Jam dua lewat tiga puluh menit, aku bertiga dengan Kadek dan Eddy sudah siap di hotel, rencana perjalanan kita majukan supaya kita punya waktu lebih untuk mengeksplorasi daerah tujuan. Argumentasi yang masuk akal dari Eddy, sehingga begitu persiapan semua peralatan selesai kita langsung meluncur menjemput Didi. Pey yang biasanya menyetir mobil kali ini tidak ikut, sebagai gantinya untuk perjalanan berangkat Kadek lah yang menjadi driver. Kemarin Pey memang tampaknya lelah setelah pergi ke Mauponggo sehingga aku memutuskan menggunakan mobilnya saja. Dan ini adalah pengalaman pertama Kadek mengendarai ‘Ford Ranger’ menjelajahi medan Mbay-Nangaroro, jadi acara berdoa masing-masing dimulai sebelum perjalanan dilakukan hahahaha.
Hari Minggu memang kadang agak menyusahkan, apalagi kalau bukan masalah perbekalan karena seluruh toko tutup hari Minggu seperti ini. Setelah mengisi perut terlebih dahulu dan mengisi solar di pom bensin, kendaraan ‘Ford Ranger’ kami langsung melesat membelah jalur lurus kota menuju ke arah jalur Mbay-Ende. Masalah kendaraan juga hampir kita salah isi, di depan pom bensin kita nyaris mau mengisi kendaraan dengan bensin, untung waktu telepon Pey diangkat jadi kita tahu kalau kendaraan ini berbahan bakar solar. Coba kalau sampai salah seperti kejadian dulu, alamat bakal hancur nih mobil hehehehe.
Cuaca sepanjang jalan cerah walaupun di daerah Aigela mendung dan kita melihat bukit-bukit sedang diguyur hujan yang lebat namun untungnya jalan sendiri tidak ada hujan. Kita sempat juga menaikkan empat anak kecil dan seorang ibu yang sedang jalan kaki menuju ke perkampungan sebelah. Mereka naik di bagian belakang yang berupa bak terbuka, Eddy beberapa kali harus mengingatkan anak-anak itu supaya tidak duduk di pinggir atau berdiri di atap karena memang anak-anak suka dengan sensasi yang kadang kurang disadari bahayanya.
Beberapa menit setelah melewati pertigaan Nangaroro, kendaraan kita berbelok ke kanan di pertigaan sebelum Puskesmas Nangaroro sampai menuju pinggir pantai, setelah menelusuri pantai beberapa meter Kadek menghentikan kendaraan di depan sebuah sekolah SD.
Turun ke pantai kita disambut hamparan batu putih sebesar buah kelapa memenuhi sepanjang alur pantai yang sebenarnya berpasir hitam ini. Vegetasi pohon Waru, Pandan Hutan, Kelapa dan Cemara paling banyak ditemui di sekitar area pantai ini. Ombak pantai keras menampar bebatuan sebelum tertarik kembali ke laut, saat ini memang bulang baru separuh yang artinya sore hari justru sendang puncaknya pasang. Menurut orang yang nanti aku temui, pantai ini dinamakan Pantai Pipitolo.
Sebenarnya, beberapa tahun lalu sebelum tahun 2000 Eddy sendiri pernah sampai ke sini dan pantai Pipitolo ini tidak ada bebatuan ini hanya sebuah hamparan pantai berpasir hitam. Mereka menyebut batu-batu putih yang kini memenuhi hamparan pantai muncul dengan sendirinya belakangan ini, fenomena ini belum ada penjelasannya sedangkan masyarakat sendiri lebih mudah menghubungkan kejadian seperti ini dengan hal-hal yang mistis. Kondisi beberapa tempat yang berupa bukit-bukit terjal memang memungkinkan batu-batu gunung runtuh ke laut dan berproses kembali sehingga menghasilkan batu-batu bulat berwarna putih ini.
Sayangnya dari sini, matahari senja tenggelam di bagian lain pulau Flores yang menjorok ke laut sehingga kami tidak bisa benar-benar melihat matahari terbenam walau sebenarnya posisi saat bulan begini saat memudahkan daerah berpantai di sisi selatan melihat matahari terbit dan terbenam di cakrawala tanpa terhalangi seperti halnya di pantai Mbuu.
Kami terus menelusuri pantai ke arah Timur karena di dekat sekolahan dan puskesmas banyak ditemui beberapa sampah berserakan walau tidak seberapa. Di daerah yang langsung berhadapan dengan perbukitan terjal barulah kami menemukan hamparan batuan yang masih bersih, sepertinya masih jarang orang yang sampai ke tempat ini.
Acara hunting foto ini sedikit menimbulkan insiden. Insiden pertama menimpa Kadek. Awalnya aku yang pertama yang naik ke atas batu bertanah yang berbentuk kerucut tumpul terbalik untuk mendapatkan spot aliran air yang tertarik kembali ke laut setelah terhempas di bebatuan. Tak lama kemudian Didi menyusul di sambung Kadek. Aku terus menjepretkan kamera untuk mendapatkan gambar aliran yang bagus, kuhitung setidaknya ada lima belas foto di titik yang sama. Didi turun terlebih dahulu menyusul Eddy yang terus menyusuri pantai ke Timur. Aku turun terlebih dahulu sementara Kadek masih di atas batu, saat loncat itulah terjadi insiden. Entah pecahan kaca dari mana, saat turun tiba-tiba tangan Kadek menyentuh pecahan kaca, karena dalam posisi meloncat tentu saja tangannya menekan lebih kuat. Tak ayal, pecahan kaca itu mengiris kulit telapak tangan sampai ke daging. Karuan saja, darah segar langsung mengucur dari lukanya. Tapi dasar anak geblek, dia cuma cengar-cengir meringis sambil mengisap darahnya, takut rugi darahnya habis rupanya.
Insiden kedua, saat aku hendak menyusul Eddy dan Didi ketemu Charles yang ternyata baru berenang. Ternyata waktu dia berenang, kunci motor ada di sakunya. Wal hasil, setelah berenang dia harus rela kehilangan kunci motor.
Setelah beberapa lama berjalan tidak menemui jejak kedua mahluk itu, aku berhenti saja di bawah cemara yang tumbuh menjorok ke laut tempat Eddy pertama mengambil spot. Langit selatan tampak mendung pekat, kilatan-kilatan petir bersahutan menandakan hujan badai sedang terjadi di tengah laut. Akhirnya aku melihat Didi dan Eddy kembali, akhirnya kita kembali ke tempat semula. Dari Eddy baru aku tahu, kalau dia juga baru mengalami luka akibat mata kakinya terperosok ke batu.
Memang kalau berjalan di sini harus ekstra hati-hati. Batu-batu bulat putih memang menarik untuk digunakan berjalan tapi sekaligus mudah bergerak sehingga rawan tergelincir. Aku sendiri beberapa kali nyaris tergelincir sehingga memilih menginjak batu-batu yang bentuknya agak ceper.
Selesai berbenah aku ganti kebingungan karena tidak menemukan Didi, sepertinya Didi berjalan saat aku dan Eddy sedang mencoba peruntungan memotret kilatan-kilatan petir walau berakhir nihil. Setelah beberapa kali dikontak akhirnya Didi menjawab telpon dan meminta kita menjemputnya di puskesmas, rupanya Didi sedang mencari obat dan plester di puskesmas untuk Kadek.
Karena tangan Kadek sedang terluka mau tidak mau aku yang harus ganti memegang setir. Sesampainya di depan puskesmas aku melihat Charles dan seorang montir sedang mencoba membongkar motor miliknya yang sudah hilang kunci. Karena hari Minggu agak lama juga menunggu perawat, aku menawarkan Kadek membungkus lukanya dengan daun Waru untuk menghentikan darahnya tapi rupanya dia memilih menunggu perawat.
Aku dan Eddy sempat berbincang dengan ibu-ibu yang sedang rawat inap. Darinya aku mendapatkan cerita tentang pantai Pipitolo ini termasuk sebuah pantai yang katanya lebih bagus dari pada pantai Pipitolo. Katanya untuk ke sana dari pertigaan setelah jembatan Nangaroro masuk ke kiri menuju ke pantai sekitar tujuh kilometer ke arah Selatan. Dari pantai sana, kita bisa bebas melihat matahari tenggelam di cakrawala barat.
Jam tujuh lewat tiga puluh menit, kami mulai berangkat kembali ke Mbay. Perjalanan pulang kami harus menambah seorang penumpang, teman Charles yang ikut menumpang ke Mbay. Perjalanan lebih santai karena dari awal aku bilang kalau aku menyetir cenderung santai tidak terburu-buru. Kebetulan pula beberapa ruas jalan sedang ada pekerjaan besar pemangkasan bukit sehingga ruas-ruas jalan menjadi menyempit karena sebagian badan jalan dipenuhi longsoran tanah dan batuan sehingga tentu tidak nyaman kalau memaksa kendaraan berlari.
Karena perut yang kosong, kami memutuskan untuk berhenti di sebuah warung di Aegela yang merupakan persimpangan antara ke Bajawa dan ke Mbay. Setelah menghentikan kendaraan di depan sebuah terminal, kami berempat memesan mie telur rebus. Hawa agak dingin karena memang pertigaan ini agak di ketinggian. Untunglah penjual warung ini buka sampai jam sembilan malam, karena kalau tidak ada warung ini alamat kita harus menahan lapar satu jam lagi sampai di Mbay. Kami memasuki kota Mbay sekitar jam sepuluh lewat dua puluh menit. Baca keseluruhan artikel...