, aku mendapatkan gambaran bahwa
komodo-komodo yang masih kecil sampai berumur 3-4 tahun masih lincah bahkan
masih dapat memanjat ke pepohonan. Berbeda sekali dengan yang sudah dewasa, di
samping kulitnya yang tebal berubah menjadi satu warna saja, Komodo dewasa juga
tidak lincah lagi seperti Komodo kecil. Bahkan Komodo dewasa terkesan sangat
malas sekali.
Dari sini, kami dibantu olah seorang petugas jaga yang memegang tongkat
bercabang masuk lebih ke dalam. Tongkat bercabang ini digunakan untuk menghalau
Komodo yang mencoba mendekat.
|
Tengkorak sisa mangsa komodo yang dikumpulkan |
Beberapa meter dari pos jaga kami ditunjukkan sebuah kayu-kayu panjang
yang dipanjang berjajar dengan hiasan tengkorak-tengkorak binatang berbagai
ukuran. Tengkorak-tengkorak ini ternyata dikumpulkan oleh petugas jaga dari
binatang-binatang liar yang dimangsa oleh Komodo. Selain tulang kerbau yang
masih lengkap dengan tanduknya juga terdapat tengkorak rusa liar, juga beberapa
tengkorak kecil yang rupanya adalah tengkorak monyet.
Di bagian bawah rumah panggung yang menjadi tempat memasak ternyata sudah
ada beberapa ekor komodo yang sedang diam bermalas-malasan di bawah kolong. Binatang
yang mirip dengan kadal ini tabiatnya memang seperti binatang melata ulat atau
buaya yang menghabiskan umurnya dengan bermalas-malasan. Jika sedang
bermalas-malasan seperti ini, tak ubahnya kita seperti sedang melihat sebuah
patung, nyaris tanpa gerakan sedikit pun. Hanya matanya yang kadang bergerak
yang menandakan bahwa kita tidak sedang berhadapan dengan patung. Hanya
sekali-kali satu atau dua ekor komodo menggerakan badan.
|
Anak komodo mengintip di balik semak |
|
|
Anak komodo di rerumputan |
|
|
Komodo remaja di antara atap ilalang |
|
|
Liur yang mengering pada komodo dewasa |
|
Namun jangan mengira dibalik kemalasan sikapnya ini Komodo tidak
berbahaya. Jika jarak memungkinkan, dalam sekejap Komodo dapat merubah
posisinya dan berlari mengejar mangsanya dalam kecepatan mencapai 20 km per
jam. Karena itu sejak awal petugas jaga mewanti-wanti agar kami menjaga jarak
dari komodo setidaknya tiga meter. Aku sendiri sempat mendekat hingga jarak
satu setengah meter untuk dapat memotret binatang pemalas ini.
Kebiasaan Komodo yaitu berpura-pura tidur dekat genangan air. Ketika ada
rusa atau babi hutan yang minum di genangan air tersebut, saat itu lah komodo
beraksi. Dengan kecepatan lari dan ekornya
inilah, Komodo akan memukul roboh mangsanya. Gigitan komodo juga memiliki daya
bunuh luar biasa, karena dalam air liur komodo sering kali bercampur sedikit
darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan
ini tercabik selama makan. Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang
ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka.
Dengan lehernya yang besar, memangsa seekor babi hutan cukup hanya dalam
hitungan menit karena komodo dengan mudah menelannya saja. Perut seekor komodo
yang berumur lebih dari 25 tahun, mampu menampung daging seberat 30 kg. Dengan
kondisi demikian, komodo bisa bertahan tidak berburu lagi hingga 1 bulan lebih.
Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning dan bercabang. Komodo
jantan lebih besar daripada komodo betina, dengan warna kulit dari abu-abu
gelap sampai merah batu bata, sementara komodo betina lebih berwarna hijau buah
zaitun, dan memiliki potongan kecil kuning pada tenggorokannya
Berat komodo betina dewasa yang berumur 25 tahun lebih yaitu sekitar 65 –
70Kg. Adapun komodo jantan dengan usia yang sama memiliki tubuh yang lebih
berat yaitu 100 – 110 Kg dengan panjang bisa mencapai 3,8 m. Usia komodo rata-rata bisa mencapai 50 – 60
tahun.
Komodo berkembang biak dengan bertelur dengan jumlah hingga 20-30 butir
sekali bertelur. Sebelum bertelur, induk Komodo membuat gundukan tanah di bawah pohon. Lubang-lubang tersebut dibuat lebih banyak dari telurnya dengan tujuan untuk mengecoh komodo lain agar tidak mudah menemukan telur. Komodo adalah binatang yang bersifat kanibal, yaitu bisa memangsa jenisnya sendiri terutama jika ukurannya lebih kecil. Bahkan dari sekian banyak telur tersebut akhirnya sebagian besar dimakan oleh induknya sendiri dan hanya tersisa rata-rata 5 – 7 butir telur hingga nanti menetas.
Menurut informasi, Komodo ini jumlahnya mengalami penurunan terus menerus, hal ini diakibatnya terjadi persaingan perebutan makanan dengan manusia yang sering
melakukan pencurian kayu atau perburuan liar di kawasan Taman Nasional.
Dua jam kemudian kami memutuskan kembali. Karena kapal kami mengalami masalah, kami berpindah ke sebuah perahu biasa yang juga dimiliki oleh teman kami ini. Dalam perjalanan kembali ke Labuan Bajo, perahu kami sempat singgah ke pulau Kambing yang memiliki hamparan pasir putih. Di sana, kami menyempatkan berenang dan bermain snorkling.
Perjalanan hari ini bukanlah berarti kami telah menuntaskan keinginan, masih terbersih harapan suatu ketika bisa benar-benar menginjakkan kaki di tanah langsung para melata prasejarah ini di Pulau Komodo, apalagi informasi tentang beberapa spot pantai dan terumbu karangnya yang juga
sangat menawan makin menguatkan kami untuk sampai ke pulau di ujung Provinsi
NTT ini.