Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label NTT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NTT. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Januari 2019

Kolam Air Asin Liang Rangko

Hawa pengap sebentar membuat tubuhku bersimbah keringat, kecuali tiga lelaki yang berendam di dalam kolam yang airnya sebening kristal. Air bening berwarna hijau kebiruan ini airnya asin karena berasal dari air laut. Bergantian mereka menaiki stalagmit yang tingginya sekitar satu setengah meter di pinggir kolam. Lalu diiringi teriakan dan sorakan teman-temannya mereka meloncat ke dalam kolam. Salah satu meloncat terlalu tinggi, nyaris saja kepalanya menghantam stalaktit. Untung dia keburu memiringkan kepalanya. Adegan nyaris celaka ini tentu saja mengundang reaksi lebih heboh dari teman-temannya.

Untung saat ini lokasi masih sepi pengunjung sehingga mereka bisa bersantai berenang, seperti juga aku dan Pepe yang juga mudah mencari sudut foto. Bedanya aku mencari sudut foto mengabadikan saat mereka melakukan loncatan-loncatan tadi, sedangkan Pepe khas anak muda mileneal yang ngerekam wajahnya sambil cuap-cuap. Aku dapat membayangkan seperti apa suasananya jika saja ada pengunjung lebih dari 20 orang masuk ke dalam gua, pasti pengap sekali.

Dia menunjukkan lengannya yang penuh goresan, saat kutanya kenapa tidak berenang. Katanya itu goresan saat dia naik motor ke Liang Cara. Tidak mengherankan, aku melihat dari cara Pepe naik motor yang mirip pembalap liar: kenceng sambil seneng slip-slipin ban. Bule ini emang kayaknya langganan celaka.

Aku saja akhirnya menyerah, seperempat jam kemudian aku keluar dari gua dengan kaos yang basah kuyup. Meninggalkan Pepe yang katanya mau berenang di sana tapi dari tadi mondar-mandir gak jadi berenang. Tumben si Pepe tahan di dalam gua tanpa berenang, batinku. Eh tak lama kemudian dia nongol keluar.

Liang Rangko atau Gua Rangko orang biasa menyebutnya. Gua ini tidak terlalu luas, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Gua Batu Cermin. Seperempat dari gua ini adalah kolam air asin itu. Untuk masuk ke dalam gua, ada sebuah tangga kayu untuk turun. Suasananya pagi sampai menjelang siang cenderung gelap. Tidak terlalu gelap, setelah kita masuk ke dalam gua tak lama kemudian juga mata kita bisa menyesuaikan. Yang sulit justru saat menggunakan kamera. Walaupun menggunakan ISO 3200 sekalipun, speed yang diperoleh untuk mendapatkan suasana gua tetap tidak lebih dari 1/25 detik. Kebayang kalau menggunakan kamera hape yang sensornya imut untuk memotret di gua ini. 

Pintu gua Liang Rangko menghadap ke arah Barat, jadi sebenarnya kalau mau mendapatkan view yang lebih nyaman sebaiknya datang setelah jam dua siang. Malahan kalau mau sore hari nanti pemandangan matahari menjelang terbenam bisa dinikmati di pinggir pantai. Di pinggir pantai? Jadi gua ini di pinggir pantai? Gak usah heboh begitu. Bukan cuma di pinggir pantai, pantai di Liang Rangko ini juga pemandangannya indah. Berpasir putih dengan air yang tenang dan tentu saja pemandangan matahari terbenam.

Perjalanan ke Liang Rangko
Berbekal motor hasil pinjam dari seorang teman, Minggu pagi aku berencana ke Gua Rangko setelah rencana mau nginep di pulau Padar gagal total. Pilihan Liang Rangko karena masih berada di satu daratan pulau Flores dan jarak tempuh yang 'katanya' tidak terlalu jauh. Petunjuknya sederhana saja, ikuti saja jalan baru yang menuju ke Tanjung Boleng. Tanjung Boleng itu adalah kecamatan yang letaknya di sisi Utara pulau Flores.

Awalnya aku gak tahu kalau untuk ke Liang Rangko harus menggunakan perahu. Waktu itu hanya diberitahu kalau jalan ke Liang Rangko sudah bagus. Dan memang, dari kota Labuan Bajo sampai ke desa Rangko bisa dibilang jalan mulus karena memang masih jalan baru. Satu-satunya jalan yang jelek adalah sepotong jalan sekitar 100 meteran di depan PLTMG. Ini bangunan pembangkit listrik PLN baru, katanya kapasitas listrik di tempat ini sekitar 20 MW, wah bakalan terang benderang tuh Labuan Bajo.

Sampai ke sebuah desa di wilayah Kecamatan Tanjung Boleng, ada sebuah papan petunjuk lokasi Liang Rangko di pinggir jalan mengarah ke sebuah gang kecil arah ke pantai. Aku pikir awalnya di pinggir pantai itulah ada gua Liang Rangko, eh ternyata salah. Rupanya papan petunjuk itu cuma tempat untuk sewa perahu sekaligus membayar tiket masuk. Selepas parkir di pinggir sebuah pohon beringin besar, aku diarahkan ke sebuah warung kelontong. Warung ini rupanya juga berfungsi sebagai tempat untuk membayar tiket masuk sekaligus sewa perahu.

Di dalam sudah ada seorang bule muda yang tadi aku menyebut namanya: Pepe. Pepe ini katanya berasal dari Spanyol, dia menyebutkan Barcelona kalau gak salah. Dia yang awalnya protes gak mau bayar apalagi waktu dia diminta bayar 50ribu sementara aku cuma 20ribu. Dia pikir mereka curang mau menipunya. Setelah ditunjukkan kalau memang tiket masuk antara wisatawan lokal dan mancanegara memang berbeda. Bule muda ini jadi satu-satunya temen sharing perahu yang sewanya 300ribu pulang-balik dibagi dua. Lumayan mahal karena jarak tempuhnya hanya 20 menit saja. Sebenarnya kalau berangkatnya ada 5-6 orang lumayan sih, jadi hanya kena biaya sewa antara 50-60ribuan.

Liang Rangko: Pantai dan Gua yang Ciamik
Ternyata perahu digunakan bukan untuk menyeberang ke pulau lain, melainkan menyisir pinggir pantai menuju ke arah tanjung. Kalau begitu kenapa harus pakai perahu?  Karena jalan menuju lokasi langsung belum ada. Jadi tanjung tempat Liang Rangko itu bisa dibilang masih kosong tanpa penghuni, dan akses jalan tentu saja.

Perjalanan menyusuri perairan dangkal membuat aku bisa mengamati kondisi sekitar tanjung yang lebih didominasi bukit-bukit karang tanpa pantai.  Perairan dangkal dengan pasir yang berwarna putih membuat air laut berwarna biru muda, cukup menyenangkan untuk dipakai berenang.

Pak Kahar, pemilik perahu yang aku tumpangi bareng Pepe menunjuk sebuah bangunan dermaga yang sedang dibangun. Dermaga itu sepertinya sudah hampir rampung itu menggunakan material kayu, cukup bagus untuk menjadi dermaga bagi wisatawan. Rupanya memang Liang Rangko sedang dibenahi supaya lebih menjual.

Perahu merapat ke pantai bukan ke dermaga karena belum selesai dibangun. Ternyata sudah ada beberapa petugas di sana. Aku baru paham, ternyata desa Rangko yang aku datangi bukan satu-satunya lokasi untuk membayar tiket masuk. Bagi wisatawan yang melakukan hoping island misalnya, mereka membayar langsung biaya tiket masuk di tempat ini.

Masuk akal mengapa Liang Rangko dikembangkan menjadi lokasi wisata. Karena selain keberadaan kolam di dalam gua, ternyata pantai di sekitar Liang Rangko juga indah. Mungkin di tanjung ini, itulah satu-satunya pantai yang memiliki pasir putih cukup luas. Pemandangannya cukup nyaman karena di halangi beberapa pulau karang kecil, membuat perairan di sana cukup tenang. Ditambah dengan posisinya yang menghadap barat, bagi yang bersabar bisa menikmati keindahan matahari terbenam di pantai ini.


Catatan:
  1. Jangan memaksakan masuk ke dalam gua jika sedang ramai. Daya tampung gua yang tidak terlalu luas sangat terbatas. Masuk lebih dari 20 orang saja akan terasa tidak nyaman. Tunggu saja di pantai yang pemandangannya juga tidak kalah indah. Kalau tidak berenang di kolam daya tahan seseorang di dalam gua tidak akan lebih dari setengah jam. Pengap dan panas coy.
  2. Biaya sewa perahu sekitar 300ribuan dengan daya muat sekitar 5-6 orang. Bagi pelancong sendiri seperti saya, alternatif untuk mendapatkan harga lebih terjangkau adalah jangan buru-buru, cari sampai ada rombongan lain sehingga bisa patungan biaya. Atau ikut nebeng bayar ke rombongan yang bisa diikuti. Cara ini efektif kalau sedang musim liburan, kalau bukan lagi musim liburan bisa-bisa kering nungguin perahu yang mau angkut rombongan hehehe.
  3. Alternatif lain, jangan berhenti di tempat yang ada papan petunjuk tapi lanjut terus sampai ke dermaga desa. Nah coba tanya-tanya untuk sewa perahu ke sana. Biasanya ada yang mau mengantar dengan perahu kecil. Jika beruntung kalian bisa mendapatkan sewa perahu sekitar 100ribuan.
  4. Di Liang Rangko ini informasi dari masyarakat diperbolehkan untuk menginap/memasang tenda. Namun perhatian semua perbekalan karena di sini jelas satu-satunya alat transportasi adalah perahu.
  5. Jika menginap di sana dan mau membuat api unggun gunakan kayu-kayu kering di sekitar jangan potong pohon. Kayu-kayu kering cukup banyak kok. Jangan merusak alam karena jumlah pohon di sana juga terbatas. Kalau mau lebih enak, prepare aja bawa kayu bakar dari desa terdekat.
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 14 Desember 2018

Lengkung Pasir Putih Tarimbang

pantai Tarimbang, Sumba Timur
Pasir putih memanjang, melengkung mengikuti lekuk teluk dan diapit dua bukit kapur tinggi di kiri dan kanan. Tempat ini mungkin salah satu yang boleh disebut sebagian traveller sesat sebagai "surga tersembunyi" yang mulai menunjukkan diri. Letaknya yang berada di sisi Selatan pulau Sumba membuat pantai cantik ini memiliki kelebihan yang membuat para pecinta pantai tak bisa berpaling. Dan salah satunya adalah ombaknya yang besar untuk para pecinta surfing.

Pantai yang Baru Terbuka Aksesnya
Setelah sekian lama hanya terjamah oleh para pecinta surfing yang mendatangi lokasi ini melalui jalur laut, akhirnya sekarang traveller yang ingin mendatangi lokasi ini lebih mudah menjangkau lokasi ini melalui darat. Sebuah jalan baru yang dibuat menembus hutan yang masih masuk kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah tiket murah menuju kesana dengan kendaraan, bahkan motor matik sekalipun.

Sebelumnya, duh lupakan deh kalau ke sana hanya pakai motor dan mobil biasa. Jalurnya bener-bener parah, minimal sekelas mobil dobel gardan atau motor trail yang bisa menjangkau daerah itu. Itu pun waktu tempuh dari Waingapu sampai ke pantai Tarimbang tak kurang dari 4 jam perjalanan. Namun sekarang, dengan menggunakan motor bebek saja bisa ditempuh sekitar 2 jam. Jalur jalannya sendiri tetap saja berkelok-kelok. Karena sebagian besar menyusuri punggungan bukit.

Perjalananku ke pantai ini yang kemudian membawaku mampir ke air terjun Laiwi yang aku tulis di sini: Sejuknya Air Terjun Laiwi. Jadi jika kalian mau ke pantai Tarimbang, jalur jalan dari kota Waingapu sampai ke pantai Tarimbang yang dapat kalian singgahi antara lain: bukit Wairinding dan air terjun Laiwi.

Praing Ngalung Spot, pantai Tarimbang
Apakah bisa mampir ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, kan dekat jaraknya ke Tarimbang? Aku pun sempat berfikir demikian. Jadi rencana awal, sebelum ke pantai Tarimbang aku mau mampir dulu ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti karena di sana juga ada air terjun 2 buah, Laindamuki dan Laiwangi. Kalau mau sedikit lebih jauh ada air terjun Laputi yang bagian atasnya terdapat sebuah danau yang dikenal keramat. Duh tapi lupakan taman nasional itu kalau hanya menggunakan kendaraan biasa. Walaupun secara jarak di peta itu tampak dekat namun kondisi jalan ke daerah itu masih bisa rusak. Aku sendiri belum pernah ke sana tapi informasinya sekitar 7 jam untuk sampai ke air terjun itu. Jadi bisa dibilang pantai Tarimbang ini yang sudah diperbaiki akses jalannya sementara lokasi lain masih belum.

Di titik yang dulu disebut jalur paling sulit karena kemiringan jalan yang tajam terdapat sebuah bangunan gubuk ilalang terbuka yang tertulis 'Praing Ngalung Spot". Pemandangan di depan bangunan itulah pantai Tarimbang yang berada di teluk. Kata seorang penduduk yang lewat, gubuk itu milik pak Marthen yang punya homestay di dekat sini.

Jalur setelah ini memang harus ekstra hati-hati, rem harus bener-bener pakem karena di jalur belokan pun kemiringannya tetap terasa. Untungnya jalannya sudah mulus beraspal. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana sulitnya medan ini saat masih berupa jalan batu.

Pantai Pasir Putih yang Memanjang
Sekitar jam setengah tiga aku baru sampai ke pantai Tarimbang. Walaupun di perbukitan banyak yang sudah gersang namun di pantai ini masih banyak tanaman yang hijau. Justru karena banyak pepohonan dan angin yang cukup kuat membuat suasana di pantai ini terasa sejuk.

View pantai Tarimbang
Untungnya pantai sedang tidak ramai, mungkin karena jaraknya jauh atau mungkin juga karena bukan hari libur. di sepanjang area, aku melihat hanya ada satu mobil Avansa yang berisi serombongan anak-anak muda. Sambil mencoba mencari tempat untuk beristirahat, mataku mencoba menjelajahi suasana di sekeliling tempat ini. 

Dari deretan pasir putih memanjang dan air laut yang berwarna biru kristal, pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah pohon berbatang putih satu-satunya yang 'nongol' di pasir pantai. Itulah pohon instagramable yang menjadi selalu masuk foto orang-orang yang berkunjung ke pantai Tarimbang. Dan sekarang, di atas pohon nangkring sesosok tubuh langsing dengan kulit putih bersih sedang berpose sementara temannya sibuk menjepretkan kamera ke arahnya. Angin laut kadang ikutan nakal menerbangkan kain yang melilit pinggangnya dan pemandangan selanjutnya bisa ditebak. Astaghfirullah... Alhamdulillah...

Setelah terlepas dari jerat pemandangan itu barulah aku kembali bisa menikmati keindahan pantai Tarimbang tanpa 'gangguan'. Aku dapat melihat gelombang besar di kejauhan yang memanjang. Sayangnya karena luas pantai dan waktu yang terlalu mepet, aku dan Imam tidak menjelajah dari ujung ke ujung. Padahal pemandangan tebing-tebing batu yang tampak tinggi menjulang di kejauhan sangat sayang dilewatkan.

Seorang bule yang berjalan dengan papan selancar datang menghampiriku. Ngobrol sebentar menanyakan apakah aku akan bermalam di sini. Mungkin karena dia melihat aku memasang hammock dan alat masak. Dia sendiri rupanya menginap di sini namun tidak tinggal di homestay atau rumah penduduk melainkan di atas kapal. Dia menunjuk ke sisi timur di mana tampak sebuah perahu di kejauhan. Duh enaknya yang punya perahu buat melancong.



Ternyata perkiraanku salah, karena pantai ini terletak di antara dua bukit tinggi jadi matahari tenggelam di balik bukit sebelah kanan. Mungkin lain kali aku harus naik ke salah satu bukit dan menginap di sini untuk mendapatkan pemandangan matahari terbit dan terbenam di pantai Tarimbang.

Catatan untuk yang ingin ke pantai Tarimbang:
  1. Bawa bekal makanan dan minuman yang cukup karena di lokasi belum ada penjual makanan/minuman. Namun jika membawa bekal makanan yang harus dimasak terlebih dahulu menggunakan kayu pilih-pilih lokasi yang aman karena angin yang lumayan kencang. Jangan tebang pohon, banyak kok kayu kering di sekitar yang bisa dipakai. Tapi setelah acara bakar-bakar jangan lupa untuk dibersihkan.
  2. Sebaiknya membawa plastik supaya bisa membawa kembali sampah yang kalian bawa karena disini belum ada bak/tempat pembuangan sampah. Lagian membawa sampah kembali jauh lebih bagus untuk membuat tempat ini tetap bersih. Apalagi sampah plastik, kalau tidak bisa menghindari ya bagusnya dibawa kembali.
  3. Jika mau menginap ada homestay milik pak Marthen tapi aku sendiri tidak tahu rate-nya. Silahkan googling aja. Alternatif lain ya nenda di pantai Tarimbang. Aman? Aman saja kok, setahuku masyarakat Sumba Timur sangat welcome. Bagaimana dengan air? Jarak dari pantai ke pemukiman terdekat tidak terlalu jauh kok jadi bisa mengisi air di pemukiman sekalian minta ijin.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 09 Desember 2018

Sejuknya Air Terjun Laiwi

Air terjun Laiwi Sumba Timur
 Air terjun La'iwi, nama yang membuat seorang mama tua geleng-geleng sambil mengatakan, "kasihan anak'e" sebelum dia kemudian memberitahukan jalurnya. Aku tak mengerti apa maksud dari kata 'kasihan' yang dia lontarkan begitu saja sampai nanti setelah aku sampai di lokasi.

Desa Matawai Amahu, Kecamatan Katala Hamu Lingu adalah lokasi air terjun ini, namun tentu saja tidak lantas begitu mudah ditemukan. Bukan karena medan jalannya yang sulit, namun lebih karena lokasi ini belum dikelola menjadi tempat wisata. Setidaknya sampai aku datang. Batu-batu dan pasir masih tertumpuk di dalam kawasan, hanya lokasi masuknya baru dibangun sebuah gerbang masuk dari kayu. Itu satu-satunya penanda kalau aku dan Imam memang sudah sampai lokasi. Tapi masuk lewat mana? Harus bertanya lagi.

Perjalanan Tak Disengaja
Air terjun Laiwi tidak pernah masuk dalam list-ku. Hari Kamis selepas sarapan aku dan Imam sudah start naik motor dari Waingapu dengan tujuan pantai Tarimbang. Karena jarak dari Waingapu ke pantai Tarimbang katanya hampir 4 jam, jadi sebaiknya berangkat pagi.

Awalnya dari Waingapu ke pantai Tarimbang mau mampir ke bukit Wairinding, namun karena terlewat terlalu jauh akhirnya batal ke Wairinding dan lanjut terus ke Tarimbang. Kalau kata Imam ini semua salah sinyal yang seenaknya muncul hilang. Perbukitan Sumba memang momok bagi sinyal, begitu jalan yang terjepit diantara dua bukit langsung saja sinyal hilang. Padahal terjepit diantara dua bukit itu enak.. bangett..

Di pertigaan simpang Paipraha setelah masuk di Lewa belok ke kiri, aku sempatin mampir ke sebuah warung kecil. Sebenarnya hanya warung kelontong saja, tapi ibunya tidak keberatan membuatkan segelas kopi sachet. Kebetulah ada beberapa rombongan motor yang baru saja kembali dari pantai Tarimbang sekalian bisa dapet info lokasi tepatnya.

Setengah jam kemudian kita lanjutkan perjalanan menuju Tarimbang. Di pertengahan jalan, di sebuah percabangan jalan ada tulisan "Air Terjun Laiwi" membuat aku menghentikan motorku. Eh, motor pinjaman maksudku.

Rencananya aku akan memotret Tarimbang saat senja, jadi setelah berhitung waktu aku sepakat dengan Imam untuk mencoba mendatangi air terjun Laiwi. Jalan aspal yang ada hanya sedikit, sisanya adalah jalan tanah putih yang melewati persawahan tadah hujan. Sampai beberapa saat berkendara ternyata belum ketemu juga, udah begitu tidak ada warga yang lewat yang bisa kita tanyai lagi. Jalan masuk yang semula tanah putih sebagian mulai ditumbuhi rumput membuat kita makin ragu.

Akhirnya aku balik lagi cari rumah. Mampir di sebuah rumah kayu dengan atap alang-alang khas rumah Sumba, seorang Bapak tua yang duduk di pinggir pintu masuk dengan asyik menggerus sesuatu, entah apa. Saat aku bertanya arah jalan, tiba-tiba bapak itu menjawab dalam bahasa daerah yang aku tidak mengerti. Duh, gantian aku yang bingung.. Bapak tua itu berteriak seperti memanggil seseorang di dalam rumah. Tak berapa lama seorang mama tua yang mungkin istrinya keluar menemuiku. Mama tua ini untungnya bisa berbahasa Indonesia. Dan seperti cerita awalku, dia lah yang mengatakan, "Kasian anak'e"

Ternyata masih sekitar satu kilometer lagi, mama tua kasih tanda kalau bertemu satu jembatan besar warna kuning hitam dan itu sudah sampai. Benar saja, tak berapa lama berkendara sampailah kita di sebuah jembatan kuning hitam dan sebuah bangunan gapura bertuliskan Selamat Datang di Air Terjun Laiwi.

Bingung mau parkir dimana, seorang bapak tua yang lewat menyarankan aku untuk belok masuk ke kiri terus sampai mentok lewat sebuah jalan. Aku memasukkan motor sampai disebuah tanah agak lapak dan dipenuhi tumpukan batu dan pasir, kukira ini nantinya akan menjadi tempat parkir.

Medan Air Terjun yang Masih Sulit
Sebelum menulis ini aku sempatkan browsing internet untuk mengetahui seperti apa Laiwi. Ternyata ada yang menuliskan kalau Laiwi memiliki 4 tingkat, tetapi aku sendiri menghitung saat sambil jalan cuma ada 3 tingkat entah tingkat yang mana yang ngumpet.

Tingkat pertama berada di samping lokasi parkir (nantinya) dengan ketinggian mungkin semeteran. Bagi yang ingin sekedar mengajak anaknya ke air terjun tempat ini sudah cukuplah. Tapi tentu saja jika tidak direpotkan oleh anak kecil, sangat sayang jika hanya menjangkau air terjun tingkat pertama ini saja.

Tingkat kedua agak lebih tinggi jatuhnya, aku tidak tahu persis hanya sekilas tampak saat menyusuri jalan. Dari hasil browsing ketinggiannya sekitar 4-meteran, yah lumayan lah. Jalan ke tingkat kedua katanya agak susah tapi tentu tidak sesulit tingkat paling akhir.

Tingkat ke-3 ini adalah tingkat terakhir dan yang paling tinggi dengan medan jalannya yang paling susah. Jalan tanah berdebu saat kering dan berlumpur saat hujan menurun tajam tanpa ada takik-takik. Saat kaki melangkah turun hanya mengandalkan akar-akar melintang yang menjadi penopang, yang untungnya cukup kuat menopang. Tanpa akar-akar itu kita akan gampang merosot jatuh ke bawah. Selain akar pohon yang melintang, kita juga dapat membantu untuk turun adalah kayu rotan yang mirip batang bambu merunduk yang panjang.

Setelah mengalami susahnya naik turun menuju air terjun ini. aku akhirnya sangat paham apa maksud kata kasihan anak'e, rupanya memang kondisi air terjunnya masih sulit untuk didatangi. Duh mama'e coba kasih lebih jelas dari awal ka...

Mungkin kalau ke depan kawasan air terjun ini dibenahi sebagai obyek wisata yang pertama harus dibangun adalah tangga. Kalaupun dibiarkan alami mungkin bisa dibuat takik-takik untuk pijakan kaki dan tali atau kayu-kayu sebagai pegangan.

Lima belas menit kemudian barulah penampakan air terjun Laiwi muncul dari balik pepohonan. Air terjun tingkat ketiga ini informasinya memiliki ketinggian sekitar 60-meteran. Air terjun ini dikelilingi tebing batu tegak lurus sehingga matahari hanya akan menyinari langsung di bagian bawah beberapa jam saja antara jam 10 sampai jam 2 siang, selebihnya selalu dibalik bayang pepohonan dan tebing batu. 

Itulah mengapa suasananya cenderung sejuk terus walaupun berada di bawah. Bandingkan dengan di lokasi parkir yang justru terasa panas. Bebatuan di sekeliling tebing dipenuhi tanaman merambat dan lumut.

Air terjun saat itu debetnya tidak terlalu besar karena aku dan Imam datang di bulan Agustus. Walau begitu, suasana rindang kawasan air terjun ini tetap enak dinikmati karena terasa sejuk seharian.


Oh iya, satu informasi lagi yang aku baru tahu dan sekalian aku bagikan untuk kalian. Ternyata nama Laiwi itu juga berarti rotan, dan memang di kawasan ini banyak dijumpai tanaman rotan. Tanaman ini bentuknya seperti batang bambu yang merunduk/menjalar.

Beberapa tips bagi yang ingin singgah ke tempat ini: 
  1. Bawa perbekalan secukupnya termasuk air minum, karena sampai saat ini tidak ada penjual makanan/minuman di sekitar lokasi air terjun. Perjalanan naik dan turun menuju ke tingkat kedua apalagi ketiga sangat menguras tenaga. Jangan sampai anda kelelahan atau pingsan hanya karena kurang/tidak membawa bekal.
  2. Gunakan alas kaki yang tidak licin. Hindari menggunakan alas kaki seperti sandal jepit biasa, sepatu high heel atau sepatu kerja. Sebaliknya menggunakan alas kaki yang solnya berbahan karet. 
  3. angan memaksakan diri, jika merasa tidak sanggup jangan dipaksakan turun hanya karena malu dengan teman lain. Ingat, keselamatan anda tanggung jawab anda sendiri. Lagian walaupun ada puskesmas di dekat lokasi ini tetep saja bikin repot orang lain kalau anda celaka.
  4. Jangan membuang sampah sembarangan. Saya malah menyarankan anda membawa kembali sampah anda walaupun nantinya disini dibuat tempat pembuangan sampah.
 Bagian dari perjalanan seminggu keliling Sumba bareng Imam 'Boncel'
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 01 Desember 2018

Terbius Tosca Air Terjun Tanggedu

Dinding batu air terjun Tanggedu
Tebing-tebing batu berlekuk di bagian akhir air terjun
Dua buah aliran sungai yang mengalir di bawah dinding-dinding perbukitan karst menjatuhkan airnya ke dalam kubangan bertingkat membentuk beberapa anak air terjun. Warna biru tosca air yang mengalir tampak semakin cemerlang membiaskan pantulan cahaya matahari yang mulai tenggelam di balik bukit. Ini adalah air terjun terindah yang pernah kulihat selama ini. Tanggedu... perjalanan yang sulit telah terbayar lunas!

Rencana Liburan Seminggu di Sumba
Papan penanda pintu masuk air terjun Tanggedu
Suara manis pramugari terdengar mengumumkan bahwa 15 menit lagi pesawat akan mendarat. Mengintip dari jendela, pemandangan yang kudapati hanya langit nyaris tanpa awan, tanah Sumba belum tampak. Tak lama kemudian seiring pesawat yang semakin terbang merendah, pemandangan tanah Sumba mulai menampakkan diri. Kering, datar dan tampak rata dengan warna kecoklatan. Sumba Timur memang terkenal dengan padang sabana-nya, yang pada bulan panas seperti ini seluruh rumputnya sudah pasti akan coklat mengering. 

Pesawat Wings Air menjejakkan roda-rodanya di landasan pacu bandara Umbu Mehang Kunda. Pesawat mendarat agak keras dan sedikit terasa oleng, pasti angin saat ini sedang kencang. Aku memutar badan untuk melemaskan otot-otot yang serasa kaku semua. Aku dan Imam tak terburu-buru karena toh masih harus mengambil tas yang aku masukkan bagasi. Tidak ada barang penting, tapi pisau lipat dan beberapa barang yang tidak mungkin lolos jika lewat kabin.

Padang sabana arah air terjun Tanggedu
Padang sabana di punggungan bukit
Begitu turun pesawat, hawa panas langsung menyergap kami. Ruang tunggu bagasi yang kecil jadi berasa panas, apalagi tidak ada AC yang terpasang. Untung tak lama kemudian tasku tampak pertama. Imam tampak menerima telepon, sepertinya dari hotel yang akan menjemput kami. Agak surprise juga begitu tahu yang menjemput kami ternyata seorang perempuan. Rupanya dia adalah anak pemilik hotel yang sekalian menjadi manager hotel. Orangnya masih muda dan cukup ramah, cuma aku gak tahu masih jomblo atau udah nikah. 

Untungnya pemilik hotel juga menyewakan sepeda motor. Cuma harga sewanya agak mahal Rp150.000/hari dengan dua helm yang udah bulukan hahaha. Ya sewa ini tentu jauh lebih mahal dibanding penyewaan motor di Bali atau di Malang misalnya. Yah, masih lumayan lah. Mungkin nanti dengan semakin berkembangnya wisata di sini, persewaan kendaraan akan semakin murah.

Seminggu ini, aku dan Imam berencana akan melakukan perjalanan dari ujung Timur ke ujung Barat pulau Sumba. Semua berawal dari ajakanku ke Imam untuk jalan seminggu penuh ke Sumba. Selama ini aku mengunjungi beberapa lokasi wisata di Sumba mencari waktu di sela-sela penugasan, yang tentu saja lebih terbatas. Namun seminggu juga bukan waktu yang panjang, aku masing berhitung waktu tempat mana yang aku harus masukkan lokasi wajib didatangi.

Menuju Air Terjun Tanggedu
Air terjun kecil di bagian aliran sungai sebelah kiri
Setelah mampir sebentar untuk makan pagi, hal pertama yang aku cari adalah sekaleng gas. Naik pesawat tidak memungkinkan aku membawa gas kalengan. Namun ternyata mencari gas kaleng bukan perkara mudah. Beberapa toko yang aku tahu dulu menjual gas kaleng ternyata juga berakhir dengan tangan hampa. Untungnya setelah beberapa toko akhirnya aku mencapatkan gas kaleng, dan ternyata ada di toko yang menjual peralatan motor. Nah lho..

Kelar urusan gas kaleng, aku dan Imam langsung ngacir dengan motor dengan jadwal ke air terjun Tanggedu. Informasi dari Ayu yang pernah kesini, jalur menuju Tanggedu yang jarak jalannya paling dekat melewati rute ke Puru Kambera. Aku sendiri sudah beberapa kali ke Pantai Puru Kambera karena tempatnya deket dari kota. Nyaris setiap kali ke Waingapu aku biasa mampir ke Pantai Puru Kambera. Ya udah, gak usah tanya ke masyarakat aku melarikan motor ke arah Puru Kambera.

Bukit savana di atas Puru Kambera
Perjalanan sampai Puru Kambera masih terbilang aman saja, jalur jalan sebagian besar masih bagus. Btw, kalau aku bilang bagus itu bagusnya ala orang NTT ya tidak sama dengan kalau di Jawa bilang jalannya bagus hehehe. Hanya saja ada satu titik yang paling susah untuk kendaraan yaitu selepas pantai Londa Lima, yaitu adanya pembangunan jembatan. Menuruni sungai yang jalannya tanah berdebu lumayan susah. Aku harus turun jalan kaki karena bantu menahan motor saat turun dan mendorong motor saat naik ke atas.

Dari Pantai Puru Kambera aku terus menyusuri jalan sampai bertemu sebuah pertigaan Pasar Mondu di daerah Kanatang. Seharusnya aku sudah berbelok ke kiri di pertigaan sebelumnya, tapi lebih mudah dikenali jika lewat pertigaan Pasar Mondu. Mungkin mencari pertigaan ini yang harus bertanya ke penduduk yang ada di sekitar. Tapi itu susah, nyaris siang itu tidak kami dapati orang yang ada di pinggir jalan.

Menggiring kuda pulang
Setelah berbelok ke kiri dari pasar Mondu, barulah perjalanan berubah menjadi lebih lambat. Jalur yang kami lewati adalah jalan lapen yang aspalnya ala kadarnya sehingga di beberapa ruas sudah banyak yang rusak. Tapi untungnya sepanjang jalan menyusuri padang sabana yang bikin suasana panas siang itu tidak terlalu kami rasakan. Kalau kalian menemukan jalan beraspal bagus jangan senang dulu karena itu hanya dibangun pas belokan saja selebihnya kembali jalan tanah putih. Aku sendiri sudah beberapa kali terkena zonk seperti ini, berharap dapat jalan aspal ternyata cuma angin surga sesaat.

Di pinggir jalan kami melihat dua buah mobil terparkir masuk ke sebuah tanah lapang dan tampak beberapa orang yang sedang duduk-duduk santai. Aku dan Imam mendekati rombongan itu berharap bisa mendapatkan informasi lokasi. Ternyata mereka juga rombongan wisatawan yang menggunakan mobil tetapi tertahan sampai di lokasi ini. Apa pasal? ternyata beberapa kilometer ke depan menuju Tanggedu ada perbaikan jalur jalan. Saat itu sepanjang jalan sedang dihampar batu karang, hanya menyisakan sepotong jalan tanah di sisi kiri yang dekat dengan jurang. Beberapa orang yang tetap mau ke Tanggedu melanjutkan jalan dengan berpindah ke jasa ojek. Sayang jumlahnya terbatas sehingga tidak semua bisa terangkut.

Karena aku pikir sudah tanggung ya sudah kami nekat mencoba jalan. Namun karena masih berupa batuan karang yang besar-besar tentu rawan bikin ban robek. Jadi aku memutuskan Imam yang naik motor pelan-pelan menyisir jalan pinggir, sedang aku berjalan kaki. Untungnya karena di atas bukit, dengan berjalan kaki aku bisa memotong jarak dengan menuruni perbukitan walaupun harus tetap hati-hati.

Kesulitan Perjalanan yang Setimpal
Perjalanan berakhir ke desa Tanggedu, berakhir menggunakan motor maksudnya. Jalan benar-benar berakhir di sebuah halaman rumah salah satu penduduk. Beberapa motor terparkir di bawah pohon, sementara pemiliknya sedang bersantai menikmati makanan di lapak penjual minuman di sekitar lokasi. Ternyata mereka sudah kembali dari air terjun Tanggedu.

Setelah memarkirkan motor, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki turun ke bawah sampai di pinggir jurang. Menuruni jurang sampai ke bawah untuk melewati sungai menuju ke bukit sebelanya. Jika kondisinya begini, alamat air terjun Tanggedu tidak dapat dilewati saat musim penghujan.

Setelah naik kembali ke bukit sebelahnya dan menyusuri punggungan bukit, perjalanan berubah melewati padang sabana sampai bertemu dengan beberapa rumah. Di salah satu rumah kami masuk untuk membayar tiket masuk dan uang untuk jasa mengantar. Toni, anak pemilik rumah yang masih bersekolah di SMP mengantarkan kami sampai ke gerbang masuk air terjun Tanggedu. Kami melewati beberapa area berpagar, rupanya untuk ke air terjun harus melewati tanah-tanah milik warga. Mungkin itu salah satu alasan pembangunan ke arah air terjun belum berkembang saat ini.
 

Perjalanan turun ke bawah cukup curam, untungnya oleh masyarakat dipasang kayu atau tali tambang untuk bantuan berpegangan. Musim kemarau seperti ini lumayan membantu, tanah putih menjadi tidak licin walaupun jadi sedikit berdebu. Sepertinya di musim hujan, perjalanan turun ke bawah akan sangat sulit karena tanahnya bisa jadi akan menjadi licin.

Semua kesulitan perjalanan memang setimpal dengan pemandangan air terjun yang kami temui. Padahal terus terang, pada musim kemarau seperti ini aku sudah menurunkan harapan serendah-rendahnya. Namun yang kami dapati, air terjun ini airnya tetap berlimpah.

Bagian bawah selayaknya bebatuan karst dimana air mengalir seperti mencari celah untuk dapat mengalir. Di bagian akhir dari air terjun ini yang menjadi favorit Imam. Air sungai yang diapit lekukan khas dinding karst tegak lurus berlekuk-lekuk bagaikan diukir seniman alam. Warna air biru tosca seakan menegaskan keindahannya.

Air terjun Tanggedu berasal dari dua aliran sungai. Di sebelah kiri aliran sungai jatuh langsung ke sebuah kubangan besar dan menyatu dengan aliran satunya. Berbeda dengan aliran sungai yang lurus, dari ujung pemandangan sampai ke titik penyatuan ada beberapa jatuhan air di beberapa titik. Hal itu mengapa di beberapa aliran yang sempit air tampak sangat kencang.

Aku dan Imam naik kembali menjelang sore sekitar jam 5-an. Namun, aku dan Imam sudah berniat suatu saat nanti akan kembali kesini untuk bermalam di air terjun Tanggedu.

Perjalanan Pulang yang Sama Susahnya
Ternyata perjalanan pulang juga tidak lebih mudah terutama mengenali medan jalan. Karena mulai gelap terus terang aku dan Imam kesulitan mengenali tempat kami datang. Sempat agak kesasar, untungnya ada seorang ibu yang kami temui waktu di air terjun sedang lewat sehingga membantu mengantarkan sampai ke jalan turun bukit untuk melewati sungai.




Dan kesusahan kedua adalah di titik yang ada pembangunan jalan. Jika sebelumnya aku berjalan menuruni bukit, sekarang aku harus berjalan naik ke atas bukit. Bah, keringatan bikin sehat memang perjalanan ke air terjun Tanggedu ini. Itu belum lagi ditambah bensin yang sudah berada di garis demarkasi untuk menyerah. Bayangkan saja, berjalan naik motor sambil berharap motor tidak mogok di tempat sepi karena bensin habis. Duh untungnya hal itu tidak terjadi. Orang baik masih dilindungi Tuhan wkwkwkwk.

Teman jalan seminggu keliling Sumba:  Imam "Boncel"
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 12 November 2018

Bermalam di Atas Fatubraun

Matahari terbit di bukit Fatubraun
"Anak dari mana?" Pertanyaan pertama itu yang diajukan ibu pemilik warung saat kami mampir di warungnya. Dari Fatubraun bu, jawab kami.
"Oh, mancing di laut?" Ibu itu coba memperjelas, sambil memberikan minuman yang kami pesan. "Bukan, menginap di Fatubraun"
"Rumah yang di bawah," Ada keraguan dalam pertanyaannya, iya sepertinya merasa aneh dengan jawaban kami.
"Bukan, kami menginap di atasnya" Tanganku menunjuk ke arah bukit Fatubraun.
"Wii, betul di sana?"
"Mama saja lewat di jalan pas sore saja masih merasa merinding. Kalau masih bisa lewat jalan lain lebih pilih jalan lain. Jadi anak bertiga benar-benar menginap di sana?" Nadanya masih terkesan ragu bahwa kami tadi malam benar-benar menginap di atas bukit Fatubraun.

Rumah di bawah bukit Fatubraun
Aku pernah ke Fatubraun beberapa minggu sebelum yang aku tulis disini: Fatubraun, Melihat Pantai Selatan dari Atas. Tapi waktu itu bisa dibilang hanya sebatas mampir saja setelah menginap di Pantai Tebi. Jadi waktu ke Fatubraun hanya beberapa jam saja. Berbeda dengan perjalananku bareng Adis dan Imam kali ini yang memang diniatkan buat nenda di atas sana.

Lama gak keluar buat jalan-jalan memang bikin badan pegel semua. Pas waktunya mereka berdua gak lagi keluar tugas, ya udah aku ajak mereka naik ke Fatubraun buat nenda. Karena waktu pertama kali ke tempat itu, menuruku lokasinya bagus untuk mengambil pemandangan matahari terbit. Tapi kita juga bisa mengambil foto pemandangan matahari terbenam, hanya kita harus naik ke arah puncak tertinggi di sisi barat. Tapi itu pun matahari terbenamnya di balik perbukitan lain, bukan jatuh di laut.

Persiapan Ala Kadar
Menjelang malam di Fatubraun
Persiapan buat nenda udah disepakati cuma apa yang dibawa belum disepakati. Kita memang seperti itu, gak pernah mau ribet mikir apa yang mau dibawa atau disiapin. Pokoknya ya nanti deket-deket jalan baru atur. Kata Imam sih kalau terlalu banyak perencanaan lebih sering gagal. Sayangnya, Al sama Trysu yang aku ajak naik ke Fatubraun pertama kali justru lagi tugas keluar.

Untuk tenda, aku sama Imam memilih membawa tenda single layer yang cuma muat buat dua orang. Pertimbangannya sih karena bukan musim hujan jadi kecil kemungkinan kita menginap di dalam tenda. Aku sama Imam nyaris gak pernah menginap di dalam tenda kecuali waktu ada hujan. Jadi tenda biasanya lebih banyak dipake untuk mengamankan tas saja. Hanya untuk jaga-jaga aku tetap membawa flysheet kalau tiba-tiba cuaca tak terduga seperti yang aku alami saat nenda di Pantai Tebi.

Karena tujuannya cuma satu tempat dan dilanjutkan nenda, jadi kita bertiga memilih berangkat siang selepas jam tiga. Cukup dengan dua motor, dan karena aku yang naik motor sendirian jadi seperti biasa kebagian yang angkut semuanya.

Nenda di Puncak
Aku sendiri awalnya menawarkan buat memasang tenda di bawah di area parkiran saja yang lebih teduh suasananya, ini juga udah aku tulis di postingan sebelumnya. Pertimbanganku karena di bagian atas tempatnya langsung berhadapan dengan dinding jurang yang tentu lebih berbahaya. Cuma Imam dan Adis maunya sekalian nenda di atas saja. Ya udah, aku ngikut saja keinginan mereka. Enaknya sih kalau nenda di atas tentu lebih gampang untuk menikmati matahari terbit dibandingkan di bawah yang tertutup dengan pepohonan.

Awalnya Adis gak percaya kalau ke Fatubraun itu nanjaknya cuma sedikit, dia pikir dengan pemandangan tebing batu yang tampak jauh lebih terjal dibanding Fatuleu. Padahal beneran ke bukit Fatubrau gak sesusah dan semenantang naik ke Fatuleu. Baru setelah 10 menit udah sampai dia percaya kalau memang gak terlalu susah naik ke atas Fatubraun. Tapi tetap saja ada adegan keringetannya lha naik ke atas pake jaket.

Dari semua pilihan tempat akhirnya Imam memilih memasang tenda di pinggir jalan masuk dalam hutan, tidak masuk ke dalam hutan seperti saranku. Imam sengaja memilih tanah datar yang banyak rumput supaya agak empuk buat tidur. Hanya memang jadi terbuka, yang akan terasa sekali jika ada angin kencang.

Tenda baru aku pasang sekitar jam enam setengah enam sore setelah rombongan wisatawan terakhir pulang. Seingatku rombongan terakhir turun sebelum jam lima sore. Untuk informasi, bukit-bukit batu di sini rata-rata masih digunakan untuk pemujaan. Ada keyakinan kuat dari masyarakat Timor tentang kekuatan yang tidak kasat mata yang tinggal di bukit batu seperti ini. Jadi wisatawan yang berkunjung rata-rata sudah turun dari bukit sebelum malam. Itu salah satu sebab jarang yang memotret waktu terbaiknya di bukit seperti ini.

****
Bicara tentang kekuatan tak kasat mata di bukit Fatubraun ini, aku teringat cerita tentang kasus lama yang diceritakan masyarakat. Seorang mama tua pernah bercerita bahwa di atas bukit itu dulunya ada batu besar yang membentuk kepala orang. Masyarakat di Amarasi walau sudah memiliki agama namun masih kental dengan kebudayaan leluhur, salah satunya pemujaan kepada gunung/bukit-bukit besar. Sehingga pada saat-saat tertentu, masyarakat tetap membuat upacara dan memberikan persembahan di sana. Ada tim doa yang tidak suka dengan kondisi ini dan menyalahkan keberadaan bukit batu itu sebagai penyebab perilaku syirik di masyarakat.
Hingga suatu ketika diputuskan untuk menghancurkan batu-batu besar yang ada di sana. Rombongan naik ke atas dan menghancurkan beberapa batu terutama yang berbentuk kepala manusia supaya tidak digunakan lagi untuk pemujaan. Mereka memang berhasil menghancurkan bukit batu itu. Namun hal buruk terjadi setelah itu. Konon katanya satu demi satu orang yang menghancurkan bukit itu meninggal dengan berbagai macam cara.
****

Malam itu aku batal memotret milkyway seperti yang aku rencanakan karena langit yang ada awan walau tidak terlalu tebal. Dan terutama juga adanya bulan yang mendekati purnama. Entah aku yang makin bodoh, aku tidak menggunakan aplikasi seperti biasanya untuk mengecek posisi dan penampakan bulan. Biasanya aku selalu menggunakan aplikasi untuk mengecek posisi dan penampakan bulan dengan aplikasi yang selalu ada di hape android-ku.

Justru malam itu kita membuat foto-foto yang super duper gak jelas. Ya tapi lumayan buat asyik-asyik saja sih. Lumayan lah, setidaknya ada satu properti lampu flip-flop semeter yang cukup asyik buat bikin eksperimen foto bareng mereka berdua.

Matahari Terbit Tidak dari Horison Laut
Pagi-pagi aku terbangun, udah agak telat sebenarnya. Setengah enam pagi, langit udah agak terang. Cuma mereka berdua masih asyik meringkuk dalam selimut masing-masing. Adis ngorok di dalam tenda, sedangkan Imam bergulung dengan sleeping bag-nya di dekat nyala api unggun yang tinggal onggokan bara kecil.

Setelah memotret disekitar tenda, aku berencana memotret dari atas bukit sisi barat yang lebih tinggi. Ya udah, aku ke tenda untuk membangunkan Adis yang katanya tadi malam minta dibangunkan untuk ikut motret matahari terbit. Tapi membangunkan Adis kali ini lebih susah, rupanya dia terlalu lama melek tadi malam. Aku memang selalu tertidur terlebih dahulu daripada mereka berdua. Karena mereka berdua memang seringkali insomnia, baru mulai ngantuk menjelang pagi.

Karena gagal membangunkan Adis, akhirnya aku masuk ke dalam hutan sendiri untuk mendapatkan view yang lebih bagus untuk memotret matahari terbit. Aku tepat waktu, saat sudah berada di titik tertinggi sisi barat rupanya matahari belum terbit. Matahari pagi terbit beberapa saat kemudian dari balik perbukitan tampak cemerlang tanpa terhalang awan. Karena masih bulan April sehingga posisi matahari terbit masih di sisi selatan sehingga masih terhalang oleh perbukitan.

Tenang saja, walau tidak sempurna terbit dari balik horison laut, pemandangan pagi-nya tetep kece kok. Seperti aku tulis sebelumnya, dengan ketinggian hanya sekitar 400 mdpl, dapat dikatakan matahari pagi akan mudah tampak tanpa terhalang oleh kabut. Hal ini tentu berbeda dengan melihat pagi dari pegunungan yang tinggi, kadang bisa terhalang oleh kabut pagi. Dan cukup banyak spot di atas Fatubraun ini untuk menikmati matahari terbit.

Saat balik ke tenda, aku melihat Imam dan Adis tetep saya khusyuk sama mimpi indahnya. Busyet dah, tuh kedua anak emang mirip anaknya vampir yang melek malam hari tapi justru tidur pagi. Padahal bunyi burung ramai bercuitan terbang kesana kemari. Ya udah, aku akhirnya masak air untuk membuat kopi. Sayang rasanya kalau tidak menikmati pagi begini tanpa segelas kopi panas.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 16 Oktober 2018

Wajah Kampung Mekko


Wajah polosnya yang kusam karena sering terpapar matahari tidak mengurangi kecantikannya. Matanya yang besar dengan bulu mata lentik tampak bersinar senang menutupi senyum malu-malu saat lensaku mengarah ke wajahnya. Namun begitu melihat wajah mereka sendiri di layar kamera seketika suara mereka menjadi riuh. Kepolosan mereka begitu alami, mereka begitu menikmati hidup disini, ditengah segala keterbatasan yang ada. Dunia mereka memang bukan dunia pura-pura, kebahagiaan dan kesedihan mereka akan terpancar apa adanya. 

 Aku menatap ke ujung dermaga, menunggu sang matahari terbit dan memamerkan cahaya kekuningan ke seluruh penjuru. Beberapa orang duduk di pantai sambil bernyanyi, anak-anak muda desa Pledo bermalam di sini. Beberapa sampan masih berjajar di sepanjang dermaga. Masih banyak sampan yang berlabuh di sepanjang pantai di sisi lain dermaga. Kata pak Said, beberapa hari ini angin sedang tidak bersahabat sehingga hasil tangkapan minim. Mereka hanya bisa mencari ikan di perairan yang agak ke dalam karena di perairan luar ombaknya terlalu kencang. 

Oh ya, tentang orang-orang yang berkumpul di dermaga itu. Aku bahkan mendengar suara mereka bernyanyi dari tengah malam sampai menjelang pagi. Kemarin memang ada hajat besar di dusun Mekko yang membuat keramaian hingga tengah malam. Kalian tahu kan, di tempat terpencil yang minim hiburan seperti ini. Acara apapun adalah kesempatan yang tak disia-siakan. Hajatan dari desa Pledo pun bahkan didatangi oleh masyarakat dari dusun-dusun lain di desa Pledo. 

Selepas dermaga dusun Mekko terbentang segenap keindahan alam yang akan membuat siapa pun terpukau: gosong pasir putih, kolam renang raksasa, pulau yang dipenuhi ratusan kelelawar, dan tentu saja air sebening tosca. Jangan tanya dengan terumbu karangnya yang masih keindahannya masih terjaga. Lihat saja kawanan anakan hiu yang ada di tempat ini, itu pertanda bahwa kawasan pulau Mekko ini masih memiliki sumber makanan bagi para predator. Dan semua itu masih asli. 

Tapi coba tengoklah ke belakang, di tanah berpasir kering dimana puluhan rumah berdiri disebuah kampung yang mereka panggil MEKKO. Rumah-rumah petak yang sebagian dari kayu dan pelepah pohon aren, sebagian besar berukuran kecil. Kebanyakan rumah dibangun begitu saja di mana ada tanah kosong, jadi tampak agak berantakan. Di dusun Mekko ini kalau tidak salah ada sekitar 70-an KK. 

Umumnya mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Orang-orang Mekko adalah nelayan tangguh karena mereka adalah orang Bajo (:Bajau). Mereka bukan hanya ulung dalam mencari ikan dengan pancing dan jala, mereka juga ulung mencari ikan dengan menyelam. 

Kemampuan menyelam ini pernah dituturkan pak Said, bahwa beberapa nelayan yang sudah mahir menyelam untuk mencari ikan biasa sekali menyelam ke bawah bisa sampai 10-20 menit. Ini bukan sebuah kisah dongeng belaka. Aku pernah menyaksikan sendiri mereka menyelam ke bawah dan bermenit-menit tidak keluar dari air. Penelitian tentang kemampuan orang Bajo menyelam lama dan melihat jelas dalam air tanpa bantuan alat-alat modern ini pernah diteliti oleh peneliti Lembaga Biologi Molekuker Eijkman Pradiptajati Kusuma bersama timnya yang jurnalnya terbit di European Journal of Human Genetics. Menurut penelitian itu, kebiasaan mereka menyelam dan melihat ke dalam air sudah diwariskan secara genetik. Keahlian itu bisa dilacak dengan melihat jejak adaptasi pada gen, khususnya gen yang berhubungan dengan fungsi mata dan paru-paru. 

Bukankah dengan kemampuan itu mereka amat mudah mencari penghidupan dari laut? Ya, dulunya mereka dengan mudah mencari ikan dan binatang-binatang laut yang dapat dijual atau dikonsumsi. Ada masa-masa keemasan, yaitu saat terjadi booming makanan dengan menggunakan bahan sirip hiu. Pada saat itu permintaan hiu untuk diambil siripnya meningkat. orang dari Surabaya bahkan rela berkeliling jauh ke dalam pelosok NTT untuk mencari bahan makanan yang dipercaya memiliki banyak khasiat. Mitos khasiat sirip hiu seperti menjaga tubuh sehat dan awet muda, meningkatkan kejantanan pria, dan sialnya mitos seperti itu seperti sekam di atas api yang makin ditiup makin membakar. 


 Hiu-hiu yang tertangkap biasanya dijual ke pedagang khusus diambil sirip hiunya. Sisa dagingnya mereka jual di pasar atau dibarter dengan sayur-mayur atau kebutuhan pokok lain dari masyarakat kampung atas, istilah untuk masyarakat yang tidak berprofesi sebagai nelayan tapi sebagai petani atau peladang. Cerita pak Said, bahkan tengkulak tak akan keberatan datang langsung ke Mekko jika ada hari itu ada banyak tangkapan hiu. Hilir mudik transaksi hiu ini pelahan menguras jumlah hiu yang hidup di perairan Mekko. 

Untunglah penangkapan hiu pelahan berkurang sampai kemudian berhenti sama sekali. Sosialisasi sampai kemudian ancaman dari pemerintah membuat satu demi satu nelayan melepaskan mata pencahariannya sebagai penangkap hiu. Kadang mereka saat tangkapan ikan kurang bagus masih terpancing untuk kembali menangkap hiu. Namun karena kegiatan memperdagangkan hiu dianggap kegiatan ilegal, perdagangan sirip hiu juga makin meredup hingga nyaris tidak ada lagi pedagang yang datang untuk mencari sirip hiu. 

 Pagi itu aku melihat ibu Jumra, anak perempuan Pak Daeng sedang memperbaiki sebuah jala. Katanya, jala itu robek saat beberapa hari jala mereka tanpa sengaja menangkap hiu. Gigi Hiu yang tajam dengan mudah merobek jala yang mereka pasang karena ukuran talinya kecil. Apakah hiu tak bisa ditangkap dengan jaring itu? Tanyaku polos. Ibu Jumra tertawa, katanya cuma hiu kecil yang mungkin bisa ditangkap dengan jala seperti ini. Mereka menunjukkan di dinding belakang rumah jala yang khusus untuk menangkap hiu. Oh rupanya jala untuk menangkap hiu talinya berukuran lebih besar dan mata jalanya juga besar-besar. 

Jala-jala dengan mata besar digantikan dengan jala bermata kecil, namun hiu-hiu yang dulu tertangkap tidak digantikan begitu saja dengan ikan-ikan lainnya. Menangkap ikan biasa tidak langsung menggantikan nilainya dibanding menangkap hiu. Satu-dua hiu yang tertangkap oleh nelayan sudah menghasilkan untung bagi mereka. Apalagi pada saat tertentu mereka bisa menangkap hiu sampai sepuluh sebelas ekor dalam sehari. Dan sekarang mereka mengeluhkan sulitnya menangkap ikan biasa. Mereka tidak tahu, bahwa hiu-hiu yang mereka tangkap tanpa sadari telah salah satu yang membuat jumlah ikan di kawasan itu berkurang jumlahnya. 

Hiu-hiu yang ada di sebuah kawasan perairan adalah puncak rantai makanan. Mereka bukan dipandang sebagai penyantap habis ikan, mereka menjadi satu kesatuan dari ekosistem di kawasan perairan itu. Penangkapan berlebihan hiu yang ada pada gilirannya akan merusak keseimbangan ekosistem itu, dan berujung pada berkurangnya jumlah ikan di perairan itu.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya