Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label danau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label danau. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Agustus 2012

Menjelajah di Hari Yang Dingin: Oehala, Supul

air terjun oehala
Empat tingkat dari air terjun Oehala, Timor Tengah Selatan 

Tahu rasanya saat bulan puasa seperti ini harus bertugas di daerah yang suhunya lagi dingin-dinginnya? Jawabannya: gak enak sama sekali. Akhir bulan Juli ini suhu di SoE lagi dingin-dinginnya, walaupun siang hari tapi angin yang bertiup membuat gemeretak gigi. Sengatan matahari lumayan membantu mengurangi rasa dingin. Berada di ketinggian +/- 780 meter di atas permukaan laut dan pengaruh musim dingin di Australia, tak heran suhu menjadi dingin menggigit seperti ini.
Jangan tanya di kamar, rasa dinginnya lebih tidak karuan, satu-satunya penyelamat adalah masuk ke dalam selimut. Sahur menjadi sarapan yang menyiksa, pilihan antara makan roti yang dibeli malam atau makan nasi padang yang penuh santan kental.
Tiap hari nyaris selalu memakai jaket penuh dan sarung tangan, paling menyenangkan saat ada matahari. 
Bagaimana menggambarkan dinginnya bahkan bisa dilihat di Kupang. Hari Senin pagi aku naik motor dari Kupang menuju SoE harus menahan rasa dingin terasa menggigit di tangan di sepanjang jalan. Bahkan aku harus beberapa kali berhenti mengibas-ibaskan saking ngilunya jari-jari tangan menahan dingin akibat tidak memakai sarung tangan.
nusa lontar siluet
Suasana pagi dari atas jembatan Noelmina di perbatasan Kupang-Timor Tengah Selatan
Bahkan sampai di jembatan Noelmina daerah Takari kabut tebal tampak menyelimuti di seberang sungai. Padahal Takari terkenal panasnya, mengalahkan panasnya Kupang. Jajaran pepohonan memenuhi kawasan pinggir sungai yang pasirnya sering ditambang ini bagai bayang-bayang tertutup kabut putih. Pohon lontar yang tumbuh jangkung tampak mendominasi pemandangan pagi di seberang sungai Noelmina yang arus airnya sedang berkurang bulan-bulan seperti ini. Padahal di atas motor aku memakai pakaian tebal dobel dan jaket, bahkan selain helm aku melapisi kepala botakku dengan ponco tetapi tetap saja dingin menerobos dari celah jaket.


danau supul niki-niki
Danau atau rawa supul dan deretan tanaman teratai
Untung beberapa hari kemudian aku sempat melakukan uji sampling penugasan ke kota kecamatan, dan pilihanku jatuh ke Niki-Niki. Sebuah kecamatan yang berada dipertengahan SoE-Kefamenanu ini cuacanya tergolong panas lumayan menyenangkan untuk mengurangi rasa dingin selama berhari-hari mendekam di kota SoE.
Siang setelah mewawancarai petugas kesehatan di puskesmas Niki-Niki aku kembali ke SoE.  Beberapa kilometer menuju setelah habis Niki-Niki aku minta sopir yang mengantar aku dan Bram berhenti di sebuah rawa yang berada di pinggir jalan. Rawa ini biasa disebut penduduk dengan nama danau Supul, katanya kalau musim hujan airnya bisa meluap sampai ke jalan. Entah ada hubungannya atau tidak, karena orang kupang mengatakan 'supul' itu artinya juga sudah penuh (su=sudah; pul=ful=penuh). Sebenarnya memang lebih tepat disebut rawa karena air disini tidak ada sungai atau sumber lain yang bermuara jadi seperti air tergenang, tapi kata masyarakat disini airnya tidak pernah sampai habis walaupun musim paling kering sekalipun.
Di rawa Supul juga digunakan masyarakat untuk berwisata, tak heran kalau hari minggu tempat ini banyak didatangi masyarakat. Juga pada hari-hari lain mudah ditemui pemancing di sekeliling rawa. Menurut seorang penduduk yang tinggal disini, sebenarnya di rawa ini ada penunggunya. Istilah untuk menyebut buaya.
Cuaca cukup sejuk, tak panas seperti bulan-bulan biasa tapi masih jauh lebih baik daripada dinginnya SoE. Sebuah dangau yang dibangun di pinggir jalan menjadi tempat yang asyik untuk berteduh atau menjadi tempat untuk membakar ikan.
Tapi sekali lagi aku harus kembali memberi catatan untuk rawa ini. Lagi-lagi waktu aku berkeliling rawa ini aku menemukan banyak sampah plastik berserakan begitu saja. Kembali aku harus mengeluhkan budaya bersih yang masih kurang di NTT ini, entah dari mana semua kesadaran ini harus mulai dibangun.


air terjun oehala
Air terjun bertingkat-tingkat
Hari berikutnya, aku dan Bram harus ke puskesmas Kapan. Perhitunganku suhu di sana kemungkinan akan lebih menggigit karena terletak lebih tinggi dari kota SoE. Letaknya yang berada di bawah kaki gunung Mutis dengan ketinggian sekitar 960 meter di atas permukaan laut. Sekedar info, kecamatan Kapan merupakan sentra jeruk. Perkebunan jeruk khas SoE yang ada disini memasok hampir sebagian besar keberadaan jeruk SoE. Karuan saja, dari berangkat aku sudah persiapkan sarung tangan rangkap dan ponco di kepala berjaga-jaga kalau suhu siang hari tidak bersahabat dengan kami. Untung sesampainya di sana matahari justru terang benderang sehingga rasa dingin banyak berkurang walau tidak sampai harus melepaskan jaket. Sekembalinya dari sana aku mengajak Bram mampir ke Oehala. seperti yang aku tulis pada tulisan-tulisan sebelumnya (baca: Air Terjun Oehala dan Re-visit: Oenesu dan Oehala), Oehala ini terkenal dengan air terjunnya.
air terjun oehala
Tingkat kelima dari air terjun Oehala
Di Oehala sebenarnya lebih panas daripada SoE karena ketinggiannya tak lebih dari 675 meter dpl bahkan waktu kita turun sampai di bawah turun lebih dari 40 meter sampai 635 meter dpl. Kebetulan pula Bram belum pernah ke air terjun ini. Karena sedang puasa, aku berdua dengan Bram sengaja menapaki tangga pelan saja menghemat tenaga karena perhitunganku di tempat ini, waktu kembali justru yang banyak memakan energi.
Besoknya setelah Bram bercerita dengan teman-teman lain mereka menjadi tertarik, apalagi waktu kita beritahu bahwa suhunya juga tidak sedingin di SoE saat ini. Sayang kendaraan yang ada cuma satu motor yang aku bawa sendiri dari Kupang, padahal kami ada empat orang. Tak kurang akal, kami mencoba mencari tukang ojek yang biasa mangkal di pertigaan. Tanpa tawar menawar kami iyakan saja permintaan 40 ribu dari tukang ojeknya.
Berempat aku, Bram, pak Joko dan pak Sunaryo dengan berboncengan kami kembali memacu motor ke arah Kapan sekitar jam setengah empat. Tak terlalu kencang karena memang jarak Oehala tidak terlalu jauh, hanya jalan masuk ke dalam sekitar tiga kilometer yang kurang bagus sehingga kecepatan jauh berkurang. Hampir setengah jam kami baru sampai ke tempat parkir Oehala.
air terjun oehala
Wajib narsis untuk bukti otentik: Sunaryo, Joko, Bram
Lokasi di tempat ini sudah banyak perbaikan. Tangga menurun menuju ke arah air terjun sekarang dipasangi pegangan dari kayu, cukup membantu kalau kaki capek menapak. Karena tangganya cukup terjal, tangga seperti ini juga mengurangi risiko orang terjatuh ke samping. Dibagian air terjun juga tampaknya sudah banyak perbaikan. Beberapa pohon tumbang yang aku temui kemarin juga telah dibersihkan. Lopo-lopo yang ada juga sudah diperbaiki walaupun di sampingnya menyisakan sebuah bangunan kamar mandi yang sudah rusak tak terpakai.
Air terjun yang bening dan dingin cukup membuat teman-teman tertarik. Warna tosca yang menempel di bebatuan memang membuat warna air tampak lebih berwarna. Beberapa lokasi yang dibersihkan cukup membantu view untuk melihat air terjun menjadi lega.
Kali ini kami eksplore sedikit ke bawah dua tingkat lebih rendah dari sebelumya. Sedikit  sulit waktu harus lewat jalan melingkar dengan berpegangan akar dan batang pohon untuk turun tapi view disitu cukup enak buat duduk-duduk.
Mungkin karena puasa beberapa kali aku harus menahan diri saat tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Aku harus diam dan menenangkan diri beberapa saat sampai perasaan itu hilang. Kemungkinan ini efek dari puasa tapi justru aku jalan lebih jauh.
Mendekati sore kami memutuskan kembali sekalian langsung mencari makan untuk berbuka puasa. Perjalanan kembali ke atas menjadi cukup menguras tenaga, tak pelak keringat mengucur di dahi dan badan membuat cuaca dingin tidak terasakan.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 09 Februari 2012

Akhirnya: Foto Kelimutu dari Atas


Akhirnya hari yang tepat datang, suara sang pilot dari ruang kokpit pesawat milik Wings Air memberitahukan bahwa sekarang sedang terbang di atas danau Kelimutu yang bisa dilihat dari sebelah kiri. 
Mata yang lagi sentengah mengantuk langsung byar terbuka terang. Cuma posisi duduk lagi di sebelah kanan bukan posisi yang tepat untuk mengambil gambar. Padahal cuaca sedang bagus-bagusnya, danau kelimutu yang sedang berwarna hijau dan biru tosca mengintip dari jendela kiri. 
Waktu menengok ke deretan kursi belakang ternyata posisi sebelah kiri sedang kosong, langsung dengan secepat kilat aku langsung berlari ke kursi kedua dari belakang. Pesawat yang terbang memutar dua kali memberikan kesempatan aku dan beberapa penumpang mengabadikan danau. Pagi tadi sebenarnya langit tidak sedang benar-benarcerah, awan tipis kelabu masih menyelimuti langit yang seharusnya biru tapi matahari masih bisa bersinar dari dari balik awan tipis itu.
Setelah beberapa kali aku kembali ke tempat dudukku, karena aku merasakan perasaan tidak enak di lambung. Maklum penerbangan pagi memang sering bikin insiden seperti ini, ditambah harus merasakan pesawat melakukan manuver putaran seperti ini.
Tiba-tiba setelah sesaat pesawat menjauh pesawat berbalik dan kembali memutari danau kelimutu namun kali gantian dari sisi kanan pesawat tetap di posisi tempat dudukku sekarang.
Kali ini posisi terbangnya lebih rendah dari posisi terbang putar sebelumnya. Kali ini kameraku bisa menjangkau lebih terang danau Kelimutu. Namun aku hanya bisa memotret beberapa kali karena lambung makin terasa tidak enak ditambah kepala yang tiba-tiba terasa menegang. Hah, aku hampir mendekati mabuk. Terpaksa aku memejamkan mata membiarkan pilot menyelesaikan putaran terakhir.
Aku bahkan tidak berani mengintip beberapa lama untuk memastikan telah sampai di daerah mana selama beberapa menit. Hanya aku sempat mengintip sebentar melihat pesawat sedang melintasi daratan flores dari sebelah utara.
Setelah kepala dan lambungku mau sedikit berkompromi barulah aku bisa melihat hasil fotoku, ternyata semua foto yang kuambil dari jendela sebelah kiri tidak ada yang tajam. Aku rupanya lupa membersihkan jendela yang mungkin kotor oleh tangan penumpang sebelumnya.
Untungnya aku masih mendapatkan gambar-gambar yang cukup bagus yang aku ambil dari sisi kanan karena jendela sudah aku bersihkan semenjak berangkat dari Kupang. sayangnya di foto sebelah sini, tempat dudukku persih di deret yang dekat dengan bagian belakang pesawat sehingga semua foto-fotoku pasti meninggalkan jejak sayap pesawat. Wah harus di crop lagi deh :D
Sebenarnya ini kali ketiga aku dapet kesempatan melihat danau Kelimutu dari atas, cuma kesempatan sebelumnya aku cuma melihat tidak mengambil gambar. Yang aku ingat, waktu kedua kali, waktu itu sudah sore dan suasana sudah agak gelap dan ada seorang perempuan muda Jepang yang ada di pesawat yang saat itu berada di sisi yang tidak bisa melihat danau. Karena mungkin ini kesempatan langka baginya, maka aku memberikan kursiku sementara supaya dia bisa mengabadikan danau Kelimutu. Biar foto itu menjadi kenangan mengesankan tentang alam Flores. Aku masih ingat habis itu beberapa kali dia menngangguk sambil ngomong apa aku gak paham dengan senyum lebar, matanya yang sipit jadi tambah sipit hahahaha.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 26 Juli 2011

Kelimutu: Tak Sekedar Danau

Teman berlatar Tiwu Koo Fai Nua Muri dan Tiwu Ata Polo
Kami bangun terlambat pagi ini, karena berpikir sudah tidak bisa mengejar matahari pagi dipuncak Kelimutu maka sekalian kami berangkat setelah sholat subuh. Akhirnya kami jalan dari hotel setengah lima pagi menuju ke arah Timur. Kelimutu yang berada di Kecamatan Wolowaru yang tepatnya di desa Koanara memang berada di jalur trans Ende-Maumere.

Perjalanan pagi begitu lengang sehingga nyaris kami merasakan seperti berkendara sendiri, melintasi bukit-bukit terjal dengan jalan-jalan berliuk-liuk laksana ular berbadan panjang. Untunglah jalur menuju Kelimutu sekarang dalam kondisi baik meskipun di beberapa ruas terdapat pekerjaan perbaikan jalan dan pemotongan sisi samping bukit untuk memperlebar bahu jalan. Aku melajukan kendaraan sedang saja, kami tak ingin celaka karena ini pengalaman pertama naik kendaraan sendiri dengan jalur seperti ini.

Dengan kecepatan kami seperti ini kami kira kami akan sampai dalam waktu sedikitnya tiga jam lebih. Ternyata dugaan kami keliru, dalam waktu dua jam kami sudah memasuki daerah Detusoko yang terkenal dengan daerah penghasil sayur-sayuran yang mensuplai kota Ende dan sekitarnya. Berarti tidak lama lagi kami akan masuk ke Moni.

Suasana di jalur tracking hutan (arboretum)
 Persis sebelum menuju ke tikungan Moni yang banyak villa dan restoran di situ, terdapat pertigaan dengan sebuah gerbang yang tertulis kalimat selamat datang di Danau Kelimutu. Jika sebelumnya perjalanan dari Ende meliuk-liuk namun dengan ruas jalan besar, sekarang kami berjalan menanjak dengan ruas jalan yang sempit dan lebih berkelok-kelok. Di pertengahan jalan kami berhenti untuk lapor dan membayar tiket masuk.

Sambil menunggu teman melapor ke petugas Kehutanan, kami duduk-duduk di depan warung-warung kecil menikmati jagung panas yang baru selesai dimasak dan secangkir kopi panas. Lumayan untuk mengisi perut yang masih kosong sama sekali dari pagi.

Akhirnya sampai juga di Danau Triwarna Kelimutu di Minggu pagi ini. Agak terlambat karena sudah pasti acara melihat matahari terbit dari puncak Kelimutu terlewatkan. Tapi mujur juga karena dari penjelasan jaga wana yang kami panggil Roberth ternyata dari jam 3 dini hari sampai jam 6 pagi ini gerimis terus menerus dan baru saja berhenti.

Tiwu Ata Mbupu airnya masih berwarna hitam kecoklatan
Begitu mobil kami memasuki area parkir, kami diserbu rentetan cahaya matahari di sela-sela pepohonan yang muncul dari balik kabut yang mulai menipis. Udara dingin yang telah menyergap kami tadi pagi makin terasa. Tapi keributan baru di area perparkiran membuat kami tak bisa menikmati sinaran cahaya pagi yang cantik itu dalam bingkai kamera, kami terpaksa mengundurkan kendaraan karena sebagian kendaraan yang telah ada dari pagi akan kembali. Bulan-bulan begini memang ramai kunjungan turis dan mereka cenderung berangkat di pagi buta berkejaran untuk mendapatkan momen matahari terbit.
Selesai masalah parkir selesai pula cahaya matahari, kabut kembali menebal tapi masih cukup tinggi tidak menutupi daerah ini.

Tangga menuju puncak Kelimutu
Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, kami mulai menapaki tangga. Di papan penunjuk jelas terbaca arah jalan dan apa saja yang dapat disinggahi di danau Kelimutu ini.

Menurut kepercayaan masyarakat di sekitar danau Kelimutu, arwah/roh akan datang ke Kelimutu jika sudah meninggal dunia. Jiwanya atau MaE akan meninggalkan kampung dan tinggal selama-lamanya. Sebelum masuk ke salah satu danau, para arwah harus menghadap  Ratu Konde yang merupakan penjaga pintu masuk Perekonde. Arwah itu masuk ke dalam salah satu danau yang ada tergantung dari usia dan perbuatannya. Tulisan diukir sebongkah batu marmer itulah yang terbaca jika sudah sampai di puncak Kelimutu.

Sekitar satu kilometer kami menaiki tangga ke atas untuk melihat dua danau yang letaknya saling berdekatan. Danau pertama yang tampak dari bawah adalah dua danau yang menurut masyarakat Kelimutu adalah persemayaman roh-roh orang muda (Tiwu Koo Fai Nua Muri ) dan persemayaman roh-roh orang yang jahat (berilmu hitam) yang biasa disebut suanggi (Tiwu Ata Polo). 

Kali ini "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang letaknya berdekatan makin terasa berdekatan karena mulai menunjukkan warna yang sama. Jika yang "Tiwu Ata Polo" berwarna hijau cenderung toska maka "Tiwu Koo Fai Nua Muri" cenderung berwarna hijau dengan tepian berwarna kuning hijau, warna khas dari belerang. Dan sekarang pemisah antara kedua danau itu makin tipis setelah pernah berulah pada tahun 2009 lalu.

Pohon endemik Turuwara berlatar Tiwu Ata Polo
 Tanaman endemik Kelimutu yang dikenal dengan nama Turuwara (Rhododendron renschianum) yang paling menarik perhatianku. Tanaman ini tampak sebagai sebuah bonsai yang dibentuk oleh alam, berdaun kecil dan tebal dengan buah-buah yang jika matang berwarna hitam dengan rasa manis asam. Tanaman ini juga aku temui di gunung Inerie cuma bentuknya lebih menarik disini. Tanaman Turuwara ini batangnya yang besar tampak hitam berlubang seperti gosong. Rasanya aku ingin mengoleksinya kalau tidak ingat bahwa perbuatanku hanya akan merusak alam.
 
Dan kami melanjutkan menaiki tangga yang makin menanjak, tangga menuju singgasana dewa. Kaki-kaki terasa berat melangkah mencapai separuh jarak dan hawa dingin terasa menggigit tulang. Cuma rasa terbakar panas tubuh karena berjalan ini yang membuat rasa dingin tidak terasakan.
 
Setelah sampai di puncak dimana terdapat tugu barulah kami bisa melihat ketiga danau.
"Tiwu Ata Mbupu" berada sendirian di ujung lain yang terpisah dari keduanya. Sebagai tempat bagi bersemayamnya jiwa-jiwa orang tua dan orang-orang yang bijaksana yang telah meninggal tampak dari warnanya yang hitam tenang dan berjarak dari dua yang lainnya. Untuk bisa melihat ketiganya memang harus menuju ke puncak gunung Kelimutu yang berada tepat di atas Danau orang-orang tua dan bijak ini.

Perjalanan turun kami disambut rombongan monyet yang tampaknya bergembira menikmati kue kering yang kami lemparkan kepada mereka. Selain burung yang menjadi binatang endemik Kelimutu yang bahkan diantaranya tergolong langka, maka beberapa binatang endemik lain juga bisa ditemui disini, salah satu yang mudah ya monyet ekor panjang ini.

Suasan jalan menuju ke lokasi danau Kelimutu
Kembali ke areal parkir kami mampir ke warung-warung kecil. Di areal parkir ini selain terdapat warung-warung kecil yang menjajakan makanan juga penjual kain tenun ikat khas Kelimutu. Jika ingin sekalian melihat bagaimana pembuatan kain ini bisa turun langsung ke kampung setempat di bawah.

Setelah istirahat sejenak untuk minum dan makan, kami memutuskan untuk melakukan tracking ke area arboretum (hutan). Tracking di area yang tidak terlalu luas ini cukup menyenangkan terutama karena jenis-jenis pepohonan telah diberikan papan nama pengenal sehingga kami bisa tahu nama-nama pohon yang ada di Kelimutu. Disekitar jalur tracking terdapat bangku-bangku dari semen untuk istirahat, satu yang kurang aku sukai. Lebih menarik sebenarnya jika bangku-bangku ini dibuat dari batang pohon yang sudah mati.

Tulisan lain yang bisa anda jadikan referensi:
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 27 Februari 2011

Waewini: Legenda Sebuah Kampung Yang Hilang


Nenek Wini Tange, begitulah nama perempuan tua itu. Penduduk biasa memanggilnya nene' Wini tapi beberapa perempuan lebih suka menyebutnya nene' Tange. Nenek Wini sama seperti penduduk kampungnya yang hampir seluruh hidupnya mengandalkan dari usaha berkebun dan bertani. Nene Wini juga memiliki beberapa ekor ternak peninggalan suaminya seperti ayam, babi dan kambing. 

Seperti halnya rumah-rumah di kampung ini yang berbentuk panggung, kandang ternak-ternaknya ada di bawah lantai rumah. Selain untuk kandang ternak, bagian bawah rumah juga digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan peralatan-peralatan berkebun.

Mencari kayu bakar di hutan adalah kegiatan lain yang juga umum dilakukan penduduk kampung, demikian juga nenek Wini apalagi setelah suami yang dicintainya meninggalkannya sendiri.  Suaminya meninggalkannya saat umur nenek Wini belum tua dan hanya meninggalkan seorang anak perempuan. Karena ditinggal mati suaminya dalam umur yang belum tua, beberapa lelaki mencoba mendekatinya untuk menjadikannya istri. Namun kecintaannya pada suaminya tak pernah luntur di hati nenek Wini hingga ia memutuskan untuk tetap menjanda dan mengurus sendiri anak perempuan semata wayangnya. Hingga suatu ketika anak perempuannya menikah dan mengikuti suaminya, maka tinggallah nenek Winni sendiri di gubuknya.

Sepeninggal suaminya, nenek Wini mencurahkan kasih sayangnya pada seekor babi yang juga menjadi kesayangan suaminya. Kecintaannya pada sang babi karena nenek Wini percaya bahwa ruh suaminya tetap menjaga melalui babi yang dipeliharanya ini.

Namun ada seorang penduduk kampung yang mendendam kepada nenek Wini karena merasa keinginannya untuk memperistri nenek Wini dulu tidak kesampaian. Rupanya rasa malunya tidak tertanggungkan karena sebagai orang yang tergolong kaya di kampung ini rasanya pamali jika tidak bisa mengambil wanita yang disukainya. Hingga suatu hari saat nenek Wini pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, datanglah beberapa penduduk kampung suruhan orang yang memendam kebencian kepada nenek Wini dan mengambil babi nenek Wini. Orang ini merasa karena babi nenek Wini-lah yang menyebabkan nenek Wini rela menjanda dan justru mengasihi babinya serta menolak untuk dia peristri.
Setelah menangkap dan mengambil babi nenek, laki-laki ini memutuskan membunuh babi ini dan dia sengaja membagi-bagikan daging babi ini ke seluruh penduduk kampung.

Singkat kata, saat senja nenek Wini pulang dan mendapati di kandang babinya tidak ada lagi babi kesayangannya. Dengan kaki tuanya nenek Wini mencoba bertanya ke tetangganya, namun tidak ada satupun penduduk kampung yang bisa memberitahukannya. Sebenarnya waktu kedatangan nenek Wini yang mencari tahu babinya yang hilang muncul syak wasangka bahwa daging pemberian yang mereka terima adalah babi nenek Wini namun karena mereka tidak berani memberitahu karena mereka terlanjur telah memasak dan memakannya.

Takut jika babi kesayangannya hilang membuat nenek Wini tetap mencari tahu kesana-kemari ke hutan dan penduduk sekitar namun semua menggelengkan kepala dan tidak ikut membantu mencarinya karena merasa bersalah telah ikut memakan daging babi nenek Wini.

Hingga menjelang tengah malam nenek Wini sampai di ujung rumah nenek Kawena yang merupakan temannya. Dan nenek Kawena bercerita bahwa dia kedatangan salah satu laki-laki yang memberikannya daging babi yang dari laki-laki yang dia tahu memiliki kebencian dengan nenek Wini. Karena merasa sesuatu, nenek Kawena menolak pemberian daging itu. Dengan menahan perasaan yang tak karuan nenek Wini pergi menuju ke rumah lelaki yang dulu pernah memintanya menjadi istri selepas ditinggal suaminya.

Namun seperti diduga, lelaki itu menolak kedatangan nenek Wini dan bahkan dengan kasar mengusirnya. Nenek Wini pergi ke belakang pekarangan rumah lelaki itu dan menemukan tulang-tulang yang dengan perasaan kuat hatinya dia bisa merasakan bahwa tulang-tulang itu adalah dari babi kesayangannya.
Dengan hati remuk redam dan cucuran air mata kesedihan nenek Wini membawa tulang-tulang itu ke gubuknya dan menguburkannya di samping rumahnya.

Setelah peristiwa itu nenek Wini menghilang menyepi ke tempat sepi karena rasa hatinya yang gundah gulana. Dalam penyepiannya itulah nenek Wini kedatangan seorang marapu yang menanyakan keberadaannya. Setelah diceritakan kesedihannya itu akhirnya sang marapu menyanggupi untuk membalaskan rasa sakit hatinya. Maka berpesanlah sang Marapu: "Besok sebelum matahari keluar dari peraduannya, keluarlah kamu dari kampungmu. Bawalah bekal sekedarnya dan ingatlah, sekali engkau meninggalkan kampung ini jangan sekali-kali menoleh ke belakang apapun yang terjadi."
Nenek Wini kembali ke kampungnya dan dalam perjalanan dia ingat akan keberadaan nenek Kawena, maka didatangilah nenek Kawena dan diceritakanlah pertemuaannya dengan seorang marapu. Nenek Wini mengajak nenek Kawena untuk ikut dengannya. 

Akhirnya. pagi-pagi buta nenek Wini telah siap dengan bekalnya dan menuju ke nenek Kawena agar bersama-sama pergi meninggalkan kampung ini. Namun ternyata nenek Kawena salah memasak bekal, ternyata waktu sampai di rumah nenek Kawena bakal bekal berupa ubi hutan yang sangat keras belumlah masak. 

Matahari hampir muncul saat bekal itu selesai dan mereka buru-buru berjalan meninggalkan kampung mereka. Baru beberapa waktu mereka berjalan, sang surya mulai menampakkan cahaya paginya dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara gemuruh dari arah belakang mereka. Karena getaran dan suara yang sedemikian keras tanpa sadar nenek Kawena menoleh ke belakang untuk mencari tahu apa yang terjadi. Maka pada saat itu berubahlah nenek Kawena menjadi sebuah batu. Menyadari hal itu betapa sedih hati nenek Wini namun dengan berat hati tetap dilangkahkan kakinya menjauh dari kampungnya.
Maka kampung nenek Wini tenggelam ke dalam tanah dan menjadi sebuah danau, dan sebuah batu berdiri menjulang di atas tanah yang agak tinggi, itulah yang disebut sebagai batu Kawena.



Demikian tutur yang aku dapatkan dari perjalananku ke sebuah danau Waewini. Sebuah danau yang berair payau yang tidak berada jauh dari pantai. Uniknya danau ini bukannya berasal dari sungai namun demikian air di danau ini tidak pernah kering.
Danau yang walau berair agak payau namun bening ini dikelilingi pepohonan besar yang membuat suasana di danau ini terasa rindang. Danau ini juga digunakan penduduk sekitar untuk diambil airnya bagi keperluan rumah tangga sehari-hari.
Ternak seperti sapi, kerbau atau kuda juga sering kemari untuk minum atau kadang dimandikan pemiliknya di danau ini.
Saya mohon maaf jika ada perbedaan cerita dari kisah ini, karena namanya legenda tentu dapat berbeda antara satu penutur dengan penutur lainnya. Tapi dari balik cerita ini kita bisa menemukan bahwa di banyak tempat kita bisa menggali kekayaan cerita yang dapat memperkaya batin kita.

Jika anda singgah di kabupaten Sumba Barat Daya, anda dapat menyinggahinya karena lokasi danau ini tidak jauh dari kota hanya memang kondisi jalannya masih buruk.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 23 September 2010

Danau Ranamese: Keheningan

Danau Ranamese, siapapun yang pernah melakukan perjalanan darat ke kota Ruteng menuju Borong atau sebaliknya pasti pernah melewati tempat ini. Danau Ranamese memang terletak di tepi jalan raya antara Ruteng (Kabupaten Manggarai) dan Borong (Kabupaten Manggarai Timur) dalam kelebatan hutan Poco Ranaka. Secara administratif, danau ini masuk wilayah Kabupaten Manggarai Timur. Meski demikian, perjalanan ke danau ini lebih dekat ditempuh melalui Ruteng dengan jarak sekitar 30 km.

Sebenarnya ini perjalananku yang ketiga mengunjungi danau Ranamese. Namun dari dua kali singgah kesini sebelumnya, aku hanya berjalan-jalan tanpa mengambil foto satu kali pun (karena waktu itu aku memang belum memiliki kamera digital).

Entah karena belakangan ini terjadi anomali cuaca atau karena apa, bulan-bulan September ternyata Ruteng tempat aku memulai perjalanan setiap siang atau sore selalu tertutup kabut yang kadang disertai hujan.

Namun niat yang kuat untuk kembali mengunjungi danau Ranamese membuat aku dan seorang teman tak menyurutkan niat meski perjalanan kali ini hanya dengan sebuah sepeda motor sewaan dari pemilik hotel Sinda, pak Stefanus yang bisa kami panggil pak Nus

Berbekal sebuah tas ransel yang telah kami isi dengan beberapa makanan kecil dan minuman. Selepas jam 08.00 pagi kami melajukan kendaraan dari kota Borong ke arah timur. Perjalanannya sendiri tidaklah mulus, karena kami beberapa kali dihadang longsoran-longsoran tanah akibat hujan. Alam Flores yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung memang rawan longsor karena kondisi tanahnya yang labil.

Karena bekas longsoran ini sehingga jalan-jalan banyak dipenuhi tanah-tanah liat yang membuat jalan menjadi licin apalagi gerimis masih turun di beberapa tempat meskipun tidak merata. Karena itu kami harus melambatkan kendaraan agar tidak slip.

Pemandangan di sepanjang perjalanan sungguh menawan sehingga rasanya kami ingin berhenti tiap saat untuk duduk menikmati ataupun sekedar mengarahkan kamera. Namun karena kami tidak ingin didahului kabut yang biasanya sering turun di danau Ranamese maka kami menguatkan untuk tidak berhenti, praktis kami hanya berhenti dua kali saja.

Setelah melewati daerah Poco Ranaka, tak berapa lama kendaraan kami sampai masuk di kawasan hutan lindung yang nampak begitu lebat. Lagi-lagi kami disambut gerimis yang agak keras. Untunglah, tak lama kemudian kami sampai di atas tanjakan dimana ada bangunan tembok tinggi dimana ada sebuat warung kecil berdiri di situ. Kami memutuskan singgah di warung untuk sedikit mengeringkan badan serta menikmati kopi panas yang tentu nikmat di waktu seperti ini.

Bangunan tembok tinggi itu berdiri tepat di tikungan menurun. Menurut teman-teman yang bekerja di pemerintahan, tembok ini sengaja dibangun untuk menghalangi pandangan orang-orang yang ada di dalam kendaraan dapat melihat langsung ke arah danau Ranamese yang ada di bawah. Karena memang dulu, di tempat itu orang bisa melihat danau Ranamese tanpa harus turun ke bawah, bahkan tanpa turun dari kendaraan. Akibatnya sering terjadi kemacetan di tempat ini, padahal jalan ini adalah akses satu-satunya dari Borong-Ruteng. Dengan adanya tembok ini, maka orang harus turun terlebih dahulu dan masuk dibalik tembok untuk dapat melihat danau Ranamese dari ketinggian.

Selesai minum kopi, kami dikejutkan dengan kondisi ban motor depan yang bocor. Untunglah pemilik warung punya peralatan untuk menambal ban itu. Walhasil, kami menitipkan kendaraan itu ke pemilik warung dan kami berjalan kaki turun menuju ke pintu masuk danau Ranamese.

Di pintu masuk danau ini sebenarnya ada beberapa bangunan milik dari KSDA yang sudah tidak terpakai sehingga beberapa lopo yang dulu dibangun juga sudah rusak tak dapat digunakan.

Beberapa orang setempat mengatakan tempat ini penuh dengan mistis dan beberapa kejadian aneh. Salah satu khas yang kami tahu setiap kali kendaraan melewati daerah ini pada malam hari pasti membunyikan klakson panjang beberapa kali. Waktu kita tanyakan kepada sopir-sopir itu, mereka katakan bahwa mereka membunyikan klakson untuk meminta ijin lewat daerah ini. Kalau tidak, tanya saya.. wah, beberapa cerita seram mengalir dari mulut mereka. Kebenarannya? Wallahualam....

Begitu turun ke danau kami disambut pemandangan beberapa orang yang tampaknya begitu asyik memancing dan mereka tidak saling berkumpul melainkan saling berpencar beberapa jauh. Wah, padahal air udara disini dingin sekali. Tempat ini terletak di atas 1000 meter di atas permukaan air laut serta hutan lindung dengan pohon-pohon besar jadi pantas jika suasananya dingin.

Pokok-pokok pohon besar yang ditumbuhi lumut dan tumbuhan pakis, air danau yang begitu tenang dengan pantulan airnya yang tampak hijau seperti menyihir mata kami. Meskipun awan tetap menyelimuti tempat ini namun warna-warna yang menawan antara daun-daun pepohonan yang berwarna hijau dengan beberapa pohon yang daunnya telah menguning bahkan memerah seperti menciptakan kontras warna yang saling melengkapi.

Perjalanan mengelilingi danau ini agak sulit sehingga sebaiknya menggunakan alas kaki berbahan karet yang bagus karena selain jalurnya yang sempit dan seringkali dihalangi batang-batang pohon yang tumbang, jalur-jalur itu juga dibatasi lereng yang curam, salah sedikit kaki melangkah berarti siap-siap tercebur ke dalam danau. Ingin tau seberapa dingin air di danau ini? Rasanya tidak berlebihan jika pada waktu tertentu terutama pada bulan-bulan Juli maka anda akan seperti es yang dicairkan.

Suasana danau memang terkesan mistis, namun keheningan dan suasana alamnya sungguh menghanyutkan. Suguhan keindahan komposisi karya Tuhan seperti mozaik yang ditaburkan dengan begitu sempurna baik di musim berbunganya maupun dimusim gugurnya.
Pemancing di danau ini tidaklah banyak, sebagian besar yang saya tanyai adalah penduduk sekitar danau ini yang tinggal di daerah Gololoni. Bahkan kalau sudah asyik memancing mereka bisa asyik sampai malam sambil membuat perapian biar tetap hangat.

Bahkan waktu itu saya melihat jam 10.00 mereka sudah membuat api, ya karena memang udara disini walaupun siang hari tetep akan sejuk bahkan dingin pada waktu-waktu tertentu.
Oh, bagi yang penggeli terhadap lintah juga harap berhati-hati karena lintah banyak sekali di danau ini, saya sendiri harus merelakan darah dihisap setidaknya 3-4 lintah.


Selepas jam 11.00 saya dan teman memutuskan kembali karena batere kamera teman sudah habis sehingga tidak bisa memfoto lagi. Padahal kita belum sampai seperempat lingkaran danau, dan terus terang pemandangan di seberang danau tampak begitu menawan dengan juntaian tanaman-tanaman merambat dipohon besar, jembatan kecil dengan rumput-rumput ilalang yang begitu hijau...

Akhirnya kita kembali ke warung karena kabut turun dengan cepat sehingga danau menjadi tertutup dan tak bisa dilihat lagi. Danau Ranamese memang kalau tertutup kabut sering sulit untuk bisa dilihat lagi meski dalam jarak dekat karena kabut yang turun seringkali tebal sekali sehingga jarak pandang teramat pendek.


Namun pengalaman ini sungguh menyenangkan, tampaknya aku harus mengunjunginya lagi setidaknya untuk bisa memutari seluruh kawasan danau ini.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya