Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label sunset. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sunset. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Maret 2017

Paradise of The South: Puru (Habis)

"Dilematis, kadang perjalanan ke tempat bagus ingin dikabarkan untuk mengenalkan orang lain untuk mencintai dan mengeksplore keindahan alam di sekitar. Tapi sering kali dan hampir selalu terjadi, orang hanya tau menikmati saja tanpa tanggung jawab merawatnya. Kalau istilahku, mereka yang sudah membayar 5ribu perak untuk masuk udah merasa terbebas untuk tidak membawa sampahnya sendiri. Seolah-olah 5ribu adalah harga petugas untuk memungut sampah yang mereka tinggalkan."


Ini vote aku taruh di depan tulisan dengan muka asem sedikit murka (selebihnya senyam-senyum ganjen). Karena pantai yang aku tuliskan di bawah ini adalah pantai yang masih paling terjaga dari pantai lainnya. Aku tidak ingin blog ini menjadi satu satu pemicu menjamurnya kedatangan traveler geblek yang tak ubahnya yang ngaku demen jalan tapi sebenarnya cuma mau mindahin tempat sampah. Kalau kalian tipe seperti itu, please tutup blog ini jangan diterusin, mending cuci kaki dan bobo sambil mimik susu..  

Ditulisan sebelumnya aku sudah menuliskan tentang pantai Etiko'u (meting besar) dan Snaituka (pasir pendek). Kalau mau kepo-in tulisan dua tempat itu bisa dilihat disini. Sekarang untuk melengkapinya, kali ini aku akan menuliskan dua pantai sisanya yaitu pantai Tubuafu dan pantai Eno'niu.

Pantai Tubuafu
Ada perahu nelayan di pantai Tubuafu
Tubuafu kalau diterjemahkan itu artinya tugu batu. Sesuai dengan namanya, penanda khas dari pantai ini adanya sebuah bukit kecil yang sebenarnya batu karang besar di pinggir pantai. Batu ini terpisah seperti membentuk sebuah bukit kecil. Hanya ada rerumputan dan beberapa pohon kecil yang hidup diatasnya. Saat surut, bukit kecil ini akan menyatu dengan daratan sehingga mudah kita panjat. Aku tidak menyarankan menaikinya saat air mulai pasang, karena saat air mulai mengitari bukit ini. Saat puncak pasang, air yang mengelilingi bukit ini selain kencang arusnya juga ombaknya sangat keras. Bahkan buncahan ombaknya bisa naik melebihi ketinggian batu. Kalau mau mati jangan sebut-sebut namaku ya, datang gak diundang ya pergi gak usah minta antar #jailangkung

Pemandangan pagi dari pantai Tubuafu
Pantai Tubuafu sendiri akan mudah dilihat pada saat kita di pinggir pantai Etiko'u yang dibatasi dengan bebatuan diantara keduanya. Namun jika dari penampakan pantainya, sebenarnya pantai Tubuafu ini masih bisa dibilang satu kesatuan dengan pantai Snaituka. Cuma pantai ini tidak masuk dalam deretan pantai Puru, menurut pak Frengki pantai Tubuafu sudah masuk dusun yang lain. Hanya memang untuk mencapai pantai ini ya paling mudah lewat pantai Puru, tinggal menyusuri pinggir pantai 300 meteran udah sampai di pantai ini.

Inilah batu di pinggir laut yang memunculkan nama Tubuafu
Pantai Tubuafu adalah pantai yang paling ujung kanan dari empat pantai yang aku sebutin. Selepas pantai Tubuafu adalah deretan karang terjal, setidaknya begitu menurut pandangan mataku. Karena pantai-pantai ini berada di lengkungan, maka dari pantai Tubuafu ini akan terlihat semua pantai lainnya. Bahkan pantai ujung kiri yaitu pantai Eno'niu akan terlihat dari pantai ini.

Jika menginap di sini, maka pantai Tubuafu paling pas untuk menikmati pagi. Karena dari pantai ini akan terlihat matahari terbit dari balik pantai Snaituka. Pak Frengki bilang kalau pantai Tubuafu ini pernah menjadi lokasi pendaratan Jepang. Di deretan dekat karang-karang terjal sebelah kanan pantai Tubuafu itu ada ditemukan beberapa bunker jepang. Sebenarnya keberadaan bunker-bunker Jepang di sekitaran Kupang bukanlah hal aneh. Kawasan sekitar bandara juga banyak ditemukan bunker-bungker Jepang, nanti aku ceritakan dalam tulisan lain. Cuma yang aneh, kok bisa Jepang mendarat di pantai ini yang notabene bukan pantai yang mudah didatangi lewat laut. Ah entahlah, tentara Jepang yang bisa menjawabnya.

Pantai Eno'niu
Pemandangan dari atas karang-karang menuju lokasi pantai Eno'niu (TUK)
Inilah pantai yang beberapa waktu aku harus tarik ulur dengan mas Eko Prasetyo untuk ceritakan. Kenapa? Ada banyak alasan kenapa aku diminta menahan diri untuk tidak menuliskan pantai ini.

Alasan pertama, pantai ini masih terbilang belum dikenal dari semua pantai lainnya karena akses yang tidak mudah untuk mencapai tempat ini. Menurut mas Eko, masih banyak tipe pelancong di sini yang hanya mau menikmati lokasi bagus tapi kurang tanggung jawab untuk menjaganya. Mau bukti? Seperawan-perawannya  pantai ini, ada tumpukan sampah tersisa yang ditinggalkan orang-orang kampret yang mendatangi tempat ini. Mereka mendatangi tempat yang indah dan bersih dan mereka meninggalkan tempat itu menjadi tempat sampah besar.

Alasan kedua, pantai ini diluar jangkauan pengawasan pak Frengki cs. Jika sampah-sampah yang ditinggalkan di pantai Snaituka saja sering terlewat tak dibersihkan apalagi sampah yang akan tertinggal di pantai Eno'niu. Mengharapkan para pejalan tak bertanggung jawab? Lebih baik bakar saja mereka daripada membakar sampahnya. #murkabesar

Eno'niu itu artinya pintu asam. Kenapa disebutkan pintu asam? Padahal di pantainya lebih banyak pohon santigi yang batangnya melengkung nyaris menempel ke pasir. Tapi jika mau diperhatikan betul-betul saat mau naik ke karang ada pohon asam di dekat situ, dan memang itu satu-satunya jalan untuk ke pantai Eno'niu. Pohon asam itulah kenapa pantai ini disebut. Jadi kalau mau kesini kuncinya cari pohon asam yang buahnya sudah masak, ambil, kuliti dan makan... Asyeeeem banget... se-asem muka para jomblo kalau ditanya kapan nikah.

Langit senja di pantai Eno'niu
Siluet yang ngaku-aku pemilik pantai TUK
Terkait nama alias untuk Eno'niu yang jujur susah untuk disebutkan, kita sudah bilang ke pak Frengki. Jika misal ada yang datang dan dianterin kesini lalu tanya nama pantai ini bilang saja pantai TUK, kependekan dari Tapaleuk Ukur Kaki.. jiah, baru sekali-kalinya datang langsung minta pengukuhan ganti nama. Tunggu, mungkin sebentar lagi mas Eko mau bikin acara syukuran di pantai ini. Kalian semua bakal diundang kok wahai para jin, setan dan sebangsanya....

Tapi kalau puncak surut, bisa ke pantai ini menyusuri lewat pasirnya tapi itupun kalo surutnya jauh. Selain itu ya harus lewat karang-karang yang masih runcing-runcing belum di-ampelas. Ya iyalah, emang situ mau ampelas karang biar licin gitu.

Ini adalah pantai tercantik dari empat pantai yang ada di Puru, walaupun jalannya paling ujung dan paling sulit tapi pemandangan..... #ikon mata melolot keselek biji salak. 
Dari sini kalian ditanggung bisa melihat pemandangan matahari senja yang tidak akan mengecewakan. Karena matahari di sini akan tampak bulat .. ya iyah, mana ada matahari bentuknya kotak, box nasi kalee bentuknya kotak. 

Duh di sini masih sepi dan bersih (kecuali itu seonggok sampah entah punya kampret siapa). Pasir putih dan langit Kupang yang pasti biru mengharu khas langit di daerah kawasan Indonesia Timur yang tidak tercemar polusi udara. Kalau malam pun, galaksi milky way sangat mudah tampak serasa ada di atas kepala (tulisannya ada disini).

Prewedding di pantai Puru
Pokoknya pantai yang satu ini epik, dan sialnya temenku udah duluin bikin prewedding di sini. Duh padahal aku belum prewedding di sini lho (kawin sama gendruwo).Tentu saja untuk membuat foto prewedding itu harus dibantu serombongan tuyul supaya acara foto tidak gagal, belum saja tidak lupa membawa dukun penolak hujan karena Kupang pada saat itu susah diprediksi walaupun BMKG sekalipun. Kalau kalian mau prewedding di sini boleh kontak aku, fotografer-nya gratis tapi sewa kamera itu sekitar 10juta. Itu kamera gak boleh peserta prewedding yang bawa, harus punya fotografernya hahaha.

Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 12 November 2016

Basah di Pantai Klayar

View pantai Klayar dari perbukitan
View pantai Klayar dari atas perbukitan
Air naik dengan cepat sesaat setelah aku mendengar bunyi ombak besar menghantam dinding batu bukit batu di depanku. Semua terjadi di luar perhitungan saat mataku masih asyik menunggu rana kamera merekam alur air jatuh di bebatuannya. Refleks aku mengangkat tripod kamera tinggi-tinggi dan berharap buncah air yang menghantam karang itu tidak akan mencapainya. Aku berusaha tegak saat air terus naik melewati dada, berusaha untuk tidak terbanting di pasir pantainya. Aku merasakan pasir melewati mata kaki membantuknya berdiri lebih kokoh. Sesaat setelah arus balik selesai aku segera berlari ke tempat yang lebih tinggi. Aku melihat salah satu orang pengunjung terbanting saat mencoba lari menghindari ombak tadi. Untung tidak ada satupun pengunjung yang sampai terseret air. Beberapa orang yang tengah bermain di dekat karang pun harus rela basah kuyup termasuk kamera yang mereka miliki.

Gelobang pecah selaksa air terjun di pantai Klayar
Gelombang pecah berubah selaksa air terjun
Dan pagi itu sempurna basah sudah seluruh badanku. Aku masuk ke sebuah lopo dengan lincak (tempat duduk dari susunan batang bambu yang selain untuk duduk-duduk santai) milik salah satu warung kecil yang berdiri di tepi pantai.
bahkan pasir-pasir pun bebas masuk ke kantong samping tas kamera. Beruntung kameraku hanya terkena cipratan air, namun tidak demikian dengan tas kamera yang basah seluruhnya. Bahkan aku menemukan pasir diseluruh lipatan tas. Memang lensa di dalam tas tidak langsung terkena air namun hanya terkena rembesan karena lapisan busa yang cukup tebal. Tapi tetep saja bikin ketar-ketir, belum lagi batere aku letakkan di bagian tas paling depan yang tidak berlapis. Akhirnya terpaksa bongkar seluruh isi tas kamera dan lap satu demi satu semua pernak-pernik yang terkena rembesan air laut. Untuk tas backpack sempet aku titipkan di ibu pemilik warung sebelum memotret.


Hari ini aku merasakan dampak dari kejadian di atas. Aku harus merelakan lensa Tamron SP AF 90mm f/2.8 DI Macro mengalami ERR01. Biasanya ini error yang berkaitan dengan kabel fleksibel.

................................................................
"Kenapa mas itu tasnya di taruh di pagar?" tanya mas Teguh, salah satu pengrajin batu akik saat berbincang-bincang denganku. Mas Teguh baru datang belakangan sehingga tidak tahu alasanku menatuh tas di pagar pembatas di atas bukit. Di bukit ini sekarang total ada tiga pedagang yang menggelar barang dagangan batu akik di tempat ini termasuk mas Teguh. Mas Wito lah yang datang paling pagi sehingga dia yang tahu kondisiku dan menyarankan aku menjemur tas. FYI, daerah Pacitan memang terkenal salah satu kabupaten yang memiliki sentra pengrajin batu terutama batu-batu akik. Jadi saat boom batu akik beberapa waktu lalu, pengrajin batu akik dari Pacitan seperti mendapatkan durian runtuh karena harga batu akik yang melonjak tajam. Sekarang kalau kalian ke sana, kalian bisa mendapatkan batu akik dengan harga yang tidak mahal.

Sejoli berjalan di pantai Klayar
Sejoli berjalan-jalan di pantai Klayar
Sambil menunggu peralatanku kering dan dapat kupakai lagi, merekalah jadi teman ngobrolku di sana. Aku memasang hammock di rerimbunan batang pandan pantai supaya bisa bersantai. Sebenarnya ada beberapa papan yang dipasang pak Esdi untuk tempat duduk tapi kurang nyaman untuk tiduran.Untung tidak terlalu banyak yang datang ke atas bukit ini. Serombongan anak muda yang tampaknya semalam nge-camp di atas bukit ini juga sudah bersiap-siap mau kembali. Suasana yang tidak terlalu ramai akhirnya membuat aku bisa memejamkan mata beberapa saat menghilangkan kantuk yang masih tersisa.

Bukit ini terletak persis di samping bebatuan karang yang langsung menghadap ke Seruling Samudera. Bukit ini dimiliki dan dikelola pak Esdi, orang Madura namun telah lama tinggal di sini. Untuk naik ke atas bukit, ada jalan kecil menanjak dari dari sisi samping. Biasanya pak Esdi sendiri yang menjaga pintu masuk ke arah bukit.

Seruling Samudera di pantai Klayar Pacitan
Semburan air di titik Seruling Samudera
Saat ini bukit ini menjadi satu-satunya lokasi bagi yang ingin melihat Seruling Samudera. Di bagian bebatuan karang di lokasi telah dipasang papan penghalang dan papan larangan melewati daerah itu. Denger-denger sih sudah ada kasus pengunjung yang meninggal terseret ombak.
Seruling Samudera itu sebenarnya terjadi saat lubang di bebatuan mengeluarkan bunyi akibat tekanan air di bawahnya yang naik ke atas akibat gelombang. Jadi setelah bunyi suara akan disusul dengan semburan air ke atas beberapa meter. Semakin besar gelombang yang akan datang akan menimbulkan suara yang makin keras. Tapi itu dulu, kata pak Esdi sekarang bunyi yang keluar lebih banyak hanya berupa desisan keras karena beberapa lubang telah menjadi lebih besar. Mungkin akibat ombak terus menerus yang menggerusnya.

Suasana pantai Klayar saat sunset
Suasana pantai Klayar saat senja hari
Karena seharian di atas bukit, aku sekalian menjadi guide dadakan beberapa pengunjung yang ingin tahu Seruling Samudera. Cie..cie.. padahal aku cuma menyampaikan ulang apa yang aku denger dari pak Esdi. Asyik juga jadi guide gratisan sambil nungguin tas kamera kering dijemur. Bahkan kadang ikutan mas Wito dan Teguh komentar-komentar nakal kalau ada wisatawan cewe cantik dengan pakaian yang aduhai menggoda. Paling heboh kalau udah nemu pasangan beda usia jatuh kayak opa dan cucu yang asyik berpacaran di atas bukit. Tapi bukan menggoda mereka langsung lho ya, cuma celetukan nakal antar kami dan disambung dengan tawa terbahak-bahak.

..........................................................
Pantai Klayar sekarang tidak semenantang dulu, lokasi sekarang juga mudah dijangkau. Kondisi jalan bisa dibilang mulus lah, walau pun ada beberapa ruas jalan yang tergolong kecil tapi umumnya masih bisa dilewati bus besar. Tapi entah ada perjanjian tertentu. Sepertinya bis-bis besar yang mengangkut rombongan tidak bisa diijinkan sampai ke pantai hanya sampai di halte depan lokasi wisata Gua Gong. Di sana akhir bis-bis besar harus berhenti dan berganti naik sejenis omprengan untuk masuk ke dalam lokasi Pantai Klayar. Hanya kendaraan pribadi dan mini bis yang bisa masuk sampai ke lokasi pantai.

View pantai Klayar saat pagi
Penginapan dan warung-warung makan juga bisa dibilang cukup banyak. Walau pun jika bukan hari Minggu akan menghadapi kontradiksi, penginapan bisa ditawar dengan harga murah namun tempat makan jarang yang buka. Kemudahan-kemudahan inilah kenapa pada hari-hari libur bisa dibilang pantai ini akan padat pengunjung dari yang sekedar jalan-jalan sampai yang mau main off-road-an. 
Kendaraan roda tiga dengan ban tahu jika hari Minggu memang banyak bersliweran di sepanjang pantai menciptakan alur-alur panjang bekas roda. Bagi wisatawan, tentu fasilitas ini akan mempermudah mereka menikmati pantai. Apalagi kalau bareng hore-hore, fasilitas pantai ini akan membuat liburanmu di pantai tambah ceria.
Jika kalian adalah orang yang menyukai pantai yang tenang, lupakan pantai ini untuk didatangi di hari Minggu. Atau jika terlanjur mendatangi tempat ini, coba lah menunggu saat senja biasanya jumlah pengunjung sudah banyak berkurang. Apalagi saat bulan seperti ini posisi matahari posisinya condong ke selatan membuat penampakan matahari tampak jatuh tenggelam di horison laut.
Di antara waktu itu kalian bisa saja menyusuri beberapa titik lokasi yang masih jarang didatangi orang karena menurutku titik kumpul orang ke pantai ini yang disekitaran bukit batu itu. Ada beberapa lokasi yang cukup keren dan jarang yang didatangi karena lokasinya yang cukup sulit karena harus menuruni tebing menggunakan kayu sebagai tangga darurat.

Malemnya aku nginep di homestay punya pak Esdi yang dikelola sama anaknya mas Isni. Homestaynya terletak di bagian dalam paling dekat dengan bukit Klayar sebenarnya belum selesai pembangunannya. Hanya ada dua kamar, satu kamar sudah ditempati oleh sepasang suami istri yang sudah bermalam sejak Sabtu kemarin. Seperti halnya homestay di daerah wisata, umumnya mahal saat hari libur. Tapi kalau mau menginap bukan di hari libur harganya cenderung masih gampang ditawar. Tentu cara ini tidak cocok untuk orang yang liburannya bersamaan dengan hari libur.
Cara lain supaya tidak mendapatkan penginapan mahal ya menyewa satu homestay. Biasanya harga satu homestay ini akan dihitung lebih murah, dan pemilik juga biasanya gak repot menghitung berapa orang yang mau tinggal di dalamnya. Pinter-pinter kalian mengurus pembagian kamarnya saja.

...............................................................
Hari Senin aku baru balik kembali melanjutkan perjalanan setelah mampir dulu di Tanjung Klayar yang sudah aku tulis di tulisan sebelumnya.
Ternyata kembali harir Senin membawa kesulitan tersendiri. Tak ada satu pun kendaraan yang ada, bahkan satu motor ojek pun. Aku mencoba menunggu terminal yang juga menjadi tempat parkir angkutan omprengan dari dan ke pantai Klayar. Nihil, hanya ada satu dua kendaraan pribadi, itu pun baru sampai ke pantai ini bukan mau kembali. Bahkan dari pagi belum ada satu tempat makan pun yang buka untuk sekedar ngopi.

View pantai Klayar dari jalan masuk (dipotret dengan Blackview BV6000)
Akhirnya dengan menggendong ransel yang cukup berat aku berjalan keluar gerbang masuk tempat wisata. Sambil berharap ada kendaraan apa saja yang bisa aku tumpangi. Penjaga tiket pun bingung saat aku bertanya angkutan apa yang bisa mengantar aku kembali, dia malah bertanya balik bagaimana aku bisa sampai kesini. Karena mereka tahunya di luar hari libur kebanyakan yang kesini menggunakan kendaraan pribadi minimal motor karena semua kendaraan omprengan tidak ada yang masuk ke pantai Klayar kecuali hari libur itu pun statusnya dicanter dari awal.

Tunggu-tunggu-tunggu, eh ada orang naik motor masuk ke pantai Klayar menggoncengkan ibu-ibu. Waktu dia balik lagi, aku coba cegat tanya. Eh ternyata dia sedang memboncengkan istrinya yang berjualan di pantai. Dengan sedikit jujur memelas akhirnya mas Wanto mau mengantarku, malahan tanya kalau mau ditemeni masuk ke gua Gong.
Ternyata mas Wanto ini punya homestay di Klayar, lokasinya persis setelah gerbang masuk pembayaran tiket pantai Klayar. Dia sendiri punya penyewaan kendaraan off-road yang seperti aku tulis di depan, cuma dia bawa ke pantai Klayar saat hari Minggu atau hari libur saja

Karena lokasi untuk ganti kendaraan omprengan tepat di sebelah lokasi Gua Gong, jadilah aku mampir ke tempat ini. Sama seperti pantai Klayar, Gua Gong saat bukan hari libur seperti ini juga tergolong sepi. Beberapa guide yang biasanya agak agresif menawarkan jasa mengelilingi Gua Gong juga tidak terlalu antusias hari ini. Ah nanti saja kalau udah semangat lagi aku tuliskan tentang Gua Gong.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 29 September 2016

Paradise of the South: Puru (1)

Pasir dan warna air laut toska? Oh itu sudah biasa
 "Angin selatan bulan ini lagi kurang baik pak, pak Koster tidak bisa melaut" kata Frengky menyahut pertanyaanku sambil menunjuk pak Koster. Pria tua agak kurus dengan wajah Timor yang ramah itu tersenyum lebar memamerkan deretan gigi yang masih kuat dengan warna merah sirih pinang.
Kalau saja laut sedang tenang, kata pak Frengki, ikan yang ditangkap di sini rasanya lebih manis daripada di Kupang. Iya lebih manis, semanis dirimu.. iya.. kamuuu #digamparbini
Yah sepertinya omongan pak Frengky harus dibuktikan suatu hari nanti


Galau: Nulis atau Tidak?
Sebenarnya aku mikir terus dan diskusi berulang-ulang sama mas Eko, apakah akan menulis tentang pantai ini atau tidak. Persoalannya sama, pariwisata yang tidak dipersiapkan matang hanya akan menciptakan keburukan yang lebih besar di kemudian hari.

Itu mas Eko jadi penguat foto atau perusak?
Kondisi pantai yang saat ini masih bagus, masih bersih dan bener-bener menawan, akankah bisa dipertahankan saat pintu masuk melalui kata 'pariwisata' benar-benar dibuka lebar. Tapi ternyata beberapa tulisan nongol juga di internet.
Tidak bisa dihindari memang, lokasi yang bagus akan cepat tersebar. Demikian juga, orang yang pernah ke sini dan terkesan pantai ini akan dengan mudah menyebarkan ke orang lain baik hanya melalui mulut atau dengan tulisan.

Akhirnya, pantai ini aku putuskan untuk aku tuliskan di sini. Aku tahu risikonya saat pantai ini terkenal, makin banyak yang datang. Aku banyak berharap dengan teman-teman om Frengky cs yang setia menjaga kawasan pantai Puru untuk selalu mengingatkan wisatawan yang datang. Aku sendiri terus terang lebih senang saat tempat wisata ini dikelola oleh desa. Rasa memiliki mereka membuat mereka mudah untuk diajak menjaga. Banyak sekali momen Frengky harus bersitegang memperingatkan wisatawan yang bandel membuang sampah seenaknya.

Bukan menjelekkan mental wisatawan domestik kita. Aku teringat saat mas Eko dan Melia yang ke pantai saat sedang ramai. Waktu itu habis upacara 17 Agustus-an yang dipusatkan di dusun Puru. Setelah selesai upacara, para peserta dari banyak daerah sekalian beramai-ramailah ke pantai. Dan akhirnya, mas EKo dan Melia ikutan sibuk sampai malam membersihkan pantai dari sampah dari wisatawan brengsek seperti ini. Lebih menjengkelkan lagi bagi Frengky, jika yang datang orang yang mengaku punya jabatan terus datang bareng rombongan besar.. Duh, itu pantai serasa tempat sampah raksasa yang mereka boleh buang seenaknya.

Perjalanan ke Puru
Jika sejenak kamu mau mencoba menggunakan Google Earth dan melihat pulau Timor saat malam, maka sisi Selatan bagaikan bagian pulau yang tanah tak bertuan. Ya, bagian paling terang adalah kota Kupang. Sedikit cahaya di titik-titik ibukota kecamatan dan nyaris tak ada lampu yang tertanggkap Google di desa-desa. Listrik masih menjadi barang mewah kalau tak mau disebut langka.
Tapi Selatan yang masih belum banyak terjamah yang namanya 'pembangunan' masih menyimpan rapi potensinya terutama pantai-pantai yang aduhai pemandangannya. Salah satunya ya pantai di kawasan Puru ini. Eksotisme pantai yang masih terjaga.

Perjalanan pertama ke tempat ini baru benar-benar diputuskan saat aku dan mas Eko sudah sampai di Baun, ibukota kecamatan Amarasi Barat. Perjalanan pertama seperti biasa selalu mengandalkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) karena beberapa percabangan yang kadang bikin kita ragu-ragu.

Nongkrong trus ngerokok.. untung belum kena moke
Pada perjalanan pertama kondisi jalan yang aku temui di desa Merbaun cukup parah karena hanya menyisakan jalan tanah berbatu. Beberapa titik menunjukkan bekas-bekas aspal lama yang sudah hilang tidak tahu kemana. Waktu itu juga harus berjibaku dengan tumpukan-tumpukan material di jalan. Sedang ada perbaikan jalan, kata orang-orang yang aku tanya di sepanjang jalan. Jika sekarang kamu ke sana sudah jauh lebih baik karena material itu sekarang sudah selesai dihampar sehingga sekarang sudah lebih mulus. Mungkin akhir tahun ini jalan itu sudah aspal mulus sampai ke pertigaan masuk ke pantai.

Tapi itu masih lumayan, perjalanan kedua dengan rombongan yang lebih banyak malah memaksa kita harus berbelok ke kanan selepas gereja di dusun Puru. Hasilnya harus melewati jalan tanah berbatu yang setidaknya ada tiga titik turunan dan tanjakan yang harus diwaspadai karena batu-batunya mudah terlepas. Nanti aku ceritakan di tulisan lain saat memotret Milkyway di tempat ini.

Sebenarnya tidak ada yang namanya pantai Puru, karena pantai-pantai di dusun Puru sebenarnya memiliki nama sendiri-sendiri. Maka lebih enak menyebut pantai-pantai disekitar dusun Puru ini dengan nama Kawasan Pantai Puru. Setidaknya ada empat pantai yang berdekatan di sekitar Puru yang dipisahkan oleh batuan karang, satu pantai sudah masuk dusun lain cuma aksesnya lebih mudah lewat Puru. Hanya saja di banyak tulisan lebih sering disebut dengan pantai Puru padahal mereka sedang di pantai Etiko'u saja.

Pantai Etiko'u
Inilah pantai yang pertama kali akan ditemui sebagai pintu masuk utama dikenal dengan nama Pantai Etiko'u (kadang ditulis Etiko'o atau Eti Ko'u). Etiko'u itu artinya meting besar atau kondisi dimana saat laut sedang surut pasir pantainya tampak jauh sampai ke tengah. Hal ini dikarenakan pasir pantainya landai. Pantai seperti ini paling pas didatangi saat mendekati bulan baru atau bulan penuh (purnama) karena saat itu biasanya pasang surut air laut terjadi lebih besar dibanding hari-hari lain. Pasir pantainya berwarna putih kekuningan. Di beberapa titik, pasir ini bisa agak gelap karena di bagian bawah ada pasir yang berwarna hitam.

Sebelah kanan pantai Etiko'u adalah pantai Tubuafu. Antara pantai ini dan pantai Tubuafu dibatasai daerah pantai yang dipenuhi bebatuan. Sedangkan di sebelah kanan di batasi pohon bakau dan karang-karang terjal. Di sebelah pepohonan bakau dan karang terjal itulah adanya pantai Snaituka.

Karena menjadi pintu masuk, pantai Puru ini menjadi pantai yang paling ramai. Walaupun ombaknya keras namun masih nyaman digunakan untuk berenang karena kondisi pantai yang landai jauh. Rata-rata ombak sudah pecah jauh di tengah sebelum masuk ke bibir pantai.

Ada beberapa lopo berbahan bambu dan kayu dengan atap jerami yang telah di bangun. Desalah yang telah membangun beberapa lopo itu, setidaknya ada empat yang sudah dibangun. Kata pak Frengky, nanti kalau ada dana mau dibangun tambah lagi. Terakhir denger-denger mau tambah satu lagi yang di atas karang. 

Ada satu kamar mandi sumbangan dari proyek pemerintah yang nangkring di dekat pintu masuk. Kamar mandi itu sangat membantu wisatawan terutama untuk keperluan bilas karena air bersih selalu tersedia. Untuk kamar mandi, aku salut sama Juan yang bertanggung jawab dengan urusan ini.

Khusus hari Sabtu dan Minggu, banyak yang jualan persis setelah masuk ke dalam pintu gerbang dari kayu sekedarnya. Sebagian besar memang jualan makanan minuman kemasan, tapi tetap ada yang jualan gorengan. Kadang-kadang jika sedang musim bisa dapat jagung rebus atau ubi rebus.

Dengan semua fasilitas yang ada itu, jelas pantai Etiko'u yang paling direkomendasikan jika ingin menginap. Waktu itu, aku dan mas Eko satu-satunya yang menginap di Puru. Dan jika aku boleh menyarankan, kalau kalian ke pantai kawasan Puru ini cobalah untuk menginap setidaknya semalam di sini. Lopo-lopo yang ada bisa kalian gunakan untuk tidur. Bahkan tenda yang aku siapkan tidak terpakai karena sudah ada lopo di sini.

Aku dan mas Eko bahkan bisa tidur nyenyak dengan menggunakan hammock. 
Serius?? Dua rius malah...
Jangan pikirkan banyak nyamuk, aku tidak menemukan seekor pun nyamuk yang sekedar say hello sebelum menggigit. Mungkin karena di pantai ini tidak ada daerah lembab berair sehingga tidak ada nyamuk. Juan dan Oksan bahkan ikut menemani tidur di hammock malam itu. Masih takut di tempat baru? Aku bisa katakan, di sini masyarakatnya sangat welcome terutama kalau kamu orangnya tidak sombong dan mau bergaul, apalagi suka menabung, menari dan membantu janda dan anak-anak terlantar.. Apaan sih, garing banget..


Pantai Snaituka
Penanda khas pantai Snaituka yaitu adanya beberapa pohon kelapa berjajar yang ditanam di sepanjang pantai. Kalau melihat susunannya, sepertinya pohon kelapa ini sengaja ditanam.
Kalau mau ke pantai Snaituka tinggal berjalan ke arah kiri pantai Etiko'u masuk ke dalam pepohonan bakau. Ada jalan kecil di antara bakau. Tidak ada jalan baku sih, karena memang belum ada jalan resmi hanya mengikuti jejak jalan yang sudah ada.

Snaituka itu artinya pasir pendek. Disebut demikian karena saat puncak pasang pasir putihnya hanya tersisa beberapa meter saja. Kalau dilihat dari salah satu batu karang, bentuknya pasir putihnya jadi seperti sabit. Untuk melihat keindahan pantai ini paling mudah naik saja ke atas batu karang yang mengapit pantai ini. Terserah, bisa naik di batu karang kiri atau kanan. Hanya diingat, saat puncak pasang bebatuan karang ini akan terisolir oleh air laut yang naik sampai ke bibir pantai. Sebaiknya hanya naik saat tidak sedang pasang tinggi.

Ada beberapa pohon Santigi yang bentuknya terbonsai tumbuh di sela-sela karang. Silahkan jika ingin mandi di sini namun hati-hati karena pasir pantainya agak mirip sehingga ketinggian air laut perbedaan lebih tinggi dibandingkan di pantai Etiko'u.

Dua pantai lainnya aku ceritakan di tulisan selanjutnya, kalau tidak lupa... :D
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 08 April 2014

Jelajah Semau: Perjalanan Tanpa Arah (1)

Pantai Uih Make yang berada di cekungan terjepit karang-karang. Entah ada berapa pantai indah seperti ini di Semau
yang pasti ini salah satu view pantai yang memukau kami. Dan pantai ini masih bersih.
Duduk di belakang motor yang dikendarai Augus, aku merasakan rasa haus yang teramat. Tapi bukan air yang ada di dalam pikiran dan kepalaku juga mungkin yang lain, tapi air dingin atau air kelapa muda yang terus bermain-main menggodaku.
Aku tidak sampai mengigau dan meracau, tadi rasanya otakku tak bisa melepaskan diri dari dua benda itu enyah dari pikiranku. Tapi di sepanjang perjalanan menuju Liman, aku tidak kuasa membuat bibirku diam menyebut dua benda sialan yang bersarang diotakku ini.

Perjalanan Tak Terencanakan
Para mahluk kucel berteduh di dalam perahu
Semuanya tiba-tiba tanpa perencanaan sebelumnya. Berawal dari adanya libur sehari perayaan Nyepi tanggal 1 April yang jatuh hari Senin. Jadi kalau dihitung, ada libur tiga hari. Rupanya liburan ini mau dimanfaatkan Ardi, Imam, sama Ucil buat jalan-jalan dan ngemping. Aku yang biasanya suka jalan sendiri ikut, lumayan kalau bisa jalan bareng temen-temen yang hobinya sama-sama suka jalan. Awalnya sih mereka mau ke Rote. Karena sering kali ke Rote, tiba-tiba aku menawarkan jalan ke pulau Semau. Eh tanpa pertimbangan ba bi bu Ardi mau saja terima tawaranku. Pulau Semau adalah salah satu tempat yang belum pernah aku injak padahal berada tidak jauh dari Kupang. Terus terang, kemungkinan aku sedikit banyak terprovokasi dengan tulisan Tinae Siringoringo di blog dia: Hunting Paradise 8 Pantai dan 2 Kolam di Pulau Semau. Lha kok bisa-bisanya, kita berlima yang mau jalan tinggal bareng di satu kompleks. Aku curiga memang sepertinya para backpacker dan pecinta jalan pada ngumpul semua di kompleks hahaha.
Besoknya pagi-pagi kita bersiap-siap dengan tiga motor. Agak telat sih, apalagi kalau bukan masalah si Imam, Ucil sama August yang emang ditakdirkan susah bangun pagi. Wal hasil, dari rencana jam enam mau jalan jadinya jam tujuh baru bergerak dari kompleks.
Depan dermaga Semau di Hansisi, bawah laut banyak terumbu karang
Dari Kupang, kita mengambil arah ke bawah menyusuri pantai lewat Namosain. Aku sebenarnya sempat salah mau ke arah pelabuhan perikanan di daerah Bolok karena setauku ada kapal pengangkut disana. Untung Ardi ngingetin aku, dan hasil konfirmasiku ke mas Eko emang diarahkan ke Tenau saja.
Masuk ke Tenau kami langsung menuju ke sisi paling Utara yang berbatasan dengan dermaga baru yang belum selesai dibangun. Ada sekitar empat perahu yang sedang merapat. Laut pagi sedang pasang sehingga perahu bisa sampai ke pinggir. Dengan cekatan tiga motor kami telah berpindah ke dalam perahu. Dua perahu lainnya telah berjalan terlebih dahulu mengangkut penumpang lainnya, sepertinya yang satu perahu diambil oleh satu rombongan yang mungkin sedang berjalan-jalan seperti kami. Setelah menunggu beberapa saat di pinggir dermaga kami akhirnya memutuskan masuk ke bagian dalam perahu yang terlindungi karena hawa panas pagi sudah terasa menyengat. 
Tak lama kemudian setelah ada tambahan empat motor lagi, perahu mulai berangkat. Dari Tenau, pulau Semau tampak jelas karena memang tidak terlalu jauh. Makanya biaya menyeberang ke Semau gak mahal, jika kesana sendiri biaya per orang hanya 10ribu saja. Sedang kalau membawa motor dihitung sebesar 50ribu saja itu tidak dihitung lagi penumpangnya (2 orang). Jadi kami membayar 150ribu untuk 3 motor. Laut yang cerah membuat perahu masuk ke pelabuhan batu Hansisi yang berada di cekungan. Memang bukan dermaga betulan tapi lebih mudah untuk menaikturunkan motor.

Perjalanan Tanpa Arah
Suasana pantai Otan, disini ada tempat budidaya kerang mutiara
Turun dari perahu aku dan mulai bertanya ke orang lain pantai yang dekat disini. 
"Kita ke arah mana ya enaknya?", tanyaku.
Ardi: "Pak Beck ajalah, gimana enaknya"
"Lho aku juga gak tahu, aku juga baru pertama kali kesini. Aku cuma tahu dari tulisane si Tinae"
Ardi: "Tak pikir pak Beck pernah kesini."
Dari situlah Ardi baru tahu kalau aku juga belum pernah kesini. Jadi benar-benar perjalanan ini tanpa guide yang tahu lokasi Semau. Sempat salah arah ke arah dermaga Hansisi yang baru, aku akhirnya mendapatkan petunjuk dari salah satu orang tua yang aku temui di pinggir jalan. Dia menyarankan aku menuju ke Kecamatan Semau, dan dari sana bertanya ke orang sekitar arah ke pantai Otan.
Akhirnya kami mengarahkan perjalanan ke Kecamata Semau. FYI, di Semau ini ada dua kecamatan yaitu: Kecamatan Semau dan Semau Selatan. Jalan mulus hanya sedikit saja, sisanya lebih banyak jalan aspal yang telah terkelupas disana-sini dan jalan tanah kapur berwarna putih. Suasana di pulau ini relatif masih sepi, jarak antar rumah masih jauh. Disepanjang jalan menuju kecamatan kami lebih banyak menemukan semak belukar dengan pohon-pohon yang tidak tinggi. Sebenarnya mereka semua lapar, tapi memutuskan diri makan nanti setelah sampai di pantai pertama tujuan kami: Otan. Kami perkirakan jarak ke Kecamatan tidak jauh, tapi karena belum benar-benar tahu kami tetep mencoba bertanya kepada penduduk setempat. GPS (Gunakan Penduduk Setempat) tetep menjadi cara ampuh untuk menjelajahi daerah baru. Jangan terburu-buru pakai alat GPS asli, ada informasi tertentu yang bisa jadi keliru. Misal di map tergambar jalan putih lebar, ternyata itu adalah jalan pasir putih yang sulit dilewati.
Sampai di perempatan setelah lewat kantor camat Semau kami berbelok ke kanan. Hanya saja, kalau yang di kecamatan Semau ini jalan aspalnya sedikit lebih baik. Sekitar setengah jam dari dermaga kami berangkat akhirnya kami sampai di sebuah jalan percabangan yang terpampang jelas desa Otan.
Tapi sebenarnya tidak berhenti di situ, selepas pantai Otan pun kami masih kebingungan yang akhirnya membawa kami bertemu anak-anak SMA yang mengarahkan kami ke pantai Liman. Benar-benar perjalanan kami hanya berbekal informasi-informasi sepenggal.
Tak heran, bahkan besoknya kami harus mengalami perjalanan yang salah arah cukup jauh yang akan aku ceritakan di tulisan kedua.

Pantai Otan, Pasir Putih Memanjang
Rumah apung yang sedang dibuat
Pantai Otan memiliki pasir putih memanjang, karena bersambung dengan beberapa pantai lain. Warna lautnya yang jernih semakin tampak cantik saat suasana terik, karena air laut akan tampak berwarna tosca. Kondisi sampah juga masih minim, kecuali sampah-sampah. Kami sampai di pantai Otan jam 11, panas matahari yang terasa menyengat sekali. Di pantai ini tidak kami temui pohon kelapa. Untungnya banyak tumbuh tanaman pandan laut yang cukup tinggi sehingga bisa menjadi berteduh kami. Ada beberapa perahu berjejer yang ditinggalkan pemiliknya. Kami memilih salah satu yang nyaman untuk berteduh. Nasi bungkus yang berisi nasi kuning buatan istriku menjadi menu pembuka perut yang kosong kami dari pagi. Rasanya nikmat, apalagi karena perut yang sudah kelaparan ditambah sambil menikmati view pantai Otan. 
Cuaca terik, namun keindahan pantai Otan tetap tampak
Di pinggir pantai tampak beberapa orang sedang membuat  sesuatu seperti rumah namun dibagian bawahnya dipasang sejenis pelampung berwarna kuning. Tiang-tiang dan rangka terbuat dari batang bambu yang mereka sambungkan dengan ikatan tanpa paku. Menurut para pekerja, mereka sedang membangun rumah apung untuk mengawasi keramba tempat budidaya kerang mutiara. Katanya sih perusahaan dari kupang yang menggunakan lokasi ini. Jadi lokasi ini hanya digunakan untuk pengembangan kerangnya saja, nanti jika sudah cukup umur baru dipindahkan ke Kupang untuk digunakan dalam budidaya mutiara.
Mungkin karena memang masih mengantuk atau lelah, angin yang bertiup sejuk membuat mata kami mengantuk, satu demi satu jatuh tertidur. Kebetulan ada tempat bersantai dari papan-papan yang diikat dengan tali yang dibuat oleh para pekerja pembudidaya kerang mutiara. Sebenarnya ada beberapa bangunan di pantai Otan namun kondisinya sudah banyak yang rusak dan juga sudah dipenuhi peralatan-peralatan untuk budidaya mutiara seperti bekas-bekas keramba, bola-bola pengapung dan tali-tali.
Sayang ada banyak binatang kecil berwarna putih yang suka beterbangan banyak sekali yang sangat mengganggu tidur siang. Cukup lama juga kami disini, karena cuaca yang sangat terasa menyengat sehingga membuat kami memutuskan jalan setelah lepas jam dua siang.

Kesejukan Pantai Onanbalu
Sekitar jam dua siang, kami bersiap-siap berangkat. Berangkat ke arah mana? Nah itu dia, harus mencoba mengontak beberapa kali ke mas Eko untuk tahu jalur menuju pantai lain setelah dari Otan. Sebenarnya aku diarahkan untuk ke arah pantai yang katanya memiliki warna pasir pink yang berada di daerah Letbaun
Pantai Onanbalu, sayang di pantai ini terdapat satu tempat
yang banyak tumpukan sampah.
Tapi belum seberapa jauh berjalan kami merasakan haus yang cukup kuat. Bukan haus untuk minum karena kami masih punya persediaan tapi tiba-tiba kami menginginkan air dingin atau es membasahi tenggorokan kami. Sialnya lagi, beberapa toko yang kami temui di jalan tidak menjual air/minuman dingin. Karuan saja rasa haus yang kami rasakan makin kuat terasa. Air dari botol yang diminum pun tidak sanggup menghalau rasa haus ini.
Perjalanan terasa melambat karena rasa haus semakin menyengat padahal aku sendiri cuma duduk di belakang motor yang dikendarai. Untung kami menemukan sebuah daerah yang banyak ditumbuhi pepohonan asam dan beberapa pohon yang tinggi sehingga membuat suasana di sekitar pantai terasa sejuk. Kami berhenti sejenak disana dan menggelar kain jas hujan punya Augus untuk jadi alas. Aku sendiri nyaman tiduran tanpa kain terpal karena dibagian banyak banyak ditumbuhi tanaman perdu kecil (bukan rumput)yang biasanya tanda daerah itu cukup air. Dari penduduk yang sedang lewat, kami mendapat informasi kalau daerah ini namanya Onanbalu. Mereka juga menyarankan kami agar terus ke Selatan sampai mendapatkan pertigaan jalan besar untuk mendapatkan arah ke pantai Liman.

Pantai Uih Make, Sebuah Surga Lain
Diantara rasa haus yang mendera kami mendapatkan sebuah view yang tampaknya menarik terhalang pepohonan. Kami memutuskan berhenti untuk memastikan seperti apa tempatnya. Dan sungguh luar biasa saat kami melewati barisan pepohonan kami melihat sebuah pantai berpasir putih yang terjepit diantara batuan karang (lihat foto paling atas).
Keberadaan pantai Uih Make ini layaknya sebuah pantai yang tersembunyi. Kami harus turun diantara bebatuan yang berumput untuk sampai ke bawah. Ucil dan Imam yang paling bersemangat turun ke bawah, tentunya setelah acara narsis (entah siapa diantara empat orang ini yang paling narsis).
Mereka berdua yang masih kecil: Imam dan Ucil
Pantai ini masih bersih, nyaris tidak ada kotoran yang kami temukan. Letaknya yang tersembunyi di antara karang juga menjadi poin plus untuk bisa menjadi pantai yang tersembunyi. Warna-warna tosca air laut mendominasi, khas warna pantai-pantai di sini. Warna pasirnya juga putih dan halus. 
Beberapa saat, kami bermain di pantai ini dan melupakan rasa haus yang sebenarnya masih terus mengerogoti semangat kami. Untung pantai-pantai ini belum banyak tereksplore, setidaknya menghindarkan ekplorasi wisatawan-wisatawan yang cuma bisa menikmati tapi bisa menjaga. Itu pula yang kami tanamkan dalam kelompok kecil ini. Tidak membuat sampah yang kami buat, hal kecil yang jika dilakukan olah setiap wisatawan tentu akan membuat tempat-tempat wisata terjaga tidak kotor.
Selesai dari pantai Uih Make, mungkin sudah sekitar jam tiga lebih sehingga sekarang kami konsentrasi untuk menjangkau pantai Liman yang tidak kami ketahui persis jaraknya. Setiap orang yang kami ketahui selalu bilang masih jauh. Tapi seberapa jauh?
Dan apakah kami harus merindukan air dingin sementara kami makin ragu ada toko yang buka saat waktu makin sore. Keindahan yang kami temui sepanjang perjalanan di pulau Semau berlawanan dengan rasa haus yang makin menyiksa. Keindahan dan rasa haus kami sama maksimalnya.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 05 Agustus 2013

Pantai Nunhila dan Mercusuar Kupang

Pantai Nunhila senja hari
Beberapa hari ini ada acara Sail Komodo, tapi terus terang males nulis Sail Komodo. Terkesan banget itu pelaksanaan terburu-buru dan asal. Nanti aja lah kalau lagi gak bete nulis Sail Komodo itu juga gak janji daripada isinya jelek-jelekin acara Sail Komodo nanti malah dikira black campaign lagi.. (apa urusannya coba).

Nah dari pada cerita jelek, mending aku nulis tentang dua daerah yang aku datangin baru-baru ini, yaitu pantai Nunhila dan laut di depan Mercusuar Kupang. Bisa buat alternatif kalau lagi males jalan jauh dari kota Kupang.

Pantai Nunhila Kupang
Jangan dibayangin ini daerah yang memiliki garis pantai yang panjang ya. Pantai Nunhila itu kebanyakan dipenuhi karang-karang yang tinggi yang langsung berpapasan dengan laut. Nah di banyak kondisi itu, ada sebuah cekungan yang disamping kiri kanannya dipagari karang-karang terjal.

Pantai Nunhila, tampak di kejauhan deretan perahu layar peserta Sail Komodo
Awalnya aku melihat pantai ini dari atas pesawat waktu kembali dari Sumba. Dari atas pesawat tampah sebuah daerah putih sepotong di sisi pantai Namosain yang dibatasi karang-karang. Kalau karang sisi Timur pantai Namosain yang menjorok jauh ke laut itu aku tahu karena itu batas akhir kalau berjalan-jalan di pantai Namosain. Dari situ aku udah planning untuk liat daerah itu dari dekat. 

Foto pantai Nunhila dari mbah Google Earth
Awal pertama masih bingung-bingung gak nemu jalan, akhirnya gak sengaja ketemu pas lagi jalan-jalan lewat jalan kecil dari samping kuburan. Gak sengaja karena waktu itu cuma mau jalan-jalan ngabuburit sekalian buka puasa di pantai. Ternyata di ujung jalan kuburan ada belokan ke kanan ke arah perkampungan warga tepi pantai sampai nanti di ujung jalan menurun ke bawah ketemu pantai dengan warna pasir putih kekuningan. Tapi sayang waktu itu lagi pasang jadi pasir putihnya tinggal sedikit.

Pantai Nunhila pertama kali datang saat pasang
Baru perjalanan ketiga bisa dapet pas lagi surutnya. Secara umum pantai ini khas pantai daerah kawasan Timur Indonesia yang umumnya berpasir putih (gak putih-putih amat sih), dan warna airnya yang kehijauan menunjukkan kalau airnya masih bening. Karena pantainya miring ke arah barat laut cenderung utara, jadi kalau mau lihat sunset harus dari ujung cekungan. Atau kalau lebih gampang naik saja ke arah karang-karang yang menjorok ke laut. Tapi saranku jangan lupa memakai alas kaki karena karang di daerah itu lumayan tajam jadi kalau gak pakai alas kaki gak jamin kakinya selamat tanpa goresan. Di atas karang-karang banyak ditumbuhi tanaman lamtoro dan pohon-pohon pendek itu yang kebetulan sudah tampak kering.

Ada sebuah bangunan berbentuk lopo disisi salah satu karang yang sayangnya terpisah. Untuk ke tempat karang satunya harus turun lagi, gak bisa langsung dari bawah pantai.

Pada saat surut baru ketahuan kalau ternyata daerah pasir panjangnya juga tidak terlalu panjang, karena bagian yang menjorong ke laut juga berupa batuan karang yang berwarna lebih cerah dengan dasar sebagian berlumut. Namun lagi-lagi yang jadi gangguan mata adalah keberadaan sampah. Masalah klasik, dan di pantai ini di daerah pasirnya banyak sekali sampah kain dari baju-baju bekas entah dari mana.

Menurut informasi dari mas Eko di daerah ini masih banyak tumbuh terumbu karang yang belum rusak. Sepertinya lain kali aku harus mencoba mengeksplore pantai ini untuk mengetahui seberapa terjaganya terumbu karena di daerah ini.

Catatan di Google Earth, posisi pantai ini  10° 9'54.27"S dan 123°34'14.96"T silahkan digugling kalau mau tahu seperti apa penampakannya, siapa tahu di komputer kalian warna air lautnya lebih bening.

Laut di Mercusuar Kupang
Mercusuar ini terletak di sebelah Timur pantai Teddys, daerah kawasan kota lama yang dipisahkan dengan sungai. Sebenarnya kesini gak sengaja. Waktu itu aku dapat kabar kalau perahu-perahu peserta Sail Komodo mau flag off hari Minggu pagi itu. Karenanya abis Subuh aku ke pantai Teddys dan janjian sama temen ketemu disana. Sayang waktu kesana ternyata temen belum datang sehingga aku jalan dan moto sendiri. 

Para pemancing di Mercusuar (tampak perahu peserta Sail Komodo)
Suasananya pantai Teddys karena digunakan untuk peserta Sail Komodo terasa gak nyaman, umbul-umbul warna warni yang tersusun tidak rapi tampak mengganggu mata. Di sebelah kawasan tempat terbuka yang biasanya digunakan masyarakat untuk berjualan saat itu baru berdiri sebuah panggung terbuka yang katanya tiap malam ada acara malam budaya. Di seberang pantai Teddys yang berdiri sebuah mercusuar ada tiga fotografer sedang asyik memotret di atas bukit. Sambil menunggu acara, sempat ada insiden tutup lensaku terjauh ke air laut. Untung waktu itu airnya tidak dalam sehingga bisa aku ambil lagi. Tiba-tiba ada panggilan dari megaphone supaya yang punya kendaraan diparkir di tepi jalan disingkirkan karena mau digunakan parkir kendaraan plat merah penyelenggara event Sail Komodo.
Suasana pagi di Mercusuar Kupang
Karena memang sudah males, aku langsung ngeloyor keluar pantai dan mau mencoba ikut para fotografer ke daerah Mercusuar. Dari pertigaan langsung mengambil masuk jalan disamping sungai sampai ke ujung bangunan. Setelah parkir disitu aku masuk terus ke belakang sampai di bawah Mercusuar. Ternyata ada om Joni, mas Yanto dan Fahrul yang juga sama-sama sedang menunggu flag off perahu peserta Sail Komodo.


Daerah Mercusuar Kupang ini nyaris tidak memiliki pantai karena di balik bukit karang ini langsung terhampar air laut. Berbeda dengan pantai Teddys yang terkesan kurang bersih, air laut di sini tampak masih bersih (tentu saja, karena tidak ada yang turun mengotorinya).

Dari sini ternyata lebih nyaman untuk menikmati deretan perahu-perahu peserta Sail Komodo yang berjajar di sepanjang pantai. Cukup jauh dari Teddys yang menjadi tempat pendaratan karena pantai Teddys terlalu dangkal sementara perahu-perahu layar itu membutuhkan kedalaman tertentu untuk bisa merapat.
Beberapa pemancing juga sudah ada di pinggir-pinggir karang. Ada dua orang pemancing yang baru datang tapi sudah mendapatkan banyak ikan padahal peralatannya sederhana. Rupanya mereka menggunakan umpan hidup, yaitu ikan-ikan kecil yang masih hidup. Semua pemancing tumpuk di sini semua padahal di sebelah ada karang yang lebih landai yang tentu lebih enak buat mancing. Tapi siapa yang berani kesana, karena itu di belakang markas tentara (istilah orang Kupang menyebutnya 'Benteng'). Tak berapa lama rombongan pak Kris, sesepuh Fotografer Indonesia Regional NTT datang juga. Jadi sekarang ramai suasananya, tapi sayang justru momen yang ditunggu-tunggu berkembangnya layar para peserta Sail Komodo tak juga-juga terbentang. Padahal dari tadi sudah terdengar akhir acara seremoni juga pelepasan balon tanda pelepasan. Padahal dari informasi, acara seharusnya jam 6 pagi tapi ternyata peserta baru mulai merapat di atas jam tujuh (baru tahu bule ternyata hobi molor juga) dan idem, ternyata dari kementerian yang membuka acara Flag Off juga baru muncul belakangan. Ah budaya telat masih juga ada ya :D

Sambil menunggu, beberapa kami termasuk aku mencoba memotret obyek di sekitar Mercusuar termasuk juga para pemancing. Tapi tunggu punya tunggu ternyata tak juga ada perahu yang layarnya terkembang membuat kami akhirnya kecapaian sendiri dan memutuskan kembali. Mungkin sebagian mereka akan kembali lagi sore ini tapi tidak dengan aku. Rencananya sore nanti ada acara di Pantai Ketapang Satu bareng teman-teman Tapaleuk Ukur Kaki untuk acara bersih-bersih pantai. Tapi sayangnya acara itupun aku tak bisa datang karena mungkin kepanasan di Mercusuar sedangkan aku sedang puasa, sorenya kepalaku terasa sakit sehingga aku memilih tiduran menunggu waktu berbuka.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 14 Oktober 2012

Matahari di Paradiso

Suasana di pantai Paradiso saat air pasang
Melihat matahari terbenam di horison laut, kamu akan mendapatkan view ini dengan mudah di banyak tempat di Kupang karena sebagian pantai di Kupang memang menghadap sisi utara dan sisi barat. Dari pantai Lasiana yang merupakan pantai yang paling banyak dikunjungi masyarakat Kupang, walaupun lebih banyak orang berkunjung pagi sampai siang hari namun tempat ini merupakan pilihan yang asyik untuk melihat matahari terbenam. Pantai Nunsui, pantai Teddy's yang terletak di kawasan Kupang Lama, dan beberapa pantai lain termasuk pantai di kawasan Tenau, pantai Tablolong semuanya menawarkan view matahari yang tenggelam di horison barat.

Pagi di Pantai Paradiso
Tapi jika ingin melihat view pagi untuk melihat maka pantai Paradisolah tempatnya. Dari pantai ini bisa terlihat pantai Nunsui dan pantai Lasiana, dari balik sananya matahari pagi muncul langit pagi dan memendarkan kristal-kristal cahaya di riak air laut.

Aris yang menawarkan aku untuk sekali-kali hunting pagi di Kupang di pantai Paradiso. Sayang pada hari H yang sudah disepakati ternyata laut surut sehingga akhirnya aku dan temen-temen lain berpindah lokasi hunting.

Justru istrikulah yang menunjukkan lokasi pantai Paradiso. Jadilah waktu sore hari aku mengajak berburu foto dengan istriku ke pantai itu, dan ternyata lokasinya tidak jauh. Dengan mengambil jalan melewati perumahan Pasir Panjang dengan cepat tak lebih dari sepuluh menit aku sudah sampai di pantai Teluk Kupang. Dari kawasan Teluk Kupang yang sudah mulai kehabisan pantai karena telah dipenuhi cikal bangunan-bangunan gedung bertulang motor hanya membutuhkan beberapa menit untuk sampai di pertigaan setelah hotel (aku lupa namanya) dan masuk ke arah kanan. Sekitar setengah kilometer masuk ke dalam maka sampailah ke jalan menurun tajam menuju ke pantai Paradiso. 

Pantai Paradiso bukanlah pantai wisata namun hanya pantai biasa. Pantai Paradiso juga lebih banyak dipenuhi karang-karang. Sebuah pohon tunggal berdiri dengan bentuk meninggi menjadi salah satu penanda pantai Paradiso. Ombak di pantai ini tidak besar, cukup tenang malahan karena memang lokasi berada di bagian lekuk ke dalam Kupang. Itulah mengapa posisinya berseberangan dengan pantai Lasiana.

Kunjungan sore pertama di pantai Paradiso itulah yang membuat aku tahu bahwa pantai ini lebih tepat untuk dikunjungi pagi hari, walaupun tidak ada yang salah jika mengunjungi pantai ini di waktu sore.


Pantai yang dekat dengan kota Kupang ini bisa menjadi alternatif karena belum banyak yang mengunjungi pantai ini, tiga kali aku datang di pantai ini hanya menemui beberapa orang saja. Nelayan-nelayan yang baru pulang dari melaur, pasangan berpacaran, dan beberapa orang setempat yang datang sekedar bermain di pantai.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 29 September 2012

Pagi di Pantai Mali, Alor

Suasana pagi yang berawan di pantai Mali
Penerbangan ke Alor seperti sebuah perjalanan menengok sebuah tempat yang lama sekali pernah aku kunjungi. Kira-kira tahun 2008, sekitar empat tahun lalu aku pernah bertugas cukup lama juga kesini lebih dari tiga bulan. Istilah teman, sudah bisa membuat KTP di Alor hahaha...
Kabut pagi di perbukitan dari atas pesawat
Alor adalah sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang juga merupakan pulau sendiri.
Lima puluh menit penerbangan dengan sebuah pesawat propeler berlalu tak terasa karena selama perjalanan aku nyaris lebih banyak tidur. Enaknya penerbangan pagi adalah bisa menikmati perbukitan berwarna hijau kebiruan yang masih tertutup kabut-kabut tipis. Pemandangan itu tergambar jelas saat pesawat melintasi kawasan Alor Besar. Sayang kaca pesawat sudah tidak bersih, banyak coating yang terlepas sehingga kotor.
Pesawat turun di Bandara Mali, yang berada di sisi Timur bagian kepala pulau Alor. Perjalanan menuju ke Kalabahi pusat kota, mataku disambut dengan pemandangan pantai daerah Mali yang berpasir putih bersih dan air laut yang berwarna kehijauan. Rasanya ingin turun sebentar untuk menikmati view ini, tapi tentu saja hal itu tak mungkin bisa kulakukan karena aku hari ini berkejaran dengan waktu untuk ikut pembukaan acara diklat untuk seminggu ini. Untuk jalan dari Mali sampai Kalabahi sudah halus dan lebih lebar tidak seperti empat tahun lalu yang penuh dengan lubang, cukup parah kerusakannya untuk ukuran jalan negara. Selain dari jalan itu suasana lain nyaris tidak banyak berubah.
Laut Mali di siang hari, warna hijau bening laut berpadu biru langit
Kesempatan mengunjungi Mali datang pada hari besoknya pas giliran aku harus menjemput pimpinan kantor. Saat aku sampai di bandara ternyata pesawat masih belum tampak, aku mengusulkan ke Buna yang mengantarku untuk mampir sebentar ke pantai Mali yang berada di dekat Bandara. Di daerah yang jarang penerbangan, kedatangan pesawat mudah ditandai yaitu dari bunyi sirine panjang dari bandara, dari situ kita tahu bahwa menara telah mendapatkan kontak dari pesawat untuk pendaratan biasanya sekitar 15 menit sebelum pendaratan. Buna mengantarku ke sebuah area wisata yang baru dibangun yang dulunya dijadikan tempat wisata pantai Mali. 
Awan berarak yang terkena biasa cahaya pagi
Dinding beton talud pengaman pantai dibangun memanjang justru mengurangi area pasir yang langsung terhubung ke laut, sayang sekali. Yang juga sangat disayangkan juga adalah adanya beton-beton berbentuk kubus yang dipasang berderet sebagai pemecah ombak. Untuk pantai dengan view indah seperti ini akan jauh lebih baik seandainya beton pemecah ombak bukan berbentuk kubus tapi seperti kaki tiga kecil-kecil yang seperti dipakai di beberapa pantai. Setauku dengan pemecah jenis seperti itu lebih efektif karena bentuk kaki tiga ini jika dimasukkan ke dalam laut akan saling mengikat namun membuat rongga seperti halnya karang jadi ombak tidak dihadang langsung namun dikurangi kekuatannya. Jadi penahan gelombang sekaligus mempercantik view pantai bukan malah justru mengurangi keindahan pantai.
Kebetulan pula ternyata Aris Winahyu yang seorang landscaper (sebutan untuk penghobi foto yang lebih menyukai dan mendalami foto pemandangan alam) lagi ada di Kalabahi. Aris ini pernah bertugas di Alor jadi pasti banyak tahu tentang lokasi di Alor. Karena ternyata kita menginap di hotel yang sama sehingga kita sempat ketemuan, sehingga muncul ide untuk memotret pemandangan saat matahari terbit di Pantai Mali.
Hari Kamis pagi, aku dan Aris berangkat jam lima kurang beberapa menit dini hari dengan kendaraan yang berhasil aku pinjam. Penghuni hotel lainnya masih asyik tidur dibuai mimpi saat kendaraan yang aku kendarai keluar hotel. Jalanan juga masih tampak lenggang saat kendaraan membelah jalan Kalabahi ke Timur menuju ke pantai Mali.
Sebenarnya waktu kedatangan kami cukup tepat saat matahari masih dibawah ufuk, sayang di horison masih tertutupi awan yang tebal sehingga matahari tidak nampak sama sekali. Hanya warna kekuningan yang tampak di barisan awan tipis tinggi yang menunjukkan bahwa matahari sudah keluar, selebihnya langit lebih didominasi warna abu-abu.
Sebenarnya aku sempat berhenti di perkampungan Mali yang rencananya untuk memotret perahu. Walaupun tempatnya menarik, sayang saat itu arus air agak kuat sehingga perahu bergoyang-goyang tidak tepat untuk memotret di pagi hari. Akhirnya aku dan Aris sepakat memotret kembali ke lokasi semula aku pertama kesini.
Untung lokasi ini masih dalam wilayah pembangunan sehingga belum dibangun pembatas sehingga mudah bagiku masuk ke dalam area. 
Senja di pantai Kalabahi dekat dengan pelabuhan Pertamina
Saat itu laut sedang surut walaupun bukan puncak surut sehingga masih bisa turun di bawah talud penahan abrasi. Namun agak sayangnya matahari pagi tetap tidak mau menunjukkan diri sampai jam setengah tujuh, saat kami berdua harus mengemasi peralatan untuk kembali.
Sebenarnya ada lokasi yang menarik lain di Mali yaitu di bagian seberang bandara, tapi sepertinya harus dilakukan lain waktu karena saat ini pun waktuku terbatas.
Saat jam setengah tujuh aku kembali ke Kalabahi, kabut tipis tampak membayang. Aku jadi teringat sebuah lokasi yang pernah aku kunjungi pagi-pagi bersama Yanti, yaitu pantai Kadelang. Lokasinya tepat di belakang pasar Kadelang. Biasanya pagi begini ada aktivitas perahu-perahu yang datang membawa muatan dari Alor Besar karena memang lebih dekat ditempuh menggunakan perahu daripada jalur darat. Suasana pantai Kadelang dan aktivitas pasar serta kabut-kabut tipis yang membentuk siluet perbukitan menjadi view yang sangat menarik. Kadelang sendiri berada di ujung teluk yang merupakan bagian leher Alor.
Foto tahun 2008: suasana pagi di pantai Kadelang
Jika kuamati dari pesawat, ada satu tempat yang sepertinya menarik yaitu di bagian tanjung dari kepala pulau Alor, lokasi yang bisa aku kunjungi suatu saat nanti, juga tentang terumbu-terumbu karang di Alor yang telah menjadi destinasi favorit bagi para turis. 
Terima kasih buat Aris Winahyu yang telah mau mengajak hunting matahari pagi di pantai Mali, semoga jika ada kesempatan kita bisa hunting lagi. Paradiso masih menunggu janji lho dab hahahaha......
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya