Uffft! Aku menarik bahu ke belakang ikut merasakan ketegangan Yunus salah memperhitungkan liukan papan seluncurnya. Papan seluncurnya meliuk naik tepat saat gelombang lebih dahulu pecah membuat dia berikut papan seluncurnya terbanting dalam gulungan ombak. Hilang sesaat, dia tiba-tiba sudah muncul dipermukaan sambil menengok ke kanan kiri mencari papan seluncurnya.
Tak berapa lama kemudian keempat anak-anak ini kembali mendayung ke tengah laut. Tiap kali gelombang datang dan tidak terlalu besar mereka akan menyusup ke dalam gelombang untuk terus menuju ke tengah. Pada jarak yang tepat mereka akan menunggu ombak terbesar dan paling menantang datang. Saat ombak yang dinanti datang mereka telah menduduki papan seluncur masing-masing. Begitu gelombang menyeret papan seluncur mereka, segera mereka naik berdiri di atas papan seluncur dan membiarkan ombak mendorong mereka. Di situlah permainan papan seluncur dimulai. Sepertinya gampang waktu dilihat tapi percayalah, itu tidak semudah seperti saat kita melihatnya. Keseimbangan menjadi hal utama juga ketepatan mengambil momen saat meliukkan papan seluncur ke atas lekukan gelombang. Salah perhitungan, kejadian seperti tadi akan terulang.
Aku juga bisa merasakan sensasi keberhasilan saat Yunus meliuk ke dalam gulungan yang belum pecah dan berhasil tanpa terbanting. Sepertinya akulah yang melakukan liukan indah itu. Pecah rekor, itulah liukan paling indah diantara mereka berempat. Ya, mereka berempat adalah anak-anak kampung yang sudah mahir bermain papan seluncur (istilahnya surfing). Mereka termasuk generasi-generasi dari penduduk pesisir barat pulau Rote yang sudah mulai mengenal olahraga yang benar-benar memicu adrenalin ini. Memang sekarang ini mereka masih belajar meliukkan papan di atas ombak yang tak terlalu besar, tapi nanti mereka pasti akan menjadi salah satu jagoan di atas papan seluncur menghadapi ombak pantai Bo'a dan Nemberala yang terkenal tinggi dan berlapis. Keren melihat anak-anak ini menenteng papan seluncur menuju ombak yang untuk berenang saja membuat kita merinding.
Sebagian orang yang pernah mendengar tentang Rote pasti lebih kenal dengan Nemberala. Desa Nemberala ini memang tersohor di kalangan bule pecinta surfing. Di desa ini, banyak dengan mudah ditemui rumah-rumah tinggal yang dihuni bule baik yang cuma tinggal untuk beberapa waktu atau yang benar-benar ingin tinggal di sini selamanya. Desa dengan deretan nyiur dan pasir putih yang aduhai ini memang telah menjadi setengah kampung bule, tidak heran jika berjalan-jalan ke sana sering ketemu anak-anak bule atau yang udah blasteran. Dengan lokasi yang menghadap matahari tenggelam, jelas Nemberala menjadi tempat ideal untuk menikmati semua keindahan itu. Cerita pantai Nemberala bisa kalian baca di: Nemberala, We Call it Beach.
Tapi, jika kalian mengira Nemberala juga tempat ombak yang terkenal besar untuk surfing itu kurang tepat. Memang Nemberala juga memiliki ombak yang besar yang menjadi tujuan utama para surfer, namun bukanlah pemilik ombak terbesar. Pantai apa yang sebenarnya memiliki gulungan ombak fenomenal itu? Itu adalah pantai Bo'a. Ya, pantai Bo'a terletak di sebelah pantai Nemberalalah yang sebenarnya memiliki ombak terbesar untuk selancar. Pantai Bo'a inilah yang pernah dijadikan ajang untuk lomba selancar tingkat internasional di Rote Ndao beberapa tahun lalu. Pantai ini menghadap barat daya, jadi sedikit lebih serong ke Selatan dibanding pantai Nemberala. Belum banyak bangunan di tempat ini dibandingkan di desa Nemberala karena memang lokasi ini lebih gersang dan lebih berkarang.
Namun saat ini sudah mulai bermunculan bangunan-bangunan baru di sekeliling pantai Bo'a. Bahkan di tanah yang sekarang masih dimiliki Pemerintah Kabupaten Rote Ndao telah dikerjasamakan dengan swasta untuk dibangun vila dan hotel kelas internasional. Tanah milik pemerintah seluas 60ribuan meter persegi ini denger-denger mau dikelola oleh bule lewat perusahaannya cucunya Soeharto (mantan presiden Indonesia).
Di sebelah kanan yang tertutup pepohonan dan bukit karang kecil juga berdiri bangunan yang kata-katanya milik salah satu artis Indonesia namanya LM (kalau gak salah denger). Pantai disana asyik karena seperti pantai pribadi yang dijepit bukit karang di sisi kiri dan kanannya. Wih sepertinya asyik kalau bisa melihat LM berjemur di pantai ini #keplakpakebikini
Sedangkan di sebelah kiri yang nyaris dipenuhi karang-karang terjal berdiri bangunan yang katanya dimiliki oleh keluarga bule. Widih, kalau orang pribumi menghindari bangunan di karang-karang justru lokasi seperti ini menjadi tempat favorit para bule. Pertama tentu saja rumah itu menjadi lokasi yang tepat untuk menikmati pantai dan senja tanpa terganggu bangunan lain. Yang kedua ini nih yang aku juga baru tahu, ternyata dibalik karang-karang ini terdapat pantai yang terjepit karang di kiri kanannya. Jadi dengan memiliki rumah di situ, dengan sendirinya mereka memiliki akses pantai yang layaknya pantai pribadi. Keren kan, guys... Aku saja baru bisa menjangkau tempat ini setelah air laut surut jauh.
Pantai ini tergolong pantai yang masih sepi, itulah kenapa pada saat-saat tertentu kawanan burung laut suka berkumpul di pantainya. Entah jika nanti pantai ini mulai berkembang, apakah burung-burung itu tetap akan datang seperti biasanya. Pantai Ndana tampak di kejauhan, membuatku bertanya apakah di sana memiliki view yang sama indah atau justru lebih indah daripada pantai Bo'a.
Baca keseluruhan artikel...
Tampilkan postingan dengan label senja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label senja. Tampilkan semua postingan
Jumat, 03 Juni 2016
Senin, 21 Maret 2016
Ups.. Ternyata Ada Pasir Putih di Borong
Rela pingsan menikmati ademnya pasir putih di pantai Liang Bala |
Tampak pasir putih pantai Liang Bala dari puncak |
Suasana tebing gua dari ujung lain gua |
Ikhwal aku sampai ke pantai ini saat gak sengaja liat foto-foto pantai yang dipasang di salah satu restoran saat kita sedang makan siang. Di situ ketemu mas Eko - pinisepuhnya Tapaleuk Ukur Kaki #sungkem - yang kesasar sampai ke Borong. Dapat info dari teman-teman pemda yang sudah ke sana lebih dahulu kalau lokasi pantai itu ternyata dekat yaitu di balik bukit di pantai Watu Ipu. Waktu ngobrol siang itu juga belum kepikiran ke sana karena informasinya lokasinya masih susah dilewati. Mungkin kurang doa kali.
View dari dalam gua pertama di pantai Liang Bala |
Salah satu cekungan air di gua Liang Bala |
Lokasi yang cocok untuk memotret slowspeed |
Kolam-kolam di sekitar gua, banyak ikan kecil terjebak |
Awalnya aku mengajak Trysu ke atas bukit untuk menunjukkan view gua dari atas bukit. Saat berada di atas justru aku dikiranya mau ke gua yang lain jadi mereka memandu kami arah menuju gua lain. Wah memang rejeki, akhirnya malah tau cara menuju ke gua lainnya dan itu tidak perlu harus menunggu laur surut. Tapi masalahnya berganti. Dari atas bukit ini untuk turun ke bawah yang harus hati-hati. Turun pertama harus melewati kayu yang dibuat penduduk untuk turun ke bawah. Setelah beberapa meter menyisir pinggir tebing barulah kita harus kembali agak merangkak menyusuri tebing untuk sampai di bawah gua. Kondisi di sini kita harus hati-hati karena tipe batu di tebing bukan tipe karang tapi jenis batu cadas campur karang. Artinya tidak semua batu aman untuk dijadikan pegangan.
Senja dari atas tebing pantai Liang Bala |
Perjalanan pulang aku dan Trysu sempat menyusuri lewat pingir pantai yang ternyata capek karena harus loncat dari satu batu ke batu lain. Ternyata waktu naik ke atas ada jalan setapak yang hanyak cukup satu badan. Walau kecil saja tapi jalan ini rupanya jalan yang paling cepat bila mau ke Liang Bala dengan jalan kaki. Motor tidak bisa melewati jalan ini ya karena di beberapa titik kita tetap harus melewati batu-batu besar. Gobloknya, dengan jalan kaki sejauh itu kira malah hanya membawa satu botol air putih ukuran kecil. Keruan saja kita pulang jadi setengah mati gara-gara kehausan di sepanjang jalan. Udah gitu warung yang biasa buka di pinggir dermaga entah kenapa juga tidak jualan hari ini. Baca keseluruhan artikel...
Senin, 28 Desember 2015
Akhirnya Sampai ke Lembata
Anak-anak belajar menjaring ikan-ikan kecil di kampung nelayan Kuburan Cina |
Rumah di pinggir pantai kampung nelayan |
Jadi dari aku ngebet pengen liat para pemburu ikan paus sampai sumpah balik gak mau lihat atraksi perburuan ikan paus, tetep aja gak ada tiket gratis ke Lembata.
Tapi akhirnya Tuhan berbaik hati juga, kasihan juga ngeliat aku termenung sendiri, galau, sedih, bimbang, dan terpingkal-pingkal gara-gara gak ke Lembata akhirnya aku dikasih tugas ke Lembata. Kenapa gak cari tiket sendiri ke sana? Wah, kalau bisa gratis kenapa harus bayar kan. Sudah terlalu banyak yang harus kita bayar di dunia ini, jadi kalau ada yang gratis janganlah engkau sia-siakan sahabatku yang super #mariogalau. Yah walau cuma tiga hari, setidaknya tiga hari sudah cukup untuk mengakui bahwa Lembata sudah aku injak. Cuma mukamu saja yang belum aku injak-injak.
Tapi jangan tanya, gimana rasanya melihat perburuan ikan paus? Itu sungguh konyol, aku itu kesini bukan mau melihat ikan paus diburu terus jadi tontonan penuh decak kagum wal histeris. Perburuan ikan paus atau ikan lumba-lumba atau ikan apalah di Lembata sudah aku hapus dari daftar hal-hal yang ingin aku lihat di sana. Ada alasan yang aku gak ingin bagi disini walaupun sebagian kalian pasti bisa menebaknya. Curiga yang baca ada yang profesi tukang ramal.
Bukit Cinta
Entah siapa yang memberi nama semesum itu. Aku bahkan berpikir jangan-jangan di sana aku akan menemukan celana dalam atau beha yang tertinggal di semak-semak begitu. Tapi tidak, bukit cinta ternyata bukanlah bukit orang bercinta atau bukit yang jika melihatnya orang jadi pengen bercinta.. bukan... bukan begitu sayang. Jadi ceritanya, bukit cinta itu berasal dari legenda. Legenda itu.. ah sudahlah aku ceritakan saja nanti kalau udah dikasih bocoran.
Suasana senja di bukit Cinta |
Bukit cinta bahasa kerennya bukit padang savana, letaknya ini persis berhadapan dengan pulau Adonara. Kalo padang savana biasanya paling keren itu setelah musim hujan masuk jadi mulai Januari. Kalau pas bulan aku datang begini ya gitu deh, padangnya lebih banyak sudah dibakar warga. Jadi bukit-bukitnya yang separo masih ada yang warna coklat, sebagiannya udah item kebakar.
Bukit cinta lengkap dengan penampakannya |
Juga lagi dibangun satu penanda di dekat pintu masuk yang belum selesai juga tertulis huruf kapital L O V E. Nah lho, ini namanya bukit Cinta atau bukit Love??? Wah gak jelas banget nih. Ini mungkin maunya biar kelihatan keren ya namanya tempat ya tulis aja namanya aja gak usah pakai ke-ingrisingris-an gitu. You underrock man!!
Saran terbaik kalau kalian ke tempat ini ambil waktu sore di bulan-bulan yang rumputnya lagi subur atau pas rumputnya lagi menguning. Berarti waktu yang tepat antara bulan Januari sampai dengan pertengahan Agustus, itu juga kalau warga lagi gak kumat bakar-bakar padangnya lho ya. Ada satu lagi, dalam perjalanan ke bukit cinta itu ada beberapa spot pantai yang layak dikunjungi juga kalau gak salah namanya pantai Waijarang.
Aku gak sempet eksplore tempat ini, hal biasanya aku lakuin kalau ke tempat yang baru. Padahal dari bukit cinta tampak dua bukit kecil di bagian bawah yang berbatasan dengan laut dan keliatannya menarik buat dieksplore.
Maklum karena kesini gak sendirian alias bareng cewe-cewe berapa biji gitu lupa gak ngitung lagi. Jagain anak orang gini nih yang bikin orang, kalau hilang terus orang tuanya minta tanggung jawab gimana coba? Kalau cuma jawab doang asal gak tanggung sih bisa.
Kampung Nelayan Kuburan Cina
Lokasi ini awalnya informasi dari temen yang sebelumnya udah kesini. Awalnya dari hotel yang kami tempati jika melihat ke belakang hotel tampak sebuah pulau pasir putih. Kata temen yang pernah ke sana, pulau itu cuma muncul saat surut aja.
Penasaran aja sama yang suka muncul hilang gitu, mirip-mirip kayak hantu. Gak jauh dari hotel sih lokasinya jadi aku sama temen-temen sengaja agak sore-an biar matahari gak terlalu panas. Bulan November ini memang di NTT memang lagi gila-gilanya panas. Kayaknya matahari memang kayaknya lagi dideketin sama yang Diatas beberapa centi. Mau tabis surya dari SPF10 sampai SPG juga gak mempan buat halangin panasnya. Makanya kalau jalan bareng gini enaknya sore karena.. apalagi kalau bukan karena cewe-cewe yang umumnya phobia sama matahari.
Nah, buat ke pulau pasir putih yang nongol itu kita harus naik perahu dari kampung Kuburan Cina. Gak tau sih namanya yang bener, tapi anak-anak yang aku tanyain bilangnya begitu. Kampung Kuburan Cina ini merupakan perkampungan nelayan, asalnya mereka sih macem-macem, ada yang dari Bugis, dari kampung Adonara, sebagian juga masyarakat Lamalera sendiri.
Asik melihat anak-anak belajar menjaring |
Tempatnya sih jorok, banyak sampah seperti biasa dengan warna pasir hitam. Tapi suasana kampung dan perilaku anak-anak yang sedang mencari ikan yang terjebak di darat asik buat diperhatikan.
Sempat diajari sama bapak-bapak dan anaknya cara mencari kerang. Ternyata kerang itu gak langsung keliatan ya, harus dikorek-korek dulu. Lumayan hasil belajar dapat sekitar lima biji kerang. Bapak itu bilang kalau yang di pulau depan itu yang banyak kerangnya. Ah satu alasan lagi ke pulau itu, buat cari kerang. Berarti kalau kesini lagi musti bawa kompor biar bisa langsung masak kerang.
Dari senja mulai gelap, dari kejauhan aku bisa melihat temen-temenku baru sampai ke pulau pasir. Ah benar saja dugaanku, waktunya gak cukup untuk dapat menikmati sunset dari pulau itu.
Pas coba nunggu mereka balik di situ mulai gak enaknya. Ternyata air yang naik kental sekali bau solar, padahal waktu surut aku gak mencium bau solar seperti ini. Baca keseluruhan artikel...
Senin, 16 November 2015
Kopi dan Senja: Pantai Walakiri
Bermain kerjar-kejaran di Pantai Walakiri |
Suasana menjelang senja di pantai Walakiri |
Asyik bermain di pantai Walakiri |
Akhirnya sekitar jam empat, aku dan Trysu sampai di tempat ini. Lho kok akhirnya trus permulaannya gimana nih. Harus cerita permulaannya gitu ya, gak boleh langsung akhirnya gitu? Bete ah cerita pakai permulaan segala, terlalu mainstream. Permulaannya sama saja kok: dari ketiadaan dan kegelapan pekat lalu buumm!!! terjadi bigbang yang menciptakan jagat dan segala isinya. Halah...
Pohon bakau di pantai Walakiri senja hari |
Begitu melewati pepohonan kelapa, barulah tampak pemandangan pasir putih memanjang. Karena sekarang baru surut, pasir putih tampak lebih jauh ke tengah, dan menariknya pasir putih ini tidak berbentuk rata memanjang sepanjang pantai. Ada beberapa titik yang pasir putihnya menjorok ke arah laut. Lekukan-lekukan pasir itu lah yang menjadi tempat bermain banyak orang. Pantai ini rupanya dangkalnya jauh sehingga di sepanjang pantai, air yang tampak berwarna biru cerah kadang kehijauan.
Pasir putih berlekuk-lekuk yang khas di pantai Walakiri |
Coba jalan-jalan ke arah Timur eh nemu bule cewe sedang berjemur.. sendirian lagi. Eh bukan sendirian ding tapi ada temennya. Gak usah dibahas bule berjemur ah, pakaian dijemur aja juga gak pernah dibahas kok kecuali nanti kalau dijemur musim hujan. Mulai sore mulai tuh pengunjung pada menghilang. Nah itu bedanya kita sama pengunjung umum, justru sore itu yang ditunggu. Sialnya pas saat balik ke tempat semula ternyata cuma pengunjungnya yang balik tapi sampahnya ditinggal. Bukannya di tinggal di tempat sampah tapi di sekitar pantai. Pasti mereka lapar makanya gak fokus jadi lupa tempat sampah. Atau jangan-jangan mereka amnesia sesaat, entahlah.. yang pasti aku dan Trysu akhirnya melakukan kerja bakti sebentar buat bersih-bersih pantai.
Pepohonan bakau saat senja |
Sempet disapa cewe yang kayaknya guide dari rombongan yang masih tersisa. Katanya sebagian rombongan sudah balik tinggal beberapa orang yang masih tinggal. Orangnya ramah dan asyik, sayang aku lupa nanya namanya. Kebiasaan nih, aku gampang banget ngobrol asyik sama orang yang sama sekali baru tapi sering gak nanya hal-hal simpel kaya nama.
Tak lama tuh cewe sempet ikut ke arahku sama ngajak gang-nya, yang ternyata para mak-mak... hahaha bukan mak-mak pake sirih pinang lho, lebih tepatnya cik-cik yang udah mateng.. sebagian mateng pas petik pohon sebagian kematengan dah udah jatuh di pohon hihihihi... Kalau aku sibuk moto pohon bakau berlatar sunset, kalau cewe itu sibuk moto mak-mak pengganti pohon bakau berlatar sunset.
Kalau kira-kira aku ikut foto bareng mereka, kira-kira kayak brondong lagi dijepit tante-tante gak ya? Udah gak usah dipikirin, aku sendiri males mikirin kok.
Langit mulai gelap, jadi aku dan Trysu mulai deh gelar dagangan nyiapin kompor dan sejenisnya buat masak air. Segelas kopi dan senja.. dan semangkuk mie rebus, oooo... hidup menyenangkan itu simpel kok ternyata. Apalagi tinggal kita berdua, selaksa pantai ini milik pribadi. Pikiran mesum? Gak lah, Trysu itu jelas mahluk cowo kategori asli tanpa campuran.. najis berpikiran mesum sama cowo hueeekk...
Galaksi bimasakti di pantai Walakiri |
Oh iya lupa.. Pantai Walakiri itu terletak di Sumba Timur ya, kira-kira 26km dari kota Waingapu. Arahnya ikuti aja jalan menuju ke Bandara, nanti sampai di sana tinggal beli tiket pulang.. bukan ding, ambil jalan samping bandara ikut terus ke arah timur, itu arahnya sama dengan jalan menuju pantai Watu Parunu. Kalau pakai motor kayak aku paling setengah jam udah nyampai, tapi nanti jalan udah full bagus semua sekitar dua puluh menit juga udah bisa nyampai kok. Patokannya setelah melewati tiga jembatan nanti akan ketemu bangunan sekolah, belok ke arah kiri ya. Cuma kalau ketemu sekolah jangan sok yakin langsung belok kiri takutnya itu sawah nanti malah masuk ke parit. Jangan lupa tanya penduduk untuk memastikan kalau mereka itu penduduk bukan hantu, eh bukan tanya lokasinya... Baca keseluruhan artikel...
Sabtu, 31 Oktober 2015
Kopi Senja: Pantai Puru Kambera
Bubu, alat untuk menjebak ikan laut di pantai Puru Kambera |
Bebatuan berlumut di pantai Puru Kambera |
Aku pertama kali kesini sudah beberapa tahun yang lalu, mungkin tiga atau empat tahun yang lalu. Waktu itu gak tau sama sekali cuma tanya ke tukang ojek, di mana ada lokasi wisata pantai di dekat sini. Dan dengan ongkos 100ribu untuk nganter bolak-balik, aku dibawa tukang ojek ke tempat ini. Sendiri ke tempat ini pas kebetulan surut sama seperti saat aku kesini baru-baru ini. Dan waktu itu sempet ketemu sama rombongan dokter-dokter yang lagi kerja PTT atau cuma co-ass entah aku lupa, seingetku tiga cowo dan dua cewe...atau... dua cowo tiga cewe ya (satu cowo kaya cewe hihihi)
Galaksi dari pantai Puru Kambera |
Menjelang senja dari perbukitan Puru Kambera |
Rerumputan di perbukitan kala puncak musim panas |
Menghalau kuda pulang di pantai Puru Kambera |
Berada di pantai dekat perbukitan memang lautnya lebih menarik, terutama karena saat surut bebatuan yang berlumut tidak sebanyak dibanding yang berada dekat hotel. Dan yang pasti lebih tenang karena kemungkinan jarang yang mendatangi Puru Kambera dari sisi sini. Aku dan Trysu berjalan ke Timur karena semakin mendekati perbukitan semakin tenang. Tetapi sayangnya aku lupa, saat mulai gelap justru angin yang terasa makin kuat. Kemungkinan karena angin dari perbukitan yang bertiup kebawah tidak terhalang. Dari pengalaman itu, aku akhirnya tahu untuk menghindari berada di pantai yang dekat dekat perbukitan karena justru anginnya terasa lebih kencang saat malam. Memasak air yang biasanya tak sampai 10 menit sudah mendidih, sekarang hampir 20 menit baru mendidih padahal aku sudah taruh kompor di dalam barang pohon Cemara yang kebetulan berlubang di bagian bawahnya.
Entah kapan pantai ini masih bisa dinikmati gratis. Para pemilik tanah-tanah yang berpagar batu itu sepertinya adalah sebuah grup/perusahaan. Jika mereka telah membangun, kemungkinan besar mereka akan membatasi akses pengunjung ke lokasi mereka. Sekarang saja melihat pagar-pagar batu itu kita sudah serasa dibatasi, apalagi nanti jika bangunan-bangunan hotel dan sebagainya berdiri di atasnya. Baca keseluruhan artikel...
Kamis, 08 Oktober 2015
Watu Parunu: di Ujung Timur Sumba
Menyapa senja dari ujung timur selatan pulau Sumba - Pantai Watu Parunu |
Tanaman laut untuk dijual yang dikumpulkan masyarakat |
Dari semua informasi itu, aku sebenarnya tertarik dengan pantai Tarimbang dan danau Laputi, sayangnya kedua tempat ini sepertinya belum bisa aku datangi saat ini. Menurut mereka, jalan menuju ke Tarimbang sedang dalam perbaikan. Posisi terakhir, baru saja dipasangi batu telford, jadi kondisi bebatuannya masih mudah lepas. Mereka menyarankan menggunakan mobil dobel gardan kalau tetap mau kesana, padahal aku berencana kemana-mana dengan motor saja.
Untung satu hari sebelum Ayu selesai penugasan, dia berhasil aku kompori untuk cari pinjaman kendaraan. Walhasil setelah selesai solat Jum'at, sebuah mobil putih sudah tersedia di depan hotel. Berempat: aku, Trysu, Ayu dan Intan, setelah diskusi akhirnya kami putuskan untuk mengunjungi pantai Watu Parunu. Walaupun dari informasi pantai ini terletak cukup jauh (sekitar 135 km) namun jalur jalan menuju ke pantai itu cukup bagus.
Kami mulai jalan jam dua siang lewat. Perjalanan cukup mulus apalagi kondisi jalan yang cukup lebar (banyak ruas jalan yang luasnya sudah standar jalan negara). Kendaraan terus melaju menyisir sisi utara dan berlanjut ke sisi timur pulau Sumba sampai ke daerah Melolo. Mulai dari sana kami harus sering bertanya ke masyarakat karena lagi-lagi papan informasi jalan yang mulai minim. Tidak semua pertigaan jelas mengarah kemana, apalagi ditambah jawaban penduduk yang selalu bilang "masih jauh".. Lha dekat sajaa kadang-kadang masih jauh setelah dijalani apalagi ini dibilang masih jauh. Sampai warna kuning membayang di langit yang artinya jam sudah menunjukkan jam lima lewat tetap saja tak ada kepastian apakah pantai Watu Parunu dapat kami jangkau sebelum malam. Ada wajah-wajah yang mulai putus asa membayangkan bahwa perjalanan ini akan sia-sia.
Kondisi dalam lubang batu |
Akhirnya setelah kami kehabisan wajah memelas kami, pantai Watu Parunu menyambut kami. Kalau bisa kugambarkan, mungkin pantai ini wajahnya tertawa terkekeh-kekeh melihat raut bodoh kami yang berangkat terlalu sore. Seharusnya memang kami sedari jam satu siang sudah jalan duluan.
Pantai Watu Parunu ini begitu khas, di ujung pantai terdapat bukit batu menjulang dengan gurat-gurat unik batuan yang sepertinya terukir oleh laut. Dibagian bukit menjulang itulah ada batu-batu yang membentuk lubang. Sayang matahari sudah hilang di balik bukit di belakang pantai. Seharusnya kalau ingin melihat matahari di cakrawala, waktu yang paling tepat adalah pagi hari. Itu yang sebenarnya kurencanakan makanya aku dari awal sudah membawa sleeping bag, demikian juga Trysu. Mungkin lain kali aku harus menginap di sini, apalagi aku mendapat informasi bahwa sebelum dan sesudah lokasi ini masih banyak tempat bagus yang bisa dikunjungi seperti Pantai Kalala, ada juga pantai Katundu dan pantai Waihungu yang bisa dijangkau selepas pantai Watu Parunu.
Yang menjengkelkan adalah adanya rombongan anak-anak muda yang menggunakan motor dan langsung membawa motornya ke pasir sampai ke ujung batu bolong itu. Mereka pikir cara itu keren (kecuali kalau motor mereka jatuh mungkin baru gak keren), padahal seharusnya mereka memarkirkan kendaraan mereka di pinggir pantai. Yang pasti aku juga ikut kesulitan untuk memotret supaya motor-motor tak punya etika ini tidak masuk dalam frame. Tapi mungkin berbeda dengan mereka, berpose dengan motor persis di depan batu bolong akan memperlihatkan eksistensi mereka, apalagi ujung-ujungnya motor-motor itu digunakan untuk ber-selfie ria. Jiwa muda, kadang-kadang memang lebih dipenuhi emosi menunjukkan diri, sekarang saat jamannya medsos dan travelling mereka menjadi saling pongah menunjukkan diri. Katanya setelah sampai: yang penting selfie atau goupie dulu.
Belum dikelola, memang begitulah pantai ini, walaupun menurutku pantai ini bisa dikembangkan dengan potensinya yang ada. Mungkin lagi-lagi masalah jarak yang cukup jauh dari pusat kota Waingapu yang menjadikan pantai ini belum dikelola.
Masalah lain adalah tidak adanya warung makan ataupun penjual makanan dari masyarakat lokal jadi mutlak jika melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti ini siapkan bekal sendiri yang mencukupi. Kelaparan di tempat ini gak keren banget. Untung masalah satu ini sudah aku antisipasi. Menjelang malam, kami beristirahat sebentar di bawah pepohonan sambil memasak makanan. Tentu saja ritual ngopi senja tidak akan aku lewatkan. Ritual minum kopi panas sambil menikmati langit yang menarikan warna kuning, merah, biru, kamu akan merasakan suasana yang tidak ada harganya.. "Coffee and sunset is like love and passion"
Batu-batu bukit kala surut |
Btw, aku udah usulkan sama Kepala Dinas Pariwisata supaya wilayah Sumba Timur ini cepat dikenal coba jangan cuma terpatok pada media-media resmi untuk beriklan. Aku mengusulkan untuk menggunakan kekuatan viral dari para blogger, travelblogger, photoblogger. Coba sekali-kali membuat acara yang mengundang para blogger dan sejenisnya ini ke Sumba Timur dan difasilitasi untuk melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi yang aje gile cakepnya ini. Mereka ini punya kekuatan bercerita yang ampuh terutama kekuatan viral dari cerita-cerita mereka melalui medsos. Moga-moga usulku ini diterima supaya kalian-kalian bisa menunjukkan taji kekuatan para blogger dalam beriklan tidak langsung dari cerita-cerita kalian. Suer, aku gak bilang kok kalau kalian itu gak usah dikasi fasilitas mewah asal dibayari tiket sama tiker buat bobo aman... Suer aku gak ngomong gitu, tapi kalau keterlepasan omong begitu sih mungkin aja..... Baca keseluruhan artikel...
Kamis, 24 September 2015
Senja di Tanjung Batu Putih
Senja dari bukit Tanjung Batu Putih |
View bukit dari Pantai Tanjung Batu Putih |
Pantai berkarang dengan warna pasir keabuan menyambut kami. Pantai ini terletak persis di samping muara yang kering. Ada anak-anak cewek beberapa orang yang sedang berwisata ke tempat ini. Jumlah, siapa mereka pasti akan akurat di jawab sama temenku Eddy yang paling sigap kalau urusan beginian, walaupun secara umur itu cewek-cewek seumuran anaknya dia (mungkin). Di sebelah kanan sebelah muara tampak bukit menjulang dengan dinding berwarna putih. Mungkin itulah tempat yang menyebabkan tempat ini disebut dengan Tanjung Batu Putih.
Lagi asyik menikmati view dari pantai, tahu-tahu aku lihat mas Fahrul udah naik aja ke atas bukit. Karuan saja kita, aku, mas Joni dan Erwin menyusul mas Fahrul ke atas bukit. Dan bisa di duga, di setiap lokasi yang dirasa tepat, pasti Erwin akan melakukan selfie. Emang urusan selfie tidak ada yang mengalahkan mahluk satu ini. Untuk naik ke bukit ini ternyata harus melewati pagar kawat berduri yang mungkin dibangun oleh pemilik tanah ini. Untuknya ada titik lokasi jalan yang bisa dilewati dengan merunduk. Eddy dan temannya aku tinggalkan yang sedang asyik melakukan pemotretan dengan mahluk-mahluk betina itu.
Bukit ini tidak terlalu tinggi mungkin hanya sekitar sepuluh meteran namun bagian yang menghadap laut berupa dinding tegak curam berwarna putih. Di bagian atas bukit terdapat tanah yang cukup datar, beberapa pohon tampak tumbuh persis di pinggir jurang menjadi lokasi eksotis untuk melihat matahari terbenam.
Di sinilah terjadi diskusi dengan kami, apakah kami akan membagikan lokasi ini atau tidak. Kami menganggap, semakin banyak yang tahu ini makin tidak bagus karena akan semakin banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hanya bisa berwisata tapi tidak bisa menahan tangan-tangan jahil mereka dari membuang sampah sembarangan atau mencoret-coret seenaknya. Nyatanya walau belum dishare di media sosial, aku melihat pepohonan sudah dipenuhi dengan coretan-coretan yang dipahat langsung ke batang pohon dengan pisau. Mereka yang hanya membagi-bagikan foto mungkin bisa tidak membagikan lokasi tempat ini dengan jelas namun tentu sulit bagiku untukku yang biasanya aku tuliskan. Akhirnya aku menuliskan nama lokasi ini dengan nama Tanjung Batu Putih, bukan nama umum yang dikenal masyarakat. Jika kalian menyebut nama tempat itu dengan nama di atas yakin tidak banyak yang bisa membantu memberitahu lokasinya. Tapi kalau kalian berminat ke lokasi ini bisa menanyakanku secara pribadi ancar-ancar lokasi dan nama yang familiar oleh masyarakat.
Nenda di atas bukit Tanjung Batu Putih |
Setelah tenda terpasang, aku harus mendengar anakku terkecil berteriak minta makan mie tujuh. Mie tujuh itu istilah dia untuk menyebut mie sedap goreng original. Mie ini yang lekat dengan lidah anakku, dan dia tidak akan mau makan mie lain selain mie tadi. Jam lima lebih tenda terpasang ternyata hanya bertahan sampai jam tujuh saja.. hahaha.. nenda apaan ya cuma 2 jam doang. Tapi akhirnya aku mengalah membereskan tenda karena kupikir ini adalah pertama mereka nenda jadi aku tidak terlalu mau memaksakan diri. Mungkin lain waktu aku akan mengajak mereka untuk nenda lebih lama. Baca keseluruhan artikel...
Langganan:
Postingan (Atom)