Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label danau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label danau. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Oktober 2017

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Rimbun pepohonan mengelilingi pinggiran danau. Hijaunya sungguh menyegarkan mata yang melihat. Hawa sejuk diselingi angin semilir membuat suasana teduh. Kicau burung-burung kadang terdengar bagai nyanyian semesta yang menentramkan.


Danau Ngade atau sering disebut Danau Laguna Ngade. Laguna dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti  danau air asin dekat pantai yang dahulu merupakan bagian laut yang dangkal, karena peristiwa geografi terpisah dari laut. Meski dekat dengan laut, air danau tetap tawar rasanya. 


Danau ini terletak di Desa Ngade, Kelurahan Fitu, Kota ternate, Maluku Utara.  Berjarak 40 kilometer dari Bandar Udara Sultan Babullah, atau 18 kilometer dari pusat Kota Ternate.

Danau Ngade adalah anugerah dari Tuhan yang tak ternilai. Masyarakat menjadikan danau untuk budidaya ikan air tawar seperti Nila dan Gurame. Hasil budidaya ikan air tawar bisa kita nikmati pada restoran/warung yang terapung di atas danau. Selain itu danau juga menjadi sumber air utama untuk mengairi perkebunan milik masyarakat sekitar.

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Aku bergegas mendaki menuju titik pandang tertinggi. Penduduk sekitar telah menyediakan tempat di atas ketinggian agar kita lebih leluasa melihat keindahan danau. Bunyi suara gesekan ban mobil/bus dengan aspal jalan di kejauhan, saat pengunjung ingin parkir kendaraan. Letak tanah yang miring dan curam membutuhkan ketrampilan ekstra berkendara. Disini kita dipungut biaya masuk dan parkir kendaraan.

So, here I'am. Standing on the best photo spot. Tempat ini sering menjadi incaran para Fotografer. Biasanya mereka mengambil angle foto dari atas untuk foto aerial. Hutan pepohonan, Danau Laguna, Pulau Maitara, dan gugusan pegunungan Pulau Tidore tampak menakjubkan dari sini. Biasanya air danau berwarna hijau, tetapi karena semalam hujan air danau berubah menjadi berwarna kecoklatan.

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Saat lelah kita bisa minum air kelapa muda yang banyak dijual di tempat ini. Sambil duduk santai menghalau haus yang datang. Sungguh menyegarkan di kala panas terik.

Merepih alam. Melepas pandangan pada bentangan alam di ketinggian. Bak seorang penyair mencari inspirasi untuk menyusun dan merangkai kata demi kata. Aahh, Danau Ngade keindahanmu tak mampu membuatku berucap.

Lokasi Danau Ngade:
Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 06 Oktober 2016

Dieng: Mengitari Telaga Warna

Telaga Warna Dieng
Siapa yang tidak betah berlama-lama di telaga Warna?
Sepiring jamur goreng dan kentang goreng yang baru selesai ditiriskan menerbitkan air liurku. Tak butuh waktu lama bagiku menyelesaikan kedua makanan itu. Harga seporsi hanya lima ribu rupiah untuk sepiring jamur sangat murah menurutku. Apalagi jamur-jamur masih segar sebagaimana kentang gorengnya. Sayang tak ada 'Purwaceng' yang begitu identik dengan bumi Dieng. Tapi kopi panas mampu menggantikan 'Purwaceng' menikmati pemandangan telaga yang keren tiada duanya. Aku mereguk kopi pelan-pelan sambil membiarkan seluruh panca inderaku menangkap kesan seluruh lanskap tanah ini.

Beberapa orang berlalu lalang tapi tak terlalu ramai, itulah untungnya mengunjungi tempat-tempat wisata yang sudah sangat terkenal di saat bukan hari libur. Ibu penjual yang masih mudah itu sendiri bertutur jika hari-hari seperti ini sepi bahkan rumah makan dan penjaja makanan juga tidak banyak. Berbeda pada hari libur, telaga warna ini sangat penuh dengan wisatawan.Untung ibu muda yang aku lupa menanyakan namanya masih berjualan di hari seperti ini, sehingga aku bisa menikmati jamur goreng yang nikmat.

Telaga Warna dan Telaga Pengilon

Jembatan kayu di telaga Warna Dieng
Telaga Warna dalam kesunyian pagi
Negeri di atas awan ini menyimpan sejuta pesona dan lokasi-lokasi yang tak habis dieksplorasi sehari dan Telaga Warna ini salah satunya. Telaga warna telah menjadi bagian tak terpisahkan dari legenda yang melingkupi Dieng itu sendiri berdiri.
Jika kamu menyempatkan ke telaga warna, cobalah untuk mengitarinya. Jangan hanya mencari spot mojok seperti yang aku lihat dari pasangan-pasangan yang datang. Yang mojok pasti tidak penting lokasinya tapi kita berduanya, halah. Ciee.. ciee.. ada yang ngiri cuma jalan sendiri #keplakkepalapakesendal.


View salah satu sudut telaga Warna
Batas akhir jalan di telaga Warna
Anyway by the way, pengalaman aku selama ini orang Indonesia itu lebih suka milihnya trek yang gampang. Kayak dulu pas di pulau Komodo, gak ada orang Indonesia yang ngambil trek adventure cuma para bule yang mau ambil trek adventure. Sebagian besar ambil short trek termasuk aku #kelakuansama... ampuunn kaka, itu karena aku bareng my big bos yang agak bulat di depan jadi kalo ambil medium trek nanti ujung-ujungnya aku yang disuruh gendong hihihihi #jurusberkelit.

Kalau dari pintu masuk, sebagian besar langsung ke kanan ke arah bangunan terbuka atau sekalian lanjut ke batu pandang. Aku yang sendiri dan gak punya guide awalnya juga bingung tapi karena niatnya mau keliling jadi pilih belok kiri. Biasalah, biar dikira anti mainstream. Ternyata setelah seratusan meter jalan beton ke kiri abis dan berganti jalan tanah. Tidak ada yang lewat karena ada tumpukan tanah merah menutupi jalan, sepertinya longsoran baru.

Taman bunga di telaga Warna Dieng
Taman bunga di telaga Warna
Padahal jika mau melewati longsoran dan masuk ke jalan kecil nanti bakal ketemu sebuah bangunan kecil dan ada jembatan kayu kecil beberapa meter ke tengah danau. View dari lokasi ini tidak kalah ikonik dibandingkan melihat dari batu pandang. Aku beruntung karena cuma sendiri di jembatan kayu, jadi bisa agak lama bersantai. Apalagi saat ini cuaca jauh lebih cerah dibanding kemarin. Hawa dingin sudah jauh berkurang, cuaca juga jauh lebih terang dibanding kemarin yang hampir dipenuhi kabut dan hujan seharian. Warna hijau telaga warna memang sepertinya berasal dari belerang, aku masih bisa sama mencium bau belerang diairnya. Dalam kondisi seperti ini, telaga warna juara banget. Telaga hijau terang yang airnya tenang, duduk sendirian di jembatan kayu dengan angin sepoi-sepoi.. yang kurang cuma kopi.. hah!! Kopi mana kopiii!!!  sialan, suasana begini tanpa kopi memang rasanya kurang.

Waktu menyusuri jalan kecil sempat bertemu salah seorang penduduk naik motor bebek dengan kaki bersepatu bot, mungkin dari kebun. Waktu aku bertanya arah malah menawariku mampir ke desanya. Rupanya desanya masuk desa wisata, aku lupa namanya. Udah aku ubek-ubek semua koleksi foto gak nemu satupun foto papan petunjuk padahal aku inget banget waktu itu sempat memfotonya. Ah, sudahlah. 

View telaga Pengilon Dieng
View salah satu sudut telaga Pengilon, Dieng
Memutari telaga Warna ternyata juga harus memutari telaga Pengilon. Telaga yang warnanya berbeda dengan telaga Warna ini memang terpisah namun tidak benar-benar terputus ada sedikit bagian yang masih sedikit terhubung walaupun lebih banyak ditumbuhi rumput tinggi, namun tetap tidak bisa dilewati. Ada sisa jembatan yang dulu pernah dibangun tapi sekarang sudah rusak. Itu juga mungkin salah satu alasan kebun bunga kelihatannya sepi, mungkin karena jarak yang harus ditempuh jadi jauh tanpa jembatan itu.

Berbeda dengan telaga Warna yang berwarna hijau kadang tosca (tergantung terang dan posisi cahaya matahari), telaga Pengilon ini warnanya cenderung pucat gelap. Tanahnya yang lebih terasa berlumpur sempat sukses membenamkan salah satu kakiku ke dalamnya. Warna gelap inilah yang jika airnya sedang tenang dengan mudah akan menciptakan bayangan layaknya kaca.

Bukit Sidengkeng 
Penampakang telaga Warna dan telaga Pengilon dari bukit Batu Pandang
Nama itu yang tertera di papan petunjuk, tapi akan lebih dikenal dengan nama kerennya bukit Batu Pandang dan Batu Ratapan Angin. Dari atas bukit ini memang tempat yang paling pas untuk melihat jelas kedua telaga.
Ternyata untuk naik ke bukit Sidengkeng harus membayar karcis retribusi lagi. Rupanya lokasi bukit ini dikelola sendiri oleh desa (BUM Desa), berbeda dengan retribusi di pintu masuk telaga Warna yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Seingatku tiket masuknya 20ribu. Untung waktu itu masih cukup sepi sehingga aku bisa berlama-lama di tempat itu.

Ada satu batu menonjol dan sebuah bangunan berdiri untuk melihat kedua telaga. Aku membayangkan jika sedang ramai tentu akan sulit untuk berlama-lama di sini kecuali kamu mau dipelototi sama pengunjung lain. Ya, risiko lokasi pandang yang terbatas.
Di bagian samping ada jembatan merah putih yang biasanya jadi lokasi favorit uji nyali karena kayunya tidak rapat dan hanya terikat pada tali. Sayang aku sendiri tidak mencoba kesana, sayang sih udah keluar duit cuma nongkrong di batu pandang doang. Katanya sih hari begini gak ada yang jaga jadi belum bisa dipakai.

Gua-gua Tempat Persemedian
Jalan menuju ke gua-gua semedi
Nah ternyata di bagian tengah daratan pemisah antara telaga Warna dan telaga Pengilon itulah terdapat beberapa gua yang dulu katanya sering digunakan untuk bersemedi. Ada tiga gua di sana: gua Jaran, gua Semar dan gua Sumur. Gua-gua ini menyimpan cerita mistis sendiri-sendiri.
Yang pertama gua Jaran (kuda), yang katanya menjadi tempat pertapaan Resi Kendalisodo. Di sini ada legenda yang menceritakan bahwa pada suatu hari saat hujan sangat deras ada seekor kuda yang kebingungan mencari tempat berteduh. Dia berlari kesana kemari sampai akhirnya menemukan lubang besar lalu masuk ke dalamnya, Anehnya saat keluar keesokan harinya sudah dalam keadaan bunting. Dari legenda itu sekarang ada sebagian orang percaya bahwa gua ini bisa membantu wanita yang ingin mempunyai keturunan dengan cara bersemedi di tempat ini. Entah kalau yang bersemedi laki-laki, mungkin jadi bunting juga. #dikeplakpenjagadanau

Kalau gua Sumur ini di dalamnya ada kolam kecil yang airnya sangat jernih dan dingin. Air ini dikenal dengan nama Tirta Prawitasari. Air ini sering dimanfaatkan umat Hindu dari pulau Bali untuk upacara Muspe atau Mabakti. Gua ini yang punya kaitan erat dengan keberadaan telaga Warna dan telaga Pengilon. Suasana di tempat yang dipenuhi rerimbunan pepohonan ini terasa mistis. Andai saja ada kabut tipis turun, pasti tempat ini akan terasa lebih mistis.

Sayang aku tidak bisa masuk ke dalam karena pintu masuknya masih digembok. Nah ini ruginya saat datang di waktu sepi seperti ini. Di satu sisi memang jadi bebas menikmati tanpa melihat hiruk pikuk orang berlalu lalang, jeleknya kadang-kadang penjaga lokasi juga enggan datang. Mungkin juga gajinya kurang.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 18 Mei 2016

Hammock-an di Danau Nefokouk

View Danau Nefokau Apren
Hammock bergoyang pelan di ayun angin yang bertiup menerobos sela pepohonan. Gemerisik dedaunan tidak menarik perhatiannya, matanya sayu menatap langit yang hari ini cerah sambil sesekali masih menjawab pertanyaanku. Aku membiarkan dirinya asyik menikmati suasana siang ini di atas hammock, toh kesempatan tiduran di tempat seperti ini tidak sering dia dapatkan. Matahari boleh saja menyengat, tapi angin yang bertiup terasa sejuk. Mungkin hawa bulan Mei memang seperti ini.

Bersantai di tepi danau Nefokau
Bersantai menikmati suasana
Aku senang sekali melihat wanita yang kunikahi 16 tahun yang lalu begitu menikmati tiduran di hammock. Sebenarnya dia sudah menawarkan membantu aku menyiapkan masakan tapi aku menolaknya. Saat-saat seperti ini, bagiku justru waktu untuk memanjakannya. Toh untuk perlengkapan camping seperti ini, aku pasti lebih sigap menggunakannya. Setelah aku membatalkan rencana perjalanan ke Fatumnasi, pilihan mengunjungi tempat ini tidak terlalu buruk tampaknya. Hujan yang terjadi di musim yang seharusnya bukan waktunya hujan memang menjadi dilema. Beberapa rencana perjalanan apalagi yang harus ke tempat terbuka pasti akan berantakan.

Sambil menyiapkan peralatan masak, aku mencoba mengamati seorang pria berkulit hitam yang duduk di atas cabang pohon yang tumbang. Ditangannya masih memegang alat pancing dari bambu, sementara masih ada beberapa bambu pancing yang tergeletak di dekatnya setidaknya enam buah kalau aku tidak salah menghitung. Sayangnya, sampai saat ini hanya beberapa ikan kecil yang dia dapatkan. Padahal aku berharap akan melihat tangkapan ikan yang jauh lebih besar dari yang dia dapatkan saat ini. Ikan mujair saja, kata pria itu.

View siang hari di danau Nefokau
Danau ini tidak terlalu besar memang, pun juga tidak dalam. Bahkan sisi danau sebelah timur sebelah timur sudah dipenuhi tumbuhan semak berbunga putih dan merah. Airnya pun berwarna coklat tanah bukan bening sebagaimana danau-danau di ketinggian seperti danau Ranamese. Dengan ketinggian sekitar 200 mdpl tentu saja cuaca di sekitar danau cenderung panas. Untungnya sekitar danau banyak ditumbuhi pepohonan besar, ya karena danau ini terletak di pinggiran hutan. Danau yang aslinya bernama Nefoko'uk namun lebih dikenal dengan nama danau Apren ini masuk kawasan Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johannes. Hutan ini cukup luas, menurut catatan dari Dinas Kehutanan, luas kawasan hutan ini sekitar 1.900 hektar.

Memancing saat siang terik di danau Nefokau
Entah sebelumnya atau hujan angin yang terjadi baru-baru ini, beberapa batang pohon tampak tumbang di sekitar danau, yang justru dapat dimanfaatkan masyarakat menjadi lokasi duduk memancing. Danau ini setiap hari didatangi masyarakat sekitar untuk memancing ikan. Beberapa anak kecil terlihat ramai mandi di sisi lain danau.

Di tengah-tengah danau tampak tiga rumah kayu terapung di tengah danau yang bisa dijangkau dengan naik sampan. Kata pemiliknya, selain kadang digunakan sendiri untuk memancing juga untuk disewakan wisatawan yang berlibur ke tempat ini. Sayang waktu aku sampai di sana, pemiliknya sedang tidak ada. Rupanya pemiliknya sering tidak ada pada hari-hari biasa, mungkin mereka baru ada jika waktu liburan dimana bakal banyak wisatawan yang datang.

Bunga merah di pinggir danau Nefokau
Untung suasana saat ini cukup sepi, hanya sesekali terdengar percakapan mereka yang sedang memancing. Sekali ada masuk beberapa rombongan anak-anak muda dengan menggunakan motor. Saat itulah ketenangan tempat ini pecah oleh tawa dan teriakan melengking dari cewe-cewe ABG. Dimanapun mereka ada, mahluk-mahluk seperti ini memang sering menciptakan kehebohan. Di banyak waktu kadang asyik aja melihat kehebohan mereka, meski lebih sering aku mengabaikan keriuhan yang mereka ciptakan. Namun juga sekali dua aku agak terganggu dengan pekikan-pekikan mereka terutama saat di daerah yang memang dikenal dengan suasananya yangn hening dan tenang. Tapi rupanya mereka tak terlalu lama, karena tak berapa lama kemudian aku kehilangan keriuhan mereka.

Sisi timur danau Nefokau
Cukup lama juga aku bersantai di tempat ini sampai aku lihat mendung mengelayut dari sebelah timur. Beberapa hari ini memang hampir tiap hari hujan turun. Berharap hujan tidak turun hari ini namun ternyata justru hujan yang semula gerimis berubah menjadi hujan lebat waktu masuk Oesao. Hampir seperempat jam berteduh di emperan toko akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan lebat. Ternyata perkiraanku benar, bahkan sampai aku kembali ke Kupang ternyata hujan belum juga berhenti.

Danau Nefoko'uk ini lebih mudah dikenali dengan nama danau Apren karena memang terletak di desa Apren. Desa ini masih masuk kecamatan Amarasi Timur. Untuk fasilitas, sudah dibangunkan lopo-lopo oleh pemerintah daerah di sekitar danau di bagian atas dekat jalan, lumayan bisa untuk bersantai. Lebih disarankan membawa tikar atau hammock sendiri. Untuk sanitasi, ada bangunan toilet umum cuma sayangnya sepertinya sudah tidak dimanfaatkan lama. Kalau sudah kebelet berak sepertinya mau gak mau meniru sapi yang suka berak sembarangan.. eh jangan.. masuk hutan sebentar, gali tanah dan seterusnya ya. Pokoknya jangan bikin bau kotoranmu kemana-mana, lagian lumayan untuk pupuk. Untuk fasilitas tempat makan belum ada dan sepertinya memang tidak ada yang menjual makanan di tempat ini jadi bekal makanan dan minuman itu sifatnya harus. Lupa bawa makanan boleh coba ngramut daun di hutan.

Gerbang masuk ke danau Nefokau
Cara untuk mencapai tempat ini:
Tempat ini tidak terlalu jauh dari kota Kupang mungkin sekitar 45 km, dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1,5 jam. Ada kendaraan umum (sejenis pickup modifikasi dengan tempat duduk kayu) yang lewat tempat ini namun aku tidak tahu kendaraan itu dari mana menuju mana. Sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi (motor/mobil). Motor matic biasa juga tidak masalah kok masih aman dilewati kecuali 2-3 km terakhir. Detil menuju lokasi ke tempat ini:

  1. Dari Kota Kupang menelusuri Jalan Timor Raya terus ke Timur arah SoE, nanti dari pertigaan pasar Oesao beloklah ke kanan.
  2. Telusuri jalan aspal besar terus sampai menemukan pertigaan yang ada kantor Unit Simpan Pinjam Desa Bank NTT, ambil arah jalan lurus (kiri) jangan belok kanan menuju arah Tesbatan. Perjalanan sampai ke sini juga masih cukup baik. Beberapa ruas memang ada lubang-lubang tapi masih bisa dilewati dengan aman.
  3. Melewati desa Ponain dan menuju ke desa Tesbatan sampai di pertigaan tugu desa Tesbatan belok ke lurus kiri (jangan ke kanan) menuju ke desa Oenoni. Jalan masih aspal dan masih cukup baik untuk dilewati.
  4. Di Depan Toko Sinar Utama Oenoni belok kanan mengikuti jalan beraspal sampai di perempatan jalan SDN Ropnoni belok  kiri menuju Gapura Desa Apren. Dari perempatan jalan SDN ini kondisi jalan tanah berbatu. Ikuti saja jalan yang besar sampai ketemu gapura desa Apren.
  5. Dari Gapura Desa Apren jalan lurus terus sudah mendekati gerbang masuk Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johanes, persis setelah masuk gerbang itulah letak danau Apren.


Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 19 Mei 2015

Telaga Warna dalam Selimut Pagi

telaga warna pagi hari
Suasana di Telaga Warna yang terasa tenang saat pagi hari
Pagi di telaga yang begitu tenang kalau tidak ingin kukatakan sunyi. Selain aku dan penjaga yang malas buka gerbang, cuma tinggal dua mahluk sepasang yang ikut nimbrung (atau aku yang dibilang nimbrung). Itulah kenapa aku suka mendatangi telaga di pagi hari, di saat tubuh yang menggigil mendambakan selimut untuk melanjutkan lelap, dimana tubuh enggan beranjak dari tempat tidur. Apalagi di tempat dimana jaket saja belum tentu bisa menahan dingin? Ah masa, lah itu  di salah satu tempat duduk kayu duduk sepasang mahluk beda jenis yang cewe pake baju full open gitu gak kedinginan tuh. Kasian juga sih, cowonya pake jaket tapi ceweknya dibiarin bolong disana-sini.


telaga warna pagi hari
Matahari mulai menyinari kabut tipis yang turun
Sebenarnya perjalananku ke tempat ini karena kebetulan ada tugas dari kantor dan ada waktu luang aku coba manfaatin untuk mengunjungi tempat-tempat yang bisa dijangkau. Aku melemparkan pertanyaan ini di status facebookku yang mungkin memiliki referensi tertentu tentang tempat yang menarik di seputaran Ciawi. Dan rasanya referensi bu Erna Gunawan yang paling menarik perhatianku untuk mencoba ke Telaga Warna. Jadinya rekomendasi moto dari masjid di Puncak Pass deket rumah makan Rindu Alam aku batalin. Yah, kadang kita feeling aja mana yang sepertinya menarik untuk didatangi.  Dan jangan tanya apakah aku akan kecewa seandainya tempat tujuan itu tidak menarik seperti yang aku duga. "For my part, I travel not to go anywhere, but to go. I travel for travel's sake. The great affair is to move." tuh kata dari kang Robert Louis Stevenson. Jadi salah satu alasan kenapa aku gak mudah ngajak jalan orang lain, karena banyak kita yang terpatok pada lokasi tujuan sedangkan aku sendiri lebih kepada jalannya, tujuan cuma alasan untuk berhenti sesaat.


rakit tua di telaga warna
Sebuah perahu bambu yang tidak terpakai dipenuhi tanaman
Sendiri, aku memilih berangkat pagi karena belum mengenal lokasinya seperti apa. Umumnya jika sebuah danau/telaga di daerah perbukitan yang agak terbuka atau tidak ada bukit tinggi yang menutupinya biasanya jika mulai siang sampai sore airnya menjadi bergelombang, namun jika pagi airnya akan tetap tenang. Jadi dengan pagi aku sudah hampir memastikan bahwa aku akan mendapatkan suasana telaga yang tenang apapun kondisi telaganya.
Berangkat selepas Subuh, aku memilih berjalan kaki dari penginapan di Ciawi karena pagi buta begini belum ada belum ada ojek yang nampang di depan penginapan.

Bayangan pagi di Telaga Warna
Ketenangan seperti ini hanya dapat ditemui saat pagi
Baru dari pertigaan Danamon aku bisa mendapatkan mobil angkutan ke arah puncak berbekal informasi mamang yang juga jadi sopir angkutan. Katanya sih kalau di Telaga Warna itu dingin banget jadi harus pakai jaket, mungkin dia kasian liat aku yang cuma bawa kaos dalem sama rompi yang tentu gak bisa menahan hawa adem pegunungan. Tapi mamangnya bilang jangan kuatir, di atas pasti ada yang udah buka jualan sweater atau jaket. Aku berhenti di Tugu sesuai arahan dan berganti kendaraan ke arah Cisarua, patokannya angkutan yang berwarna kuning. Kenapa musti ganti karena Telaga Warna itu sudah masuk kabupaten Cianjur jadi angkutan kota tidak bisa melewati batas. Sebenarnya ada cara paling mudah yaitu naik bis kota yang menuju Bandung atau Cianjur yang melewati Puncak Pass. Cuma karena terlalu pagi kemungkinan bisa kelamaan cuma buat nunggu bis. Tapi kalau kita browsing kok nemunya Telaga Warna, Cisarua Kabupaten Bogor ya.. jadi bingung yang bener itu masuk Kabupaten Cianjur atau Kabupaten Bogor sih?!?


View Telaga Warna dari takit tua
View dari dalam perahu yang telah tak terpakai
Setelah melewati perkebunan teh milik Argo Gunung Mas yang juga banyak dijadikan tempat wisata alam akhirnya angkutan berhenti di sebuah lokasi yang dipenuhi para pedagang. Di belakang bangunan tampak sebuah masjid kecil dan disampingnya ada pintu gebang yang menunjukkan arah menuju Telaga Warna. Gak jauh jalannya kok cuma beberapa meter nanti ketemu gerbang masuk Telaga Warna. Penjaga gerbang ogah-ogahan waktu kita mau masuk, alesannya belum buka tapi saat disodorin uang 7rebu tanpa tiket langsung ijo cepet-cepet bukain gerbang... beuhh.. kalau urusannya duit aja dimana-mana sama.


View Telaga Warna pagi hari
Persahabatan bagai kepompong, semuanya pake kepompong
Telaga Warna ini ternyata berada di sekeliling bukit yang cukup tinggi di sisi Timur dan Selatan. Ini artinya kalau pagi sampai mungkin jam 8 suasana telaga pasti masih redup. Walaupun tetap enak untuk dinikmati namun di bawah jam 8 bisa dibilang bukan momen terbaik untuk mengambil foto. Kalau mau bersabar tunggulah sampai jam 8 ke atas karena di saat itu cahaya matahari sudah mulai memasuki celah-celah pepohonan membuat panorama Telaga Warna indah terpampang. Karena sepi asyik juga mondar-mandir disini sambil cari angle-angle yang bagus tapi asli cewe satu yang ditinggalin cowoknya sendiri dan asyik foto selfie ini agak mengganggu mata. Lah masak moto selfi bukan ke arah telaga tapi kearah dimana pahanya bisa ngangkang ke arahku.. Mau gak mau aku jadi perhatiin paha segede pentungan Mr Flintstone itu, belum lagi puser sama perutnya meluber kemana-mana akibat maksa pakai baju ukuran waktu SMP (ciri-ciri perempuan yang hemat). Duh kenapa mau moto pemandangan jadi banyak gini ya hehehe......

Kabut pagi di antara kebun teh yang baru dipangkas
Tak berapa lama kemudian beberapa pengunjung mulai berdatangan, hanya beberapa sih.. dua keluarga plus sodara sama buyut cicitnya :D. Penjual sekoteng baik hati ikutan datang jadi perut yang masih belum terisi dapat diganjel sama sekoteng panas seharga 8rebu, mahal ya? Gak lah, coba kamu bikin sendiri bawa kemari aku beli 10rebu juga gak papa..
Kalau menurut catatan di depan, Telaga Warna ini masuk kawasan cagar alam yang dikelola pemerintah. Makanya saat pagi-pagi banyak terdengar bunyi burung-burung dan teriakan seperti monyet dikejauhan. Aku masih bisa melihat seekor burung kecil berbulu biru dengan paruh panjang besar terbang melintasi telaga. 
Aku memutuskan kembali sekitar jam 8.19.. cieeh, kok hapal banget sih jamnya sampai menit begitu.. Sampai di jalan ternyata kendaraan arah ke Bogor antri memanjang, sepertinya ada buka-tutup jalan. Buka-tutup jalan di wilayah ini sudah biasa terjadi apalagi saat ada liburan seperti ini. Tau sendiri kan, orang Jakarta kalau libur bawaannya pengen melarikan diri aja dari Jakarta. Jadilah Bogor, Bandung dan Puncak jadi pelampiasan mereka.

Perkebunan teh di Puncak Pass
 Aku memutuskan jalan kaki sampai ke Tugu, tapi karena perut lapar aku mampir ke salah satu warung untuk makan. Di warung itulah aku mengenal salah lagi jenis lalapan namanya daun pohpohan. Rasanya harum-harum sengir kayak daun kemangi gitu.. sayang lagi gak pengen makan sambel banyak jadi gak bisa makan lalap sepuasnya, padahal pete yang digantung deket teteh berdiri dari tadi sudah melambai-lambai minta dicicipi. Petenya lho ya bukan tetehnya... pikiran jangan jorok nape!!! :D
Setelah selesai makan dan buang air kecil di kamar mandi masjid mulailah perjalanan dengan jalan kaki menuju Ciawi. Btw tentang kencing, entah cuacanya atau karena bawaan pengen minum, sepanjang jalan aku hitung sudah 6 kali masuk ke toilet 2rebu buat kencing.. dihitung-hitung abis 15rebu cuma buat kencing (karena yang terakhir uang 5rebu gak punya kembalian jadi dikasih aja semuanya). Ternyata jalan kaki lebih cepet daripada naik mobil. Itu mobil saking lama dapat giliran buka sampai banyak yang matiin mobil lalu istirahat sambil makan atau minum di pinggir jala. Kalau sering lama-lama ditutup gitu para pedagang di pinggir jalan jadi kecipratan rejeki. Yah, ternyata dibalik kesulitan tertentu ada kemudahan. 
Para ibu-ibu pekerja sedang memanen daun teh
Entah berapa jauh jarak dari Telaga Warna sampai dengan Ciawi yang pasti sampai dengan jam satu siang lebih aku baru sampai di daerah Cimory, berarti aku telah berjalan kaki 5 jam. Yah mungkin juga karena aku beberapa kali masuk ke dalam perbukitan kebun teh jika aku melihat view-view menarik. Namun berjalan menurun saat jam buka-tutup seperti ini harus berhati-hati karena jalur yang jadi sempit jadi kadang saat bis-bis yang berukuran besar lewat aku memilih minggir di tepi. Namun beberapa motor yang kadang mendesak ingin mendahului juga jadi fokus aku. Beberapa kali aku harus naik sampai ke pinggir jalan untuk menghindari motor yang mencoba melewati bis dari sisi dalam. Untungnya lagi suasana puncak yang lagi banyak awan sehingga tidak terlalu terasa menyengat walaupun berjalan dengan matahari yang telah di atas kepala.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 06 Maret 2014

Weekuri: Surga Minus Bidadari

Danau Weekuri, danau yang airnya asin dengan warna tosca-nya
Tempat ini menjadi lokasi yang aku incar untuk didatangi setelah mendapatkan kompor sebuah foto dari teman dengan judul yang sangat sangat provokatif: Pantai Weekuri, sebuah surga hanya bidadari yang tidak ada. Untuk menghormati betapa kompornya sangat dahsyat menyentil naluri hewani-ku maka itulah judul yang aku taruh di tulisan kali ini. Lebih pendek tentu saja karena siapa juga yang enak menulis judul sepanjang itu. Semoga tulisan ini juga ikut menyumbang provokasi untuk teman-teman lain yang tersesat mampir ke tulisan ini. Selamat membaca sambil bobo' (yang pake tab/smartphone tapi tolong jangan yang pakai notebook).

Malu Bertanya Sesat di Jalan
Lagi-lagi mengandalkan penugasan dari kantor, tapi bukan berarti aku gak kerja lho ya. Haram kalau mau nerima duitnya tapi gak mau kerjanya. Tentu saja hari Minggu adalah alasan paling masuk akal kalau jalan. Itu sudah aku rencanakan awal sampai disini dan tentu saja sudah ada teman disini yang siap mengantar perjalanan untuk membuktikan kebenaran kompor itu.
Tapi Minggu pagi saat aku konfirmasi ternyata ada kendala dengan kendaraan teman yang mau menemani karena katanya sedang bermasalah dan masih masuk bengkel. Untung masih ada alternatif lain, yaitu menyewa motor dari hotel.
Menyusuri Pantai Mananga Aba pada suatu sore
Pagi-pagi tanya ke manajer hotel ada gak dua motor untuk kami sewa, dan untung jawabannya melegakan tapi juga menyesakkan. Pertama, dua motor yang kami minta memang ada tapi kedua: tidak ada helm. Duh, puyeng nih. Masalahnya perjalanan kali ini bukan perjalanan jarak pendek seperti halnya kita mengunjungi Pantai Mananga Aba (baca: Pantai Kita) yang berjarak tak lebih dari 15 km dari kota Weetabula. Aku butuh helm bukan karena ditangkap polisi (walau kuakui berurusan tilang menilang dengan polisi juga mengjengkelkan) tapi lebih karena risiko jika harus naik motor tanpa helm. Aku terus terang kurang tahu perilaku berkendara orang-orang di Sumba Barat Daya. Memang sepengalamanku jarang aku temui orang yang naik motor ngebut tapi masih ada tukang ojek yang masih meragukan kemampuan mengendari motornya. Yang pasti aku harus antisipasi kemungkinan terburuk, lagian dengan jarak perjalanan satu jam lebih tentu lebih nyaman jika pakai helm. Stopppp..... kenapa aku bahas helm ya. Intinya aku mau pinjam tapi minta disiapkan helm, terserah mau helm sepeda atau helm becak (ada gak ya?!?). Untungnya menjelang siang manajer hotel bilang kalau helm udah ada. Sip, akhirnya aku dan temanku bisa memutuskan untuk jalan dan kupikir jam sebelas siang kita bisa start jalan. Sebenarnya bukan waktu yang tepat karena tentu saja masih sangat puanas dengan matahari yang berada tepat di ubun-ubun. Tapi kami logis aja, dengan kondisi jalan tanpa tau persis lokasi kami tak tau sampai jam berapa bisa sampai lokasi. Kami cuma tahu satu hal, Weekuri terletak di wilayah Kodi. Aku sendiri awalnya sempat tanya yang pernah kesini jalur menuju Weekuri sayang sinyal lebih dulu hilang sebelum ada jawaban.
Perjalanan awal lumayan lancar, aku dan Putra tinggal mengikuti rambu-rambu yang terpasang yang mengarahkan jalan ke Kodi dan itu artinya kami menuju ke ruas jalan menuju kantor bupati dan itu lanjut terus. Permasalahannya adalah ketika kami memasuki wilayah Kori, sebenarnya kami seharusnya berbelok ke kanan dari percabangan Kori namun kami justru terus. Tentu saja aku menggunakan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) hehehehe.. dan itu memang efektif walau kami harus melewati jalan-jalan tanah dan berbatu. Jangan sombong walau anda punya GPS digital, karena GPS manual jauh lebih membantu karena memang sinyal bukan hal mudah akan diterima di sepanjang jalan. Jika di perkotaan saja masalah sinyal sering aku temui, tidak mengherankan jika itu juga terjadi dalam perjalanan kami. Jadilah setiap pertigaan yang meragukan kami harus bertanya, pokoknya kalau dihitung kami bertanya tak kurang dari 10 kali, lebih malah. Kondisi jalan walau tanah sebenarnya tidak jelek karena rata-rata tanahnya keras, hanya mungkin ada beberapa titik yang ada genangan air. Apalagi dengan menggunakan jalan potong hasil bertanya ke penduduk maka jalan yang kami lewati tentu saja lebih jelek dari jalan normal.

Pantai Karoso, Kesasar ke Pantai yang Menawan
Pantai Karoso, salah satu pantai yang cantik di Sumba
Sampai akhirnya kami sampai di pertigaan dimana yang dua sisi telah beraspal sedangkan yang sisi kami tanpa aspal (jalan potong). Dari jalan aspal kami terus lurus ke arah barat sesuai papan petunjuk yang bunyinya juga gak bilang itu pantai apa cuma tertulis "Dilarang mengambil bahan/material pasir di pantai". Dengan pede-nya kami anggap itu adalah pantai yang dimaksud. Jadilah aku terus melaju lurus walau seharusnya di persimpangan ada jalan perkerasan seharusnya aku berbelok ke arah itu. 
Akhirnya aku sampai ke sebuah pantai yang namanya tertulis pantai Karoso. Pantai berpasir putih dengan warna tosca. Pantai yang kalau saja bukan di Sumba tapi di Jawa mungkin sudah diserbu orang-orang untuk berwisata.
Ada sebuah gubug pendek terbuka beratap daun alang-alang di pinggir pantai, di dalamnya berkumpul beberapa lelaki tua-muda sedang duduk disekitar bara api yang tinggal menyisakan asap. Seorang bapak tua menemui dan berbincang-bincang dengan kami. Ternyata api itu berasal dari kegiatan bakar ikan yang mereka lakukan. Pantai Karoso ini juga rupanya menjadi tempat penjualan ikan.
Suasana pantai ini cukup teduh karena di sepanjang pantai banyak ditumbuhi Bakau dan pohon Ketapang. Ombaknya juga cukup tenang, padahal seharusnya ombak dari daerah selatan selalu keras terutama karena memang menghadap ke laut lepas Samudera Hindia Selatan.
Dari bapak tua itu aku ditunjukkan kalau kami terlewat, seharusnya sudah belok dari percabangan yang ada jalan perkerasan. Setelah kami memberi uang sedikit untuk membeli sirih pinang kami melanjutkan kembali. Kami kesasar tapi rasanya tempat kami kesasar juga tidak mengecewakan untuk dikunjungi.

Danau Weekuri: Tosca Everywhere
Sekitar tiga kilometer setelah kami menyusuri jalan perkerasan, akhirnya kami sampai di gerbang masuk danau Weekuri. Lima meter jalan di belakang kami sebenarnya terdapat percabangan masuk menuju lokasi Pantai Watu Mandorak. Sial banget, ternyata baru aku tahu kalau kedua tempat menawan ini sebenarnya bersebelahan. Padahal dulu aku pernah mampir ke Pantai Watu Mandorak yang sudah aku tuliskan di blog berjudul: Eksotika Alam Sumba dan Marapu.
Siapa bisa menolak untuk masuk ke airnya dengan air seperti ini
Ada sebuah pos jaga yang menyatakan jika semua tamu diharap lapor, sayang lagi kosong ditinggal penghuninya. Tempat masuknya sendiri masih alami hanya ada beberapa tugu penanda kalau kita sudah sampai di Weekuri, tapi belum ada tugu yang menjelaskan bagaimana danau weekuri ini terbentuk juga jika ada legendanya. Biasanya danau-danau seperti ini suka ada legenda yang menyelimutinya. Entahlah, setidaknya aku tidak mendengar legenda itu dari seorangpun yang tinggal di tempat ini.

Anak-anak kampung asyik berenang
Kedatanganku disambut oleh pemandangan beberapa penduduk kampung yang duduk bergerombol. Menyapa mereka menjadi salah satu kebiasaanku, selain untuk berakrab ria dan beramah tamah kadang dari mereka kita bisa tahu lebih dalam suatu lokasi yang kita kunjungi. Bagi seorang yang memang pecinta jalan-jalan, wajib hukumnya untuk selalu GPS (Gunakan Penduduk Setempat) hehehehe.....
Beberapa anak kecil dengan hanya bercelana pendek tengah asik bermain di air danau. Dan air danaunya....... busyettt.... tosca yang begitu bening sangat menggoda imanku untuk ikut nyemplung dan bermain bersama mereka. Batu-batuan di dasar danau yang tidak terlalu dalam tampak jelas dari permukaan. Pepohonan hampir seluruhnya menutupi area ini kecuali beberapa daerah di ujung yang menjadi pembatas antara danau ini dengan laut lepas.
Jangan tanya aku apakah indah atau tidak? Mulutku saja sampai keluar kata-kata makian yang tidak sopan aku tulis disini. Tiada kata yang pantas kuucapkan, lebih aku bengong sebentar daripada maki lagi kan. Keinginanku untuk nyemplung tentu saja aku tahan dulu. Aku bahkan turun sebentar dan mencoba rasa airnya untuk meyakinkanku bahwa airnya asin.
Aku dan Putra mencoba berjalan memutari kawasan yang tidak terlalu luas ini. Mendekati ke arah ujung batas laut dan danau terdengar debur keras ombak yang menghantam karang dan masuk ke celah-celah karang. Ternyata karang-karang yang aku pijak ini tidak benar-benar utuh tapi ada retakan. Aku dengan mudah bisa melihat dari celah retakan air yang mengalir masuk ke rongga karang di bawah kakiku.

Putra berdiri di atas karang pembatas danau dan laut lepas
Batu-batu karang yang mengumpul membentuk blokade ini bentuknya runcing-runcing sekali mengingatkanku pada batu karang yang ada di pulau Rote: Pantai Tiang Bendera. Aku yang hanya memakai sendal dari bahan empuk tentu saja harus rela merasakan sakit saat dengan tidak bersahabatnya karang itu menembus sendalku sampai ke kulit telapak kaki dan seenaknya meninggalkan rasa sakit disana. Lebih untung Putra yang memakai sendal berbahan bawah lebih keras sehingga lebih tahan untuk memijak karang. Namun itu setimpal, pemandangan dari karang pembatas paling menarik untuk mengabadikan keindahan danau Weekuri.
Diujung pembatas ada beberapa orang yang berdiri di karang-karang yang sangat terjal itu untuk memancing. Entah apakah mudah memancing ikan di tempat air yang gelombang keras seperti itu. Catatan, hati-hati melewati batu karang pembatas laut dan danau ini karena di beberapa tempat aku lihat batu karangnya bisa bergeser. Walaupun tidak bergeser yang mengakibatkan longsor namun kondisi karang yang sangat tajam akan mudah membuat kalian terluka bahkan hanya karena salah menginjak saja. Aku pernah mengalami kejadian seperti ini beberapa waktu lalu di lokasi seperti ini.
Eh, ingat ya Weekuri itu bacanya Waikuri. Ini khusus untuk orang-orang yang tidak terbiasa dengan cara mengucapkan kata seperti itu khas orang-orang Sumba Barat Daya. Makanya kalau kota Weetabula pasti terbacanya Waitabula.
Selesai memutari lokasi ini yang membuat kulitku sempurna gosong (tapi belum kurasakan perihnya) akhirnya kami bisa beristirahat sedikit di bangku yang dibuat dari susunan kayu. Sekantung plastik kacang seharga lima ribu rupiah yang kami beli dari penduduk yang menjual kacang disini mengisi perut kami selain pisang-pisang yang kami bawa dari kota.
Tak tahan melihat anak-anak mandi, aku yang lupa membawa celana renang tetap saja nekad masuk ke danau. Gobloknya, aku lupa melepas baju hanya melepas rompi yang memang berisi barang-barang yang tidak tahan masuk di air. Masuk ke airnya yang bening memang sedap sekali. Aku bahkan dengan mudah membiarkan badanku telentang mengapung sendiri. Mungkin jika aku mengantuk, aku juga bisa tertidur telentang di air tanpa takut tenggelam. Danau yang tanpa gelombang ini bener-bener speechless untuk diungkapkan. Aku harus akui kalau foto provokatif temanku itu benar, hanya bidadari yang gak ada. Karena bidadaripun bisa jadi hangus terbakar kalau disini karena mungkin akan berenang keasyikan siang-siang hahahaha.........
Warna tosca yang sangat jernih menjadi pemandangan yang tiada duanya di Weekuri
Selain pepohonan untuk berteduh, batu-batu yang melingkari sepanjang danau juga terdapat celah-celah berongga yang bisa digunakan untuk berteduh. Yang penting dimanapun anda berada di lokasi ini, jangan buang apapun termasuk sampah sembarangan. Jangan buat tempat yang begitu indah ini akhirnya menjadi tempat jorok.
Dari beberapa referensi ada yang menyebut bahwa danau Weekuri ini laguna karena merupakan wilayah perairan laut yang terjebak. Namun setauku biasanya laguna masih memiliki hubungan entah berupa rongga besar atau celah sempit yang terhubung ke laut sementara di danau ini celah itu tidak tampak selain dari celah sempit. Bisa dibilang tidak ada penghubung terbuka antara danau ini dengan laut.

Tambahan: Pantai Watu Mandorak
Sebenarnya informasi dari penduduk, ada jalan lain dengan langsung masuk terus yang nanti akan ketemu dengan jalan potong menuju Kori. Tapi karena ingin melihat kembali Pantai Watu Mandorak aku akhirnya memutuskan jalan balik.
Silahkan buktikan sendiri pantai pribadi ini, view Watu Mandorak dari sisi tebing sebelah utara
Oh iya, suasana di sepanjang jalan lebih banyak dipenuhi tanah-tanah kosong berumput alang-alang. Hanya satu dua rumah yang dibangun di pinggir jalan, sisanya tak lebih dari pemandangan kosong seperti itu.
Watu Mandorak tetap dengan pesonanya, tapi kiranya aku gak perlu menuliskan kembali panjang lebar tentang lokasi yang indah ini. Sebagai rangkuman, aku akan lebih senang menyebut Pantai Watu Mandorak ini seperti memiliki pantai pribadi.
Aku sebenarnya mau berenang kesini tapi karena takut basah di badan akan menjalar ke perangkat kameraku akhirnya aku memutuskan hanya berjalan-jalan saja. 
Kedua tempat indah ini masih jarang didatangi orang meskipun hari Minggu mungkin karena akses yang tidak mudah. Kalau menurut perhitunganku jarak antara kota Waitabula sampai ke tempat ini tak kurang dari 60 km, dengan kondisi jalan yang tidak semuanya cukup mulus dilewati walau pun tidak juga terlalu buruk untuk dicapai.

Perjalanan balik, kami mencoba mengikuti jalan besar dan itu ternyata tidak sulit tapi memang terasa berputar-putar jauh lebih mudah menggunakan jalan potong. Tetap memanfaatkan GPS membantu kami tidak tersesat. Jangan takut bertanya, umumnya masyarakat sangat welcome memberitahu arah ke sana walau tidak semua tahu dimana Weekuri atau Watu Mandorak.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 11 Desember 2013

Pecicilan di Kawah Putih

Danau yang berasal dari kawah berwarna kuning kehijauan: Kawah Putih
Gerimis mulai turun saat aku keluar dari gerbang Situ Patengang, kumasukkan tanganku ke saku sweater hijau kutarik lebih dalam sambil melangkah lebih cepat. Dari tadi tak satu pun ada angkutan yang berjalan balik ke arah Ciwedey. Jika sial, berarti aku harus berjalan kaki tak kurang dari lima km untuk sampai ke Kawah Putih. Sebenarnya ke dua tempat, Kawah Putih dan Situ Patengang, sempat membuatku bimbang. Dimanakah di antara keduanya yang ingin kunikmati saat kabut pagi masih tebal. Akhirnya aku memang memilih Situ Patengang karena lebih mudah dijangkau dengan angkutan umum, sedangkan ke Kawah Putih hanya bisa dijangkau dengan angkutan dari pengelola yang pasti belum ada pagi-pagi begini. Dengan jarak tempuh sekitar lima km, paling sedikit aku membutuhkan waktu setengah jam dan bisa jadi aku kehilangan momen kabut pagi.

Tangga menurun menuju Kawah Putih
Untung sampai di pertigaan ada seorang pengendara motor melintas. Karena arah yang sama mau ke Kawah Putih akhirnya aku ikut dengannya. Melintasi jalan sepanjang jalur Situ Patengang sampai ke Kawah Putih ternyata cukup membuat aku kedinginan. Apalagi di daerah Rancawalini sempat ada kabut berair yang membuat sweater-ku basah sehingga terasa lembab. Untung juga aku tak membawa dua lensa, sehingga tak iseng gonta ganti lensa yang dalam situasi seperti ini punya kans buat kamera cepet almarhum. Perjalanan seperti ini memang biasanya aku lebih suka membawa satu lensa Tamron 17-55mm f/2.8 supaya aku tidak ribet dengan alat-alat fotografi. Termasuk tripod yang biasanya selalu aku bawa, kali ini absen. Bukan karena aku gak mau, tapi karena hilang hehehe. Wal hasil aku memang harus menghindari penggunaan kecepatan rendah.
Dibelakang view ini terdapat gua Belanda
Sekitar sepuluh menit kemudian aku sampai ke area Kawah Putih. Tak ingin terburu-buru jalan, aku memilih mampir dulu ke sebuah warung yang ada disekitaran gerbang masuk Kawah Putih. Warung masih tampak sepi, mungkin belum lama buka sehingga permintaan semangkuk soto ayam dan teh panas segera tersaji beberapa menit kemudian. Sambil makan, aku mengamati suasana sekitar
Suasana sudah tampak ramai, beberapa bis wisata mulai masuk ke area. Ada juga rombongan motor yang datang, kalau gak salah sih motor Honda CBR. Sebenarnya aku salah tas ransel, seharusnya aku membawa tas ransel yang lebih kecil. Namun entah kenapa, kemarin aku justru memilih tas ransel yang agak besar untuk kubawa dan menitipkan tas yang lebih kecil ke Rey untuk dibawa pulang. Padahal aku hanya membawa sedikit barang.
Batang pohon santigi yang mati mengering
Tiga puluh ribu rupiah, itu biaya yang harus dibayar per orang untuk masuk ke Kawah Putih. Gak mahal lho, karena itu sudah termasuk harga ontang-anting (angkutan khusus untuk mengangkut pengunjung ke dan dari Kawah Putih). Tapi bagi yang hendak foto pre-wedding disini, tercantum biaya sebesar 500ribu rupiah, cukup mahal atau sangat mahal?
Aturan di sini, selain mobil pribadi semua pengunjung harus menggunakan jasa ontang-anting untuk naik ke atas termasuk juga bis-bis wisata harus menggunakan jasa ini. Ontang-anting ini sepertinya angkutan dengan tiga lajur tempat duduk plus satu penumpang di bagian depan. Masing-masing lajur punya bisa diisi sampai dengan tiga orang, jadi jumlah penumpang penuhnya sekitar 10 orang. Yang berbeda, ontang-anting ini tidak punya pintu seperti halnya bajaj kecuali untuk penumpang yang di depan (sebelah sopir).
Rupanya naik ontang-anting menjadi sensasi tersendiri, dengan kondisi jalan yang naik turun berliuk-liuk justru sopir sering dengan sengaja melarikan kencang sehingga di beberapa tikungan dan turunan yang tiba-tiba beberapa penumpang menjerit, antara ketakutan dan senang. Tapi jangan tanya penumpang yang duduk di persis pintu, mereka akan mencengkeram kuat besi pegangan bahkan saat ontang-anting melaju di tempat yang lurus. Saranku bagi yang takut, sebaiknya jangan duduk di ujung pintu. Bisa-bisa perjalanan menyenangkan itu malah menjadi trauma. Jaraknya memang tidak jauh, seperti lain kali aku bisa memilih untuk berjalan kaki.
Kumpulan pohon santigi di dekat Kawah Putih yang mati terbakar
Akhirnya ontang-anting sampai di pelataran luas, ujung dari perjalanan naik ke Kawah Putih. Pengunjung sudah sangat banyak sehingga aku cukup mengikuti arah jalan mereka. Papan penunjuk sebenarnya cukup jelas terbaca tapi kadang kita malas membacanya. Padahal sebenarnya itu diperlukan sekali, apalagi di tempat-tempat yang punya potensi bahaya seperti disini. Aku lihat ada papan petunjuk bertuliskan arah "Evakuasi", papan ini menjadi urgen sekali untuk diketahui karena memang ada kondisi tertentu dimana kawasan Kawah Putih menjadi sangat berbahaya terutama jika ada aktivitas berlebihan dari kawah Gunung Patuha ini. Yang paling umum adalah naiknya kandungan kadar belerang di udara yang dapat menyebabkan rasa pusing, mual bahkan jika dalam kandungan berlebihan dan tidak segera ditangani bisa mengakibatkan kematian. Sebaiknya baca papan petunjuk jalur evakuasi, ini akan bermanfaat jika tiba-tiba Kawah Putih iseng menjadi tidak bersahabat sehingga bisa menolong diri sendiri atau orang-orang disekitarnya.
Hanya beberapa meter setelah melewati tangga menurun, telaga kawah berwarna kuning pucat kehijauan menyapaku. Itulah warna dari telaga Kawah Putih ini. Tidak ada warna putih saat itu, warnanya lebih ke warna belerang, sementara warna kebiruan lebih karena pantulan warna langit. Bau belerang telah muncul saat mulai turun tangga. Banyak orang telah datang ke tempat ini, dengan lokasi yang mudah dicapai seperti ini tentu banyak orang yang ingin mengujungi tempat ini.
Selain pohon-pohon mengering, longsor juga rawan terjadi
Aku memilih berbelok ke kiri setelah melewati ujung tangga karena memang tidak banyak orang yang menuju ke arah itu. Beberapa pohon santigi yang dekat telaga telah menjadi onggokan batang kering. Batang-batang kering ini bahkan bukan hanya di tempat yang dekat dengan kawah, bahkan di tanah-tanah tinggi beberapa meter dari telaga juga tidak luput dari sergapan belerang sehingga juga menjadi mati meninggalkan kayu kering yang menghitam. Hanya ada dua rombongan lain yang mengikuti arah kesini, sementara banyakan yang lain lebih memilih berada di kawasan di dekat tangga turun, setidaknya mereka cepat untuk dievakuasi. Mungkin hanya aku pejalan sendirian disini, sementara yang lain berombongan atau paling tidak berpasangan. Beberapa pakis baru tumbuh di areal bekas pohon-pohon santigi yang terbakar, pertanda beberapa waktu tidak ada aktivitas kawah yang terlalu berbahaya. 
Sayangnya selain kabut yang sudah tidak ada lagi, matahari juga lebih sering bersembunyi di balik awan kelabu. Ini lah risiko datang di bulan-bulan saat hujan mulai datang. Sepertinya memang datang ke tempat ini pagi hari menjadi pilihan tepat, tentunya jika menggunakan kendaraan pribadi atau kalau rela mau berjalan kaki. Karena menurut informasi, kawasan wisata Kawah Putih mulai dibuka setelah jam tujuh, kadang juga lebih. Tentu saja belum ada ontang-anting yang bisa kita gunakan, entah kalau kita sewa.

Narsis menjadi hal yang tidak pernah dilupakan para pelancong
Satu jam kemudian aku kembali ke arah tangga turun dan coba melihat ke sisi kanan tangga. Beberapa meter baru melangkah aku melihat gua belanda, begitu yang tertulis di papan petunjuk. Bau menyengat belerang keluar dari gua itu, sangat menyengat. Pantas saja di depan gua terdapat petunjuk agar tidak berlama-lama di depan gua. Sebenarnya dari areal ini dapat melakukan trekking hutan namun aku memutuskan menunda untuk kesempatan lain karena berburu dengan waktu.
Keindahan danau Kawah Putih memang tidak diragukan, pantas saja walau biaya untuk foto prewedding di tempat ini cukup mahal namun banyak yang menginginkan bisa foto prewedding di tempat ini. Kalau kata teman, bahkan sang calon mempelai wanita bisa berpose dengan baju dengan bahu terbuka dipagi hari. Padahal yang menggunakan jaket dengan dua lapisa baju di dalamnya saja masih merasa kedinginan. Untung foto, kalau video pasti ketahuan kalau setelah pemotretan mereka bakalan menggigil ketakutan.
Kembali dari Kawah Putih, aku sempetin beli buah strawberry yang ada di tempat ini, katanya lebih manis walau ukurannya lebih kecil. Tapi setelah mencoba, menurutku strawberry yang pernah aku beli di SoE, NTT jauh lebih manis.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 05 Maret 2013

Ranamese, Rindu pada Hening

Di tepi danau Ranamese, tumbuhan air memenuhi bawah danau
Aku menulis ini bukan karena bosan jalan-jalan atau gak ada stok tempat tujuan lain lagi sehingga harus menulis yang sama.. itu lagi itu lagi... Tapi karena ada sesuatu hal yang membuat kegiatan jalan-jalan dan moto-moto terhenti. Tetapi karena kesibukan yang seharusnya gak perlu dibuat sibuk. Tak lain dan tak bukan karena harddisk-ku tewas. Sayangnya, kerusakan harddiskku terlambat aku sadari yang mengakibatkan seluruh file yang ada di dalamnya hilang tak terselamatkan... foto-foto dan video perjalanan juga data lainnya selama enam bulan terakhir raib lenyap. Jadi saat itu lebih disibukkan untuk mengembalikan data-data pekerjaan yang terus terang bisa menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan ulang. Ayo.. ayo.. yang ikut berduka bisa menyumbangkan uang duka ke rekeningku hahahaha...

Tapi ternyata foto-foto ini masih sempat aku olah walaupun hanya menyisakan ukuran layak tayang di website saja, itupun sayangnya juga tidak lengkap. Tapi daripada itu hilang lebih baik aku upload saja di sini, walau sebenarnya cerita di sini belum lengkap karena awalnya aku ingin sekalian menuliskan lokasi air terjun Watu Teber yang tidak jauh dari danau Ranamese.

Senja di pantai Cepi, Borong
Perjalanan ke Ranamese baru bisa terlaksana hari Sabtu padahal sudah hampir seminggu tinggal di Borong. Apalagi kalau bukan masalah hujan yang rajin mengguyur tanah Flores belakangan ini, masih untung tidak meninggalkan jejak banjir seperti di Jakarta. Rencana perjalanan ke Ranamese sebenarnya ada dua tujuan: pertama, memperkenalkan lokasi baru ke Putra yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, kedua ada rencana yang belum tuntas yaitu mengelilingi danau Ranamese.

Kami mematangkan rencana setelah melihat cuaca siang terang, memang mungkin sekali cuaca berubah sewaktu-waktu tapi ini adalah hari terakhir kami. Minggu rencana kami akan kembali bertugas ke kota lain.

Sekitar jam tiga lewat, kami bertiga, aku, Angga dan Putra diantar mobil kijang pak Victor kami ke pertigaan arah masuk ke pasar. Di sini banyak sekali mobil-mobil plat hitam yang beroperasi layaknya angkutan umum antar kota. Umumnya mobil-mobil sejenis Avansa dan paling banyak APV memiliki jalur tempuh pendek, Borong-Ruteng atau Borong-Bajawa. Kami naik sebuah APV hitam yang sedang kosong yang menawarkan jalur Borong-Ruteng. Tak menunggu lama, si sopir memutuskan langsung berangkat. Aku sempat heran karena biasanya hari Sabtu banyak yang pulang. Just info, Borong adalah kota dari Kabupaten Manggarai Timur yang baru terbentuk beberapa tahun lalu jadi suasananya masih seperti kampung di Jawa. Karena baru banyak pegawai yang sebagian mutasi dari kabupaten induk Manggarai masih tinggal di Ruteng. Jadi hari Sabtu adalah kesempatan untuk pulang dan menikmati Minggu di rumah. Namun rupanya sebagian pegawai sudah pulang hari Jum'at karena Sabtu ini adalah hari libur. Sopirnya ternyata orang Ruteng jadi sekalian sambil mengantar kami langsung kembali ke Ruteng.

Sebuah rakit dari kayu di tepi danau Ranamese
Setengah jam perjalanan yang terus menanjak akhirnya kami sampai di depan gerbang kantor bekas KSDA yang sudah kosong sekaligus pintu gerbang menuju ke danau Ranamese. Sopir APV minta uang seratus ribu waktu aku tanya biaya mengantar kami. Sebenarnya pak Victor sudah memberitahu kami kalau ongkos dari Borong sampai dengan Ruteng itu hanya dua puluh lima ribu, jadi kalau sampai Ranamese cukup lima belas ribu. Mengingat kami cuma bertiga yang naik jadi kami bayar saja seratus ribu, lebih murah dibanding kami menyewa sendiri mobil kesini. Walau pun mendung untung kabut tidak turun, padahal di Ranamese kabut mudah sekali turun jika sore menjelang apalagi jika sedang musim hujan begini. Untungnya di musim hujan begini, suhu justru menjadi tidak dingin. Aku bisa bandingkan saat kesini bulan Juli, walau tidak kabut namun suhunya benar-benar menggigit tulang.

Beberapa puluh meter masuk ke jalan setapak sampai kami di pinggir danau. Kami berputar menelusuri jalan tanah berbatu menuju ke bangunan seperti dermaga kecil. Putra dan Angga hanya sampai disitu saja sementara aku memutuskan untuk melanjutkan jalan mengitari danau.  Rumput-rumput telah mulai meninggi menutupi jalan setapak yang batunya terasa licin oleh air yang mengalir dari sela-sela tanah. Tapi rumput-rumput yang tinggi ini juga membantuku berpegangan karena beberapa titik jalan yang meninggi ada yang longsor. Sukses melewati longsoran tanah aku harus rela disambut pohon-pohon besar melintang yang kulit batangnya terasa basah berlumut ditanganku. Perjalanan seperti ini, aku seperti melewati jalan yang lama tak tersentuh. Sementara di kejauhan danau, beberapa orang yang sedang asyik memancing menimbulkan tanya, darimanakah mereka berjalan sampai kesana? Apakah ada jalan lain ataukah menggunakan rakit bambu/kayu itu untuk sampai kesana?

Sepuluh menit kemudian aku sampai di turunan, tampak sebuah rakit dari kayu bersusun yang digunakan orang untuk menyeberang bersandar di tepi tanah lapang berumput. Lumayan, aku bisa sedikit menarik napas di sini. Aku cukup dekat dengan seorang pemancing yang tampak duduk tenang di atas rakitnya. Kepulan asap sesekali tampak dari sela bibirnya saat dia menghembuskan asap rokok ke udara.

Tapi aku belum setengah jalan sehingga aku putuskan untuk kembali melanjutkan jalan. Kali ini memang lebih sulit. Jejak jalan tidak seterang sebelumnya yang walau telah longsor masih tampak. Kali ini rimbunan rumput dan batang-batang pohon yang rumbuh mendatar menutupi jalan. Beberapa kali aku harus mereka jalan yang ada. Tampaknya jalan yang ini benar-benar sudah lama tidak dilewati. Tanah basah bahkan telah berlumut, harus hati-hati jika tidak ingin terpeleset. Kali ini waktu terasa lebih lambat, beberapa menit aku berjalan tidak mendapatkan kemajuan berarti. Langit mulai gerimis kembali, saatnya aku memutuskan untuk kembali. Sepertinya aku harus melanjutkan jalan di lain waktu. Jam tangan sudah menunjukkan waktu lebih dari setengah lima. Saat kami bertiga kembali sampai di tempat kami berbelok pertama kali, aku baru menyadari setidak nya ada empat lintah telah sukses menghisap tubuhku. Yah lumayan untuk mereka yang mungkin telah lama tidak mendapatkan darah segar hehehehe.

Tiba-tiba dari balik jalan kecil lain muncul orang tua yang sedang memanggul joran pancing. Aku penasaran bertanya: "pulang mancing pak?" 
"Iya," sahutnya singkat sambil tersenyum
"Kalau mau ke sana itu," tunjukku ke arah dua orang yang masih mancing sesore ini, "untuk mancing bisa lewat jalan itu pak?" arah kepalaku menunjuk belakang jalan bapak tua.
"Iya, lewat sini bisa berputar sampai ke sana"
Oh, rupanya aku salah arah jalan, harusnya aku lewat jalan ini. Hahaha, lain kali aku harus mencoba lewat sini.

Acara hari ini kami akhiri dengan mampir di warung kopi persis setelah masuk gerbang menuju Ranamese. Penjual kopi ini adalah penjual kopi yang sama yang biasanya ada di jalan atas tepat di samping tembok yang dibangun untuk melihat danau Ranamese. Kata ibunya, mereka tidak diperbolehkan berjual di tempat itu lagi sehingga mereka pindah kesini. Lumayan lah jadi lebih dekat daripada sebelumnya harus naik ke atas lagi.

Segelas kopi panas dan semangkuk mi rebus segera terhidang nikmat terasa di saat hawa dingin begini. Kami sepertinya pengunjung terakhir karena ibu itu juga sudah mulai berkemas memberesi warungnya. Menurut informasi, bisanya jam terakhir ada kendaraan adalah jam setengah enam tapi bisa lebih awal kalau hari-hari sepi.

Wal hasil setengah jam menunggu di warung kopi ternyata belum ada satu kendaraan travel pun yang lewat. Akhirnya sambil menunggu kendaraan lewat, kami memutuskan sambil berjalan ke arah atas. Menunggu kendaraan travel menjadi acara yang agak bikin cemas karena sudah mulai lewat jam setengah enam masih juga belum nongol. Kami sedang bersiap-siap untuk naik kendaraan apa saja truk, pick up sekalipun yang arahnya ke Borong. Untung di menit terakhir sebuah APV putih lewat menawarkan tumpangan ke Borong. 


Kami bertiga menjadi penghuni terakhir APV yang membuat APV menjadi penuh sehingga cukup untuk menghitung keuntungan si sopir. Acara naik APV diiringi sedikit accident. Saat aku hendak memutuskan membuka sedikit kaca agar udara masuk, tiba-tiba seorang nona yang duduk di depan mobil muntah  di samping. Keruan saja muntahannya memenuhi kaca samping tempat aku duduk. Untung aku belum buka kaca, seandainya aku lebih dulu pasti ada acara orang muntah karena kena muntah.... hahahahaha.. 

Acara kembali ke Borong lebih murah, kami hanya diminta lima puluh ribu bertiga. Lumayan setengah harga dari perjalanan berangkat.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya