Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 08 November 2015

Tosca di Pantai Ina Bura

Pemandangan pantai Ina Bura berlatar gunung Ile Boleng

Diapit karang-karang terjal berwarna hitam, pasir putih yang berada di pantai Ina Bura tampak kontras dengan warna hijau tosca dari air laut. Di depan pantai Ina Bura adalah pulau Lembata. Sementara, di belakang pantai Ina Bura tampak gunung Ile Boleng yang mengeluarkan asap. Bukan asap dari kawah gunung tapi dari masyarakat yang membakar pepohonan dan rumput kering di gunung. Ile Boleng adalah satu-satunya gunung yang aktif di pulau Adonara.Ina Bura, artinya arus kuat. Kamu bisa melihatnya jelas saat berdiri di bebatuan karangnya, arus itu berasal dari pertemuan arus yang melewati selat ini. 

Karang-karang di sekitar pantai Ina Bura
Pasir putih di pantai Ina Bura memang tak luas namun letaknya yang terjepit bebatuan karang justru menambah eksotisnya pantai ini. Pantai Ina Bura memang bukanlah semuanya pasir putih saja, ada beberapa karang terjal selain yang mengapit di sekeliling pantai, namun justru itu menguntungkan membuat ombak besar tidak langsung menghantam pantai ini. Namun untuk berenang memang harus lebih hati-hati terutama saat terjadi pergerakan arus air pasang surut. Sama seperti kondisi di selat antara Larantuka-Adonara, pantai Ina Bura juga terletak di selat antara Adonara-Lembata. Yang pernah aku lihat, kadang siang hari tampak pusaran-pusaran air yang cukup ditakuti nelayan karena jika masuk ke perangkap pusaran itu bisa-bisa perahu hilang tenggelam terbawa arus. Tapi jika waktunya tenang, memang bisa jadi lautnya bisa tenang sekali seperti kolam yang nyaris tidak beriak. Saat-saat tenang seperti itulah waktu terbaik untuk dikunjungi.

View Larantuka dari pantai Palo, Adonara Barat
Pantai Ina Bura ini sebenarnya di luar perencanaanku, bahkan aku tidak memiliki preferensi apapun tentang pulau Adonara. Perjalanan ke tempat ini bermula saat aku mau tugas mengecek pekerjaan irigasi dan bendungan di lokasi Waiua Tanah Merah. Waktu itu cuma mikir, sampai di sana pokoknya mau cari salah satu pantai yang bisa dikunjungi
Jam sembilan aku dijemput di hotel sama pak Alfon. Kirain mau ke dermaga pelabuhan Larantuka tapi ternyata di bawa ke dermaga kecil di Pantai Palo. Ternyata ada beberapa lokasi untuk menyeberang ke Adonara. Kalau berangkat dengan rombongan (lebih dari satu motor), maka lokasi penyeberangan biasanya tetep di dermaga Larantuka karena di sana perahunya berukuran besar jadi muat beberapa motor bahkan mobil juga bisa. Cuma karena daya tampungnya lebih banyak jadi harus menunggu jumlah penumpang cukup baru jalan.
Kalau hanya sendiri atau berdua dengan satu motor lebih enak lewat dermaga kecil di Pantai Palo. Satu perahu hanya muat paling banyak dua motor untuk sekali jalan. Sebenarnya bisa lebih sih cuma mereka berbagi penumpang jadi dibatasi sampai dua motor saja, malahan kadang cuma satu motor kalau lagi sepi. Jadi walau pendapatan mereka tidak besar mereka ternyata akur berbagi rejeki gak main mentang-mentang.



Menuju ke pantai Ina Bura
Jarak dari Larantuka ke Adonara Barat paling banter hanya sepuluh menit sudah akan sampai di dermaga Adonara Barat, tepatnya di Pantai Tanah Merah. Keberadaan dermaga ini membantu terutama warga Adonara Barat yang membuat perjalanan dari dan ke Larantuka jadi lebih mudah. Kondisi ini belum lama lho, sebelumnya masyarakat pulau Adonara harus menunggu kapal feri yang hanya singgah sekali dari Larantuka ke Lembata dan singgah di Waiwerang (Adonara Timur). Dermaga-dermaga baru ini memang jadi sangat membantu, waktu aku berangkat barengan sama rombongan orang yang baru selesai menjenguk saudara mereka yang sakit dan rawat inap di RSUD Larantuka. Dengan kondisi sekarang, gampang saja kalau mereka tidak ingin menginap di Larantuka karena perahu-perahu ini selalu tersedia. Sayangnya aku lupa bertanya, perahu ini ada sampai jam berapa. Tapi sepertinya mereka juga tidka masalah kalau kita minta mengantar malam-malam asal penumpangnya cukup.


Sayangnya aku gagal mengecek irigasi di Tanah Merah sehingga aku langsung ke Waiwuring yang masuk Kecamatan Witihama. Melewati Adonara hampir dua jam perjalanan darat menembus jalur tengah pulau Adonara dari ujung Timur ke Barat sukses membayar kulit dan jidatku menjadi hitam. Belum lagi banyak jalan yang sedang dalam kondisi perbaikan sehingga jalan dipenuhi dengan debu. Bahkan jalurnya pun tergolong sulit karena dibeberapa titik jalan ada yang menurun tajam, sempit dan batuannya mudah terlepas. Kondisi jalan seperti ini bagi orang di kota besar pasti cepat menimbulkan stress, tapi beda dengan pak Alfon yang memang aslinya dari Adonara. Menurut pak Alfon, dulu jalur dari Waiwerang ke Tanah Merah bisa dibilang parah banget, itu pun ditambah dengan tidak banyak alternatif kendaraan yang tersedia.
Siang setelah diajak makan dan bersantai di rumah pak Irsyad salah satu penduduk di Waiwuring, barulah waktuku agak longgar. Rencananya aku akan balik dengan menumpang kapal feri lewat pelabuhan Waiwerang yang akan singgah jam dua siang. Perjalanan dari Waiwuring ke Waiwerang sendiri sekitar satu jam, dengan syarat tidak lewat jalan umum tapi by pass melewati perkebunan kelapa. Sebenarnya ada satu lokasi bagus untuk dikunjungi yaitu di Meko, di sana ada pulau pasir yang terjepit di antara dua pulau. Sayang perjalanan ke Meko pasti lama karena kondisi jalannya yang cukup parah, padahal jarak dari Waiwuring ke Meko sebenarnya tidak jauh.

Pak Alfon akhirnya menyarankan aku agar mengunjungi pantai Watotena yang menjadi salah satu daerah tujuan wisata masyarakat lokal Adonara karena setujuan ke arah Waiwuring. Aku sih mengiyakan saja karena memang tidak tahu kondisi Adonara. Apalagi kapal feri ini hanya satu kali saja sehari, jadi sekali kami ketinggalan kapan terpaksa harus menginap sehari di Waiwerang.Balik lagi ke Tanah Merah?? Ogah banget, waktu ke sini aja udah ngeri aja liat jalan rusak menurun seperti itu apalagi nanti kalo ke sana yang artinya jalan naik.
Setelah jalan sekitar satu jam melewati sungai dan perkebunan, pak Alfon justru akhirnya membawa aku ke pantai Ina Bura, bukan pantai Watotena yang dia janjikan semula. Waktu aku tanya lokasi Watotena, dia menunjuk kiri ke arah perbukitan karang yang mengelilingi pantai Ina Bura ini. Jadi, pantai Ina Bura dan pantai Watotena ini letaknya bersebelahan dan hanya dipisahkan dengan tebing perbukitan karang.

Air biru tosca adalah salah satu daya tariknya
Suasana pantai sepi dan juga masih cukup bersih. Setidaknya sampah yang ada di sekitar pantai adalah sampah dedaunan bukan sampah plastik. Ada satu lopo agak besar yang dibangun di pinggir pantai. Pantai ini rupanya belum masuk pengelolaan pemerintah daerah sehingga masih dikelola sendiri oleh desa. Sepertinya pantai-pantai seperti ini lebih baik dikelola sendiri oleh desa, karena cenderung masyarakat yang berjaga cenderung lebih memperhatikan kondisinya. Pengalamanku, kawasan wisata yang dikelola oleh pemerintah daerah justru sering kurang terawat. Banyak hal, salah satunya ya masyarakat jadi kurang aware karena merasa bukan mereka yang punya kewajiban. Tetapi sepertinya tempat ini hanya di jaga di hari Minggu saja. Tadi waktu masuk ke sini ada kayu penghalang jalan cuma tidak ada yang berjaga sama sekali. Untung kami pakai motor sehingga mudah saja lewat dari jalan samping yang sudah terbentuk jalan darurat (mungkin sudah banyak yang lewat jalan ini terutama kalau jalan sedang ditutup begini).

Suasana di pelabuhan Waiwerang
Aku sendiri tidak lama di tempat ini sehingga tidak jadi mampir ke pantai Watotena lagi. Sekitar setengah jam baru lah motor kami sampai ke Waiwerang namun ternyata kapal, dan kapal baru berlayar jam setengah empat. Di atas kapal, aku sempat menikmati makanan kecil yang dijajakan anak-anak kecil yaitu manisan buah kom. Buat yang belum familiar, buah kom itu berasal dari pohon Bidara yang biasanya tumbuh di pinggir pantai. Pohon yang dibagian batang mudanya suka ada duri ini ini buahnya berukuran kecil-kecil yang jika matang berwarna merah dengan rasa manis sepat bertepung. Ternyata buah kom ini kalau dibuat manisan rasanya enak, terutama bagian kulit dan rasa bertepungnya. Murah sih, satu plastik cuma seribu rupiah.
Sebenarnya aku ada saudara yang tinggal di pulau Adonara ini, tepatnya di kampung Lamahala yang tampak jelas dari pinggir pelabuhan Waiwerang. Cuma memang dengan waktu semepet ini, aku jelas tidak dapat mampir ke tempat mereka. Tapi sepertinya lain kali aku harus mencoba lagi ke Adonara karena sepertinya masih banyak tempat menarik lebih banyak daripada yang aku pikirkan.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 31 Oktober 2015

Kopi Senja: Pantai Puru Kambera

Senja di Pantai Cemara Sumba Timur
Bubu, alat untuk menjebak ikan laut di pantai Puru Kambera
Angin dari atas perbukitan mulai menerpa pantai, membuat batang-batang Cemara berayun-ayun menimbulkan suara yang khas. Api di kompor kecil yang kutaruh di bawah cemara ikut bergoyang. Untung ada lubang di bagian bawah pohon cemara sehingga menjadi penghalang langsung angin mengenai kompor. Walaupun jadi lebih lama dari pada biasanya namun air di atas kompor akhirnya mendidih juga. Akhirnya dua gelas yang kami pinjam dari hotel menguarkan harum kopi begitu air panas kami tuangkan. Hmmm.. wangi kopi di tangan kami berpadu sempurna dengan warna lembayung di langit Puru Kambera. Suasana sekitar yang masih sepi menjadi tempat sempurna untuk duduk ngopi sambil memandangi senja. Kadang hal yang menyenangkan dan membahagiakan itu tidak jauh asal kita bersedia menjadi sederhana. Dan disinilah kami menemukannya, dalam sepotong senja dan segelas kopi. Walaupun kopiku dan kopi kesukaan Trysu beda merknya, tapi kopi tetap harum kok.... 

Sore di pantai Cemara Sumba Timur
Bebatuan berlumut di pantai Puru Kambera
Pasir putih dan jajaran pepohonan cemara, itulah view yang khas orang temui di pantai Puru Kambera. Maka tak heran jika banyak juga yang menyebutnya dengan nama Pantai Cemara. Pantai yang terletak sekitar 26 km dari kota Waingapu ini menjadi salah satu destinasi yang dipromosikan oleh Pemda Sumba Timur. Entah kenapa, jika menyebut pulau Sumba maka destinasi wisata yang sering terdengar justru di sekitar daerah Sumba Barat dan Sumba Barat Daya (dua kabupaten ini dulunya satu yaitu Kabupaten Sumba Barat).Mungkin memang efek adanya acara Pasola yang setiap tahun digelar oleh dua kabupaten itu.
Aku pertama kali kesini sudah beberapa tahun yang lalu, mungkin tiga atau empat tahun yang lalu. Waktu itu gak tau sama sekali cuma tanya ke tukang ojek, di mana ada lokasi wisata pantai di dekat sini. Dan dengan ongkos 100ribu untuk nganter bolak-balik, aku dibawa tukang ojek ke tempat ini. Sendiri ke tempat ini pas kebetulan surut sama seperti saat aku kesini baru-baru ini. Dan waktu itu sempet ketemu sama rombongan dokter-dokter yang lagi kerja PTT atau cuma co-ass entah aku lupa, seingetku tiga cowo dan dua cewe...atau... dua cowo tiga cewe ya (satu cowo kaya cewe hihihi)

Milky way di langit Puru Kambera
Galaksi dari pantai Puru Kambera
Akhirnya kesini lagi awal Oktober kemarin bareng Trysu. Oh yang hari pertama sempet ngajak satu temen kantor yang cewe (kebetulan beda penugasan tapi di kota yang sama). Untungnya dapet pinjeman motor jadi kita lebih praktis kemana-mana termasuk ke Purukambera. Dari Kota Waingapu menuju Purukambera pasti akan melewati pantai Londa Lima yang dikenal dengan nama Pantai Kita (karena berada di desa Kita). Pantai Londa Lima merupakan salah satu kawasan wisata yang salah sudutnya dikelola oleh Pemda, dan mungkin menjadi salah satu wisata andalan wisatawan lokal. Tentu saja karena faktor jaraknya yang dekat dengan kota Waingapu. Tapi lupakan tentang pantai Londa Lima. Walaupun berpasir putih, tapi keberadaan sampahnya sungguh mengganggu dan itu terlihat jelas dari pinggir jalan. Entah kenapa, lokasi yang dikelola justru tampak sangat jorok. Dan aku masih bisa melihat keramaian orang-orang berwisata ke tempat itu saat hari-hari libur. Heran aja, sepertinya mereka tidak terganggu dengan segala jenis sampah yang memenuhi seluruh pantai. Malahan mereka kadang menambah sampah. Kata orang dari Dinas Pariwisata, sebagian sampah yang ada di pantai Londa Lima terbawa dari Pelabuhan Waingapu yang memang tampak dari pantai Londa Lima. Jadi untuk pantai Londa Lima untuk sementara ini aku tidak ingin menuliskannya. Mungkin lain kali kalau sudah ada perhatian penuh dari Pemerintah terutama terkait kebersihannya.


Perbukitan di Sumba Timur
Menjelang senja dari perbukitan Puru Kambera
Setelah melewati pantai Londa Lima, nanti kita akan berjalan naik menuju ke perbukitan. Kawasan perbukitan ini saat pagi atau sore bisa menjadi tempat yang menarik untuk didatangi. Bukit di daerah ini sebagian besar adalah bukit karang. Saat aku datang sebagian rerumputan sudah mengering kecoklatan sehingga batu-batu karang berwarna kelam dan kasar tampak memenuhi perbukitan. Namun justru di beberapa titik ada pemandangan kontras yang menarik yaitu pohon gala-gala dan beberapa pohon sejenis yang berbunga saat puncak musim kering. Sempat ketemu dengan pasangan yang sedang dipotret oleh sekelompok orang di salah satu pohon yang dipenuhi bunga, mungkin mereka sedang pemotretan prewedding. Perbukitan ini menjadi salah satu lokasi kuda-kuda dilepaskan untuk mencari makan sendiri. Sayang kuda-kuda ini tidak mudah didekati. Tapi walaupun tanpa ikatan bukan berarti mereka kuda liar lho ya.

Rerumputan di perbukitan kala puncak musim panas
Dari perbukitan barulah perjalanan menurun terus sampai ke arah pantai. Mulai saat ketemu pantai itulah, kawasan pantai itu disebut dengan nama Purukambera. Sayangnya di sisi pantai sebagian besar telah diberikan tanda berupa pagar batu. Jadi tidak mudah mencari daerah terbuka untuk umum yang bisa kita masuki.Biasanya pengunjung memilih turun selepas jembatan di samping satu-satunya hotel yang ada di sana. Hotel Puru Kambera Beach namanya, kalau gak salah. Hotel itu punya ruang terbuka dan sebuah tempat makan yang langsung berada di pantai, cukup romantis untuk digunakan pasangan terutama yang mau ngajak married pasangan. Kalau yang lebih suka wisata koper, hotel ini mungkin tempat yang tepat. Jarak kita memarkir motor dengan pantai cuma tinggal semeter karena memang jalan berada persis di pinggir pantai. Tapi sebaiknya parkir di tepi jalan dan jangan masuk di bawah pepohonan cemara karena pasirnya halus jadi mudah terbenam. Pengalaman pernah setengah mati menarik motor gara-gara roda motor terbenam ke dalam pasir. Pasirnya memang putih, khas warna pasir di wilayah Sumba. Memang pasir putihnya tidak luas, jika sedang surut pun bagian surut lebih sering dipenuhi bebatuan yang sebagian besar telah berlumut. Namun pasir putih di daerah ini memanjang sepanjang jalan yang kita lewati. Dan satu lagi, di sepanjang pasir putih itu banyak berdiri deretan pohon Cemara. Kalau kuat berjalan, panjang pasir putihnya mencapai satu km lebih.


Kuda-kuda di pantai Cemara Sumba Timur
Menghalau kuda pulang di pantai Puru Kambera
Terakhir ke sana aku memilih masuk ke salah satu pagar batu yang berada selepas turunan bukit. Karena belum ada bangunan dan hanya pagar batu jadi masih bebas kita masuki. Tetapi nanti jika sudah ada bangunan pasti kita gak bisa masuk ke sini lagi. Ini efek kalau di pinggir pantai diijinkan bangunan. Setelah masuk bagian belakang yang batunya belum terpasang langsung akan disambut pepohonan cemara dan pasir putih. Beberapa aktivitas nelayan jamak ditemui, bangunan-bangunan dari bambu dan atap daun lontar biasanya menjadi rumah sementara para nelayan saat melaut di sini. Menurut mereka, keberadaan pulau Sumba yang berada di antara lautan lepas (Laut Sabu dan Lautan Hindia) membuat daerah mencari ikan berubah-ubah tergantung musim anginnya. Mereka biasanya menghindari wilayah dari arah angin berasal. Misal musim angin barat, biasanya para nelayan akan memiliki mencari ikan di kawasan Timur yang ombaknya lebih tenang.

Berada di pantai dekat perbukitan memang lautnya lebih menarik, terutama karena saat surut bebatuan yang berlumut tidak sebanyak dibanding yang berada dekat hotel. Dan yang pasti lebih tenang karena kemungkinan jarang yang mendatangi Puru Kambera dari sisi sini. Aku dan Trysu berjalan ke Timur karena semakin mendekati perbukitan semakin tenang. Tetapi sayangnya aku lupa, saat mulai gelap justru angin yang terasa makin kuat. Kemungkinan karena angin dari perbukitan yang bertiup kebawah tidak terhalang. Dari pengalaman itu, aku akhirnya tahu untuk menghindari berada di pantai yang dekat dekat perbukitan karena justru anginnya terasa lebih kencang saat malam. Memasak air yang biasanya tak sampai 10 menit sudah mendidih, sekarang hampir 20 menit baru mendidih padahal aku sudah taruh kompor di dalam barang pohon Cemara yang kebetulan berlubang di bagian bawahnya.

Entah kapan pantai ini masih bisa dinikmati gratis. Para pemilik tanah-tanah yang berpagar batu itu sepertinya adalah sebuah grup/perusahaan. Jika mereka telah membangun, kemungkinan besar mereka akan membatasi akses pengunjung ke lokasi mereka. Sekarang saja melihat pagar-pagar batu itu kita sudah serasa dibatasi, apalagi nanti jika bangunan-bangunan hotel dan sebagainya berdiri di atasnya.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 19 Oktober 2015

Perjalanan 'Tak Ada Kesalahan' ke Koalat

Air terjun Maidang
Air terjun Koalat, meski musim kemarau namun debitnya masih kencang (tingkat terbawah)
Debit air memang jauh berkurang, namun air terjun yang dihasilkan masih cukup deras menurutku. Menurut pak Aril (bukan Ariel Peterpan lho, karena kalo disebutkan namanya yang terbayang kok muka Luna Maya sama Cut Tari), jia musim hujan maka air yang mengalir akan berkali-kali lipat lebih deras daripada saat ini. Dia menunjukkan batas ketinggian air yang tersamar nyaris tak tampak di dinding-dinding bukit. Wow! Setidaknya ada perbedaan ketinggian tiga meter dibanding saat ini, berarti memang debit air surut jauh. Dan itu artinya kami tidak bisa melewati sungai tempat kami menaruh motor. Dia menunjukkan jembatan kecil panjang yang nampak saat kami sampai di Maidang. Itulah jembatan yang harus kami lalui untuk sampai ke air terjun ini saat musim hujan, dan itu artinya perjalanan kaki tak kurang dari 2 jam.

Air terjun Maidang
Jernihnya air di air terjun Koalat, Maidang
Air terjun Koalat menjadi tujuan berikutnya setelah pantai Tarimbang dan air terjun Laputi harus aku coret dari daftar. Motor yang aku pinjam tak cukup tangguh untuk bisa menuju pantai Tarimbang saat ini karena saat ini sedang ada perbaikan jalan sehingga jalan masih berupa batu-batu besar yang dihampar. Sebenarnya sempat dapat tawaran pinjam motor yang lebih besar tapi aku dan Trysu belum pede pakai motor laki (cupu banget ya kita..)

Aku memilih mengunjungi lokasi ini di akhir waktu setelah dua temen cewek yang penugasan satu kota di Sumba Timur balik ke Kupang. Bukan gak berani ngajak, tapi dengan kondisi medan yang aku sendiri masih 'blank' aku gak berani mengambil risiko ajak-ajak anak orang (kalau anak monyet gak pa-pa lah). Aku memilih mengajak mereka ke  Pantai Watuparunu, walaupun lebih jauh tapi kondisi jalannya jelas bagus. Tanpa guide yang menemani, hanya berbekal informasi tulisan di blog dari temannya Trysu dan orang pemda yang pernah kesana bukan halangan kami untuk 'kesasar'. Dan di antara lokasi yang kami jalani, mungkin perjalanan 'kesasar' ini yang kata Trysu paling berkesan. Iya, kondisi jalannya tak terlalu parah hanya untuk motor yang kami cukup bikin ngeri karena di beberapa tikungan menurun terakhir jalannya diapit jurang di kanan kiri (untung gak diapit jurang atas bawah).

Selepas jembatan yang melintasi sungai besar kota Waingapu akan ada pertigaan, dan dari situ kita masuk ke kanan tapi sebaiknya tanya penduduk sekitar (inget GPS-Gunakan Penduduk Setempat yo). Awalnya jalan setelah belokan masih terasa mulus, yah hanya sedikit goyangan khas jalan ala kabupaten lah. Pemandangan di samping kiri sepanjang jalan yang tampak adalah persawahan yang sebagian baru mulai tanam dan saluran irigasi yang airnya meluap sampai ke pinggir. Kadang-kadang ada juga pemandangan cewe-cewe mandi gak pakai baju (kamu percaya??? aku sendiri juga gak percaya kok). Kalau melihat cewe.. eh saluran ini, kita akan merasa bahwa Waingapu itu subur dan tak kekurangan air. Tapi semua pemandangan hijau (sawah ya bukan cewe.. ngeres ah lu pikirannya) akan berakhir selepas jalan menanjak menuju perbukitan. Dan saat naik ke perbukitan itulah akan terasakan tandusnya perbukitan Sumba Timur saat musim kemarau seperti ini. Dan kondisi perbukitan seperti itu yang akan terus kami tempuh sampai ke Maidang. Coba ada kuda sama kopi coboy, pasti Trysu udah macam jagoan koboi Billy The Kid naik kerbau.

Melintasi Perbukitan Kambata Mapambuhangu
Kata brosur yang dikasih orang Dinas Pariwisata, jarak tempuh dari kota Waingapu ke Maidang ini sekitar 70 km. Tapi ini NTT, jangan percaya jarak tapi waktu tempuhnya dan Alhamdulillah aku sudah membuktikannya (lima km satu setengah jam, asoy gak tuh). Aku tidak sempat mengukur (iya lah, masak aku harus bawa meteran buat ngukur jalan.. kurang kerjaan banget) karena lebih terpesona dengan medannya. Menurutku jika ingin sekali waktu kalian ke sini dan mau mendapatkan gambaran pulau Sumba Timur yang penuh dengan perbukitan terjal dan kering, di sinilah salah satu lokasi yang bisa kalian datangi. Di kanan kiri dari perjalanan yang kami banyak kami temui adalah perbukitan savana dengan rumput-rumput yang telah mengering. Memang masih ada pepohonan yang menghijau, dan di lokasi-lokasi seperti itulah aku sempat menyaksikan burung-burung. Sekali waktu saat sempat aku dan Trysu melihat burung kecil terbang, burung itu memiliki bulu kuning putih di dada dan pada ekor yang dominan berwarna putih berwarna biru di tengahnya yang lebih panjang dari bulu ekor lainnya. Aku bersyukur bisa melihat burung seperti ini di tengah perbukitan Sumba, berharap tidak ada tangan iseng/jahil yang menangkap mereka untuk diperjualbelikan. Di sepanjang perjalanan menyusuri bukit ini jarang sekali rumah dan jika ada rumah hanya ada beberapa saja. Jarak antara satu rumah dengan rumah lain berjauhan, wih... bener, ternyata Sumba Timur yang luas ini penduduknya terkonsentrasi di Waingapu saja.
Perbukitan di Kambata Mapambuhangu
Perbukitan yang kering menuju Maidang
Aku dan Trysu harus beberapa kali menanyakan lokasi tepatnya jika kebetulan berpapasan dengan penduduk. Kadang persaan was-was muncul saat berada di pertigaan namun tak ada penduduk yang bisa ditanyai (mau nanya sama batu besar sih tapi nanti dibilang musyrik, padahal kan cuma tanya bukannya percaya :P).
Bahkan setelah sampai di kota kecamatan Kambata Mapambuhangu (ini kecamatan namanya panjang dan susah diinget, kalau gak percaya inget dan besok dua hari ucapin lagi pasti gak bisa hehehe) yang berada di atas perbukitan ternyata jauh dari yang kami bayangkan. Jangankan pertokoan bahkan rumah pun dapat dihitung dengan jari (jari tangan dan kaki serta jari temen-temenmu). Jadi bangunan-bangunan yang berdiri di kecamatan itu lebih banyak bangunan pemerintahan seperti sekolah, kantor kecamatan dan kantor sejenis (iya lah, kalau beda jenis nanti beranak). Jadi kami harus benar-benar mengandalkan ransum yang kami bawa dari Waingapu. Saran: jika ke tempat-tempat wisata di Waingapu jangan lupa bawa perbekalan makanan dan minuman yang cukup karena belum tentu akan menemukan sekedar toko kecil untuk membeli minuman.

Rumah di atas perbukitan menuju Maidang
Yang sempat bikin bingung ya di kota kecamatan ini, dengan kondisi yang banyak percabangan (dibanding di desa lho ya bukan dibanding Waingapu), tapi gak menemukan masyarakat yang bisa kita tanyai. Mungkin sebagian pegawai di kecamatan tinggal di Waingapu jadi sudah pada balik (alasan bagus untuk pulang cepat kan). Benar-benar kesasar tapi kok malah di kota kecamatan.Setelah masuk lurus akhirnya kami menemui pertigaan dimana sebelah kanan adalah jalan rabat (kata nona-nona yang sedang kongkow di belakang rumah, entah kenapa Trysu sangat semangat bertanya kalau ada ibu-ibu hehehe). Motor kami menapaki jalan rabat sejauh satu kilometer menuruni perbukitan. Kata ibu tadi, dari sini ke Maidang tinggal sekitar lima km lagi tapi dia sambil bilang "jauuuuuuhhhh..." mulutnya sampai monyong kayak minta dicium gitu (mesum keplak jidat). Setelah bahagia meluncur di jalan rabat, kemudian di akhir jalan rabat kami menemukan pemandangan yang wow banget. Wow itu artinya viewnya cakep tapi sekaligus ngeri.

Aku sempat bercanda dengan Trysu, "Ini adalah jalan yang tak boleh ada kesalahan". Dari atas aku bisa melihat jalan meliuk-liuk melintasi puncak beberapa perbukitan savana. Duh kuda mana nih, serasa jadi koboi. Jika sebelumnya kami melewati punggung bukit yang cuma ada jurang di satu sisi, sekarang jalan di depan di apit jurang di dua sisi. Makkk, pemandangannya ngeri-ngeri sedap kali (kata Soetan Batoegana begitu). 
Pemandangannya sungguh luar biasa, sayangnya aku tidak sempat merekam dengan kamera (mengejar waktu biar tidak sampai terlalu sore sampai di lokasi). Apalagi warna langitnya yang mulai menguning oranye. Trysu yang mengendarai motor di depan mungkin tak bisa melihat semua pemandangan ini karena terkonsentrasi pandangannya ke jalan yang sudah rusak, batu-batuan kecil yang merupakan sisa jalan beraspal mudah sekali terlepas. Tak urung beberapa kali roda tergelincir namun tak sampai terjatuh. Trysu cukup hati-hati, sangat hati-hati malah. Berbeda sekali saat kami menembus perbukitan lewat punggung bukit. Jurang di salah sisi tidak membuat dia mengurangi kecepatan motor. Namun di jalur terakhir ini dia betul-betul ekstra hati-hati sehingga justru lima km inilah yang menjadi perjalanan terlama.

Air Terjun Maidang
Setelah melewati jalur 'tak ada kesalahan' terakhir, akhirnya aku bisa melihat beberapa rumah dan sebuah jembaran kecil dari atas bukit terakhir. Aku tahu itulah Maidang, karena memang itulah satu-satunya kampung yang ada di semua perbukitan itu. Jadi jalan masuk dan keluar Maidang ya hanya yang kita lewati saat ini. Di sisi jembatan itulah, aku bertemu pak Luna Maya.... eh salah Aril (aku ingetin lagi ya, bukan Ariel Peterpan) yang langsung meminta aku mengikutinya.
Air terjun Maidang
View dari atas air terjun Koalat, Maidang
Setelah memarkir kendaraan di ujung jalan, pak Aril mengajak kami turun melewati sungai yang tak terlalu dalam hanya sedalam paha atas tapi tetap harus hati-hati. Batu-batunya sendiri tidak licin namun arusnya cukup kuat jika tidak kuat memijak bisa terpelanting jatuh ke air. Terutama fokus, jangan lihat orang mandi melulu, nanti giliran jatuh di air bilangnya batunya ya licin padahal otakmu yang mesum. Ya gara-gara ada orang mandi itu kami dilewatkan di jalur yang lebih dalam (kata pak Aril biar membelakangi mereka, wih baru tahu kalau pak Aril suka lihat bagian belakang). Sungai yang kami lewati ini barusan itu hulunya berasal dari air terjun Laputi berbeda alirannya dengan sungai yang mengalir dari air terjun Koalat. Tidak jauh setelah melewati sungai dan sedikit naik ke darat segera aku melihat sebuah sungai yang lebih lebar, dan di ujung sanalah tampak sebuah air terjun yang tidak terlalu tinggi namun melebar.
Yang unik dari air terjun ini tampaknya terbentuk dari satu batu besar yang utuh, bahkan batu yang ada di air terjun ini benar-benar batu utuh menyatu dengan bagian atas. Alur-alur unik benar-benar sepertinya terbentuk dari air. Bahkan di bagian atas dimana ada genangan air tampak sebuah batu yang membulat membelah aliran air menjadi dua. Batu-batu itu pun masih menjadi satu bagian hanya menjadi berlubang-lubang. Aku tak tahu bagaimana air bisa membentuk bebatuan itu menjadi lubang-lubang unik seperti ini.


Bebatuan di Air terjun Maidang
Batu-batu terbentuk oleh aliran air
Aku dan Trysu sampai ke atas tapi tidak berani turun ke arah bebatuan yang di tengah karena hanya lewat sebatang kayu yang ada dengan cabang-cabang sebagai pijakannya. Duh, itu kayu muter berarti selamatlah kita kecemplung ke dalam air. Yang pasti airnya dalem banget karena warna birunya yang tampak pekat seperti itu. 
Sayang aku tidak bisa terlalu lama karena sampai di sini pun bisa di bilang sudah terlalu sore, mungkin karena kita sering bertanya sepanjang perjalanan jadi perjalanan yang seharusnya bisa dua jam bisa sampai tiga jam.
Perjalanan kembali inilah yang paling berbahaya. Kejadian sempat tergelincir yang membuat kami nyaris jatuh membuat Trysu tidak berani menjalankan motor lebih cepat. Bahkan setiap ruas yang batunya mudah lepas, aku harus sering turun supaya Trysu bisa leluasa membawa motornya. Bahkan di jalan yang menanjak aku harus ikhlas jalan kaki. Aku minta Trysu jalan lebih dulu sampai di tempat yang landai dan aman, jadi tidak perlu menunggu aku. Ternyata jalan begini cukup bikin ngos-ngosan tapi juga sangat menyenangkan. Bayangkan berjalan di malam hari menyusuri puncak bukit dengan kanan-kiri jurang dan ditemani galaksi Bima Sakti yang tampak jelas. Fuih.. fuih.. lain kali mungkin aku harus jalan kaki ke sini. Rasanya pasang tenda di atas bukit sini juga asyik aja tuh.
Trysu lah yang justru setengah mati, makanya dia cuma berharap kapan bisa menemukan jalan rabat. Bayangkan empat km harus di tempuh selama satu setengah jam, tapi jangan tertawa karena kami jalan seperti keong ya. Mungkin kalian sendiri yang harus mencobanya...
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya