Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 13 Juli 2010

Di Ketinggian Kota Bajawa (1)


Sungai Waewoki diambil pada waktu menjelang petang pukul 18.12 dengan bukaan selama 13 detik

 Pesawat mendarat di bandara Turulelo Soa sekitar pukul 8 pagi, cukup cerah untuk dinikmati. Hawa sejuk cenderung dingin langsung menyergap kami, ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut membuat kota ini selalu diselimuti dingin apalagi pada bulan Juni-Juli. Beberapa lelaki hidir mudik di ruangan tunggu kedatangan menawarkan angkutan menuju kota Bajawa. Kebetulan karena kami sedang dalam tugas sehingga sudah ada yang menjemput kami, namun apabila tidak ada yang menjemput dengan biaya sekitar 50ribu-an sebuah mobil berplat hitam dapat mengantarkan anda ke ibukota Kabupaten Ngada ini.

View dari hotel Edelweis lantai 4 pada saat kabut tebal mulai menyelimuti

  Perjalanan menuju Bajawa yang berjarak sekitar 21 km dari bandara ini terasa menyenangkan, melewati perkampungan dan hutan-hutan yang rimbun membuat kendaraan yang melaju di jalan berkelok-kelok tidak terasa.

Kesan pertama begitu kami memasuki jalan masuk ke Bajawa seperti masuk di kawasan perumahan. Bagaimana tidak, kota Bajawa yang terletak di cekungan seperti sebuah piring yang dipagari barisan pegunungan. Akses jalan keluar dan masuk ya jalan ini, persis sebuah perumahan yang tertutup yang gerbang masuk keluarnya tunggal kan?
Perumahan di kota Bajawa sebagian masih bergaya lama, beberapa bangunan mengingatkan bahwa tempat ini pernah menjadi tempat persinggahan orang-orang Purtugis atau Belanda dulu.
 
Bunga-bunga kecil diambil di depan hotel Kembang

 Jam setengah sembilan, mobil carter kami memasuki areal hotel Edelweis. Beruntung saat itu tidak ada kendaraan terparkir sehingga mobil bisa masuk tidak harus berhenti di pinggir jalan. Hotel Edelweis memiliki gambaran seperti halnya losmen-losmen di Jawa, sama seperti halnya beberapa hotel yang tersebar di kota Bajawa ini. Namun yang paling menarik dari hotel yang berada di pinggir jalan keluar masuk kota Bajawa ini adalah kontur tanah berbukit yang menyebabkan posisi kamarnya bertingkat. Jika mau memilih kamar yang berada di belakang maka kita bisa menikmati pemandangan gunung Inerie yang sering tersaput kabut tebal bagian puncaknya pada sore hari. Maka kegiatan yang cukup menyenangkan di pagi atau sore hari adalah menikmati pemandangan kota Bajawa berlatar gunung Inerie di bagian paling belakang hotel di lantai paling atas. Bunga-bunga begitu segar di sekeliling hotel juga bagian yang saya nikmati dari hotel ini.

Pemandangan sungai Waewoki dengan pengambilan petang hari

Sore setelah selesai dengan pekerjaan pasti saya sempatkan berjalan-jalan mengelilingi kota ini. Rasanya tak lama untuk mengenal tempat ini, kota yang kecil yang mungkin tak lebih besar dari sebuah kawasan perumahan bertipe sedang di Jawa. Bahkan karena kecilnya kota ini, kaki saya sampai harus ajak berkeliling keluar agak jauh.

 Ada satu sungai yang mengelilingi separo kota Bajawa yang beberapa kali saya datangi. Sungai yang alirannya bening ini masih digunakan sebagian penduduk Bajawa yang terutama di pinggir kota untuk melakukan aktivitas seperti mandi, mencuci atau mengambil air. Di pinggir sungai ini dengan mudah kita temui pohon-pohon bambu yang batangnya panjang lurus yang menjadi salah satu bahan utama rumah penduduk di Bajawa. Bahkan atap rumah yang menggunakan bambu banyak saya temui disini, unik sekali. Oh iya, bambu di Bajawa ini ukurannya besar-besar dengan batang yang lurus dengan sedikit cabang. Dari kualitas bambunya sebenarnya bambu-bambu ini sangat berpotensi dikembangkan.

Pemandangan yang berselimut kabut dari gunung
Inerie diambil dari gunung Inelika

Sebenarnya saya senang sekali menikmati sungai yang airnya terasa dingin di kaki ini, namun dari banyaknya sampah tersangkut di pinggir atau di bekas-bekas kayu melintang menunjukkan masih adanya kebiasaan beberapa masyarakat yang membuang sampah ke sungai.

 Semakin kaki saya melangkah semakin banyak yang ingin saya kenal dari Kabupaten Ngada ini. Rasanya menyenangkan sekali menyaksikan penggalan masa lalu tercipta di sini karena di sini lah saya bisa menemukan budaya lama (Megalitikum) yang masih hidup bersama masyarakatnya.
Hampir semua tempat yang pernah saya kunjungi membuat saya terkesan. Seperti perjalanan tanpa bekal yang cukup yang membuat saya terkapar sendirian di tepi kawah gunung Inelika sampai harus memakan buah-buahan yang saya gak tahu namanya (rasanya asam manis yang biasanya pertanda buah yang tidak beracun) untuk mengambil airnya. Sayangnya saat itu, kawah gunung Inelika baru saja kering sehingga waktu disana saya hanya bisa menyaksikan kawah yang sedang kering dengan sisa-sisa pohon kering.

Susunan batu berlumut yang digunakan untuk tempat
menambatkan hewan piaraan. Lokasi Kampung Bena

Aliran percabangan air dingin san air panas di Sumber
Air Panas Soa, sekitar 13 km dari Bajawa

Meskipun sisa-sisa budaya Megalitikum masih bisa ditemui di banyak tempat, namun tempat yang masih kental nuansanya dapat di saksikan di Bena. Jika harus membuat daftar kunjungan wajib jika di Flores, maka Bena adalah salah daftar wajib yang harus anda kunjungi.

Di Bena, anda bisa menyaksikan sebuah perkampungan yang berbentuk melingkar dengan nuansa Megalitikum yang masih kental dan menyaksikan dari dekat bagaimana aktivitas yang mereka jalankan.
Ada juga air terjun Ogi yang sayang potensinya masih belum diperhatikan oleh pemerintah.
Air terjun yang terletak di celah bukit dengan debet air yang sangat kencang ini cukup menjanjikan suasananya. Sebenarnya air terjun Ogi ini bisa menjadi salah tempat tujuan wisata yang layak bila dibenahi. Untuk mencapai kesana waktu itu saya harus bersedia melewati pematang sawah sejauh hampir satu kilometer tanpa ada akses jalan sama sekali. Menurut informasi, sebenarnya disini pernah dibangun akses jalan, namun seiring kerusakan yang tidak ada perbaikan lama-lama jalannya terkubur tak berbekas.

Pemandangan laut di salah satu pulau berterumbu karang
di kawasan Taman Laut 17 Pulau di Riung, Bajawa

Bagi yang ingin merasakan air panas, maka daerah Detusoko menjanjikan tempat pemandian air panas di Soa. Sumber air panas yang letaknya dekat dari bandara ini memliki sumber air panas yang cukup besar. Tempat yang menyenangkan untuk berendam apalagi setelah merasakan dinginnya air di Bajawa yang membuat kita menjadi malas mandi.


Masih ada lagi potensi yang berkelas dunia di taman laut 17 pulau yang berada di Riung. Meskipun jarak yang cukup jauh dari Bajawa sekitar tiga jam dengan perjalanan darat yang berliku-liku, namun semua kesulita itu akan terbayar begitu kita menikmati alam Riung, pulau-pulau berpasir putih dengan keunikan masing-masing, taman lautnya yang begitu bening dengan terumbu karang yang memukau. Namun lagi-lagi yang harus saya ingatkan adalah keterbatasan fasilitas di tempat ini, jadi jangan lupa membawa peralatan sendiri termasuk alat snorkling atau peralatan selam jika anda tertarik ke tempat ini. Namun yang tidak pun tidak akan kecewa dengan keindahan pulau-pulau yang ditawarkan tempat ini.

Rasanya bercerita tentang Ngada tak akan cukup dengan satu kali tulisan, mungkin untuk lebih detil masing-masing tempat ini akan saya sajikan dalam gambaran tersendiri.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 26 Juni 2010

Larantuka: Kota Seribu Kapel

Mengunjungi pulau Flores rasanya belum lengkap tanpa menyentuh kota Larantuka, ibukota dari Kabupaten Flores Timur. Sesuai dengan nama kabupatennya, kota ini memang terletak paling timur dari pulau Flores dimana kepala naga Flores berada.
Bagi pecinta lagu-lagu dari kelompok Boomerang pasti tidak asing dengan salah satu judul lagu "Larantuka" yang diciptakannya. Saya tidak tahu persis apakah lagu itu terinspirasi dari kedatangan salah satu personelnya ke kota ini.
Larantuka ini bentuk kotanya memanjang, hal ini dikarenakan kontur geografisnya yang kurang lazim untuk sebuah kota. Jadi Larantuka ini disisi barat laut adalah daratan yang langsung berdiri perbukitan dan gunung dan sisi tenggara langsung berhadapan dengan laut. Praktis geografis semacam ini membuat kota jadi berdiri memanjang.
Yang kutahu, tiap tahun kota Larantuka dibanjiri orang dari segala tempat terutama dari Nusa Tenggara Timur untuk merasakan perayaan Paskah. Ya, Larantuka memang menjadi pusat perayaan Paskah disini bahkan untuk perayaan misa Paskah bahkan ada wakil dari Vatikan yang hadir di kota ini.
Aku sendiri lebih suka menyebut kota ini sebagai Kota Seribu Kapel. Rasanya setiap kaki melangkah kita bisa menemui kapel. Jika kita berada di sekitaran taman kota yang memanjang sepanjang garis pantai, kita akan melihat beberapa altar di depan kapel-kapel itu.
Salah satu altar yang menarik perhatian saya adalah altar yang berdiri di depan kapel Tuan Ma dan Tuan Ana. Sebuah patung besar berwarna putih menghadap alter dengan tulisan Mater Dolorosa, atau bisa diartikan Bunda Dukacita. Patung itu menggambarkan Bunda Maria yang sedang meletakkan Yesus di pangkuannya dengan tatapan wajah sedih.
Di sana juga berjejer 12 bangunan memanjang yang tiap-tiap bergambar pahatan logam kuningan tentang kisah penyaliban Yesus.
Terus terang aku tidak terlalu mengerti semua cerita itu tapi setidaknya ada warna menarik yang aku tangkap dari tempat ini.
Rasanya patung bunda Maria sangat mudah ditemui di tempat ini. Bahkan aku pernah melihat yang sayangnya tidak sempat diambil gambarnya patung Bunda Maria yang berdiri megah di salah satu pulau di depan pelabuhan ferri Larantuka. Patung ini mengingatkan saya tentang salah satu foto Yesus di Brasil.
Aku juga tertarik melihat kebiasaan orang untuk meting (mencari ikan saat laut surut) yang umum dilakukan orang di Nusa Tenggara Timur. Di sini ada istilah meting doeng karena saat saat laut surut bisa sangat jauh sekali sehingga kita bisa mencari ikan sampai jauh ke tengah laut dengan kedalaman tak lebih tinggi dari dada orang dewasa.
Bahkan pulau Adonara yang memang jaraknya tak jauh dari Larantuka serasa bisa seberangi saat laut surut. Asyik sekali mengamati baik anak-anak atau orang dewasa yang mencari ikan saat laut surut seperti ini.
Beberapa waktu saat sedang duduk-duduk di pantai aku melihat beberapa anak perempuan yang sedang mendari ikan dipinggir pantai. Walaupun sering melihat orang meting doeng tapi rasanya jarang melihat anak perempuan meting doeng jadinya pemandangan itu rasanya istimewa sekali.
Umumnya daratan Flores Timur ini lautnya berpasir hitam, meskipun ada beberapa tampat yang memiliki pasir kuning atau putih namun tidaklah banyak dan hanya beberapa tempat saja.
Meskipun berpasir hitam, pantai-pantai di Flores Timur tetap menarik untuk dinikmati. Seperti tulisan sebelumnya yang pernah aku tulis tentang Pantai Hading di Kawaliwu yang memiliki keunikan adanya sumber air panas di tepi pantai, dan itu bukan hanya ada di Kawaliwu. Seorang teman yang asli Flores Timur bercerita bahwa sumber air panas di tepi pantai juga ada di kampungnya.
Seorang teman pernah menjanjikanku untuk mengunjungi kampungnya di Solor, salah satu pulau dari kabupaten Flores Timur. Katanya banyak tempat yang menarik di kampungnya yang tidak kalah dari daratan lain di Flores. Janji yang menarik bukan, artinya masih ada PR yang harus kukerjakan bila aku bisa mengujungi pulau Solor, apalagi kalau bukan berbagi cerita dengan kalian.
Tanah Flores masih terus menggoda hati untuk dieksplorasi, menikmati karya Tuhan.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 15 Juni 2010

Tenau: Terumbu di Balik Karang Terjal

Tenau, daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah pelabuhan oleh warga sekitar Kupang ternyata menyimpan potensi yang cukup menarik. Awal saya melakukan ekplorasi bersama teman-teman ini gara-gara hobi baru snorkling waktu di pantai Tablolong (lihat tulisan sebelumnya). Setelah beberapa kali kita snorkling di Tablolong yang jaraknya cukup jauh dari Kupang kita mencoba mencari informasi lokasi snorkling baru yang letaknya tidak jauh dari Kupang.
Informasi ini mengarahkan kita ke Tenau yang jarak tempuhnya tak lebih dari seperempat jam itupun dengan berkendara santai. Tenau semua orang Kupang tahu arahnya, cukup dengan menyusuri pantai Kupang ke arah barat.
Di depan Gua Monyet beberapa meter di depannya akan ditemui jalan tanah berbatu yang cukup sulit, hati-hati jika hendak turun melalui jalan ini menggunakan kendaraan baik motor atau mobil. Jika mobil atau motor anda tidak cukup tinggi maka anda bisa memilih untuk memarkirkan kendaraan di tepi jalan dan anda turun jalan kaki ke arah laut. Kira-kira dari jalan ke laut sekitar 100 meter.
Karang-karang terjal akan anda temui di sepanjang mata memandang, ciri kota Kupang ini.
Laut ini merupakan daerah selat yang menghubungkan pulau Timor dengan pulau Semau, yang masih satu selat dengan daerah Tablolong.
Jika laut sedang pasang maka mata anda akan dimanjakan warna laut hijau dan biru nan bening. Warna hijau yang tembus hingga ke dasar ini pengaruh pasir putih dan air yang masih jernih. Namun saat pasang seperti itu tentu saja kita hanya bisa berenang di pinggiran saja karena arus laut saat itu sedang kuat-kuatnya.
Hal yang paling bijaksana tentu bertanya pada penduduk yang biasa mencari ikan di sana untuk tahu saat-saat pasang-surut air laut.
Seperti Tablolong, Tenau memiliki kawasan terumbu karang yang bagus terutama jenis ikannya yang tampaknya lebih variatif. Jika mata sudah dilongokkan ke dalam air, pemandangan tanaman-tanaman laut, terumbu karang dan ikan-ikan berwarna-warni yang masih berukuran kecil yang sering sembunyi dan muncul dari balik terumbu membuat mata enggan beranjak.
Kawasan terumbu karang ini cukup luas, mungkin butuh waktu cukup lama untuk mengeksplore tempat ini. Bahkan banyak jenis ikan-ikan yang cukup dicari orang ada disini seperti ikan badut (Clown Fish) atau ikan muka anjing (Puffy Puppy Fish).
Daerah yang kaya biota laut ini sayangnya tak luput dari kerusakan. Kerusakan oleh alam memang tak bisa dihindari karena arus besar dan gelombang juga kerap melanda daerah ini. Pada waktu surut, maka terumbu karang ini banyak yang muncul di permukaan air sehingga beberapa kemungkinan mengalami kerusakan waktu terpapar di permukaan.
Namun kerusakan terbesar tetaplah ulah manusia baik disengaja ataupun tidak disengaja. Pengeboman ikan yang sering dilakukan nelayan merupakan penyebab utama kerusakan terumbu karang disini, disamping juga kerusakan tidak sengaja seperti menginjak-injak karang sewaktu air surut untuk mencari ikan atau kerang seperti yang sering dilakukan orang-orang.
Beberapa orang juga tidak tahan untuk sekedar melihat-lihat saja, ada saja orang setelah berkunjung kesini membawa satu atau dua karang untuk dibawa pulang. Semoga kebiasaan ini tidak terlanjut sehingga terumbu karang disini tetap bisa terjaga sampai nanti.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 17 Mei 2010

Pantai Tablolong: Deep Inside

Bagi orang Kupang, pantai Tablolong lebih dikenal daerah untuk mancing. Memang letak pantai Tablolong yang hampir berada di ujung pulau Timor dan berhadapan langsung dengan pulau Semau sering dijadikan lomba mancing. Lokasi pantai Tablolong memang cukup jauh, dari kota Kupang perjalananan ke sana dapat ditempuh sekitar setengah jam menggunakan kendaraan pribadi dengan jarak jangkau sekitar 23 Km. Setahu saya tidak ada kendaraan umum yang melewati sampai kesana, sehingga pilihan masuk akal kalau bukan kendaraan pribadi ya memanfaatkan jasa ojek yang cukup marak di Kupang.

Perjalanan ke arah Barat dari Kupang paling mudah ditempuh melewati jalur tengah melewati daerah Bakunase dan Kupang Barat melewati daerah Oenesu yang juga dikenal dengan obyek wisata air terjunnya. Sebenarnya dapat juga menempuh perjalanan melalui jalur Utara menuju ke arah Pelabuhan Tenau namun tampaknya jarak yang kita tempuh jadi lebih panjang selain terdapat beberapa jalur yang masih rusak.
Sesampai di desa Tablolong, terdapat gapura agak besar yang bertuliskan Tempat Wisata Pantai Tablolong.
Benarkah tempat ini pernah menjadi tempat wisata? Iya memang begitu, begitu masuk sekitar 200 meter kita akan menemui area bangunan berupa lopo-lopo semacam bangunan terbuka dengan tempat duduk dan atap bulat untuk bersantai yang dibangun dengan pemerintah. Bangunan-bangunan itu tampat tidak terawat sehingga memunculkan kesan sudah lama tidak dipelihara dan dirawat.

Setelah sekitar 200 meter lagi setelah itu kita akan menemui sebuah homestay "Kaki Ayam" yang dibangun oleh wisman Australia menurut pengakuan pengurus homestay ini. Di homestay ini terdapat beberapa lopo yang unik, lopo ini bagian bawah terbuka sehingga bisa untuk bersantai sedangkan jika kita naik tangga ke atas maka terdapat tempat untuk beristirahat. Sayang tempat ini pun terkesan kurang terpelihara, mungkin karena sudah sangat jarang wisman datang ke tempat ini.

Sekitar 500 meter setelah itu kita akan sampai ke ujung jalan dimana terdapat kantor Balai Pembenihan dan Pembibitan Ikan. Disepanjang pantai yang kita lalui itu terdapat aktivitas penanaman rumput laut oleh masyarakat sekitar.

Di depan Balai inilah tempat yang paling menarik dari pantai Tablolong. Karena dari hamparan pasir putih di Tablolong di daerah ini hamparan pasir putih yang paling luas dan panjang.


Memang tempat yang paling sering dikunjungi orang-orang yang ingin bersantai di pantai Tablolong adalah disini karena hamparan pasirnya yang luas dan bersih.
Airnya yang bening juga enak untuk berenang, walaupun harus berhati-hati karena di samping kiri dan kanan banyak bertebaran botol-botol bekas dan plastik-plastik. Ya, botol dan plastik itu digunakan para petani rumput laut untuk mengikat tali sangkutan rumput laut dan penanda yang memudahkan untuk diawasi.

Namun ada hal lain yang menarik kita di pantai Tablolong yaitu terumbu karangnya. Memang dari hasil penelusuran kita beberapa kali, kita mendapati banyak wilayah bekas-bekas terumbu karang yang telah rusak parah akibat kegiatan penangkapan ikan para nelayan. Kebiasaan-kebiasaan lama nelayan dengan menggunakan bom ikan untuk menangkap ikan telah menyebabkan area pantai ini mengalami kerusakan terumbu karang yang cukup parah.

Meski begitu masih terdapat beberapa spot terumbu karang yang mulai tumbuh di daerah karang. Kegiatan penanaman petani rumput laut juga ikut membantu menjaga ekosistem terumbu karang. Spot yang mulai tumbuh bagus ada di sekitar daerah karang, tepatnya di sebelah kanan dari batu bolong.

Siapkan peralatan anda jika ingin menikmati terumbu karang di pantai ini karena tidak ada tempat penyewaaan. Jangankan tempat penyewaan, bahkan anda harus menyiapkan perbekalan makan dan minum karena jika anda lupa membawanya bersiaplah anda kelaparan dan kehausan. Sampai saat ini belum ada orang yang berminat berjualan di kawasan pantai ini.

Oh iya, di daerah karang ini ada kawasan karang yang bawahnya berlubang sehingga waktu air laut naik anda dapat menikmati air yang menyembur dari bagian bawah karang akibat gelombang yang menumbuk karang.


Ayo berkunjung ke pantai Tablolong, tinggal memilih apakah sekedar ingin menikmati hamparan pasir putih dan laut biru yang tenang atau siapkan peralatan snorkling anda dan menikmati sisi dalam pantai Tablolong.


Baca keseluruhan artikel...

Senin, 26 April 2010

Potensi Terlupakan: Air Terjun Ogi

Beberapa waktu kemarin saya menyempatkan diri mengunjungi beberapa situs yang memuat tentang tempat wisata di Nusa Tenggara Timur. Beberapa situs memberikan informasi yang cukup bagus namun lebih banyak yang penulisannya agak kacau kalau tidak boleh saya bilang kopas (kopi-paste) dari sana-sini tanpa memperhatikan keterkaitan antar kalimatnya.
Yang agak menyedihkan justru foto-foto yang ditampilkan. Sebenarnya saya sangat mengharapkan foto-foto yang ditampilkan mampu secara visual menarik perhatian pengunjungnya. Dari kunjungan ini saya berharap ada keinginan kuat dari pemilik situs selain keindahan dalam menampilkan pesona wisata NTT melalui tulisan juga membangkitkan minat melalui bahasa gambar.

Tiba-tiba saya teringat satu tempat yang pernah saya datangi bersama seorang teman yang bekerja di Pemkab Ngada yang sering menjadi guide orang-orang yang menginap di Bajawa.
Air terjun Ogi namanya, jauhnya sekitar 11 km dari kota Bajawa. Tidak terlalu jauh sebenarnya namun kondisi jalan ke tempat itu memang lumayan sulit, disamping kondisi jalan yang rusak dan curam serta berbelok-belok tajam masih ditambah satu kesulitan tambahan: tidak ada papan penunjuk satupun yang menunjukkan lokasi air terjun Ogi ini.
Bahkan saya harus rela melalui pematang sawah sejauh satu kilometer untuk menuju lokasi. Sungguh memprihatinkan!

Padahal begitu sampai ke tempat itu, saya disuguhi pemandangan air terjun yang sangat kencang. Dengan kondisi yang terletak di celah perbukitan, air terjun Ogi yang terkurung bukit itu tampak begitu gagah di mata saya.

Dari kondisinya sepertinya benar bahwa tempat ini digunakan olah PLN untuk menjadi pembangkit listrik, walaupun saat ini saya kurang tahu apakah masih digunakan atau tidak. Namun di tempat ini masih terlihat bangunan yang waktu itu kosong. Di sisi samping air terjun juga terdapat anak tangga dari besi yang tampak usianya sudah lama.

Sebenarnya dulu tempat ini ada jalan yang sampai ke lokasi, dan tempat ini juga sering dijadikan tempat wisata penduduk dari Bajawa tiap akhir pekan. Namun mungkin kondisi itu sudah lama sekali, terbukti waktu saya bertanya tentang air terjun ini ke penduduk Bajawa banyak yang malah tidak tahu.

Ini adalah satu-satunya foto paling layak (masih kurang sebenarnya) saya tampilkan karena terus terang saya kurang siap dengan kondisi lingkungan waktu itu. Bahkan tripod yang saya ganjal dengan kayu tetap saja goyang.
Saya masih berharap bisa mengunjungi lagi tempat ini dan menghasilkan karya yang jauh lebih baik dari ini. Semoga.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 16 Maret 2010

Senja di Kawaliwu (Sunset on Kawaliwu)

Sudah hampir empat minggu atau sebulan saya berada di kota Larantuka, dalam rangka tugas kantor tentunya. Ibukota dari Flores Timur memang terasa kecil dibanding kota-kota lain di Jawa, bukan hanya kota-kota di Jawa bahkan dengan kota-kota di Nusa Tenggara Timur, Larantuka masih terasa sebagai kota kecil.
Tapi bukan itu yang menjadi sedikit kegundahan saya selama di sini. Tapi pertanyaan sederhana ini rasanya agak sulit dijawab oleh orang-orang disini "Dimana tempat wisata yang bagus disini?" Rasanya pertanyaan yang wajar, namun mungkin (saya tidak tahu persisnya) karena membandingkan dengan tempat wisata di tempat lain di pulau Flores, rasanya terasa tidak ada tempat yang istimewa dari Flores Timur ini.
Jika ada yang membuat Flores Timur ini terkenal, maka keberadaannya sebagai salah satu tempat orang merayakan Paskah adalah daya tariknya.
Memang di Flores Timur sebagaimana kota lain di Flores yang memiliki laut, mungkin di Flores Timur inilah yang setiap saya singgah di laut yang saya temui adalah pasir berwarna hitam. Ada memang beberapa tempat yang pasirnya tidak berwarna hitam, tapi itu hanya sebaris pantai saja dan sisa lainnya adalah pasir hitam.
Di hari terakhir waktu tugas saya, saya teringat cerita seseorang yang memiliki hotel di Larantuka tentang Pantai Hading yang letaknya berada di pesisir barat Flores Timur. Sedikit gambaran, Flores Timur berada di ujung pulau Flores artinya sebagian besar tempatnya menghadap ke timur atau tenggara. Kepala pulau Flores ini ada di Kabupaten Flores Timur, artinya ada bagian teluk di sisi barat Flores Timur, daerah yang diberi nama Kawaliwu. Nah disinilah pantai Hading berada.
Berawal dari informasi ini, saya coba konfirmasikan kembali kemungkinan untuk bisa mencapai daerah ini. Bukan apa-apa, pengalaman sebelumnya saat saya dan teman-teman mencoba menuju ke pantai Hading dari arah kepala justru malah jauh sekali karena harus melewati Tanjung Bunga. Tanjung Bunga ini ada dibagian kepala dari pulau Flores, jadi kami harus memutari kepala pulau Flores untuk sampai ke teluk ini... wah..
Namun saya diberitahukan jalur lain yang lebih mudah untuk mencapai Kawaliwu yaitu melalui desa Oka, ada jalur lain yang lebih dekat tapi karena harus melewati sisi lereng gunung Ile Napo (entah benar apa salah) jadi medannya agak berat.
Berbekal informasi ini kami bertiga, saya dan dua teman memulai petualangan kecil kami. Kami menyebut petualangan karena diantara kami bertiga tidak ada yang benar-benar pernah ke Kawaliwu, jadi niat dari awal memang siap untuk tersesat.
Untungnya di sepanjang jalan yang ada kami mendapatkan informasi yang cukup, penduduk dengan ramah menunjukkan arah jalan yang harus kami lalui.
Perjalanan dari desa Oka yang hanya beberapa belas menit dari Larantuka yang mulus berganti menjadi sedikit bergelombang setelah membelok ke arah barat, tapi sebenarnya masih lumayan bisa dinikmati asal kita mengendarai dengan hati-hati.
Perjalanan yang kami lalui terasa menyenangkan karena alam Flores Timur yang subur terbentang di depan mata kami, deretan pohon kelapa seolah mengajak kami berdendang. Beberapa dusun yang kami lewati juga juga terasa suasana yang menyenangkan, apalagi keberadaan dusun-dusun ini di perbukitan yang hijau.
Setelah sekitar setengah jam kami melalui perjalanan akhirnya sebuah papan penunjuk berwarna putih "SDN Kawaliwu" memberi tahu kami bahwa kami telah sampai di Kawaliwu.
Jam sudah menunjukkan hampir jam lima sore saat kami sampai. Pasir hitam yang sama, begitu pikir kami saat kami tida di pantainya, pantai Hading begitulah masayarakat disini menamainya.
Namun kesan biasa-biasa saja mulai hilang saat kami memandangi latar belakang gunung dan perbukitan yang ada di Kawaliwu. Rasanya cantik sekali melihat paduan antara pantai dan perbukitan yang terentang di sepanjang perjalanan kami tampak dari pantai ini.
Pantainya sendiri tidaklah memberi kesan wow dari kami jika dibandingkan laut lain di Flores yang memiliki pasir putih dan taman laut yang indah, namun kami dikejutkan oleh beberapa orang yang mencuci dan mendi di pinggir laut.
Kami merasa aneh saat itu karena tidak biasa melihat orang mencuci baju di pinggir laut. Tapi kami terkejut saat mendekati mereka dan mendapati batu-batu hitam yang kami pijak dengan kaki kosong terasa panas menyengat. Saya pikir ini karena sisa panas dari sinar matahari, ternyata tidak, panas di batu ini ternyata berasal dari air panas yang mengalir di celah-celah batu. Wah ternyata mereka sedang mandi dan mencuci dengan membuat kubangan air untuk menampung sumber air panas.
Wah, keren sekali... saya bisa mandi di laut lalu membilas badan dengan sumber air panas.
Akhirnya seperti diingatkan bahwa kami ingin melihat matahari terbenam di Kawaliwu, mata kami mencoba mencari tempat yang menarik untuk menatap saat terakhir sang matahari menutup hari ini.
Akhirnya kami melangkah ke bebatuan yang menjorok ke pantai. Air laut sore itu sedang tenang sekali, suasananya sungguh menenangkan. Airnya yang bening membuat mata kami dapat menembus sampai ke permukaan airnya. Beberapa orang masih asyik dengan kegiatan mencuci dan mandi, sementara beberapa orang lain ada yang memancing ikan.
Kami sampai di ujung bebatuan karang, tempat yang sangat strategis. Disinilah kami duduk-duduk menikmati senja yang begitu menyenangkan. Kami tidak perlu berpikir untuk beberapa lama kecuali membiarkan pikiran kami mengembara bersama sisa sinar yang semakin redup. Langit memerah, salah satu teman kami seperti dibuai angannya. Asyik sekali dia duduk sendiri di salah satu batu karang memandangi satu bintang yang muncul pertama kali, namanya Alpha Centaury katanya.
Setelah gelap kami mulai beranjak, senter kepala saya menjadi penuntun karena saat itu memang sulit untuk kembali kepinggir melewati bebatuan tanpa bantuan cahaya.
Sebelum pulang kami sempatkan menyapa orang-orang yang masih mandi, yah kalo airnya panas jam berapapun tentu tak masalah mandi... kami iri, mungkin lain kali kami harus mencobanya.
Diakhir perjalanan kami beberapa ekor kunang-kunang menunjukkan diri, memamerkan sinar kecil yang keluar dari bawah perutnya. Binatang yang sudah sangat sulit saya temui di kota kami.
Peristiwa hari ini, pemandangan yang kami nikmati saat ini, senja yang begitu sempurna kami hampiri, membuat janji di hati kami untuk kembali kesini.... menyapa waktu dan alam di sini dan menikmati SENJA DI KAWALIWU...


Kawaliwu, Maret 13, 2010


Personal dalam foto ini:
  1. Aryo Fajar Gunarso (suka dipanggil Ayok)
  2. Maria ... (biasa dipanggil Maya)
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 24 Februari 2010

Jajanan Tradisional: Kue Rangi dan Uli Bakar

Mau mencicipi jajanan tradional tidak harus jauh-jauh pergi keluar rumah. Setiap hari lewat penjual panganan di daerah tempat tinggalku, daerah Menteng Atas Setiabudi. Kebetulan pagi ini aku membeli Kue Rangi dan Uli Bakar.



Kue Rangi


Kue Rangi ini makanan khas Betawi seperti halnya Kue Kerak Telor. Kue ini bentuknya seperti kue Pancong atau Bandros.
Kue Rangi dibuat dengan bahan adonan tepung sagu/tapioca dan irisan kelapa kemudian dipanggang. Di atasnya dilumuri campuran sagu/tapioka dan gula merah.

Cara membuat (diambil dari sumber lain):
Bahan:
1/2 butir kelapa setengah tua, kupas, parut

100 g ampas kelapa
100 g tepung sagu aren
1/4 sdt garam
250 g gula merah, parut


Cara membuat :
Campur kelapa parut, ampas kelapa, tepung sagu, dan garam. Aduk hingga rata.
Panaskan wajan kecil, diameter 12 cm di atas api.
Taruh 1-2 sdm di dalamnya sambil ratakan hingga tipis. Masak hingga kering dan matang.
Taburi permukaannya dengan gula merah. Lipat dua. Angkat dan sajikan.


Bahan :Uli bakar
Makanan khas Betawi ini juga nikmat disantap.

Panganan berbahan dasar beras ketan yang dihaluskan/ditumbuk dengan parutan kelapa kemudian dibakar.Dimakan dengan parutan kelapa yang digongseng (seperti serundeng).
Cara pembuatannya sebagai berikut(berdasarkan sumber lain):

Bahan

300 ml santan (1 kelapa)
1 sendok teh garam
1 lembar daun pandan
200 gram beras ketan, direndam 1 jam
100 gram kelapa muda parut
Cara membuatnya:
  1. Kukus beras ketan selama 10 menit. Sementara itu panaskan santan, garam dan daun pandan. Masukkan beras ketan ke dalam santan. Aduk hingga santan mengering.
  2. Kukus sampai matang. Campur ketan dan kelapa parut. Haluskan campuran ketan dan masukkan ke loyang yang dialas daun pisang.
  3. Setelah dingin, potong-potong lalu panggang uli. Sajikan dengan sambal oncom

Teks & foto oleh: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 23 Januari 2010

Sunyaragi - Hiding place

Situs Sunyaragi adalah salah satu obyek wisata budaya yang ada di daerah Cirebon. Letaknya di kelurahan Sunyaragi, Kesambi. Tidak jauh dari jalan raya Brigjend. Dharsono.

Sunyaragi atau Taman Sari Sunyaragi dibangun sekitar abad ke-17. Tepatnya tahun 1703 Masehi oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran Arya Carbon. Namun dari sumber lain menyebutkan Sunyaragi dibangun tahun 1529 yang merupakan perluasan dari Kraton Pakungwati atau juga dikenal dengan nama Kraton Kasepuhan.

Sunyaragi, berasal dari kata "Sunya" yang berarti sunyi dan "Ragi" yang berarti raga. Mensunyikan raga atau mengosongkan raga sebagai aktivitas dalam olah semedi/meditasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bangunan Sunyaragi didominasi dengan batu kali pada dinding-dindingnya dan batu bata merah untuk gapuranya meniru candi Bentar. Sebagaimana layaknya taman sari, situs tersebut dipenuhi dengan kolam beserta pancurannya dan dihiasi dengan patung-patung dan relief-relief pada dindingnya. Uniknya patung dan relief tersebut disusun dari batu kali yang ditumpuk meniru bentuk garuda dan gajah.


Peninggalan yang dapat kita temui di komplek Taman Sari Sunyaragi:

  1. Goa Peteng (Goa Gelap).
  2. Goa Pande Kemasan.Tempat pembuatan dan penyimpanan senjata.
  3. Goa Pawon.Tempat perbekalan dan makanan para prajurit.
  4. Goa Pengawal. Tempat pengawal berjaga.
  5. Bangsal Jinem, merupakan tempat Sultan menerima para bawahan untuk bermufakat.
  6. Goa Padang Ati (hati terang). Tempat Sultan bersemedi.
  7. Mande Beling.Biasa digunakan keluarga Sultan untuk beristirahat. Konon bila kita beristirahat di tempat tersebut akan berbesanan dengan keluarga Sultan. Anda berminat?
Pada komplek Taman Sari Sunyaragi telah dibangun pula tempat pertunjukan/pementasan seni untuk menarik minat wisatawan berkunjung.Sayangnya terkesan tak terurus.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 24 Desember 2009

Pantai Mbuu: Scenery Ende Ada Disini

Pantai Mbuu, Ende

Sudah beberapa kali saya ke Ende, bahkan kalo sekedar lewat untuk perjalanan ke kota lain di Flores bisa dibilang sangat sering. Ende seperti menjadi pintu untuk melakukan perjalanan ke kota lain khususnya ke arah barat Flores seperti ke ke kota Mbay, Bajawa atau mau ke Ruteng. Karena untuk daratan Flores, hanya bandara di Maumere dan Ende yang ada penerbangan tiap harinya.

Meskipun begitu, pantai Mbuu yang sebenarnya dekat dari Ende baru beberapa bulan yang lalu sempat saya kunjungi. Memang bagi sebagian orang Ende sendiri, pantai Mbuu sendiri bisa dibilang tidak ada yang begitu istimewa. Disana justru yang tiap hari ramai adalah kegiatan penambangan batu dan pasir. Bayangkan! kegiatan penambangan di area yang ditulis di depan gerbang masuknya Tempat Wisata Pantai Mbuu, hah!!


Pantai Mbuu ini masih berada di kota Ende, anda bahkan bisa melihat pantai Mbuu dari jendela pesawat saat pesawat landing maupun take off. Dari pesawat anda akan melihat hulu sungai yang membelah dengan beberapa kubangan rawa/danau.


Awal tiba di tempat ini tidak terlalu tertarik juga, namun naluri seorang pejalan yang menyukai segala medan membuat saya terus menelusuri setiap lekuk tempat ini.


Tapi begitu saya mau bersusah payah menuruni sungai yang membelah tempat ini, ternyata saya menemukan scenery yang indah. Scenery yang sederhana antara aliran air, pohon, batuan dan perbukitan yang begitu menjulang di mata. Semuanya seperti mozaik yang dipatrikan pada tempat-tempat yang semestinya. Aliran sungai yang membelah ternyata menciptakan kubangan-kubangan yang ditumbuhi rumput-rumput tinggi, kubangan air tawar yang bersebelahan dengan air laut.


Jika mau sedikit bersusah payah menyeberangi sungainya niscaya mata akan dibawa pada scenery alam yang begitu cantik, beberapa kubangan rawa/danau bahkan sangat cocok sebagai lokasi untuk berfoto-foto.

Sayang, ada kegiatan penambangan pasir dan batu di sini. Sebagai tempat. yang telah dinyatakan sebagai lokasi wisata, seharusnya ada kehati-hatian dalam memberikan ijin lokasi penambangan.

Saya rasa kalau tempat ini terus ditambang, tak lama lagi air laut akan memasuki kubangan-kubangan rawa di sekeliling tempat itu, dan hasilnya rumput-rumput yang memiliki warna tersendiri itu akan menjadi mati.
Beberapa waktu lalu saya berkenalan dengan seseorang yang datang dari Jakarta. Namanya ibu Liliana, traveller yang saya kenal secara tidak sengaja karena kebetulan sama-sama menginap di hotel Satarmese. Hotel sederhana dengan jumlah terbatas namun pelayanannya yang nyaman menjadi salah satu hotel favorit saya kalo di Ende. Ibu Liliana yang spesial datang untuk berburu foto ini ternyata kebingungan saat tiba di NTT karena tidak mendapatkan informasi tempat mana yang bagus. Beberapa orang setempat yang menunjukkan tempat yang mereka anggap bagus ternyata kurang menarik minatnya. Kesamaan hobi ini yang akhirnya mengantarkan saya menemaninya di waktu yang sempit untuk menikmati pantai Mbuu. Terus terang saya belum tau bagaimana pendapatnya dengan tempat ini karena selama di pantai Mbuu saya pun sibuk dengan aktivitas yang tergolong pendek ini.


Seandainya saya punya cukup waktu tentu saya tidak berkeberatan menemani ibu Liliana untuk menjelajahi alam Flores yang menurut saya cukup eksotis. Mungkin hanya kendala biaya yang cukup besar karena lokasi antar obyek wisata yang cukup jauh.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 26 Februari 2009

Kampung Megalit Bena

Kampung Megalit BenaKampung Bena, adalah salah satu perkampungan megalit(ikum) yang terletak di Kabupaten Ngada. Tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa.

Kampung yang terletak di puncak bukit dengan view gunung Inerie. Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta, dewa yang bersinggasana di gunung ini yang melindungi kampung mereka.

Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.

Oh ya, karena sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada jadi kalau masuk ke sana jangan lupa isi dulu buku tamu. Syukur-syukur dilihat dulu. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan Italia.

Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.

Kampung Megalit Bena
Salah satu acara adat tahunan yang digelar di kampung megalit ini adalah Rebha. (kenapa pakai h karena mereka menyebut ba dengan tekanan yang kuat).

Reba merupakan suatu prosesi adat dimana semua anggota keluarga berkumpul dalam sebuah rumah adat ( Sa’o ) dan melakukan syukuran atas apa yang telah diperoleh selama setahun dan memohon keberhasilan ditahun yang akan datang. Prosesi ini merupakan wujud syukur kepada Tuhan dan sekaligus sebagai ritual untuk menghormati nenek moyang, dan semua yang mengikuti ritual ini diwajibkan untuk memakai pakaian adat.

Selain sisi tradisional yang tampak dari kampung bena terdapat pula seni tata letak rumah adat ( Sa’o ) yang tampak seperti susunan anak tangga yang menambah keindahan kampung bena. Masyarakat kampung bena khususnya kaum wanita, memiliki keahlian untuk membuat kerajinan tenun ikat dengan corak yang berbeda.

Nah, tenun ikat ini salah satu cendera mata yang dapat dibeli di kampung ini.


Catatan tambahan (dari beberapa sumber):
Penduduk Bena termasuk ke dalam suku Bajawa. Mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama katolik. Umumnya penduduk Bena, pria dan wanita, bermata pencaharian sebagai peladang. Untuk kaum wanita masih ditambah dengan bertenun.

Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini yaitu klan Bena. Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. Hal ini bisa terjadi karena penduduk Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat.

Batu Megalit Kampung Bena
Pada saat klan baru akan terbentuk maka berlangsunglah suatu upacara yang diakhiri dengan pendirian ngadhu, berbentuk seperti payung (simbol pihak keluarga laki-laki) dan bagha, berbentuk seperti rumah (simbol keluarga perempuan).

Rumah keluarga pria menjadi sakalobo, sementara rumah keluarga wanita menjadi sakapu'u, keduanya menjadi rumah pokok klan baru tersebut. Sepasang rumah pokok itu menggambarkan prinsip hidup penduduk setempat bahwa di dunia ini manusia hidup berpasangan pria dan wanita. Secara umum prinsip ini juga dapat dibaca dari perletakan rumah di Bena yang berhadapan satu sama lain mengelilingi sebuah lapangan terbuka di tengah desa.

Karena ada sembilan klan di kampung ini maka terdapat sembilan pasang Ngadu dan Bagha. Pada dasarnya masyarakat Bena (sejak dahulu) sudah menganggap bahwa gunung, batu, hewan-hewan (anjing, babi, dll) harus dihormati sebagai makhluk hidup. Seperti Gunung Surulaki yang dianggap sebagai hak bapa, dan Gunung Inerie sebagai hak mama.



(tulisan ini berdasarkan pengalaman sendiri dan beberapa tulisan dan artikel di internet yang terkait)
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 27 Oktober 2008

Oenesu: Panorama Sejuk di Tengah Teriknya Kupang

Menyebut Oenesu bagi orang Kupang berarti sebuah tempat yang menawarkan suasana untuk bersantai dengan udara yang segar. Sebagai salah satu dari sedikit air terjun yang ada di Kupang, tempat wisata air terjun Oenesu menjadi salah satu pemberhentian sejenak bagi warga Kupang yang ingin mereguk segarnya hawa yang ditawarkan tempat yang masih asri ini.

Perhatikan saja, pada hari Sabtu atau Minggu biasanya rombongan muda-mudi atau keluarga banyak yang mendatangi tempat ini jauh dibanding hari-hari lainnya. Air terjun ini berjarak kurang lebih 17 km dari Kota Kupang dan jalan menuju tempat ini bisa dibilang cukup baik. Aku sendiri tidak mengalami masalah sama sekali menggunakan kendaraan sedan menuju ke tempat ini. Memang sempat muncul kekhawatiran terutama saat melewati jembatan kayu di pertangahan jalan masuk untuk sampai ke lokasi ini.

Justru yang belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pengelola tempat ini adalah kondisi jalan dan penataan di lokasi wisata ini. Jalan yang masih berupa jalan tanah berbatu-batu serta tidak adanya tempat parkir kadang membuat tempat ini tampak semrawut dengan mobil dan motor yang diparkir semaunya (update: fasilitas telah diperbaiki oleh pemerintah daerah).

Begitu sampai di lokasi maka anda akan disambut dengan genangan air yang merupakan bagian atas air terjun. Debit air terjun ini cukup stabil, pada musim kering sekalipun debit air masih lumayan dapat dinikmati. Foto-foto di atas diambil pada bulan Oktober, masuk bulan-bulan yang kering dan panas yang menyengat.

Debit pada musim hujan tentu akan lebih besar, mungkin bisa dua kali lipat di banding musim panas. Pada saat itu jika kita tepat di bawah air terjun suara deru air terjun seakan menenggelamkan suara kita sendiri. Jangan heran kalau kita sering mendengar teriakan-teriakan dan suara tertawa yang cukup dari pengunjung yang menikmati air terjun ini.
>br /> Sampai di lokasi, ada dua jalur yang dapat dipakai untuk turun menikmati air terjun ini. Sebelah kiri lokasi terdapat jalan menurun yang cukup terjal yang akan membawa anda ke sebuah jembatan jauh di bawah air terjun utama. Dari jembatan yang masih baru ini (saat tulisan ini dibuat), anda bisa melihat beberapa tingkat air terjun.

Jalur lain dapat anda coba melalui jembatan kayu. Jembatan ini sebenarnya cukup membahayakan terutama untuk anak-anak karena kayu tidak terpasang menutup semua ruasnya. Jika tidak hati-hati anda dapat terperosok. Jaga anak-anak anda sewaktu melewati jembatan ini. Setelah itu anda harus menuruni anak tangga yang lagi-lagi curam, itupun kondisi anak tangganya tidak rata. Ini juga saya ingatkan kembali pada anda untuk berhati-hati.

Membawa bekal waktu saat turun ke bawah sangat disarankan karena naik turun untuk mengambil makanan ke atas sangat melelahkan. Namun sesampai di bawah, pemandangan air terjun seakan membilas rasa penat anda. Jangan takut batuan di tempat ini tidak licin, karena airnya yang mengandung kapur cukup tinggi (ciri khas air di Kupang) maka batu jadi terasa kesat. Suasana yang rindang karena banyak pohon-pohon besar tumbuh di sekitar air terjun. Ini masih ditambah dengan suitan-suitan burung yang sering terdengar nyaring dari balik pepohonan. Anda bisa langsung memilih berendam di salah satu anakan air terjun atau memilih menelusuri ke bawah. Gerak tarian air terjun membentuk alur-alur yang unik, hati-hati karena beberapa cekungan tingkat air ini ada yang dalam.

Andapun bisa sekedar membentangkan tikar dan bermalas-malasan menikmati sejuknya hawa serta deru suara air terjun. Keriangan suara pengunjung seakan mengajak anda ikut riang.

Sayang sarana lain sangat minim di tempat ini. Tempat sampah yang harusnya tersedia menjadi barang langka kalau tidak saya sebut tidak ada sama sekali sehingga tak heran pengunjung membuang sampah semaunya. Toilet dan kamar ganti juga tidak tersedia, anda harus ke rumah pemilik warung satu-satunya yang ada di tempat ini untuk sekedar buang air. Tempat makan atau tempat bersantai juga minim. Memang disediakan beberapa lopo namun jumlah tempat makan yang sedikit akan menyulitkan orang yang tidak ingin repot-repot saat berwisata.

Semua potensi ini seharusnya bisa mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pengembangan wisata di lokasi ini. Penataan dan pemeliharaan tempat ini dengan melibatkan partisipasi masyarakat akan dapat memberikan andil dalam menyumbang PAD pemerintah Kupang, tentu saja bila hal ini diseriusi.

Beberapa situs yang juga menulis tentang tempat wisata ini:
1. Harian Sinar Harapan: Mengintip Air Terjun Oenesu dan Pantai Lasiana
2. Portal CBN: Sejuk Dan Segarnya Oenesu
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya