Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label perbukitan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perbukitan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 September 2016

Matahari Pagi dari Puncak Sikunir

Puluhan orang berjubel menunggu matahari terbit
Seperti pertaruhan menunggu matahari apakah akan terbit atau tertutup awan di puncak Sikunir hari ini. Sementara jam sudah menunjukkan jam enam lewat sepuluh menit, namun matahari tak kunjung muncul dari balik kabut yang justru makin tebal.Kemarin memang hampir seharian lebih sering gerimis dan hujan, hanya beberapa jam saja matahari muncul itu pun saat telah siang hari. Wajar saja jika aku masih diselumuti keraguan akan cuaca hari ini. Tapi keraguan itu langsung terpatahkan saat cahaya kuning memerah yang muncul diantara kabut benar-benar berubah menjadi bulatan kuning terang di balik selimut kabut.

Seakan berlomba, serangkaian bunyi tombol kamera saling bersahutan berlomba mengabadikan matahari pertama pagi ini. Beberapa cahaya blitz dari belakang tampak menyala. Itu masih ditingkahi dengan suara-suara 'centil' yang berteriak minta segera difoto. 

Dengan bertonggak batang bambu sebagai pengganti tripod, pengambilan foto dari puncak Sikunir pagi ini jadi agak merepotkan. Aku harus berjongkok setengah memiringkan kepala untuk menjangkau lubang bidik. Tak ada cara untuk mengatur ketinggian bambu sebagaimana jika aku menggunakan tripod.Untung posisiku dari awal sudah berada di pinggir tebing sehingga tidak mungkin diganggu mahluk-mahluk centil yang begitu 'heboh' berpose dan lalu lalang penuh semangat. Aku harus mengalah pada semangat muda mereka, merekalah produk 'kekinian' itu.

Saat Lokasi Wisata Menjadi 'Kekinian'

"Hei aku Wanda, dan mereka temen-temenku," sambil memutar tongkat selfie ke arah teman-temannya. Beberapa anak muda yang baru sampai di atas langsung mengerumuni 'Wanda' ini. Ada yang mengangkat tangan mengacungkan jari membentuk V sambil memajukan bibir, ada yang menyipitkan mata dengan mulut yang sama. Setelah itu aku mendengar celoteh 'Wanda' dengan segala cerita serunya perjuangan mereka menuju kesini layaknya host acara petualangan yang berhasil menaklukkan salah satu tantangan. Keriuhan itu berlanjut dengan rombongan lain yang dipenuhi suara teriakan-teriakan untuk foto selfie. Wabah tahun ini sejak hape yang menjadi 'smart' lengkap dengan kamera yang diklaim hasilnya jago. Tak berapa lama lampu kilat dari semua jenis kamera menyala untuk menerangi 'obyek centil' dalam foto.

Hilang sudah kesyahduan menikmati matahari terbit. Sikunir tetap menawarkan warna pagi yang luar biasa. Namun keheningan, ketertegunan karena rasa takjub, dan rasa kecil menjadi bagian dari semesta seakan hilang ditelan keriuhan suara-suara nan 'centil'. Entah mereka sedang membanggakan pencapaian mereka naik ke puncak Sikunir, atau sekedar kebanggaan karena bakalan bisa memajang foto diri entah di mana saja dengan wajah yang sama hanya berganti latar belakangnya.

Aku mungkin terlalu tua untuk pesta-pesta penuh teriakan seperti ini, aku juga mungkin datang di waktu yang tidak tepat karena Sikunir sekarang telah berubah menjadi tempat 'kekinian' yang didatangi untuk ajang pembuktian seperti kalimat sakti para host MTMA. Aku sendiri bukan mau mengkritik acara yang sudah kadung digandrungi banyak anak muda di negeri ini. Itulah 'kekinian' saat ini yang tidak dapat dipungkiri. Mungkin aku yang harus sedikit mengalah memberi ruang kegembiraan mereka yang 'kekinian' itu.

Perjuangan di Pagi Yang Beku
Menembus pagi menggunakan motor sungguh membuat jari-jari tanganku serasa membeku, apalagi aku hanya bersarung tangan kain. Sebenarnya Gita sudah menawarkan tumpangan aku dengan mobilnya hanya saja SMS yang dia kirim jam empat pagi tidak terbaca. Tidak mudah untuk bangun sepagi ini apalagi semalaman suhu udara di Dieng benar-benar dingin sekali. Aku bahkan selepas Maghrib sudah masuk ke dalam sleeping bag sebelum berlapis selimut di atas tempat tidur. Hawa bulan Juli memang membuat malas, untuk sekedar cuci muka saja.

Mengendarai motor pagi buta menembus kabut membuat gigiku bergemeretak. Stang motor serasa baru keluar dari freezer membuat sendi jari tanganku terasa ngilu saat memegangnya terlalu lama. Walhasil dalam perjalananku menuju desa Sembungan, aku harus berhenti tak kurang dari lima kali untuk melepaskan rasa dingin ngilu di tangan.
Untung jalan yang aku lewati mulus walau tidak lebar. Jarak dari Dieng Plateau Homestay (tempat aku menginap) sampai ke desa Sembungan memakan waktu hampir setengah jam dengan jarak tak lebih dari 9 km (kalau menurut peta sih cuma 8,1 km).


Untungnya kondisi jalan masih sepi, ada beberapa kendaraan yang searah. Aku pikir yang sedang berkendara saat ini satu tujuan denganku untuk ke desa Sembungan.
Desa Sembungan adalah desa terakhir dan start point untuk naik ke puncak Sikunir. Menurut informasi, desa Sembungan adalah desa tertinggi di pulau Jawa. Suhunya? Jangan ditanya deh. Kedatanganku di bulan Juli memang tergolong salah waktu karena saat ini memang lagi puncak dinginnya kawasan Dieng.


Di pelataran parkir Telaga Cebongan, aku melihat mobil Gita. Mungkin mereka telah naik terlebih dahulu. Di pintu masuk, aku tertarik dengan kentang kecil-kecil yang mengepul di atas meja. Ternyata kentang rebus itu dijual 5 ribu saja per bungkus. Cukuplah untuk mengisi tenaga sebelum naik ke atas. Ternyata baru beberapa meter aku berjalan selepas gerbang masuk, aku berpapasan dengan Gita CS yang lagi asyik makan di dalam warung.
Just info, rombongan Gita ini ada 3 orang termasuk dia. Gita ini teman yang baru temui karena kebetulan menginap di tempat yang sama. Gita barengan 2 orang cewek, satu istrinya yang baru dinikahinya (ceritanya mereka penganti baru) dan satunya temen dia waktu kerja di Batam.


Akhirnya aku bareng mereka berjalan menuju puncak Sikunir. Sayang si Tiara (istri Gita) ini ternyata punya riwayat asma sehingga baru di pertengahan jalan dia kepayahan. Hawa pagi yang sangat dingin dan medan menanjak membuat dia kesulitan bernafas. Sayangnya dia justru menggunakan celana jeans yang membuat hawa dingin tembus ke badan. Dia mencoba tetep bertahan untuk terus naik walaupun aku sendiri kasihan melihatnya. Jalanan dari tanah dengan sekat-sekat kayu memang tidak mudah dilewati apalagi kalau sedang basah. Apalagi saat itu kabut tebal basah seperti gerimis membuat kita harus lebih hati-hati melangkah.
Akhirnya Gita dan istrinya memilih berhenti di titik pandang pertama. Aku sendiri memilih naik terus sampai di titik pandang kedua. Temannya Gita sendiri memilih ikut aku naik sampai ke puncak kedua.


Golden Sunrise
Berbeda dengan titik pandang pertama yang sempit sehingga tidak dapat menampung orang banyak, di puncak pandang kedua kondisinya lebih lapang. Banyak orang yang telah berdiri di atas puncak bukit menunggu pagelaran matahari terbit.

Sikunir ini memang salah satu tempat terkenal untuk melihat matahari terbit yang terkenal dengan warnanya keemasannya. Cerita tentang warna dramatis matahari terbit itulah yang mungkin menarik mereka untuk mendatanginya. Deretan pegunungan dari Sindoro, Merbabu, Merapi, Ungaran, Telomoyo, Pakuwaja dan deretan pegunungan Nganjir berjajar menunggu panggilan sang matahari.

Seandainya aku tidak mendengar celoteh para 'centil' ini, mungkin keindahan puncak Sikunir makin lengkap. Suara burung-burung yang berciut nyaring pun harus berkelahi dengan teriakan-teriakan mereka.
Untung ada beberapa perbukitan lain yang tidak segaduh di puncak yang ada bangunan pandang itu. Di titik itulah aku lebih nyaman karena tidak lagi mendengar suara-suara 'centil. Walaupun di sana ada beberapa tenda yang dipasang, namun mereka cenderung tidak ramai. Penjelajah sungguhan memang lebih bisa menyatu dengan alam.


Aku sempat berkenalan dengan dua orang bule kakak dan adik dari Selandia Baru saat minta bantuan aku memotretnya. Yang besar punya nama Satria dan satunya Nanggala. Nah lho, ternyata mereka berdua itu bule namun bapaknya masih asli Indonesia.

Waktu kembali aku sudah tidak bertemu lagi dengan Gita cs, mungkin mereka telah turun terlebih dahulu. Aku menyempatkan mampir di sebuah kedai terbuka yang menjual kopi dan mie rebus. Bapak tua penjual makanan itu memang setiap pagi berjualan ke sini. Hari ini dia datang tidak terlalu pagi. Hanya kalau pas hari libur beliau biasa datang lebih pagi karena antrian yang mau naik lebih banyak. Sebenarnya aku berharap mendapatkan secangkir purwaceng panas, pasti akan sanggup mengusir dinginnya udara Sikunir. 

Banyak yang sudah turun, aku mungkin termasuk rombongan terakhir yang turun. Lucunya justru saat turun aku bertemu rombongan beberapa orang tua dan keluarganya yang baru mau naik. Mereka tentu kesulitan mengajak anak-anak datang pagi-pagi buat sehingga mengalah mendatangi Sikunir saat matahari sudah terang benderang.

Sampai di bawah, aku baru menyadari jika motor yang aku parkir ada di dekat sebuah telaga. Namanya telaga Cebongan. Ada beberapa tenda yang terpasang di pinggir danau. Aku menyempatkan memutari danau Cebongan beberapa saat sebelum kembali.

Catatan:
  1. Puncak Sikunir adalah spot favorit di Dieng untuk melihat matahari terbit. Jika ingin mendapatkan tempat datangnya pagi-pagi sekali. Sebaiknya sudah sampai di lokasi ini pagi sebelum jam setengah lima atau kurang. Hindari datang saat liburan panjang karena sangat mungkin terjadi antrian panjang.
  2. Jika memungkinkan naiklah sampai ke puncak kedua karena tempatnya lebih lapang untuk menikmati matahari terbit. Jika di puncak pertama, daerah untuk bisa melihat matahari terbatas.
  3. Jika tidak menggunakan jaket yang tahan air, sebaiknya membawa persediaan jas ponco atau sejenis. Kadang-kadang kabut yang tebal membawa air yang membuat pakaian kita basah tidak terasa. Di Dieng, hujan tidak dapat diprediksi. Kalau bisa hindari menggunakan celana berbahan jeans karena lebih mudah menyerap dingin.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 04 April 2016

Fatu Nausus: Bukit yang Terpotong

Bukit Anjaf di Fatu Nausus
Bukit batu Anjaf, salah satu bukit Fatu Nausus yang telah terpotong
Bukit batu karst yang menjulang ini masih menampakkan sisa-sisa kemistisannya. Bukit Nausus masih tampak utuh dari tempatku berdiri. Nampak sedikit ada bekas batu terpotong di bagian bawah yang sebagian tertutup longsoran batu-batu dari atas. Sementara bukit Anjaf tempatku berdiri sebagian besar bukitnya telah terpotong sehingga sekarang menyisakan bukit terjal dengan dinding tegak lurus licin dari marmer. Bahkan lantai yang kupijak ini bukan lantai semen tapi dari batu marmer. Karenanya pagi yang dingin semakin terasa dingin jika menginjak lantai ini tanpa alas kaki.

Aku meletakkan tas ranselku di ujung bukit yang terasa makin berat oleh medan jalan yang harus kulewati untuk mencapai tempat ini. Ada perasaan lega telah mencapai tempat ini karena sepanjang jalan aku harus terus sibuk bertanya kepada setiap orang yang kutemui untuk menyakinkan arah lokasi yang mau aku tuju.
Dari kejauhan kedua bukit batu yang dikenal dengan nama Anjaf dan Nausus memang sudah tampak dari daerah Kapan, ibukota kecamatan Mollo Utara karena memang kedua bukit ini paling menonjol. Namun untuk mencapainya ternyata tidak segampang kita melihatnya.


Menyusuri Pagi Buta yang Sepi
Jam tiga aku keluar dari rumah dengan motor matic 'Trondol' yang sudah kuganti rodanya dengan jenis dosser tipe roda semi trail. Kupang yang siang hari ternyata terasa dingin jika pagi begini. Di sepanjang jalan tampak obor-obor dari botol berjajar di sepanjang jalan. Hari ini adalah paskah. Di beberapa titik tampak tanda salib tiga buah di pasang para warga, kadang tampak beberapa pemuda bergerombol duduk sambil mendengarkan musik yang berbunyi sepanjang malam. Namun selebihnya jalanan sepi.

Hutan cemara di Fatu Nausus
Tanaman perdu menghijau menghiasi perbukitan Cemara
Beberapa kali aku berjalan pelan di pinggir karena berpapasan rombongan yang beriringan dengan obor di tangan melantunkan pujian-pujian menuju gereja. Aku baru tahu jika paskah begini justru ada acara jalan salib sepagi ini.Setelah itu jalanan bisa dibilang sepi, hanya kadang bertemu satu dua motor yang berboncengan. Jika melihat perlengkapannya, sepertinya mereka juga melakukan perjalanan luar kota.

Sampai di hutan Camplong cuaca masih tampak cerah walaupun terasa lebih dingin di banding kota Kupang. Justru saat mulai memasuki Takari aku harus menurunkan kecepatan motorku karena kabut nyaris dimana-mana membuat jarak pandangku terbatas. Apalagi kabutnya juga disertai air gerimis tipis. Beberapa kali aku harus berhenti untuk membersihkan kaca helm memudar oleh kabut membuat bias cahaya tampak bergaris mengganggu pandangan.

Sekitar jam setengah enam pagi aku sudah sampai di pom bensin di pinggiran kota SoE yang masih tutup. Untungnya ada celah sehingga aku bisa memarkirkan kendaraanku sebentar, berharap toilet di pom bensin ini bisa aku gunakan dan istirahat sedikit melepas sisa kantuk yang masih ada. Setelah menambah bensin satu liter di warung sebelah pom bensin aku kembali melanjutkan kembali perjalanan. 

Keindahan yang Tidak Ditopang Infrastruktur
Hutan Fatu Nausus
Matahari bersinar dari balik pepohonan cemara, hutan Fatumnasi
Perjalananku dari SoE menuju Kapan masih cukup lancar, walaupun beberapa ruas menuju kapan sudah mulai mengalami kerusakan. Selepas Kapan, dipertigaan aku mengambil ke arah kiri. Di papan petunjuk tertera tulisan arah menuju Fatumnasi, sebagaimana petunjuk yang diberikan penduduk desa yang aku tanyai dari di percabangan. Selepas satu km yang masih mulus (sepertinya proyek rehabilitasi jalan baru-baru ini) akhirnya kembali melewati yang ruas jalannya mulai rusak parah. Bahkan masih ada ruas yang longsor parah dan menyisakan sisa selebar setengah meter. Cukup untuk satu motor saja.

Perbukitan di Fatu Nausus
Hamparan perbukitan menghijau di Fatu Nausus
Kapan yang ketinggiannya sekitar 900 mdl (sedikit lebih tinggi dari SoE) memiliki banyak potensi yang menjadi andalan Kabupaten Timor Tengah Selatan, salah satunya jeruk. Konon katanya di sini juga pernah menjadi sentra dari buah apel yang khas dari Timor, sayang sekarang tidak ada jejak sama sekali dari buah apel ini.

Selepas tugu pertigaan itulah jalur yang lumayan cukup sulit karena jalan nyaris tidak menyisakan lagi aspal. Dengan jalur menanjak dan banyak kelokan, batu-batu bulat yang licin jika hujan membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Pada kondisi seperti ini, motor memang menjadi lebih fleksibel, kalau pun dengan kendaraan maka lebih pas jika menggunakan kendaraan jenis off road (penggerak empat roda).

Dengan kondisi jalan yang rusak, namun pemandangan yang ditawarkan mampu mengimbangi. Sepanjang kelokan menanjak, view pohon cemara yang telah berlumut dengan tanah yang menghijau mampu menyihir mata yang memandang.
Apalagi dengan eloknya cahaya matahari menyeruak di antara jajaran batang cemara, menerobos dingin yang berusaha kulawan dengan meniup-niupkan hawa panas ke tanganku. Sendirian tak membuatku tergugu, sendirian saat seperti ini seperti sebuah kesempatan untuk menghirup kesegaran dan keindahan yang ada sepenuhnya. Di sini hawa pegunungan yang dingin nyaris belum berpolusi, kalau pun polusi itu tak lebih dari tai sapi yang sering hangat tergeletak di sepanjang pinggir jalan.


Kuda-kuda di hutan Fatu Nausus
Kuda-kuda merumput di hutan cemara Fatu Nausus
Sapi-sapi banyak bersliweran di perbukitan dan di lembah. Mereka beruntung tinggal dan besar di sini, walau tahu akan tetap berakhir di tempat pemotongan sapi hehehe. Kadang-kadang tampak serombongan kuda muncul tiba-tiba dari antara semak mengejutkanku. Awalnya kupikir kuda-kuda ini adalah kuda liar karena aku melihat kuda-kuda ini surainya panjang tak terpotong. Ternyata aku salah, saat bincang-bincang dengan penduduk kampung, ternyata mereka memang membiarkan kuda-kuda ini lepas begitu saja tak dimasukkan kandang.

Bunyi binatang-binatang malam masih berderik juga padahal matahari sudah keluar dari tadi. Entah karena mendung yang masih mengelayut di langit, ataukah dingin yang masih menyergap. Memang walaupun matahari sudah keluar sedari aku sampai di turunan pertigaan tugu di kapan, namun dengan ketinggian 1.160 mdl suhu di atas sini masih terasa dingin. Aku sesekali masih harus meniupkan udara panas ke telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin di jari-jari.

Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto
Bayangan Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto
Jalan yang harus dilewati pelan makin pelan karena aku sering harus berhenti. Di bukit atas terdapat percabangan jalan, di situlah aku harus kembali belok kiri karena jalan lurus berarti ke arah Fatumnasi. Jalanan menurun ini tak terlalu lama sampai aku bertemu dengan perkampungan. Salah satu dusun dari desa Fatukoto.

Ternyata sebelum perkampungan ada jalan ke kiri lagi itu yang harus kuikuti. Persis di depan percabangan itu terdapat sebuah cek dam yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menjadi daerah wisata. Memang bukan danau sehingga airnya pun tidak berwarna bening namun suasana tempat ini lumayan menyenangkan apalagi pepohonan banyak berjajar di sepanjang jalan lokasi ini. Dari sini pemandangan bukit batu Nausus tampak menarik terpantul di air  di sela-sela bayangan pohon ampupu yang masih muda di sekitar lokasi cek dam. Hanya ada seorang pria yang duduk menggelung kaki sedang memancing di salah satu ujung batu. Udara dingin begini memang tidak menarik orang untuk keluar sekedar memancing. Apalagi jika rumah hangat masih menyala apinya.

Kendaraanku kembali masuk ke kiri menyusuri jalan tanah berbatu yang adak licin, mungkin sisa embun semalam. Jika sebelumnya pemandangannya adalah pepohonan cemara sekarang pemandangannya didominasi pepohonan Ampupu.

Bukit Batu Karst yang Menjulang: Anugerah dan Bencana
Bukit terpotong Fatu Nausus
Pepohonan mulai tumbuh di bekas potongan batu
Pintu gerbang kawasan wisata Fatu Nausus masih tertutup, aku menarik pintu dari potongan-potongan kayu ini agar cukup untuk masuk motor. Pagar yang menutup kawasan ini hanya dibuat secara sederhana dari potongan batang-batang pohon sekitar kawasan ini. Beberapa puluh meter selepas masuk gerbang terdapat bangunan panjang yang saat ini digunakan penjuga dari lokasi ini. Hanya ada satu orang penjaga dan seorang anak kecil yang menjaga tempat ini. Karena aku hanya sendiri dan belum ada orang lain, mereka mempersilahkan aku menggunakan motor sampai ke dalam sampai persis di bawah bukit.

Mataku langsung tertambat pada pemandangan bukit yang dindingnya tegak lurus licin, dinding ini lurus licin bukan dibentuk oleh alam tapi oleh tangan manusia melalui teknologi yang dimilikinya. Ya, bukit yang terpotong tegak lurus ini hasil dari eksplorasi perusahaan tambang marmer. Bukit-bukit karst yang menjulang ini dipuja danb dijaga masyarakat karena dianggap keberadaannya memberikan kehidupan bagi sekitarnya juga dipuja oleh para pebisnis.  Bukan oleh karena kemistisannya namun lebih kepada nilai ekonominya. Dibalik batu-batu terjal inilah tersimpan potensi batu marmer yang katanya berkualitas nomor dua di dunia.

Longsoran Fatu Nausus
Longsoran batu di bukit Anjaf
Dulu tempat ini dulunya digunakan oleh masyarakat Mollo untuk melakukan upacara-upacara adat. Tempat ini memang layak dipuja karena dengan hutan disekitarnya mampu menjadi penopang kehidupan. Air-air hujan yang tertahan dan mampu menghasilkan kehidupan dengan adanya mata air bagi daerah yang dibawahnya.

“Seperti manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini. Seperti itulah keindahan di sini dulunya. Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, salah seorang tokoh adat dari desa Lelobatan. 

Pintu masuk lokasi wisata Naususu (Fatu Nausus)
Kudengar, bukit yang menonjol paling menonjol di kawasan Mollo ini berubah menjadi bencana saat masyarakat terpecah menjadi dua, yang pro tambang dan menolak tambang. Akhirnya memang kawasan ini telah ditinggalkan perusahaan tambang namun bukan dengan cara yang mudah. Ada perjuangan yang cukup lama dan keberanian yang harus terus dikobarkan agar masyarakat mau saling bahu membahu dalam satu suara menolak pertambangan ini.

Di bagian dekat rumah panjang bekas bangunan perusahaan masih terdapat beberapa balok yang ditinggalkan, ada juga beberapa yang masih tersisa tertutup semak belukar. Bahkan bukit Anjaf yang telah terpotong juga sudah mulai hidup beberapa pohon termasuk pohon beringin didindingnya. Alam sedang berusaha mengembalikan tempat ini.

Potongan marmer di Fatu Nausus
Sisa potongan batu milik perusahaan tambang yang belum diangkut
Di balik dari bukit Anjaf, beberapa batu yang terpecah-pecah lebih kecil tampak longsor sehingga aku tidak berani menaikinya. Hanya dua pasang kambing coklat dan hitam yang telah nangkring di atas entah lewat mana.

Sayang aku tidak bertemu kera putih yang menjadi legenda tempat ini. Katanya kera putih itu memang tidak mudah ditemui, hanya orang yang beruntung saja yang bisa bertemu dengan kera putih itu. Kemunculan kera putih itu dianggap pertanda baik. Ah, cerita mistis dari tempat-tempat seperti ini memang menarik bagiku. Walaupun aku tidak mempercayainya, tapi akan menghormati dan menghargainya. Karena bagiku, cerita-cerita mistis yang melingkupi tempat ini adalah cara agar manusia yang sebenarnya bergantung dengan keberadaan tempat ini tetap menghormatinya.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 31 Maret 2016

Terpesona di Teluk Nangalok

Menikmati teluk Nanga Lok
Menikmati view teluk Nangalok dari atas bebatuan
Beberapa orang sedang sibuk mengeluarkan perbekalan makan sore yang terlalu awal. Saat ini sedang jam 4, masih terlalu awal untuk mengeluarkan makanan. Bau ikan bakar yang baru disiapkan tidak terlalu menarik perhatianku. Tarikan mataku  tetap terbetot pada view di depanku: teluk Nangaloh. Mengikuti kata hati, aku hanya menyahut "Sebentar" saat mereka meneriaki untuk makan sore dulu sebelum turun ke teluknya.


View teluk Nanga Lok
View teluk Nangalok ke arah ujung teluk
Dari bebatuan di sisi barat, aku berdiri di batu paling ujung terpana dengan pemandangan teluk yang begitu eksotis di mataku. Untuk sebuah teluk, baru kali ini aku melihat teluk yang begitu cantik terbingkai oleh perbukitan savana yang mengelilinginya. Pemandangan pepohonan bakau yang memenuhi bagian pinggir pantai justru membuat paduan alam yang menyempurnakan. Saat ini rumput sedang menghijau walau belum memenuhi seluruh perbukitan. Warna biru kehijauan air laut saat ini menunjukkan bahwa pantai ini masih sangat bersih.

Teluk Nangalok berada di perbatasan antara desa Nanga Mbaur kecamatan Sambi Rampas dan desa Golo Lijun kecamatan Elar. Walaupun secara administratif masuk dalam pemerintahan kabupaten Manggarai Timur tetapi saat ini Borong bukanlah jalur paling dekat untuk mencapai daerah itu karena saat ini jalur dari Borong langsung ke Pota (ibukota kecamatan Sambi Rampas) kondisi rusak parah. Jadi jalur paling masuk akal justru dari Ruteng (kabupaten Manggarai) masuk ke arah Reo baru ke Pota

-----------------------------------

Perjalanan ke Sambi Rampas sebenarnya berkaitan dengan pekerjaan dimana ada dua lokasi pekerjaan irigasi yang harus aku cek yang kebetulan kedua-duanya ada di daerah Sambi Rampas. Sambil menyelam minum air, aku mencoba mencari tahu obyek apa yang aku nantinya bisa mampir selepas pekerjaanku kelar. Pencarianku di internet sempat memunculkan nama Pantai Watu Pajung. Aku tidak terlalu yakin tapi juga tidak mau terlalu memusingkan. Bukanlah yang penting perjalanan itu sendiri kalau ada lokasi yang bagus ya itu bonus bukan? 

Jadi teluk ini memang bukan daerah yang aku incar untuk didatangi karena memang tidak ada yang menginformasikan keberadaan lokasi ini sebelumnya. Hanya ada satu orang bilang ada pantai yang bagus di sana yang sudah diincar oleh wisatawan asing. Tapi mereka tidak mengatakan kalau itu teluk?!? Entah sebenarnya mereka maksudkan teluk ini atau memang ada pantai yang lain.

Senja di Reo
View senja dari salah satu lokasi di daerah Reo
Karena pertimbangan waktu tempuh yang lama, start perjalanan sudah dimulai sejak setengah delapan pagi dari Borong. Ingat, jika di daerah seperti NTT yang paling penting untuk ke lokasi itu waktu tempuh bukan jarak tempuh. Bisa jadi jarak 100 km bisa ditempuh dalam waktu tak lebih dari 2 jam. Tapi sangat mungkin juga jarak 15 km bisa ditempuh dalam waktu lebih dari 2 jam. Juga penting untuk mengetahui seberapa sulit medan yang harus didatangi karena bisa jadi sebuah perjalanan batal hanya karena medan yang cuma 1 km panjangnya tapi kerusakan jalannya parah sekali sehingga tidak bisa dilewati kendaraan. Dari Borong ke Ruteng jelas jalannya sudah mulus walaupun banyak tikungan tajam tapi bisa dijangkau tak lebih dari satu setengah jam.
Perjalanan dari Ruteng menuju Reo kondisi liukan jalannya lebih parah dibanding Borong-Ruteng atau malah bisa kubilang tidak ada jalan lurus lebih dari seratus meter. Cuma sekarang jalannya lebih sempit serta banyak ruas yang sudah mulai rusak jadi memang harus lebih hati-hati.
Perjalanan mulai lebih sulit lagi dari Reo menuju Pota. Bayangkan jalan meliuk-liuk dengan lebar tak lebih dari 3,5 meter tapi kita tidak tahu apakah ada bahu jalan atau tidak karena bahu jalan dan sebagian badan jalan tertutup pepohonan. Saat ini memang masih masuk bulan hujan sehingga daerah-daerah pesisir pun tetumbuhan liar tumbuh dengan suburnya.


Suara berisik terdengar dari sokbreker Ford Escapes yang menghantam bodi mobil. Frans - sang driver, bilang mobil emang sudah bilang sebelumnya kalau sokbrekernya memang sudah tidak bagus. Pantesan saja, jika menghamtam jalan yang batuannya menonjol agak keluar dengan kecepatan sedang langsung terasa ayunannya. Bila tidak diturunkan kecepatannya maka ayunan akan makin kuat dan terakhir akan terasa ban yang menghantam body mobil.

Persawahan di kawasan Sambi Rampas
Persawahan di kawasan Sambi Rampas
Jam setengah satu baru lah memasuki Pota, kota kecamatan Sambi Rampas. Daerah Pota ternyata sudah cukup ramai. Setidaknya sudah ada satu pom bensin di daerah ini termasuk sudah ada juga dermaga barang. Yang terbaru katanya juga sudah dibangun dermaga penumpang yang memungkinkan kapal penumpang bersandar. Daerah Pota ini penduduknya cukup heterogen, akses mereka justru banyak yang langsung ke Makasar mungkin karena jalur laut lebih lancar dibanding jalur darat yang seperti di atas kondisinya.

Tambahan informasi saja, daerah Pota ini ternyata daerah yang subur. Ada ratusan hektar sawah yang memiliki pengairan irigasi di daerah ini. Pantas saja di daerah ini walaupun kecamatan yang jauh dari ibukota kabupaten tapi tetap hidup suasananya.
 
Selepas pekerjaanku, rekan dari masyarakat lokal Sambi Rampas mengajakku makan sore sebelum kembali dengan pertimbangan di perjalanan belum tentu kami menemukan rumah makan. Dari ide itulah akhirnya mereka memperkenalkan teluk Nangalok ini.
Dari Pota menyusuri jalan ke arah timur, kami sempat melewati pantai Waju Pajung yang sepertinya sedang dipersiapkan oleh pemerintah daerah untuk menjadi salah satu destinasi wisata.


Sekitar seperempat jam melewati pantai Watu Pajung barulah kita mendapatkan view teluk Nangalok ini. Jalan yang kami lewati sepertinya baru dibuat (mungkin perbaikan dan pelebaran dari jalan sebelumnya) dan menurut mereka akan menghubungkan seluruh kabupaten di Flores melalui trans utara. Berarti jika jalan ini sudah benar-benar terhubung, daerah-daerah wisata yang keren di sisi Utara pulau Flores akan lebih mudah dieksplorasi.

---------------------------------------

Kejernihan air laut di teluk Nanga Lok
Kejernihan air laut di teluk Nangalok
Karena merupakan perairan tertutup, kondisi perairan teluk sangat tenang. Walaupun matahari teriknya saat itu lebih dari biasanya namun angin yang bertiup dari perbukitan terasa menyejukkan. Suasana masih begitu tenang di sini. Kalau pun ada suasana ramai, tentu mereka yang sekarang sedang asyik dengan makan sore ikan bakar dan entah apalagi di pinggir jalan sana.

Aku hanya sebentar menyantap makan siang ikan bakar. Mungkin jika waktunya pas menyantap ikan bakar segar di waktu seperti ini akan terasa nikmat sekali apalagi berada di alam terbuka yang begitu menawan. Sayang pikiranku sedang ke teluk itu sehingga sebentar kemudian aku menyudahi makan sore dan balik ke teluk di seberang jalan itu.

Rerumputan menghijau di teluk Nanga Lok
Rumput menghijau menghiasi view sekitar teluk
Ada beberap perkampungan di sekitar teluk ini. Pak Feliks menunjukkan sebuah kampung yang berada di ujung dalam teluk yang legendanya merupakan penjaga teluk ini. Dia bercerita bahwa kawasan ini di jaga oleh orang tua di kampung itu, aku sendiri lupa nama kampungnya. Dulu sudah beberapa kali ada kegiatan AMD (ABRI Masuk Desa) di daerah ini.
Ceritanya, pada saat itu ada kunjungan damdim ke lokasi ini. Para tentara ingin menyuguhkan daging rusa untuk pimpinannya. Dulu di daerah ini masih banyak ditemukan rusa (entah sekarang). Karena butuh banyak maka para tentara itu minta orang tua itu menyediakan rusa untuk mereka. Orang tua itu menyanggupi tapi harus menghabiskan rusa yang dia bawa. Para tentara itu menyanggupi, maka orang tua itu pamit ke hutan. Tak lama kemudian dia membawa rusa besar untuk mereka yang langsung menjadi santapan nikmat para tentara. Namun ternyata mereka tak sanggup menghabiskan dan pagi hari di tempat mereka maka bukan sisa rusa yang mereka dapat tapi sisa batang kayu.


Dia juga menunjuk satu tempat di ujung teluk satunya yang tampah ada bagian pasir putihnya. Katanya, di sana ada tempat yang dibangun bule. Menurutku lokasi di sana memang strategis sekali. Bayangkan saja, teluk yang begitu aduhai dan memiliki pasir putih dan perbukitan ala teletubbies dengan posisi menghadap ke barat untuk menikmati sunset. Untuk urusan lokasi strategis seperti itu entah kenapa bule-bule bisa cepet sampai duluan sebelum kita ya.

Tambahan:
Di daerah Sambi Rampas juga ada sebuah danau yang dikenal dengan nama Rana Tonjong karena di danau itu ada bunga Tonjong (Teratai) yang tumbuh subur menutupi seluruh danau. Sebenarnya aku mau diajak makan di sana namun karena pertimbangan bahwa di danau itu saat ini baru tumbuh belum sampai musim berbunga sehingga aku disarankan lain kali saja ke sana. Kata pak Feliks musim berbunga puncaknya di bulan Mei-Juni. Itu waktu terbaik untuk mendapatkan danau dipenuhi dengan bungai Tonjong (Teratai).
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 28 Desember 2015

Akhirnya Sampai ke Lembata

Anak-anak belajar menjaring ikan-ikan kecil di kampung nelayan Kuburan Cina
Akhirnya aku sampai ke Lembata... yieeeee.... Aku sudah dari tahun 1999 pindah ke bumi Nusa Tenggara Timur. Itu tiap jengkalnya udah aku tanami biji buah-buahan (kalo sempet) tapi paling tidak aku udah meninggalkan jejak (biasa lah urusan belakang pohon). Kamu boleh tanya semua tempat di Nusa Tenggara Timur ini, pasti aku bakal bisa jawab.. yah minimal jawabanku: tidak tahu hehehehe. Padahal dari kota kabupaten yang sudah ada swalayan besar sampai kota kabupaten tapi gak tau dimana itu kotanya sudah aku injak lho, cuma mukamu saja yang belum aku injak-injak.

Rumah di pinggir pantai kampung nelayan
Parahnya dari semua kabupaten yang aku datangi, ada satu kabupaten yang entah kenapa aku gak pernah ke sana sama sekali. Entah karena kena sumpah (serapah) atau emang yang kasih tugas sirik kok ya bisa-bisanya aku selalu terlewat kalau urusan kerjanya berhubungan dengan satu kabupaten ini. Betewe dulu pernah males sampai bilang: "Pokoknya gak mau ke Lembata kalau belum ada pesawat". Itu kalimat emang jamannya Lembata belum ada pesawat. Jadi kalau ke sana naik pesawat kecil Cassa ke Larantuka (Flores Timur). Itu pesawat yang tempat duduknya udah sekualitas angkot rombeng lengkap dengan suara baling-baling yang tidak berhasil diredam sehingga setiap naik pesawat telinga rasanya berdenging-denging terus. Jangan pernah naik pesawat ini kalau sedang pilek, itu kepalamu yang udah pusing rasanya jadi pengen meledak aja. Ditanggung abis naik pesawat ini pilekmu bakalan naik tingkat 3 level. Sampai Larantuka baru sambung naik kapal ke Lembata. Bayangin kerennya, abis kepala nyaris meledak gara-gara bising pesawat, belum reda langsung disusul ayunan gelombang selat Flores yang kalau sedang galau suka keluarin arus berputar yang bikin kapal ikutan mabok. Dan memang sumpah itu mujarab, bahkan surat tugas yang udah ditangan aja bisa-bisa tiba-tiba batal. Bukan karena aku deket trus nepotisme sama kepala kantor ya.. sorry gak lepel nepotisme gituan... tapi karena penerbangan dibatalkan. So, bahkan setelah Lembata buka bandara pun ternyata gak pernah aku kebagian tugas ke Kabupaten yang terkenal dengan rumah para pemburu ikan paus.
Jadi dari aku ngebet pengen liat para pemburu ikan paus sampai sumpah balik gak mau lihat atraksi perburuan ikan paus, tetep aja gak ada tiket gratis ke Lembata.

Tapi akhirnya Tuhan berbaik hati juga, kasihan juga ngeliat aku termenung sendiri, galau, sedih, bimbang, dan terpingkal-pingkal gara-gara gak ke Lembata akhirnya aku dikasih tugas ke Lembata. Kenapa gak cari tiket sendiri ke sana? Wah, kalau bisa gratis kenapa harus bayar kan. Sudah terlalu banyak yang harus kita bayar di dunia ini, jadi kalau ada yang gratis janganlah engkau sia-siakan sahabatku yang super #mariogalau. Yah walau cuma tiga hari, setidaknya tiga hari sudah cukup untuk mengakui bahwa Lembata sudah aku injak. Cuma mukamu saja yang belum aku injak-injak.

Tapi jangan tanya, gimana rasanya melihat perburuan ikan paus? Itu sungguh konyol, aku itu kesini bukan mau melihat ikan paus diburu terus jadi tontonan penuh decak kagum wal histeris. Perburuan ikan paus atau ikan lumba-lumba atau ikan apalah di Lembata sudah aku hapus dari daftar hal-hal yang ingin aku lihat di sana. Ada alasan yang aku gak ingin bagi disini walaupun sebagian kalian pasti bisa menebaknya. Curiga yang baca ada yang profesi tukang ramal.

Bukit Cinta
Entah siapa yang memberi nama semesum itu. Aku bahkan berpikir jangan-jangan di sana aku akan menemukan celana dalam atau beha yang tertinggal di semak-semak begitu. Tapi tidak, bukit cinta ternyata bukanlah bukit orang bercinta atau bukit yang jika melihatnya orang jadi pengen bercinta.. bukan... bukan begitu sayang. Jadi ceritanya, bukit cinta itu berasal dari legenda. Legenda itu.. ah sudahlah aku ceritakan saja nanti kalau udah dikasih bocoran.
Suasana senja di bukit Cinta
Tapi memang suasana di Bukit Cinta ini asyik lah, seasyik kalau bukit-bukit ini tidak dibakar sehingga tinggal menyisakan warna hitam. Dari bukit ini kita bisa menyaksikan 'indahnya' matahari terbenam. Sebenarnya mengatakan indahnya matahari terbenam itu kayak orang agak galau ya. Apalagi kalau disebelahmu ada orang yang kalau ditanya itu jawabnya: biasa aja.. Bayangin saat kita melihat rerumputan yang coklat tertiup angin menurun dari perbukitan dan menimbulkan suara khas rumput-rumput yang tertiup. Kita duduk santai melihat warna-warna rumput memudar oleh matahari yang berangsur-angsur tenggelam di ufuk barat. Trus kita sampai bayangin bawa kopi panas, ubi goreng hangat dan sebuah gitar yang mendentingkan alunan nada lagu-lagu romantis. Tapi buyar seketika saat temen sebelah kita bilang kalau pemandangannya: biasa aja. Tiba-tiba saja aku bayangin ada tutup panci dua biji di tangan.
Bukit cinta bahasa kerennya bukit padang savana, letaknya ini persis berhadapan dengan pulau Adonara. Kalo padang savana biasanya paling keren itu setelah musim hujan masuk jadi mulai Januari. Kalau pas bulan aku datang begini ya gitu deh, padangnya lebih banyak sudah dibakar warga. Jadi bukit-bukitnya yang separo masih ada yang warna coklat, sebagiannya udah item kebakar.
Bukit cinta lengkap dengan penampakannya
Sudah mulai bangun beberapa lopo untuk bersantai dari Pemda dengan jalan setapak yang menyusur terus ke bawah ke arah pantai. Lagi-lagi aku sayangin karena bangunan yang dibuat justru tidak menambah cantik tempat ini. Entah kenapa, jarang aku menemukan bangunan tempat wisata yang dibangun oleh pemerintah di NTT ini yang bikin tempat jadi makin bagus.  
Juga lagi dibangun satu penanda di dekat pintu masuk yang belum selesai juga tertulis huruf kapital L O V E. Nah lho, ini namanya bukit Cinta atau bukit Love??? Wah gak jelas banget nih. Ini mungkin maunya biar kelihatan keren ya namanya tempat ya tulis aja namanya aja gak usah pakai ke-ingrisingris-an gitu. You underrock man!!
Saran terbaik kalau kalian ke tempat ini ambil waktu sore di bulan-bulan yang rumputnya lagi subur atau pas rumputnya lagi menguning. Berarti waktu yang tepat antara bulan Januari sampai dengan pertengahan Agustus, itu juga kalau warga lagi gak kumat bakar-bakar padangnya lho ya. Ada satu lagi, dalam perjalanan ke bukit cinta itu ada beberapa spot pantai yang layak dikunjungi juga kalau gak salah namanya pantai Waijarang.
Aku gak sempet eksplore tempat ini, hal biasanya aku lakuin kalau ke tempat yang baru. Padahal dari bukit cinta tampak dua bukit kecil di bagian bawah yang berbatasan dengan laut dan keliatannya menarik buat dieksplore.
Maklum karena kesini gak sendirian alias bareng cewe-cewe berapa biji gitu lupa gak ngitung lagi. Jagain anak orang gini nih yang bikin orang, kalau hilang terus orang tuanya minta tanggung jawab gimana coba? Kalau cuma jawab doang asal gak tanggung sih bisa. 

Kampung Nelayan Kuburan Cina
Lokasi ini awalnya informasi dari temen yang sebelumnya udah kesini. Awalnya dari hotel yang kami tempati jika melihat ke belakang hotel tampak sebuah pulau pasir putih. Kata temen yang pernah ke sana, pulau itu cuma muncul saat surut aja.
Penasaran aja sama yang suka muncul hilang gitu, mirip-mirip kayak hantu. Gak jauh dari hotel sih lokasinya jadi aku sama temen-temen sengaja agak sore-an biar matahari gak terlalu panas. Bulan November ini memang di NTT memang lagi gila-gilanya panas. Kayaknya matahari memang kayaknya lagi dideketin sama yang Diatas beberapa centi. Mau tabis surya dari SPF10 sampai SPG juga gak mempan buat halangin panasnya. Makanya kalau jalan bareng gini enaknya sore karena.. apalagi kalau bukan karena cewe-cewe yang umumnya phobia sama matahari.

Nah, buat ke pulau pasir putih yang nongol itu kita harus naik perahu dari kampung Kuburan Cina. Gak tau sih namanya yang bener, tapi anak-anak yang aku tanyain bilangnya begitu. Kampung Kuburan Cina ini merupakan perkampungan nelayan, asalnya mereka sih macem-macem, ada yang dari Bugis, dari kampung Adonara, sebagian juga masyarakat Lamalera sendiri. 
Asik melihat anak-anak belajar menjaring
Trus kenapa aku gak nulis tentang pulau pasir itu justru nulis kampung ini. Ya karena akhirnya aku batal ke pulau pasir itu. Udah dapat perahu sih, cuma gak bisa langsung jalan karena masih menunggu dua mahluk kucel lain yang udah janjian tapi gak nongol-nongol batang hidungnya. Karena nungguin itu aku milih turun ke pantai karena ngeliat suasana kampung yang lagi rame anak-anak, alamat banyak spot foto. Pas mereka berdua datang eh langit lagi di puncak warna yang bagusnya. Karena perhitunganku gak mungkin aku ngejar pemandangan senja di pulau pasir itu akhirnya aku milih tinggal di kampung Kuburan Cina ini. Sayang juga sih, cuma aku juga ngerasa sayang kalau hanya buat sekedar pernah mampir. Mungkin lain kali aku kalau kesini punya waktu khusus buat jelajah ke pulau pasir itu.
Tempatnya sih jorok, banyak sampah seperti biasa dengan warna pasir hitam. Tapi suasana kampung dan perilaku anak-anak yang sedang mencari ikan yang terjebak di darat asik buat diperhatikan.
Sempat diajari sama bapak-bapak dan anaknya cara mencari kerang. Ternyata kerang itu gak langsung keliatan ya, harus dikorek-korek dulu. Lumayan hasil belajar dapat sekitar lima biji kerang. Bapak itu bilang kalau yang di pulau depan itu yang banyak kerangnya. Ah satu alasan lagi ke pulau itu, buat cari kerang. Berarti kalau kesini lagi musti bawa kompor biar bisa langsung masak kerang.
Dari senja mulai gelap, dari kejauhan aku bisa melihat temen-temenku baru sampai ke pulau pasir. Ah benar saja dugaanku, waktunya gak cukup untuk dapat menikmati sunset dari pulau itu.
Pas coba nunggu mereka balik di situ mulai gak enaknya. Ternyata air yang naik kental sekali bau solar, padahal waktu surut aku gak mencium bau solar seperti ini.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 19 Oktober 2015

Perjalanan 'Tak Ada Kesalahan' ke Koalat

Air terjun Maidang
Air terjun Koalat, meski musim kemarau namun debitnya masih kencang (tingkat terbawah)
Debit air memang jauh berkurang, namun air terjun yang dihasilkan masih cukup deras menurutku. Menurut pak Aril (bukan Ariel Peterpan lho, karena kalo disebutkan namanya yang terbayang kok muka Luna Maya sama Cut Tari), jia musim hujan maka air yang mengalir akan berkali-kali lipat lebih deras daripada saat ini. Dia menunjukkan batas ketinggian air yang tersamar nyaris tak tampak di dinding-dinding bukit. Wow! Setidaknya ada perbedaan ketinggian tiga meter dibanding saat ini, berarti memang debit air surut jauh. Dan itu artinya kami tidak bisa melewati sungai tempat kami menaruh motor. Dia menunjukkan jembatan kecil panjang yang nampak saat kami sampai di Maidang. Itulah jembatan yang harus kami lalui untuk sampai ke air terjun ini saat musim hujan, dan itu artinya perjalanan kaki tak kurang dari 2 jam.

Air terjun Maidang
Jernihnya air di air terjun Koalat, Maidang
Air terjun Koalat menjadi tujuan berikutnya setelah pantai Tarimbang dan air terjun Laputi harus aku coret dari daftar. Motor yang aku pinjam tak cukup tangguh untuk bisa menuju pantai Tarimbang saat ini karena saat ini sedang ada perbaikan jalan sehingga jalan masih berupa batu-batu besar yang dihampar. Sebenarnya sempat dapat tawaran pinjam motor yang lebih besar tapi aku dan Trysu belum pede pakai motor laki (cupu banget ya kita..)

Aku memilih mengunjungi lokasi ini di akhir waktu setelah dua temen cewek yang penugasan satu kota di Sumba Timur balik ke Kupang. Bukan gak berani ngajak, tapi dengan kondisi medan yang aku sendiri masih 'blank' aku gak berani mengambil risiko ajak-ajak anak orang (kalau anak monyet gak pa-pa lah). Aku memilih mengajak mereka ke  Pantai Watuparunu, walaupun lebih jauh tapi kondisi jalannya jelas bagus. Tanpa guide yang menemani, hanya berbekal informasi tulisan di blog dari temannya Trysu dan orang pemda yang pernah kesana bukan halangan kami untuk 'kesasar'. Dan di antara lokasi yang kami jalani, mungkin perjalanan 'kesasar' ini yang kata Trysu paling berkesan. Iya, kondisi jalannya tak terlalu parah hanya untuk motor yang kami cukup bikin ngeri karena di beberapa tikungan menurun terakhir jalannya diapit jurang di kanan kiri (untung gak diapit jurang atas bawah).

Selepas jembatan yang melintasi sungai besar kota Waingapu akan ada pertigaan, dan dari situ kita masuk ke kanan tapi sebaiknya tanya penduduk sekitar (inget GPS-Gunakan Penduduk Setempat yo). Awalnya jalan setelah belokan masih terasa mulus, yah hanya sedikit goyangan khas jalan ala kabupaten lah. Pemandangan di samping kiri sepanjang jalan yang tampak adalah persawahan yang sebagian baru mulai tanam dan saluran irigasi yang airnya meluap sampai ke pinggir. Kadang-kadang ada juga pemandangan cewe-cewe mandi gak pakai baju (kamu percaya??? aku sendiri juga gak percaya kok). Kalau melihat cewe.. eh saluran ini, kita akan merasa bahwa Waingapu itu subur dan tak kekurangan air. Tapi semua pemandangan hijau (sawah ya bukan cewe.. ngeres ah lu pikirannya) akan berakhir selepas jalan menanjak menuju perbukitan. Dan saat naik ke perbukitan itulah akan terasakan tandusnya perbukitan Sumba Timur saat musim kemarau seperti ini. Dan kondisi perbukitan seperti itu yang akan terus kami tempuh sampai ke Maidang. Coba ada kuda sama kopi coboy, pasti Trysu udah macam jagoan koboi Billy The Kid naik kerbau.

Melintasi Perbukitan Kambata Mapambuhangu
Kata brosur yang dikasih orang Dinas Pariwisata, jarak tempuh dari kota Waingapu ke Maidang ini sekitar 70 km. Tapi ini NTT, jangan percaya jarak tapi waktu tempuhnya dan Alhamdulillah aku sudah membuktikannya (lima km satu setengah jam, asoy gak tuh). Aku tidak sempat mengukur (iya lah, masak aku harus bawa meteran buat ngukur jalan.. kurang kerjaan banget) karena lebih terpesona dengan medannya. Menurutku jika ingin sekali waktu kalian ke sini dan mau mendapatkan gambaran pulau Sumba Timur yang penuh dengan perbukitan terjal dan kering, di sinilah salah satu lokasi yang bisa kalian datangi. Di kanan kiri dari perjalanan yang kami banyak kami temui adalah perbukitan savana dengan rumput-rumput yang telah mengering. Memang masih ada pepohonan yang menghijau, dan di lokasi-lokasi seperti itulah aku sempat menyaksikan burung-burung. Sekali waktu saat sempat aku dan Trysu melihat burung kecil terbang, burung itu memiliki bulu kuning putih di dada dan pada ekor yang dominan berwarna putih berwarna biru di tengahnya yang lebih panjang dari bulu ekor lainnya. Aku bersyukur bisa melihat burung seperti ini di tengah perbukitan Sumba, berharap tidak ada tangan iseng/jahil yang menangkap mereka untuk diperjualbelikan. Di sepanjang perjalanan menyusuri bukit ini jarang sekali rumah dan jika ada rumah hanya ada beberapa saja. Jarak antara satu rumah dengan rumah lain berjauhan, wih... bener, ternyata Sumba Timur yang luas ini penduduknya terkonsentrasi di Waingapu saja.
Perbukitan di Kambata Mapambuhangu
Perbukitan yang kering menuju Maidang
Aku dan Trysu harus beberapa kali menanyakan lokasi tepatnya jika kebetulan berpapasan dengan penduduk. Kadang persaan was-was muncul saat berada di pertigaan namun tak ada penduduk yang bisa ditanyai (mau nanya sama batu besar sih tapi nanti dibilang musyrik, padahal kan cuma tanya bukannya percaya :P).
Bahkan setelah sampai di kota kecamatan Kambata Mapambuhangu (ini kecamatan namanya panjang dan susah diinget, kalau gak percaya inget dan besok dua hari ucapin lagi pasti gak bisa hehehe) yang berada di atas perbukitan ternyata jauh dari yang kami bayangkan. Jangankan pertokoan bahkan rumah pun dapat dihitung dengan jari (jari tangan dan kaki serta jari temen-temenmu). Jadi bangunan-bangunan yang berdiri di kecamatan itu lebih banyak bangunan pemerintahan seperti sekolah, kantor kecamatan dan kantor sejenis (iya lah, kalau beda jenis nanti beranak). Jadi kami harus benar-benar mengandalkan ransum yang kami bawa dari Waingapu. Saran: jika ke tempat-tempat wisata di Waingapu jangan lupa bawa perbekalan makanan dan minuman yang cukup karena belum tentu akan menemukan sekedar toko kecil untuk membeli minuman.

Rumah di atas perbukitan menuju Maidang
Yang sempat bikin bingung ya di kota kecamatan ini, dengan kondisi yang banyak percabangan (dibanding di desa lho ya bukan dibanding Waingapu), tapi gak menemukan masyarakat yang bisa kita tanyai. Mungkin sebagian pegawai di kecamatan tinggal di Waingapu jadi sudah pada balik (alasan bagus untuk pulang cepat kan). Benar-benar kesasar tapi kok malah di kota kecamatan.Setelah masuk lurus akhirnya kami menemui pertigaan dimana sebelah kanan adalah jalan rabat (kata nona-nona yang sedang kongkow di belakang rumah, entah kenapa Trysu sangat semangat bertanya kalau ada ibu-ibu hehehe). Motor kami menapaki jalan rabat sejauh satu kilometer menuruni perbukitan. Kata ibu tadi, dari sini ke Maidang tinggal sekitar lima km lagi tapi dia sambil bilang "jauuuuuuhhhh..." mulutnya sampai monyong kayak minta dicium gitu (mesum keplak jidat). Setelah bahagia meluncur di jalan rabat, kemudian di akhir jalan rabat kami menemukan pemandangan yang wow banget. Wow itu artinya viewnya cakep tapi sekaligus ngeri.

Aku sempat bercanda dengan Trysu, "Ini adalah jalan yang tak boleh ada kesalahan". Dari atas aku bisa melihat jalan meliuk-liuk melintasi puncak beberapa perbukitan savana. Duh kuda mana nih, serasa jadi koboi. Jika sebelumnya kami melewati punggung bukit yang cuma ada jurang di satu sisi, sekarang jalan di depan di apit jurang di dua sisi. Makkk, pemandangannya ngeri-ngeri sedap kali (kata Soetan Batoegana begitu). 
Pemandangannya sungguh luar biasa, sayangnya aku tidak sempat merekam dengan kamera (mengejar waktu biar tidak sampai terlalu sore sampai di lokasi). Apalagi warna langitnya yang mulai menguning oranye. Trysu yang mengendarai motor di depan mungkin tak bisa melihat semua pemandangan ini karena terkonsentrasi pandangannya ke jalan yang sudah rusak, batu-batuan kecil yang merupakan sisa jalan beraspal mudah sekali terlepas. Tak urung beberapa kali roda tergelincir namun tak sampai terjatuh. Trysu cukup hati-hati, sangat hati-hati malah. Berbeda sekali saat kami menembus perbukitan lewat punggung bukit. Jurang di salah sisi tidak membuat dia mengurangi kecepatan motor. Namun di jalur terakhir ini dia betul-betul ekstra hati-hati sehingga justru lima km inilah yang menjadi perjalanan terlama.

Air Terjun Maidang
Setelah melewati jalur 'tak ada kesalahan' terakhir, akhirnya aku bisa melihat beberapa rumah dan sebuah jembaran kecil dari atas bukit terakhir. Aku tahu itulah Maidang, karena memang itulah satu-satunya kampung yang ada di semua perbukitan itu. Jadi jalan masuk dan keluar Maidang ya hanya yang kita lewati saat ini. Di sisi jembatan itulah, aku bertemu pak Luna Maya.... eh salah Aril (aku ingetin lagi ya, bukan Ariel Peterpan) yang langsung meminta aku mengikutinya.
Air terjun Maidang
View dari atas air terjun Koalat, Maidang
Setelah memarkir kendaraan di ujung jalan, pak Aril mengajak kami turun melewati sungai yang tak terlalu dalam hanya sedalam paha atas tapi tetap harus hati-hati. Batu-batunya sendiri tidak licin namun arusnya cukup kuat jika tidak kuat memijak bisa terpelanting jatuh ke air. Terutama fokus, jangan lihat orang mandi melulu, nanti giliran jatuh di air bilangnya batunya ya licin padahal otakmu yang mesum. Ya gara-gara ada orang mandi itu kami dilewatkan di jalur yang lebih dalam (kata pak Aril biar membelakangi mereka, wih baru tahu kalau pak Aril suka lihat bagian belakang). Sungai yang kami lewati ini barusan itu hulunya berasal dari air terjun Laputi berbeda alirannya dengan sungai yang mengalir dari air terjun Koalat. Tidak jauh setelah melewati sungai dan sedikit naik ke darat segera aku melihat sebuah sungai yang lebih lebar, dan di ujung sanalah tampak sebuah air terjun yang tidak terlalu tinggi namun melebar.
Yang unik dari air terjun ini tampaknya terbentuk dari satu batu besar yang utuh, bahkan batu yang ada di air terjun ini benar-benar batu utuh menyatu dengan bagian atas. Alur-alur unik benar-benar sepertinya terbentuk dari air. Bahkan di bagian atas dimana ada genangan air tampak sebuah batu yang membulat membelah aliran air menjadi dua. Batu-batu itu pun masih menjadi satu bagian hanya menjadi berlubang-lubang. Aku tak tahu bagaimana air bisa membentuk bebatuan itu menjadi lubang-lubang unik seperti ini.


Bebatuan di Air terjun Maidang
Batu-batu terbentuk oleh aliran air
Aku dan Trysu sampai ke atas tapi tidak berani turun ke arah bebatuan yang di tengah karena hanya lewat sebatang kayu yang ada dengan cabang-cabang sebagai pijakannya. Duh, itu kayu muter berarti selamatlah kita kecemplung ke dalam air. Yang pasti airnya dalem banget karena warna birunya yang tampak pekat seperti itu. 
Sayang aku tidak bisa terlalu lama karena sampai di sini pun bisa di bilang sudah terlalu sore, mungkin karena kita sering bertanya sepanjang perjalanan jadi perjalanan yang seharusnya bisa dua jam bisa sampai tiga jam.
Perjalanan kembali inilah yang paling berbahaya. Kejadian sempat tergelincir yang membuat kami nyaris jatuh membuat Trysu tidak berani menjalankan motor lebih cepat. Bahkan setiap ruas yang batunya mudah lepas, aku harus sering turun supaya Trysu bisa leluasa membawa motornya. Bahkan di jalan yang menanjak aku harus ikhlas jalan kaki. Aku minta Trysu jalan lebih dulu sampai di tempat yang landai dan aman, jadi tidak perlu menunggu aku. Ternyata jalan begini cukup bikin ngos-ngosan tapi juga sangat menyenangkan. Bayangkan berjalan di malam hari menyusuri puncak bukit dengan kanan-kiri jurang dan ditemani galaksi Bima Sakti yang tampak jelas. Fuih.. fuih.. lain kali mungkin aku harus jalan kaki ke sini. Rasanya pasang tenda di atas bukit sini juga asyik aja tuh.
Trysu lah yang justru setengah mati, makanya dia cuma berharap kapan bisa menemukan jalan rabat. Bayangkan empat km harus di tempuh selama satu setengah jam, tapi jangan tertawa karena kami jalan seperti keong ya. Mungkin kalian sendiri yang harus mencobanya...
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 02 Februari 2012

Ende-Nagekeo Part III



Segelas Kopi di Tengah Rintik Gerimis
"Tidak sedang terburu-buru kan? Kita mampir minum kopi ya", ucapan yang tak usah diulang dua kali kukira. Siapa akan menolak ajakan ini. Gerimis lebih sering menemani sepanjang jalan namun di pertengahan tanjakan melewati Nangaroro tiba-tiba titik air mulai bertambah banyak. Untung kami lebih dulu sampai di kedai sebelum hujan datang lebih lebat.
Kopi panas segera memenuhi meja yang kami duduki. Aku yang biasanya tidak minum kopi melupakan kebiasaan itu. Segelas kopi di tengah rintik gerimis seperti ini terlalu sayang dilewatkan. Posisi kedai ini cukup menyenangkan, sayang sekarang tidak ada jagung rebus padahal aku berharap sekali itu menjadi teman minum kopi.
Kopi yang disajikan agak terlalu manis, tapi tak mengapa. Aku tiba-tiba teringat suguhan kopi di rumah pak Ndus waktu mampir rumahnya setelah foto-foto. Kopinya yang nikmat membuat aku lupa telah duduk di kursinya lebih dari tiga jam.
Masing-masing larut dengan cerita masing-masing, tapi diseberang sana seorang laki-laki nenghisap sebatang rokok dengan asyiknya. Peminum kopi yang tahu cara menikmati kopi, tangannya sendiri lincah berpindah-pindah dari sebuah handphone dan ipad. Sepanjang jalan aku memang sempat memperhatikan matanya yang gelisah mencari sinyal karena di sepanjang jalan sering terjadi blank spot. Sekarang dia baru menikmati kegembiraannya, lelaki yang tak bisa sejenak melepaskan informasi. Aku tidak sedang menilainya tapi sedang mengamati caranya menikmati kopi dan hidupnya.
Aku tak perlu menilainya lebih jauh karena kopi terlalu sayang dibiarkan. Beberapa pohon Cendana yang berbuah telah matang buah-buahnya berwarna hitam kecil memenuhi seluruh ujung ranting. Kupikir aku bisa mencoba menanamnya saat kakiku sigap menuruni turunan di bawah bangunan kedai.
Segelas kopi hari ini kehilangan teman setianya: jagung rebus dan ubi goreng.


Nangateke Masih Sama
Hujan hampir saban hari mengguyur kota Mbay, menyisakan pantulan-pantulan kala malam. Hari pertama, hari kedua dan hari ketiga masih sama semua punya alasan yang sama untuk tidak keluar atau dengan kata lain tak ada alasan untuk keluar. 
Rumput-rumput di perbukitan Mbay memang sudah hijau tapi belum cukup rata hijau seperti biasanya. Tapi tampaknya bukit-bukit itu akan segera berubah. Pagar-pagar kayu yang biasanya tidak sekarang mulai ditanam mengelilingi bukit-bukit itu. Ah, seandainya bukit-bukit itu tidak ada yang punya.
Mungkin masih ada bukit yang lama baru akan dipikirkan pemiliknya untuk menambahkan pagar. Dan sekarang arah tujuanku dan Eddy melesatkan motor, Nangateke. 
Ini hari ke empat untukku, mendung masih tampak setia memenuhi langit. Tapi kata para maestro foto, siapa yang bisa menebak senja bahkan pada 10 detik berikutnya. 
Motor melewati kawasan hutan bakau yang makin terbuka, sepertinya bakal diubah menjadi tambak. Tampak menyedihkan seolah tak ada tempat lain yang bisa mengantikan. Motor terus melaju melewatkan jembatan batu di pantai Nangateke. Jembatan batu memang bisa sangat menarik apalagi untuk memotret orang tapi bukan itu tujuanku sekarang.
Di arah ujung tanjakan yang menikung aku dan Eddy memarkirkan motor. Langit belum berubah masih setia kelabu dengan sedikit aksen alur awan akibat angin namun binatang-binatang kecil yang hinggap di semak-semak memancing mata.
Benar perbukitan ini belum berubah, rumputnya pun masih sombong tegak menghijau entah kapan akan memudar kuning memanjang dan menunduk. Aku bahkan terkesan saat rumputnya mengering bukan coklat tapi memutih, hanya kadang harus adu cepat karena saat itu padang-padang rumput seperti ini sering kali dibakar. Supaya tumbuh rumput baru lebih cepat, katanya.
Langit tidak seperti kata maestro masih dengan warna yang sama, tidak juga 10 detik atau 10 menit. Jika ada nyala merah sesaat itupun hanya tersisa sesaput angin untuk memberitahukanku malam mulai merangkak. Nyamuk-nyamuk berpesta pora memenuhi kakiku yang bercelana pendek.


It's an Accident or Something: Bola
Bulan-bulan begini ombak sedang kencang, di beberapa tempat kadang tak menyisakan jeda tenang. Tidak mengherankan di wilayah timur seperti ini, BMKG dengan mudah bisa mengeluarkan peringatan badai dan larangan melakukan pelayaran. Aku jadi ingat Pantai Nangapanda, karang yang menjorok ke daratan itu menarik perhatianku. Sepertinya saat ini waktu yang tepat untuk melihat ombak yang terhempas tinggi membentuk karang.
Aku dan Eddy memulai perjalanan kembali ke Ende dengan motor sekaligus menjadikan suatu memori yang tak pernah hilang.
Selepas tikungan belum lebih dari sepertiga perjalanan saat lepas dari tanjakan aku melewati jalan di samping lapangan. Saat itu Eddy agak melambatkan motor karena di sepanjang jalan banyak kendaraan. Tampaknya bakal ada keramaian sebuah gereja di seberang lapangan.  Tiba-tiba seorang anak menendang bola dan terlepas ke tengah jalan. 
Entah apa hubungannya aku sama bola tapi aku cuma berharap roda kami tidak mengenai bola atau jika harus kena maka bola yang kami lindas tak lebih dari bola plastik.
Saat aku merasakan perasaan menekan sesuatu yang lunak dan berikutnya terasa melampung aku menyadari bahwa semua harapanku salah. Semua sudah terjadi, motor terbanting setelah sesaat menyentuh tanah.
Aku masih sadar sepenuhnya bahkan saat dunia tampak berputar-putar dan aku terhenti di seberang jalan sementara aku melihat Eddy jatuh tertelungkup di bawah motor. Tangan dan lututku terasa kebas tapi aku tidak terluka sedikitpun. Eddy yang harus rela mendapat luka di lutut dan tangan. Tas kamera pun tergores panjang tapi justru membantu dia terhindar dari luka yang lebih banyak. Orang-orang mengerumuni kami tapi sayang tak ada satupun memiliki apa saja untuk membantu luka Eddy, akhirnya seseorang yang dikenal Eddy membantu mengurangi lukanya dengan menyiramkan bensin di tangan dan lututnya.
Sekarang giliran aku di depan, menerobos hujan menuju ke rumah bapak kecil Eddy yang rumahnya ada di kampung sebelah. Aku dan Eddy sampai di rumah dalam kondisi cukup basah. Untung ada tanaman Pinahong di depan rumah, aku membantunya menggerus daun-daun merambat itu untuk di tempel di lukanya.
Sekarang aku di antara dua pilihan menunggu kendaraan untuk menjemput (menunggu sampai malam) atau meneruskan perjalanan. Karena langit sudah berubah menjadi gerimis kecil akhirnya aku dan Eddy memutuskan melanjutkan perjalanan. Sekarang luka-luka itu menjadi lengkap: bensin, pinahong, air hujan dan angin.
Sampai sekarang ada yang mengganjal di benak Eddy, kenapa kami jatuh karena bola. Apa hubungannya dengan bola? Satu-satunya yang jelas sampai saat ini adalah kami berdua bukan maniak bola.


Pantai Nangapenda: Ini Seharusnya
Kenekatan aku dan Eddy ternyata masih membawa hasil. Belum terlalu gelap sampai di Nangapenda walaupun dalam perjalanan sebenarnya masih banyak was-was mengingat motor habis jatuh dan medan jalan sedang ada pekerjaan sehingga jalan penuh dengan lumpur. Gak keren kalau aku dan Eddy harus jatuh kedua kali.
Aku dan Eddy sampai sekitar jam enam sore lewat sepuluh menit, posisi matahari yang sedang condong ke selatan memang membuat bulan-bulan ini siang lebih panjang. Jalan menuju ke bawah yang sangat curam biasanya membuat kami harus turun pelan-pelan tapi sekarang harus jauh lebih hati-hati karena Eddy tidak memungkinkan memegang tanaman di sekitarnya untuk berpegangan.
Langit memang masih menyisakan mendung yang cukup menghalangi matahari untuk sedikit berbagi sinar terakhirnya ke kami. Jadi aku harus merela mendapatkan sisa sinar yang masih cukup terang di ujung barat.
Cuaca tidak sedang badai namun tinggi ombak lumayan, beberapa kali hempasan ombak melenting melampaui kepala mungkin lebih dari 4 meter.
Memotret dalam kondisi ombak besar memang menyenangkan sekaligus menegangkan, walaupun perhitungan awal ombak tidak akan naik setinggi itu tiba-tiba saja bisa muncul ombak yang datangnya hampir dua kali lipat. Saat itu aku harus merelakan tripod terkena air laut, hanya kamera yang harus segera dilindungi.
Dengan tangan terluka dan dibalut kain, Eddy juga tetep mencoba memotret padahal memegang kamera saja tampaknya setengah mati. 
Hanya beberapa jepretan karena memotret ombak memang butuh waktu menunggu antar satu shot dengan shot berikutnya dengan baik, memboroskan shutter malah kadang jadi bumerang. Bisa jadi momen penting karena kamera malah sedang memproses gambar sebelumnya.
Aku melanjutkan jalan tapi kecepatan jauh menurun, lampu motor depan Eddy ternyata suka mati sendiri walhasil aku hanya bisa menggunakan lampu jarak pendek. 
Kerlip-kerlip lampu di kota Ende yang tampak di kejauhan baru kami capai dalam satu setengah jam perjalanan, tak apa asyik juga. Setidaknya kami punya cerita hahahaha
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya